ebook img

the da vinci code PDF

739 Pages·2005·3.3 MB·English
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview the da vinci code

DAFTAR ISI NOVEL LENGKAP hal 1 MENGKAJI REPRESENTASI NILAI-NILAI RELIGIUS PENGARANG DALAM NOVL THE DAVINCI CODE hal 613 TANGGAPAN TERHADAP NOVEL DA VINCI CODE hal 728 FAKTA Biarawan Sion adalah organisasi nyata—sebuah masyarakat rahasia Eropa yang didirikan pada tahun 1099. Pada tahun 1975, Perpustakaan Nasional di Paris menemukan sebuah perkamen yang dikenal sebagai Les Dossiers Secrets, yang mengidentifikasi sejumlah anggota Biarawan Sion, yang mencakup nama-nama seperti Sir Isaac Newton, Botdcelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci. Prelatur Vatikan yang dikenal sebagai Opus Dei adalah sebuah sekte Katolik yang amat taat, yang telah menjadi bahan kontroversi baru-baru ini berkenaan dengan adanya berbagai laporan mengenai kegiatan cuci otak, pemaksaan, dan sebuah praktik berbahaya yang dikenal sebagai corporal mortification, “penistaan jasmaniah”. Opus Dei baru saja menyelesaikan pembangunan Markas Besar Nasional seharga $ 47 juta di 243 Lexington Avenue, New York. Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel ini adalah akurat. PROLOG Museum Louvre, Paris 10:46 Malam KURATOR TERKENAL Jacques Saunière menatap jauh melintasi selasar berongga Galeri Agung Museum Louvre. Ia menerjang lukisan terdekat yang dapat ia lihat, lukisan Caravaggio. Dengan mencengkeram bingkai bersepuh emas itu, lelaki berusia 76 itu merenggutkan mahakarya itu ke arah dirinya. Lukisan itu terlepas dari dinding, dan Saunière terjengkang di bawah kanvas. Seperti yang telah ia perkirakan, gerbang besi jatuh bergemuruh di dekatnya, menghalangi pintu masuk ke ruangan suite itu. Lantai parket bergetar. Di kejauhan, sebuah alarm mulai berdering. Sang kurator terbaring sebentar, tersengal-sengal, mengumpulkan tenaga. Aku masih hidup. Ia merangkak keluar dari bawah kanvas, dan memindai ruangan seperti gua itu, mencari-cari tempat untuk sembunyi. Seseorang bicara, dekat dan mengerikan. “Jangan bergerak!” Dengan bersitumpu pada tumit dan tangannya, sang kurator membeku, perlahan memalingkan kepalanya ke arah suara itu. Hanya lima belas kaki jauhnya, di luar gerbang yang tertutup, sebuah siluet raksasa dari penyerangnya menatap menembus jeruji besi. Lelaki itu sangat lebar dan tinggi, dengan kulit sepucat hantu, dan uban tipis di rambutnya. Bola matanya tampak merah. muda, dengan pupil berwarna merah gelap. Si albino mencabut pistol dan jasnya, dan membidikkan moncongnya melewati jeruji, langsung kepada sang kurator. “Kau mestinya tau Ian.” Aksennya sukar ditentukan dari mana asalnya. “Sekarang, katakan di mana.” “Sudah kukatakan,” sang kurator tergagap, berlutut tak berdaya di lantai galeri. “Aku sama sekali tak mengerti apa yang kaubicarakan!” “Kau bohong.” Lelaki albino itu menatapnya, benar-benar tak bergerak, kecuali gerakan matanya yang seperti hantu. “Kau dan kelompok persaudaraanmu memiliki sesuatu yang bukan hak kalian.” Sang kurator merasakan desiran adrenalin. Bagaimana mungkin ia tahu hal ini? “Malam ini, para pengawal yang benar-benar berhak akan dipulihkan hak- haknya. Katakan di mana benda itu tersembunyi, dan kau akan hidup.” Lelaki itu memakukan pistolnya ke arah kepala sang kurator. “Apakah itu sebuah rahasia yang mesti kau jaga sampai mati?” Saunière tak dapat bernapas. Lelaki itu memiringkan kepalanya, mengintip lewat barel pistolnya. Saunière menyilangkan tangannya, mencoba melindungi diri. “Tunggu,” katanya perlahan. “Akan kuberi tahu apa yang ingin kautahu.” Sang kurator lalu mengucapkan kata-kata berikumya dengan hati-hati. Kebohongan yang Ia ucapkan itu telah dilatihnya berulang-ulang ... setiap kali melatihnya, ia berdoa agar tak akan pernah menggunakannya. Ketika sang kurator usai bicara, penyerangnya tersenyum dengan angkuh. “Ya. ini persis seperti kata yang lain padaku.” Saunière menggigil. Yang lain? “Aku menemukan yang lain juga,” lelaki besar itu menggoda. “Ketiga- tiganya. Mereka membenarkan apa yang baru saja kaukatakan.” Tak mungkin! Identitas sejati sang kurator, bersama dengan identitas ketiga sénéchaux-nya, nyaris sama sucinya dengan rahasia kuno yang mereka jaga. Saunière kini menyadari bahwa para sénechaux-nya, dengan menaati sebuah prosedur yang ketat, telah memberikan dusta yang sama sebelum mati. Ini adalah bagian dari protokol. Si penyerang itu mengarahkan pistolnya lagi. “Ketika kau mati, aku akan menjadi satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran tersebut.” Kebenaran. Dalam sekejap, sang kurator menyadari kengerian sesungguhnya dari situasi ini. Jika aku mati, kebenaran akan lenyap selama- nya. Secara instingtif, ia mencoba untuk merangkak dan, mencari perlindungan. Pistol menyalak, dan sang kurator merasakan panas yang menyengat ketika peluru itu membenam ke dalam perutnya. Ia tersungkur ... berjuang melawan rasa sakit. Perlahan, Saunière berguling dan menatap balik pada penyerangnya melalui jeruji besi. Si penyerang kini berancang-ancang rneletupkan tembakan mematikan ke kepala Saunière. Saunière menutup matanya. Pikirannya adalah pusaran beliung rasa takut dan sesal. Suara klik dari magasin yang kosong bergema melintasi koridor. Mata sang kurator membuka cepat. Si lelaki besar melirik senjatanya, memandangnya dengan hampir-hampir terhibur. Ia menjangkau Hip kedua, tapi kemudian tampak menimbang ulang, menyeringai dengan tenang pada isi perut Saunière. “Aku sudah selesai.” Sang kurator memandang ke bawah, dan melihat lubang peluru pada kemeja linen putihnya. Lubang itu dikitani oleh sebuah lingkaran darah yang kecil, beberapa inci di bawah tulang dadanya. Perutku. Peluru itu meleset dari jantungnya. Sebagai seorang veteran dari la Guerre d’algérie, sang kurator telah menyaksikan kematian yang mengerikan seperti ini. Ia akan bertahan selama lima belas menit, ketika asam-asam lambungnya merembes ke dalam rongga dadanya, meracuninya dari dalam perlahan-lahan. “Rasa sakit itu baik, Monsieur,” ujar si lelaki besar. Kemudian dia pergi. Kini sendirian, Jacques Saunière memalingkan lagi tatapannya ke gerbang besi. Dia terperangkap, dan pintu-pintu tak akan dapat dibuka kembali paling tidak untuk dua puluh menit lagi. Saat siapa pun mencapai tubuhnya, ia sudah mati. Namun demikian, rasa takut yang sekarang mencengkeram dirinya jauh lebih besar daripada rasa takut akan kematiannya sendiri. Aku harus mewariskan rahasia ini. Sambil menatap kakinya, dia membayangkan ketiga saudara seperkumpulannya yang telah mati. Dia berpikir tentang generasi demi generasi yang telah hidup sebelum mereka ... tentang misi yang telah dipercayakan kepada dirinya dan para saudaranya itu. Sebuah rantai pengetahuan yang tak pernah putus. Kini, lepas dari segala tindakan berjaga-jaga ... lepas dari segala pengamanan data... Jacques Saunière tiba-tiba telah menjadi satu-satunya mata rantai yang tersisa, satu-satunya penjaga dari sebuah rahasia paling kuat yang pernah ada. Gemetar, dia merengkuh kakinya. Aku harus menemukan sebuah cara. Ia terperangkap di dalam Galeri Agung, dan hanya ada satu orang di muka bumi yang dapat ia wariskan obor rahasia ini. Saunière menatap ke atas, ke dinding-dinding dan penjaranya yang luar biasa ini. Sebuah koleksi dari lukisan-lukisan paling terkenal di dunia tampak seakan tersenyum menatap ke bawah, kepada dirinya, bagai sahabat-sahabat lama. Dengan mengatupkan geraham menahan sakit, ia menghimpun segala daya dan kekuatan yang masih dia miliki. Dia tahu, tugas yang mendesak di hadapannya membutuhkan setiap detik dari sisa hidupnya. I ROBERT LANGDON berangsur-angsur terjaga. Sebuah telepon berdering dalam kegelapan—deringnya lirih, tak biasa. Dia meraba-raba lampu di samping tempat tidur dan menyalakannya. Dengan mata menyipit, dia mengamati sekitarnya, dan melihat ruang tidur mewah bergaya Renaissance dengan perabotan dari zaman Raja Louis XVI, dinding yang dicat dengan tarigan, dan ranjang sangat besar juga luas yang terbuat dari kayu mahogani. Di mana gerangan aku? Mantel mandi dari bahan tenunan bergantung di ujung tempat tidurnya dari her-monogram HOTEL RITZ PARIS. Perlahan, kabut mulai terkuak. Langdon mengangkat gagang telepon itu. “Halo?” “Monsieur Langdon?” kata suara seorang lelaki. “Semoga saya tidak membangunkan Anda.” Dengan linglung Langdon menatap jam di sisi tempat tidur. Pukul 12:32 dini hari. Berarti baru satu jam dia tidur, namun seperti mati saja rasanya. “Saya petugas penerima tamu, Monsieur. Maaf telah mengganggu, tetapi ada tamu untuk Anda. Dia memaksa, dan katanya ini sangat mendesak” Langdon masih merasa bingung. Seorang tamu? Matanya Sekarang menatap kertas selebaran yang kusut di atas meja sisi tempat tidur. THE AMERICAN UNIVERSITY OF PARIS Dengan bangga mempersembahkan Semalam bersama ROBERT LANGDON Profesor Simbologi Agama, Universitas Harvard. Langdon menggeram. Ceramahnya malam tadi—sebuah pertunjukan slide tentang simbolisme penyembah berhala yang tersembunyi dalam dinding batu Katedral Chartres—mungkin telah menggelitik beberapa penonton konservatif yang perasa. Sangat mungkin, beberapa sarjana religius telah mengikutinya pulang untuk menantangnya berkelahi. “Maaf” ujar Langdon, “tetapi saya sangat letih dan—” “Mais monsieur,” penerima tamu itu memaksa, seraya merendahkan suaranya menjadi bisikan yang mendesak. “Tetapi tamu Anda orang penting.” Langdon agak ragu. Buku-bukunya tentang lukisan-lukisan bernapaskan agama dan simbologi cara pemujaan telah menjadikannya, mau tidak mau, seorang pesohor dalam dunia kesenian. Ketenarannya dalam melihat kasus telah berlipat ratusan kali setelah ia terlibat dalam insiden di Vatikan tahun lalu yang tersiar luas itu. Sejak itu, seolah tak pernah berhenti, para ahli sejarah yang punya kepentingan pribadi, dan para pencinta seni, berduyun-duyun mendatangi rumahnya. “Tolonglah, Tuan yang baik,” kata Langdon, sesopan mungkin, “tanyakan nama orang tersebut dan nomor teleponnya, dan katakan juga bahwa saya akan menghubunginya sebelum saya meninggalkan Paris hari Selasa. Terima kasih.” Dia meletakkan teleponnya sebelum penerima tamu itu memprotesnya. Duduk tegak di tepi ranjangnya, dahi Langdon berkerut membaca Guest Relations Handbook, yang sampulnya berbual : TIDUR NYENYAK BAGAI BAYI DI KOTA PENUH CAHAYA. TIDURLAH DI RITZ, PARIS. Dia memutar tubuhnya dan menatap dengan letih pada cermin setinggi tubuh di kamar itu. Lelaki dalam cermin yang balas menatapnya itu adalah seorang asing— berantakan dan loyo. Kau butuh liburan, Robert. Tahun lalu memang telah membuatnya sangat letih, tetapi dia tak mau mengakui dirinya tampak seperti lelaki dalam cermin itu. Matanya yang biasanya tampak biru dan tajam tampak kabur dan lesu malam ini. Berewok yang mulai tumbuh menghitami rahang kuat dan dagu belahnya. Di sekitar pelipisnya, tampak kilatan rambut-rambut putih muncul menjorok semakin jauh ke bagian yang masih berambut hitam kasar. Walau teman-teman perempuannya meyakinkannya bahwa ubannya itu semakin mempertegas daya tariknya sebagai pencinta buku, Langdon tahu yang sebenarnya. Kalau saja Boston Magazine dapat melihatku saat ini. Bulan lalu, Boston Magazine membuatnya sangat malu, karena memasukkannya ke dalam daftar sepuluh orang tokoh paling menggoda— sebuah penghormatan meragukan yang membuatnya diolok habis-habisan oleh teman-teman Harvard-nya. Malam tadi, tiga ribu mil dari rumah, penghargaan itu muncul kembali, menghantuinya pada saat dia menyampaikan ceramah. “Ibu-ibu dan Bapak-bapak ...“ pembawa acara mengumumkan kepada para hadirin yang memenuhi ruangan Pavillon Dauphine di Universitas Amerika Paris tadi. “Tamu kita malam ini tak perlu diperkenalkan lagi. Beliau adalah penulis dari sejumlah buku: The Symbology of Secret Sects, The Art of Illuminati---The Lost Language of Ideograms, dan beliau juga menulis buku Religious Iconology. Banyak dari Anda yang menggunakan buku-bukunya di kelas.” Para mahasiswa yang hadir mengangguk, antusias. “Saya ingin memperkenalkan beliau lebih jauh lagi dengan menceritakan riwayat hidupnya yang sangat mengesankan. Namun demikian ...“ perempuan pembawa acara itu mengerling penuh canda pada Langdon, yang duduk di atas pentas, “seorang hadirin baru saja memberikan cara perkenalan yang, katakanlah ... jauh lebih menggoda.”

See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.