Kampung Pengemis (Part 2) untuk membaca Part 1, silakan klik Kampung Pengemis (Part 1) Sabtu itu, hari sudah sore. Aku dan temanku itu telah berada di dermaga penyeberangan kotanya. Aku yang menggendong ransel di punggung bersiap menyeberang ke kampung pengemis di pulau pengemis. Dia kembali menyarankan dan membujuk agar aku mengurungkan niatku. Dia takut aku ketularan jadi pengemis. Tentu saja aku menolak. Dia mahasiswa yang aneh, ucapku padanya. Di jaman sekarang masih percaya dengan mitos kutukan macam itu. Dia pun mengalah dan menyerah membujukku. Dia lalu bertanya kapan aku kembali, agar bisa dijemputnya. Kubilang besok, hari minggu siang aku sudah di dermaga. Dia mengiyakan. Tak lama menanti, kapal penyeberangan tiba. Aku dan dia bersalaman. Aku naik ke kapal dan mulai meninggalkan dermaga kota temanku. Sekitar tiga puluh menit selepas lepas landas dari dermaga kota temanku, aku dan penumpang lain turun ke pulau yang kami tuju. Sejauh itu, aku tak melihat tanda-tanda kepengemisan di pulau tersebut. Aku melihat keadaan pulau tersebut biasa-biasa saja. Seperti kebanyakan pulau lain yang berjarak tidak begitu jauh dengan perkotaan. Pulau yang disebut temanku pulau pengemis ini, terlihat cukup membaur dengan peradaban modern. Nampak televisi di ruang tunggu dermaga. Sepeda motor dan mobil di jalan-jalannya. Beberapa parabola dan ada pula antena alias tower agak raksasa. Tebakanku, antena alias tower itu adalah milik salah satu perusahaan telekomunikasi. Apa benar ini kampung pengemis. Atau kampung pengemis ada di pedalaman dari pulau ini. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Atau kampung pengemis hanya rahasia umum yang tidak nyata. Aku pun menyusuri jalan, beberapa tukang becak menawari jasa, demikian pula tukang-tukang ojek. Namun aku menolak dengan lembut. Aku sedang ingin berjalan-jalan dan menikmati pulau ini sendirian. Hingga pada suatu titik, aku berhenti. Aku melihat sebuah papan nama. Bukan papan nama sebuah kantor, melainkan papan nama di sebuah rumah yang keterangan nama di papan itu sangat menarik perhatianku. Tertulis di sana: Kepala Kampung Pengemis. Diseret rasa ingin tahu, aku menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya. Seseorang berjenis kelamin pria membuka pintu lalu menyapaku ramah kemudian memersilakan untuk masuk ke ruang tamu. “Saya mahasiswa dari sebrang, Pak. Datang ke sini dengan niatan untuk jalan- jalan.” “Mau jalan-jalan, atau cari pekerjaan, atau penelitian, silakan saja, Dik. Pulau ini terbuka untuk umum. Nah, kecuali kalau ada orang asing mau merampas hak kampung ini, baru para penduduk akan bertindak tegas.” Ucap orang itu dengan senyuman di bibirnya. Dia lalu pamit sebentar untuk ke dalam beberapa saat. Ketika kembali ke ruang tamu, di tangannya sudah ada nampan membawa dua minuman kemasan kaleng yang nampak segar. Dia memersilakanku meminumnya. Aku pun menikmati minuman itu, tapi tidak menghabiskannya. “Kampung ini sering didatangi mahasiswa-mahasiswa, ada yang mau meneliti, jalan-jalan maupun cari kerja. Kata orang sih, di kampung ini memang banyak lapangan pekerjaannya. Padahal tidak juga.” “Maksud Bapak?” “Ya mata pencaharian utama di kampung ini kan hanya satu, kalau pun ada mata pencaharian lain, ya itu sekadar hobi.” “Apa mata pencaharian utama itu, Pak?” aku menyelidik. “Mengemis.” Dia menyamankan duduknya dengan bersandar di sandaran sofa. “Nah, kalau adik lihat tadi ada pedagang, tukang jaga dermaga, tukang becak, tukang ojek, atau ada pula petani, maka itu sekadar hobi, Dik. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan seperti itu maksimal hanya…, ya… rata-rata dua kali seminggu. Selebihnya, mereka dan kami semua memilih untuk menyebrang ke luar pulau. Mengemis di sana. Dapat hasil, kami nikmati di sini. Kami bangun pulau ini. Sehingga pulau ini nampak tidak ketinggalan jaman. Meskipun tidak memiliki tempat-tempat wisata yang bergengsi, maupun tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Kami tidak mau bergantung pada alam untuk memajukan pulau kami. Kami bekerja. Nyatanya sekarang, kami sukses. Adik kebetulan saja ke sini pas saya ada di rumah, padahal sering kali saya juga menyebrang ke luar pulau. Pergi ke kota-kota untuk mengemis.” Aku tertegun mendengar penjelasan kepala kampung itu. Tanganku meraih kaleng minuman di hadapanku. Dan kembali meminum isinya. Kali ini sampai habis. Tercetus di pikiranku, menjadikan kampung ini sebagai objek penelitian adalah ide yang benar-benar brilian. “Rencananya Adik mau pulang kembali ke kota kapan? Ehm saya bertanya begini sebab hari kan memang sudah menjelang senja. Maksudnya: kalau adik memang pengen jalan-jalan atau cerita-cerita sama saya, Adik boleh kok menginap di sini. Besok baru pulang. Kebetulan sekarang ini istri dan anak-anak saya sedang mengemis di luar pulau sana. Mungkin adik juga pengen tahu cara-cara mengemis yang baik, nanti saya ajari. Itu juga kalau adik mau. Kalau tidak suka sama pekerjaan ini, ya saya tidak memaksa.” Aku berpikir sejenak. Pak kepala kampung yang baik itu membuka minuman kaleng miliknya, disodorkannya pada ku. Aku tersenyum menerima suguhan itu. Mungkin dia melihat gurat lelah di keningku sehingga memberiku minuman lagi. “Baiklah, Pak. Kalau memang tidak merepotkan, saya tidur di sini saja satu malam. Besok saya pulang.” *** Banyak pengalaman dan penjelasan yang ku terima dari kepala kampung itu. Nyaris semalaman kami berbincang perihal apa saja yang ingin kami obrolkan. Baru pukul dua dini hari aku berangkat tidur. Pukul sepuluh pagi hari minggu, aku sudah di dermaga penyebrangan pulau pengemis. Bersiap ke kota temanku di sebrang. Sebelum berangkat meninggalkan pulau pengemis, aku dan kepala Kampung Pengemis bersalaman. Dia mendoakanku semoga aku sukses dalam hidup, doa standar dari orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Selepas sekitar tiga puluh menit lepas landas dari dermaga pulau pengemis, kapal yang mengangkut aku dan orang-orang dari kampung pengemis sandar di dermaga penyebrangan kota temanku. Temanku yang ternyata telah berada di dermaga pun menghampiriku. Kami bersalaman. Dia mengajak aku makan di sebuah warung sederhana namun bersih di sekitar dermaga. Kami makan dengan lahap di sana. Sesudah makan, masih di warung itu, aku membuka ransel ku. Menarik sebuah map yang ada di dalamnya dan membuka map tersebut. Lalu berkata pada temanku. “Aku baru dapat pekerjaan dari kepala kampung sana. Menjadi sukarelawan pencari sumbangan. Di map ini ada surat tugas beserta amplop-amplop perlengkapannya. Lumayan. Menurut aturan, dari seratus persen sumbangan yang kita peroleh, kita sebagai sukarelawan pencari sumbangan dapat bagian tujuh puluh persen. Maklum lah, aku kan nantinya lelah, biaya transportasi dan lain sebagainya kan juga dari aku. Tiap bulan tiga puluh persen dari hasil sumbangan bisa ditransfer melalui bank, bisa pula di antar langsung ke pulau tadi langsung ke kepala kampung. Bagaimana menurutmu?” Aku bisa melihat jelas di raut wajah temanku. Keningnya berkerut. Matanya memincing lalu semakin melebar. Dia pun menggeleng-geleng seraya menarik dan membuang napas panjang. Raut orang heran melekat di wajahnya. Kemudian dia berucap mantap tapi tak begitu keras terdengar. “Gila!” ucapnya. Aku tak tahu apa yang membuatnya heran. Aku pun tak paham arti dari satu kata yang baru diucapkannya. (*) UNAIR Launching Unit Layanan Terpadu UNAIR NEWS – Sejak kemarin (6/3), Universitas Airlangga (UNAIR) membuka Unit Layanan Terpadu. Di sini terdapat tujuh unit kerja, yakni, Sistem Informasi, Kemahasiswaan, Akademik, Sumber Daya Manusia, Keuangan, Sarana Prasarana Lingkungan, dan Informasi & Pengaduan. Layanan terpadu ini buka pada Senin sampai Kamis pukul 08.00-16.00. Sedangkan pada Jum’at. di pukul 08.00 – 16.30. Lokasinya, di kantor manajemen kampus C Universitas Airlangga, telp: (031) 5914041-42, email: [email protected]. Unit Layanan Terpadu dibuka untuk memberi kemudahan dan kenyamanan bagi mereka yang ingin berurusan di UNAIR. Asyiknya Menikmati Suasana Danau Kampus C UNAIR UNAIR NEWS – Danau kampus C Universitas Airlangga (UNAIR) merupakan salah satu spot asyik untuk menikmati sore. Angsa-angsa yang berbaris rapi dan berenang, ikan-ikan yang selalu datang ke tepian bila ada pengunjung yang menebar makan, serta kerindangan pepohonan yang sejuk bila duduk di bawahnya. Tentu pula, tempat ini merupakan tempat yang pas buat foto-foto. Selfie, Wefie, maupun sekadar memfoto angsa. Sesekali, terlihat mahasiswa yang belajar ataupun orang-orang berolahraga. (*) Pakar Antropologi Belanda Menyarankan Agar Masyarakat Cintai Lingkungan UNAIR NEWS – Era globalisasi memberi kesempatan mobilitas yang tinggi bagi seluruh manusia tanpa batas. Namun, paradigma mobilitas memiliki dampak terhadap lingkungan. Berangkat dari hal tersebut, Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga mengadakan kuliah umum bertema “New Mobility Paradigm Applied to Surabaya Particular Kali Brantas, Jumat (3/3). Pakar antropologi Dr. Freek Colombijn, Associate Professor, Faculty of Social Cultural Anthrophology, Vrije Universieit Amsterdam, memberikan kuliah umum tentang globalisasi. Kuliah umum bertempat di Ruang Siti Parwati FIB ini mengulas makna globalisasi. “Globalisasi bukan hanya tentang McDonalds, KFC, CocaCola, atau kepadatan penduduk di wilayah urban (perkotaan). Tetapi, tentang bagaimana dampaknya terhadap masyarakat,” tutur Freek. Sedangkan aspek globalisasi meliputi berbagai lingkup, yaitu etnoscapes, landscapes, technoscapes, mediascapes, dan ideoscapes. Lingkup etnoscapes meliputi proses perpindahan manusia dari wilayah satu ke wilayah lainnya, misalnya perjalanan wisata yang saat ini didukung infrastuktur yang memadai. Di sisi lain, landscapes ialah apa yang terlihat bergantung pada posisi. Sebagaimana studi lingkungan erat kaitannya dengan gaya hidup atau perilaku seseorang dalam lingkungannya. Misalnya, seorang petani memiliki selera pakaian kaos oblong dan celana pendek. Berbeda dengan petani, artis lebih berselera mengenakan gaun dan baju-baju mahal. Technoscape dan mediascape mengarah pada perkembangan teknologi yang mutakhir dewasa ini. Kecanggihan teknologi mampu mempermudah komunikasi dan distribusi atar wilayah, bahkan antar negara sehingga mobilitas tidak terhambat akses biaya. Sedangkan, ideoscape merujuk pada ideologi dan paham-paham setiap bangsa yang mulai bergerak menyesuaikan tuntunan zaman. “Menurut Cresswell terdapat tiga pergerakan, yaitu mobilitas fisik, representasi mobilitas atau bagaimana kita memperlihatkan sebuah mobilitas kepada orang lain, dan praktik mobilitas atau ketika kita mengalami perpindahan itu sendiri.’ imbunya. Perpindahan atau mobilitas memiliki batasan dan hambatan. Contohnya, hambatan karena kebijakan pemerintah seperti kebijakan proteksionisme Donald Trump. Pelarangan imigran dan muslim dari Meksiko dan beberapa wilayah membatasi mobilitas ke Amerika Serikat. Konflik jalur Gaza pun menjadi salah satu fenomena hambatan mobilitas. Masyarakat terpaksa melewati lubang bawah tanah untuk mobilitas antar wilayah. Selain mobilitas, Freek juga membahas studi lingkungan. Cakupan penelitiannya adalah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Ia melakukan penelitian di Surabaya. Freek mencoba menelusuri aliran sampah dari rumah tangga hingga tempat pembuangan air. Ia menemukan pola menyerupai kaktus sebagai direction of waste (arah sampah). Arah tersebut berawal dari petugas pengambilan sampah di tiap rumah dan dipilah sesuai dengan jenisnya. Sampah dipilah antara bernilai jual dengan tidak. Sampah yang tak bernilai jual, akan dialirkan ke tempat pembuangan sementara (TPS). Beberapa sampah masih dipilah lagi kemudian dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA). “Awalnya saya menilai kota-kota di Indonesia termasuk dalam jenis kota kotor. Namun, setelah saya dalami situasinya ternyata hanya pada tempat-tempat tertentu saja yang kotor salah satunya, yaitu sungai. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengontrol jumlah sampah di rumah masing-masing sehingga tidak menyumbang sampah semakin banyak,” jelas Freek. Penulis: Siti Nur Umami Editor: Defrina Sukma S UNAIR Akselerasi Penelitian di bidang Ilmu Sosial UNAIR NEWS – Universitas Airlangga kedatangan dua tamu dari lembaga pemeringkatan perguruan tinggi dunia Quacquarelli Symonds (QS), Senin (6/3). Mereka adalah CEO QS Asia’s University Ranking (AUR) Mandy Mok, dan senior konsultan QS AUR Samuel Wong. Kedatangan mereka sejalan dengan target yang ditetapkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kepada UNAIR untuk menjadi 500 top perguruan tinggi dunia pada tahun 2020. Untuk menunjang sinergi, pertemuan ini juga mengundang pimpinan seluruh fakultas, unit, badan, dan lembaga di lingkungan UNAIR. Tahun 2016 lalu, ada indikator penilaian yang bertambah dari tahun-tahun sebelumnya, yakni persentase dosen bergelar doktor sebanyak lima persen. “Untuk itu, kita coba tingkatkan proporsi jumlah dosen yang S-3, termasuk sitasi,” ujar Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan (BPP) sekaligus koordinator program WCU UNAIR Badri Munir Sukoco, Ph.D. Dalam presentasinya, Samuel Wong mengatakan, UNAIR memiliki nilai plus di bidang ilmu kedokteran dan ilmu hayati. Wong berpendapat, UNAIR perlu mengakselerasi publikasi dan penelitian di bidang ilmu sosial. Melihat kondisi tersebut, Badri mengatakan bahwa BPP sudah menjalani kontrak
Description: