ebook img

Untitled - Institutional Repository of UIN Ar-Raniry Banda Aceh PDF

244 Pages·2017·7.13 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Untitled - Institutional Repository of UIN Ar-Raniry Banda Aceh

F I K I H HAK MILIK ATA S TA N A H N E G A R A Dr. Mahli Ismail, M. Ag. F I K I H HAK MILIK ATA S TA N A H N E G A R A KATA PENGANTAR Al-hamdu lillah buku ini adalah bagian dari disertasi tahun 2012 yang penting dimiliki dan dibaca oleh praktisi, pemerintah, mahasiswa dan masyarakat. Buku ini membahas masalah mekanisme perolehan hak milik atas tanah negara dalam pandangan fiqh, Ketentuan Peraturan Perundangan-undangan Pertanahan Nasional dan praktik masyarakat Aceh. Secara struktural ulama fiqh menetapkan cara perolehan hak milik atas tanah negara dengan menggarap, memanfaatkan dan perolehan izin dari pemerintah, tiga hal ini menjadi landasan perolehan hak milik atas tanah dan sekaligus mendapat legalitas dalam fiqh. Dalam fiqh klasik hak milik atas tanah negara dari hasil garapan dan pemanfaatan secara maksimal dan telah dipagar keempat sisi mendapat legalitas hak milik abadi. Sementara dalam fiqh modern hak milik atas tanah yang telah dimanfaatkan dan kemudian ditinggalkan dalam waktu tiga tahun kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara setelah diverifikasi dengan penggarap pertama. Ulama fiqh, menitikberatkan pada penggarapan dan membangun lahan secara sempurna untuk dapat dinikmati oleh makhluk Allah terutama manusia itu sendiri dalam pemenuhan kebutuhan, sekaligus bentuk teknis penggarapan sebagai syarat untuk dapat dimiliki sebagai hak milik. Hal ini memberikan masukan kepada pemerintah dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan tentang penggarapan dan pemberian hak milik atas tanah mati atau tanah terlantar. Permasalahan persyaratan penggarapan dan menghidupkan lahan agar menjadi hak milik, persyaratan yang ditetapkan oleh ulama fiqh lebih komprehensif dan spesifik. Tanah negara (tanah mati) dalam fiqh adalah tanah bebas dari sesuatu hak yang terletak di suatu daerah tertentu, belum dibangun oleh seseorang, v tanah yang jauh dari pemukiman manusia, bukan salah satu sarana umum dan sosial. Sedangkan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara selama 3 (tiga) tahun tidak digarap dan tidak dimanfaatkan, kembali menjadi tanah yang dikuasai negara dan diputuskan hubungan hukum dengan pemegang hak. Jadi yang dimaksudkan dengan tanah negara (tanah mati) di sini adalah tanah bebas hak dan bekas tanah hak yang ditelantarkan. Sementara tanah negara dalam hukum tanah nasional (HTN) adalah tanah hak dan tanah bebas hak atau tanah yang dikuasai oleh negara. Sedangkan tanah hak milik negara adalah tanah yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D atau dari perolehan lainnya yang sah, dan dapat dibuktikan dengan sertifikat. Sementara konsep tanah terlantar dalam ketentuan Perundang-undangan pertanahan nasional (KPPN) adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara selama tiga tahun tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Jadi yang dimasudkan dengan tanah negara di sini adalah tanah bebas hak termasuk bekas tanah yang ditelantarkan. Sementara praktik masyarakat Aceh, hak milik atas tanah negara dapat diperoleh penduduk dengan membuka tanah baru atau tanah alas hak yang ditelantarkan. Persyaratan ada izin pemerintah. Menggarap secara terus- menerus selama tiga tahun (ukuran dua kali masa tanam padi), batas waktu dan luas tanah yang digarap longgar, tergantung kepada kondisi lahan dan penduduk setempat atas keputusan bersama. Surat bukti hak milik longgar, karena pada umumnya mereka memperoleh hak milik secara adat, yang penting ada pengakuan dari tetangga tanah/lahan dan pengakuan pemerintah setempat. Pemahaman masyarakat Aceh terdapat tanah hak umum dan tanah terlantar. Tanah hak umum/tanah negara adalah tanah bebas yang tidak dimiliki sesuatu hak, sedangkan tanah terlantar adalah tanah yang sudah ada simbol (alamat/tanda batas) tidak digarap dan tidak dimanfaatkan secara terus-menerus dan tidak ditanam tanaman keras jadilah tanah terlantar setelah mendapat pengakuan pemerintah. Secara normatif, memanfaatkan sebidang tanah diperlukan sejumlah prosedur dan persyaratan tertentu sehingga mendapat legalitas untuk dimiliki. Islam memberi garansi hak milik atas sejumlah harta termasuk tanah dari hasil usaha yang sah secara normatif. Pembahasan perolehan hak milik atas tanah negara (tanah mati/ terlantar) menjadi penting. Tanah di samping sebagai aset, tempat beraktivitas dan sekaligus lahan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang harus dibangun dan dimanfaatkan. Menelantarkan tanah merupakan hal vi Dr. Mahli isMail, M.ag

Description:
beraktivitas dan sekaligus lahan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang pembimbing Bapak Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA., Bapak Prof. Dr. Jina`iyyah fi al-Syari`ah, (Kairo: Maktabah Dār al-`Urubah, 1965), h. 61. makna dan ruang lingkup yang diatur oleh Undang-undang pertanahan.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.