Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti) Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora Bekti Setio Astuti Fakultas Bahasa dan Budaya, Universitas 17 Agustus 1945 Jl. Pemuda 70 Semarang email : [email protected] Abstract The Javanese language used by Samin community is something unique because it has a special significance with Samin community that is not understandable to the general public. It occurs as the socio-cultural aspects of Samin community is different from others. The problems formulated in this study are: (1) what Javanese lexicons used by Samin community in their daily life, and (2) how Javanese lexicons are related to the socio-culture of Samin community . Several references used to discuss the issues, namely: socio-dialectology, distinctive dialect, variations in language, speech levels in Javanese language, Javanese lexicons, and the concept of Samin community culture. Key words: socio-dialectology, Javanese lexicons, culture 1.Pendahuluan Yogyakarta, Jawa Timur dan di beberapa 1.1 Latar Belakang Masalah bagian Banten yaitu di kota Serang, kota Bahasa adalah alat komunikasi Cilegon, dan kabupaten Tangerang, Jawa utama dalam hidup dan kehidupan Barat khususnya kawasan Pantai Utara manusia. Hampir tidak ada celah yang terbentang dari pesisir utara sampai kehidupan manusia tanpa berkepentingan kabupaten Cirebon (Wikipedia, 2010). dengan pemanfaatan jasa bahasa. Sebagai Di desa Klopodhuwur kabupaten bagian dari budaya, bahasa memiliki Blora Jawa tengah masih ada komunitas seperangkat norma atau tata aturan sebagai samin yang hidup di tengah masyarakat pedoman bersama antar masyarakat non-samin. Meskipun hidup ditengah pemakainya (Alwasilah, 1987; Basir, masyarakat non-samin, komunitas samin 1994). tetap mempertahankan bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa sebagai salah satu Bagi mereka menghormati orang lain tidak bahasa daerah yang digunakan di dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan Indonesia memiliki penutur yang tersebar perbuatan yang ditunjukkan (Titi : 2004) di hampir seluruh Pulau Jawa. Bahasa Bahasa dalam hal ini dimaksudkan Jawa digunakan penduduk suku bangsa satuan lingual yang muncul dalam tuturan Jawa terutama di Jawa Tengah, masyarakat Samin sebagai upaya 28 CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014 komunikatif untuk mendukung tradisi diganti dengan “Aku meh melu nganggoké yang dianutnya. Hal ini sesuai dengan banyumu” yang berarti „Aku akan ikut fungsi khas bahasa (Sudaryanto, 1990: 21) serta menggunakan airmu‟ maka dengan setidak-tidaknya yaitu sebagai senang hati air tersebut akan diberikan, pengembang akal budi dan pemelihara karena orang Samin berpendapat sumber kerja sama antar penutur-penuturnya. daya alam memang untuk digunakan Penutur-penutur bahasa Jawa Samin yang bersama-sama manusia lain. terkait erat dengan tradisi yang dimiliki.Di Dari contoh kasus di atas, terlihat sinilah hubungan erat antara tradisi bahwa orang Samin sangat memperhatikan (budaya) dengan bahasa Jawa Samin yang makna leksikal yang terkandung dalam penuh dengan untaian masalah yang perlu tuturan. Orang Jawa pada umumnya tidak dipecahkan. akan terlalu peduli dengan perbedaan Masyarakat Samin yang hidup di penggunaan istilah njalukdan melu tengah-tengah masyarakat berbahasa Jawa nganggoké selama akibat yang ternyata mengembangkan variasi ditimbulkan dari dua istilah di atas sama, kebahasaan yang berbeda dengan bahasa yaitu bisa meminta air dari seseorang. Jawa pada umumnya. Fenomena ini perlu Bahasa yang dituturkan oleh dikaji lebih lanjut untuk menghindari masyarakat Samin memperlihatkan adanya terjadinya kemungkinan salah paham fenomena kebahasaan yang bervariasi jika antara komunitas Samin dan komunitas dibandingkan dengan Bahasa Jawa Baku. Jawa di sekitarnya akibat perbedaan Pada tataran leksikon ditemukan beberapa variasi kebahasaan yang digunakan. variasi bentuk Bahasa Jawa Masyarakat Orang Samin memiliki keyakinan Samin jika dibandingkan dengan Bahasa bahwa manusia hanya bisa memanfaatkan Jawa Baku, hal ini terlihat juga pada sumber daya alam namun tidak bisa leksikon adang akeh [adaŋ akɛh] „punya memilikinya.Contoh dari implikasi hajat‟, bateh [batɛh] „saudara‟. keyakinan ini misalnya ketika seseorang meminta air kepada orang Samin dengan 1.2 Ruang Lingkup mengatakan “Aku njaluk banyumu” yang Berbicara tentang masyarakat berarti „Aku minta airmu‟ maka reaksi Samin sesungguhnya berbicara tentang umum orang Samin adalah menolak masyarakat Jawa, karena masyarakat memberi karena merasa tidak ikut Samin memang bagian dari masyarakat memiliki. Namun apabila kalimat tersebut Jawa.Bagian dari kejawaannya itu 29 Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti) tercermin pada tradisi, bahasa, manusia. Secara praktis tradisi masyarakat keberadaannya, genealogisnya, dan Samin itu didasarkan pada pandangan sebagainya. hidup, pribadi, dan lingkungan atau Tradisi (Poerwadarminta, 1982: masyarakatnya (Geertz, 1981; Mulder, 1088) adalah segala sesuatu (seperti adat, 1985; Koentjaraningrat, 1994).Secara kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dsb.) yang umum berkaitan dengan pandangan hidup turun-temurun dari nenek moyang. orang Jawa (termasuk masyarakat Samin) Berkaitan dengan konsep tersebut, bersifat kosmo-mitis dan kosmo-magis, budaya/tradisi Samin perlu dikaji dalam menganggap bahwa alam sekitar makalah ini, karena adanya suatu mempunyai kekuatan dan berpengaruh anggapan bahwa budaya dan masyarakat terhadap kehidupan masyarakat maupun Samin yang merupakan warisan turun- spiritual masyarakatnya (Mulder, 1985), temurun itu menghambat kemajuan (baca: dan tergantung pula watak pribadi modernitas). Sebenarnya sesuai dengan individualnya.Dalam hal ini masyarakat arus kemajuan zaman, budaya tradisional Samin memiliki tradisi kuat yang dapat bersifat dinamis seperti berhubungan dengan petung (nikah, dikemukakan oleh Michael R. Dove (1985: bercocok tanam, dagang, berkomunikasi) xv) bahwa kebudayaan tradisional sering dan konsep-konsep yang merujuk pada dipersepsikan keliru oleh sebagian orang “syariat” Agama Adam. dalam pembangunan atau modernisasi. Bahasa adalah symbolic meaning Semuanya terkait erat dengan proses system (sistem makna simbolis), begitu sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat pula halnya dengan kebudayaan yang secara mendasar. Lebih dari itu dikatakan sebagai symbolic meaning kebudayaan tradisional bersifat dinamis, system (Casson, 1981: 11-17). Lebih jauh selalu mengalami perubahan, dan karena ahli ini mengatakan bahwa “Like itu tidak bertentangan dengan language, it is a semiotic system in which pembangunan itu sendiri. Bagaimana symbols function to communicate meaning dengan tradisi masyarakat Saminsekarang from one mind to another. Cultural like ? Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1994: symbols, like linguistic symbols, encode a 183-184 dan 224) menyatakan bahwa connection between a signifying form and wujud kebudayaan berisi kompleks ide, asignaled meaning” (Seperti bahasa, itu gagasan, norma, nilai, aturan, kompleks adalah sistem tanda yang merupakan aktivitas dan tindakan berpola dari simbol yang berfungsi untuk masyarakat, dan benda-benda hasil karya mengkomunikasikan makna dari satu 30 CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014 konsep pikiran ke yang lain. Kebudayaan 1.3 Rumusan Masalah juga simbol-simbol, seperti halnya simbol- Berdasarkan latar belakang dan simbol bahasa, terjadi hubungan antara ruang lingkup di atas, permasalahan yang bentuk yang menandai dan makna yang diangkat adalah bagaimana variasi ditandai). leksikon bahasa Jawa Samin berdasarkan Halliday dan Hassan (1992:4) aspek sosial budaya dan leksikon apa saja mengatakan bahwa budaya sebagai dalam pemakaian sehari-hari. seperangkat sistem semiotik, sebagai seperangkat sistem makna, yang semuanya 1.4 Tujuan Penelitian saling berhubungan.Bahasa sebagai salah Penelitian ini mempunyai tujuan, satu dari sejumlah sistem makna, yang yaitu mendiskripsikan leksikon bahasa secara bersama-sama membentuk budaya Jawa Samin berdasarkan aspek sosial manusia.Apa yang dikatakan Casson di budaya dan mendeskripsikan leksikon atas bahwa kebudayaan merupakan bahasa Jawa Samin dalam pemakaian simbols seperti simbol bahasa sejalan sehari-hari. dengan yang dikemukakan oleh Levi- Straus dalam teorinya antropologi sosial. 1.5 Manfaat Penelitian Ia mempelajari karya Saussure melalui Secara teoritis penelitian ini Roman Jakobson. Ia menaruh minat yang diharapkan menambah khazanah penelitian besar pada ajara-ajaran Jakobson tentang dialektologi terutama tentang varuasi sistem bunyi bahasa. Ia menganggap unit- leksikon pada masyarakat Samin di unit bunyi yang distingtif sebagai titik Karang Pace desa Klopodhuwur kabupaten temu antara alam dan kebudayaan Blora.Selain itu dapat dijadikan sebagai (Gordon, 2002:96). acuan atau landasan untuk penelitian Bahasa yang dituturkan oleh selanjutnya. masyarakat Samin memperlihatkan adanya Secara praktis, penelitian ini fenomena kebahasaan yang diharapkan memberi sumbangan bagi bervariasi.Pada tataran leksikon ditemukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan beberapa variasi bentuk bahasa Jawa budaya Jawa di Jawa Tengah.Masyarakat Samin jika dibandingkan dengan bahasa Samin merupakan aset budaya dan bahasa Jawa Baku. yang perlu dilestarikan. 31 Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti) 2. Kajian Pustaka lontarkan kaum Penelitian yang berkenaan dengan priyayi, santri, dan masyarakat Samin sudah banyak dilakukan santri abangan yang terutama para ahli sejarah dan antropolog. merupakan lapisan- Penelitian yang pernah dilakukan antara lapisan lain: Widiyanto (1983) , Sadihutomo sosiokultural pada (1996), Sujayanto (2001), dan Sugiharto masa itu, yamg (2002). berpihak kepada Penelitian yang dilakukan Belanda dalam widiyanto (1983), membahas secara umum persoalan tentang masyarakat Samin di kabupaten pemberontakan..” Blora. Dari sudut kabahasaan, di dalam (Widiyanto, artikelnya yang berjudul Samin 1983:60) Surosemiko dan Konteksnya,ia memberikan pembelaan tentang fenomena Penelitian yang dilakukan oleh kebahasaan masyarakat Samin yang Sadihutomo (dalam Tradisi Blora, 1996) selama ini dipandang negatif oleh lebih difokuskan pada figur Samin masyarakat secara umum. Berikut kutipan Surosentiko. Samin Surosentiko dipandang artikel tersebut, sebagai seorang yang kaya akan ilmu “Tetapi kalau filsafat dan ilmu sastra Jawa. Angger- Samin Surosentiko Angger Pangucap adalah hukum atau (atau menurut kaidah berbicara yang diajarkan Samin ucapan orang Surosentiko kepada pengikutnya.Salah Blora, tempat asal satu bukti kelebihannya dalam hal sastra tokoh itu) tetap Jawa adalah kemampuan membuat Serat disamakan dengan Punjer Kawitan, yaitu buku yang berisi Samin dalam arti silsilah raja-raja dan ajaran di bidang sosial „bodoh‟ dan politik dikemas dalam tembang macapat. sebagainya, itu Sujayanto,dkk (2001) dalam adalah penelitiannya yang berjudul Samin keterlanjuran sosial Melawan Penjajah dengan Jawa Ngoko yang perlu segera menjelaskan bahwa masyarakat Samin dikoreksi. Sebutan sekarang tidak seperti masyarakat Samin itu semula di pada saat penjajahan Belanda yang tidak 32 CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014 mau mematuhi peraturan pemerintah, 2.1. Kajian Sosiodialektologi seperti tidak mau membayar pajak. Pada Penelitian varian leksikon zaman penjajahan masyarakat Samin pemakaian bahasa Jawa pada masyarakat memperjuangkan ha-haknya menggunakan Samin ini merupakan penelitian dengan bahasa Jawa Ngoko. kajian sosiodialektologi.Dasar kajiannya Sugiharto (2002) meneliti tentang adalah dialektologi yang diilhami oleh perubahan makna kata bahasa Jawa dalam metode sosiolinguistik dalam pemetaan tataran semantik dan faktor-faktor yang variabel sosial penutur dialek, menyebabkan terjadinya perubahan makna sebagaimana dikemukakan oleh Trudgill kata bahasa Jawa dalam wacana (1984:31).Dialektologi merupakan cabang percakapan masyarakat Samin di linguistik yang mempelajari variasi kabupaten Blora tersebut. Dalam bahasa.Yang dimaksud dengan variasi penelitian ini ditemukan tujuh jenis bahasa adalah perbedaan-perbedaan perubahan makna kata bahasa Jawa, yaitu: bentuk yang terdapat dalam suatu (1) perluasan yang disebabkan oleh adanya bahasa.Perbedaan tersebut mencakup persamaan sifat dan perkembangan sosial semua unsur kebahasaan, yaitu Fonologi, budaya, (2) penyempitan makna yang morfologi, leksikon, sintaksis, dan disebabkan oleh adanya persamaan sifat semantik. dan perkembangan sosial budaya, (3) Menurut pandangan dialektologi, amelioratif yang disebabkan oleh semua dialek dari suatu bahasa persamaan sifat atau asosiasi, (4) peyoratif mempunyai kedudukan yang sederajat, yang disebabkan oleh persamaan sifat dan statusnya sama, tidak ada dialek yang lebih perkembangan sosial budaya, (5) berprestise dan tidak berprestise. Tidak ada penghalusan makna yang disebabkan oleh juga sebutan bahwa dialek yang digunakan adanya persamaan sifat dan perkembangan itu kampungan, meskipun penuturnya sosial budaya, (6) asosiasi yang berasal dari desa. Semua dialek dari disebabkan oleh persamaan sifat dan sebuah bahasa itu sama. Dialek-dialek perkembangan perkembangan sosial tersebut menjalankan fungsinya masing- budaya, (7) perubahan total yang masing dalam kelompok-kelompok disebabkan oleh adanya persamaan sifat, masyarakat penuturnya. Dialek standar perkembangan sosial dan budaya dan juga merupakan dialek biasa, samadengan penyerapan kosakata. dialek lainnya. Hanya karena faktor ekstralinguistik, dialek ini dianggap 33 Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti) sebagai dialek yang berprestise (lihat biasanya disebut kondangan dan Fernandez, 1993:6). nyumbung. Ini jelas disebabkan oleh adanya tanggapan atau tafsiran tang 2.2. Pembeda Dialek berbeda mengenai kehadiran di tempat Setiap variasi bahasa dipergunakan kenduri itu. di suatu daerah tertentu, dan lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang 4) Perbedaan semasiologis yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata merupakan kebalikan dari perbedaan bahasa, dan tata arti dan setiap ragam onomasiologis, yaitu pemberian nama memepergunakan salah satu bentuk yang sama untuk beberapa konsep khusus. Guiraud (dalam Ayatrohaedi, yang berbeda. Misalnya leksikal 1983:3) menyatakan bahwa ada lima pawon mengendung dua makna yaitu macam pembeda dialek, yaitu: dapur dan tempat tungku. 1) Perbedaan fonetik yaitu si pemakai 5) Perbedaan morfologis yang dibatasi dialek atau bahasa yang bersangkutan oleh adanya sistem tata bahasa yang tidak menyadari adanya perbedaan bersangkutan, oleh frekuensi morfem- tersebut. Contoh: sungsum [suŋsUm] morfem yang berbeda, oleh kegunaan dengan sumsum [sumsUm] „isi yang berkerabat, oleh wujud tulang‟, gendeng [gənDeŋ] dengan fonetisnya, oleh daya rasanya, dan kenteng [kənTeŋ] „genting‟. oleh sejumlah faktor lainnya lagi 2) Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, 2.3. Variasi Bahasa berdasarkan perubahan fonologi dan Pemakaian bahasa tidak hanya geseran bentuk. Dalam peristiwa ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tersebut biasanya juga terjadi geseran tetapi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. makna kata. Geseran tersebut bertalian Faktor-faktor nonlinguistik yang dengan dua corak, yaitu sinonim dan berpengaruh terhadap pemakaian bahasa homonim. antara lain faktor sosial dan faktor 3) Perbedaan onomasilogis yang situasional. Kedua faktor tersebut menunjukkan nama yang berbeda menimbulkan berbagai variasi bahasa yang berdasarkan satu konsep yang berupa bentuk-bentuk bagian atau varian diberikan di beberapa tempat yang dalam bahasa yang masing-masing berbeda. Menghadiri kenduri memiliki pola umum bahasa induknya misalnya, di beberapa daerah Blora (Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1985:23). 34 CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014 Adpun wujud variasi dapat berupa idiolek, mengikuti unsur yang diperkaitkan (yang dialek, ragam bahasa, register maupun berbeda). unda-usuk. Variasi bahasa berdasarkan Kelonggaran pemakaian bahasa penuturnya ada empat macam, (1) idiolek, sebagai akibat adanya faktor sosial dan yaitu variasi bahasa bersifat perorangan, situasional bukanlah berarti merupakan (2) dialek, yaitu variasi bahasa dari kebebasan untuk melanggar kaidah-kaidah sekelompok penutur yang jumlahnya kebahasaan, akan tetapi hal ini relatif dan berada pada suatu wilayah, (3) dimaksudkan untuk menyesuaikan kronolek atau dialek temporal, yaitu pemilihan bahasa atau variasi bahasa variasi bahasa yang digunakan kelompok dengan kendala sosial pada diri penutur. sosial pada masa tertentu , (4) sosiolek Suwito (1985:29) mengemukakan variasi atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa bahasa ialah sejenis ragam bahasa yang yang berkenaan dengan status, golongan pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan kelas sosial penuturnya. dan situasinya tanpa mengabaikan kaidah pokok yang berlalu dalam bahasa yang 2.4. Tingkat Tutur Bahasa Jawa bersangkutan, artinya bahwa situasi yang Teori yang digunakan untuk menyertai suatu peristiwa tutur menurut penentuan tingkat tutur, mengikuti suatu variasi bahasa tertentu. pembagian tingkat tutur Sudaryanto (1989) Pada hakekatnya, pemakaian bahasa yang membagi menjadi dua kelompok, tidak monopolitik melainkan bervariasi. yaitu bentuk ngoko dan krama, yang Berdasarkan sumbernya Nababan masing-masing diperinci atas bentuk lugu (1984:15-16) membagi variasi bahasa dan halus, sehingga secara hirarki terbagi menjadi dua macam, yaitu: variasi atas ngoko, ngoko alus, krama dan krama eksternal dan variasi internal. Variasi alus. eksternal ialah variasi yang berhubungan Ada dua hal yang penting yang dengan faktor-faktor di luar sistem bahasa harus diingat pada waktu akan menentukan itu sendiri, yaitu: sehubungan dengan tingkat tutur yang akan dipakai. Pertama, daerah asal penutur, kelompok sosial, tingkat formalitas hubungan perseorangan situasi berbahasa, dan zaman penggunaan antara penutur dan mitra tutur.Kedua, bahasa itu. Sedangkan variasi internal ialah status sosial yang dimiliki mitra tutur. unsur-unsur yang mendahului dan Untuk memilih suatu tingkat tutur yang sesuai dengan mitra tuturnya, penutur 35 Varian Leksikon Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora (Bekti Setio Astuti) harus dapat menetapkan corak hubungan 2.5 Leksikon Bahasa Jawa atau relasinya dengan mitra Leksikon menurut Kridalaksana tutur.Penetapan corak hubungan (1993:98) adalah komponen bahasa yang didasarkan atas tingkat jarak sosial dan menuat semua informasi entang makna tingkat status sosial. dan pemakaian kata dalam bahasa.Cabang Apabila penutur berstatus sosial linguistik yang mempelajari kata atau lebih rendah dibandingkan dengan mitra leksikon disebut leksikologi. tutur, maka penutur menggunakan bentuk Bahasa Jawa kaya akan krama. Selain itu, apabila penutur sama perbendaharaan kata atau leksikon. Hal ini sekali belum mengenal atau tidak akrab disebabkan karena tingkat tutur yang dengan mitra tuturnya, dan penutur lebih beragam dan wilayah pemakaian bahasa muda dibandingkan mitra tuturnya juga Jawa yang luas sehingga menyebebkan menggunakan bentuk krama. leksikon yang ada bertambah variatif. Untuk memilih tingkat tutur mitra Suatu perbedaan disebut perbedaan dalam tutur akan menyesuaikan diri dengan leksikon, jika leksem-leksem yang penuturnya. Bentuk tingkat tutur yang digunakan untuk merealisasikan suatu digunakan oleh penutur berpengaruh makna yang sama tidak berasal dari satu terhadap bentuk tingkat tutur yang akan etimon prabahasa. Semua perbedaan digunakan oleh mitra tutur. Apabila mitra bidang leksem selalu berupa variasi. tutur berstatus sosial rendah dibandingkan Variasi leksikon terjadi karena penutur, maka mitra tutur menggunakan adanya pergeseran bentuk, perubahan bentuk krama. Selain itu, apabila mitra fonologi, dan geseran makna (Ayatrohaedi, tutur sama sekali belum mengenal atau 1979:3). Pergeseran makna yang dimaksud tidak akrab dengan penutur, dan mitra bertalian dengan dua corak, yaitu: (1) tutur lebih muda dibandingkan dengan pemberian nama yang berbeda untuk penuturnya juga menggunakan bentuk linambang yang sama di beberapa tempat krama. yang berbeda, (2) pemberian nama yang Apabila penutur dan mitra tutur sama untuk hal yang berbeda di beberapa ingin menyatakan keakrabannya, maka tempat yang berbeda. menggunakan bentuk ngoko.Bentuk ngoko Variasi leksikon juga terjadi karena atau tingkat tutur ngoko mencerminkan adanya perbedaan onomasiologis dan rasa tak berjarak antara penutur dan mitra semasiologis. Perbedaan onomasiologis tutur. menunjukan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di 36 CULTURE Vol. 1 No.1 Mei 2014 beberapa tempat yang berbeda wajib bayar pajak dan penyerahan hasil (Ayatrohaedi, 1974:4). Misalnya, terdapat pertanian pada lumbung desa yang dua kata untuk merealisasikan makna dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda „tapai singkong‟, yaitu tape dan peuyeum. pada waktu itu. Eksploitasi penjajah dan Perbedaan semasiologis merupakan kerakusan birokrat kolonial bangsa kebalikan dari perbedaan onomasiologis, bumiputera merupakan pemicu utama yaitu pemberian nama untuk beberapa munculnya ajaran ini. konsep yang berbeda. Misalnya [esuk] Ajaran yang muncul dalam tradisi lisan, mengandung dua makna, yaitu „besok‟ dan antara lain: „pagi‟. 1) Agama itu gaman, adam pangucape, Leksikon dalam suatu bahasa dapat man gamang lanang (agama Adam memperlihatkan kekayaan kata yang merupakan senjata hidup); berasal dari bahasa tersebut, begitu juga 2) Aja drengki srei, tukar padu, dahpen dengan leksikon yang berasal dari bahasa kemeren, aja kutil jumput, bedhog lain yang digunakan dalam bahasa itu. colong; Masuknya leksikon yang berasal dari 3) Sabar lan trokal empun ngantos bahasa lain menambah kekayaan leksikon dengki srei...,nemu barang teng dalan bahasa tersebut. mawon kula simpangi; 4) Wong urip kudu ngerti ing uripe; 2.6 Konsep Sosial Budaya Masyarakat 5) Wong enom mati uripe titip sing urip. Samin Bayi uda nger niku suksma ketemu Masyarakat Samin merupakan salah raga; satu kelompok masyarakat yang 6) Dhek zaman Landa niku njaluk pajeg mempunyai kebiasaan, tatanan sendiri boten trima sak legane nggih boten serta adat istiadat tersendiri yang berbeda diwehi. Bebas boten seneng. Ndandani dengan masyarakat pada umumnya. ratan nggih bebas. Gan gelem wis Pemikiran dan ajaran Samin dibebasake..jaga omahe dhewe. Surosentiko diawali oleh kondisi Nyengkah ing negara telung taun masyarakat akan kebencian perlakuan dikenek kerja paksa; pemerintahan kolonial Belanda. Hal lain 7) Untuk ajaran ke 7 sampai ke 9 juga bertalian dengan terganggu atau merupakan ajaran moral tentang sikap, tergesernya status sosial dari kalangan ucapan dan tindakan yang harus hati- pribumi yang berada akibat penerapan hati, perkawinan, dan konsep 37
Description: