TEORI HUKUM EKONOMI SYARIAH M. CHOLIL NAFIS Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2011 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Cholil Nafis, H.M. Teori hukum ekonomi Islam / H.M. Cholil Nafis. –– Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2011. xvi, 283 hlm.; 15,5 × 23 cm. Bibliografi : hlm.264 ISBN 978-979-456-456-1 1. Islam dan ekonomi. I. Judul. 297.63 © Hak pengarang dan penerbit dilindungi Undang-Undang Cetakan Pertama, 2010 Ditulis ulang dari disertasi berjudul: Pengarang: Cholil Nafis, H.M. Penerjemah: Ahmad Haris, Lc. Editor: Asrori S. Karni Design Grafis: Zuabidi Al-Ahmad Dicetak oleh: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Penerbit: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Jalan Salemba 4, Jakarta 10430, Telp. 31935373, Fax. 31930172, e-mail: [email protected] PRAKATA H anya di Indonesia yang menggunakan istilah “Ekonomi Syariah”, “Bank Syariah”, “Asuransi Syariah,” “Pasar Modal Syariah,” dan se- terusnya. Di negara lain disebut dengan istilah “Ekonomi Islam”, “Islamic Economic”, atau “Islamic Banking”. Hal ini dikarenakan pada tahun 90-an, pada masa berkuasanya Orde Baru pemerintah terjangkit “Islam Phobia” terhadap gerakan Islam politik. Maka setiap isu atau gerakan yang menyebut nama Islam dikhawatirkan akan mengancam stabilitas nasional dan mengganggu kewibawa- an pemerintah. Oleh sebab itu, gerakan ekonomi yang berbasis ajar- an Islam harus menghindari kata “Islam” dalam penyebutannya demi keberlangsungannya. Maka dipilihlah istilah “syariah” untuk menyebut perilaku ekonomi dan keuangan yang berbasis ajaran Islam. Ekonomi Syariah sekarang telah memasyarakat dan khas menjadi istilah di Indonesia untuk menggantikan sebutan “Ekonomi Islam”. Kini telah muncul istilah Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syariah, dan bahkan muncul juga istilah Hotel Syariah dan Travel Syariah. Dalam praktiknya, di Indonesia Lembaga Keuangan Syariah harus mematuhi ketentuan hukum Islam. Hukum Islam ini di- tentukan dengan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN). Jika DSN belum mengeluarkan fatwanya tentang suatu masalah maka Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai kepanjangan DSN dapat mengeluarkan opini sementara sampai keluarnya fatwa. Karakteristik fatwa yang sifatnya tidak mengikat kepada siapapun, kemudian menjadi mengikat kepada praktisi ekonomi syariah karena fatwa dikuatkan dan ditetapkan menjadi standar kepatuhan syariah (Syariah compliance) oleh peraturan perundang-undangan. Buku ini adalah Disertasi Program Doctor of Philosophy (Ph.D.) di Universitas Malaya, Malaysia yang mencoba menggali metode penetapan hukum (thuruq istinbath al-ahkam) ekonomi iii iv Teori Hukum Ekonomi Syariah syariah yang digunakan oleh Majelis Ulama Indonesia. Sebab se- mua produk fatwa yang dikeluarkan oleh MUI secara otomatis menjadi sumber hukum nasional tentang ekonomi syariah. MUI merupakan lembaga yang merepresentasikan berbagai corak pe- mikiran keislaman di Indonesia karena kepengurusannya berasal dari berbagai organisasi keislaman. Maka corak pemikiran hukum dalam fatwa MUI mencerminkan kebhinekaan masyarakat Islam di Indonesia. Kemudian, isi kajian buku ini mengulas tentang penyerapan fatwa DSN-MUI ke dalam hukum nasional. Akhirnya, saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi ma’unah sehingga saya dapat menyelesaikan program Doktor saya di Universitas Malaya, Malaysia. Penghargaan tidak terhingga kepada keluarga, khususnya Abah alm. H. Hasanuddin, Bunda Hj. Nafisah, isteri tercinta Fairuz, S.Ag., anak-anakku tersayang Najma, Najwa, Hasby Cholili dan ’Aisyah Farhana serta saudara-saudara tercinta yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan yang tinggi untuk menyelesaikan disertasi yang kemudian menjadi buku ini, yaitu KH. Abdurrahman Navis, Lc., M.HI, Abdul Wadud Nafis, Lc., M.EI, Hj. Siti Rahmah, H. Hasyim Toraji, Sholihah, dan Khodijah Nafis, S.HI. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada pembimbing Prof. Dr. Ahmad Hidayat bin Buang, yang telah memberikan bimbingan dan ajaran dalam penulisan disertasi ini. Terima kasih pula kepada KH. Ma’ruf Amin dan Dr. Maulana Hasanuddin. Teman-teman yang telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta motivasi dalam menyelesaikan buku ini, terutama Saudara Asrori S. Karni, Ahmad Haris, Mohd. Arif Abdurrazaq, Nadisya, dan Murtadho Ridwan sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan disertasi ini dan kemudian diterbitkan menjadi buku. Jakarta, 29 Maret 2011 H.M. Cholil Nafis PENGANTAR KH. MA’RUF AMIN P ertumbuhan dan perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia, khususnya bank syariah, sampai dengan akhir tahun 2010 semakin menunjukkan grafik kenaikan, khususnya setelah disahkannya UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Undang-undang tersebut sedikit-banyak mempunyai efek berantai (multiplier effect) kepada sektor lainnya, misalnya asuransi, finance, dan pasar modal syariah. Semakin banyaknya lembaga keuangan yang beroperasi dengan sistem syariah memunculkan permasalahan-permasalahan baru, terutama yang terkait dengan aspek kesyariahan. Selama ini aspek kesyariahan yang terkodifikasi di berbagai kitab fiqih pada umumnya merujuk pada opini syariah terhadap kejadian/kasus (qadhaya/hawadits) yang terjadi di masa buku fiqih tersebut ditulis, yakni di abad pertengahan. Sedangkan permasalahan ekonomi, khususnya lembaga keuangan terus muncul dan berkembang yang belum direspons dalam kitab-kitab fiqih. Ketika ingin mengaplikasi- kan kaidah-kaidah fiqih ke dalam permasalahan ekonomi kon- temporer boleh jadi tidak pas. Oleh karenanya diperlukan ijtihad dalam masalah ini. Sebagaimana disampaikan oleh Qharadawi (1995), bahwa bidang ekonomi dan keuangan merupakan salah satu la- pangan ijtihad yang relatif baru pada masa kini. Kehadiran ijtihad di bidang ini memiliki makna signifikan tersendiri karena di bidang inilah telah terjadi perubahan yang cukup intens dan berskala besar. Semakin modernnya dunia bisnis, munculnya berbagai lembaga keuangan dengan beragam jasa yang ditawarkan memunculkan pertanyaan seputar keabsahan berbagai transaksi yang terjadi antara nasabah dengan pihak pengelolanya. Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan ataupun nonbank, dalam menjalankan operasionalnya harus sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, terutama pada produk- v vi Teori Hukum Ekonomi Syariah produk yang dikeluarkannya. Dengan kata lain produk-produk LKS tersebut harus dilandasi oleh akad-akad yang sesuai dengan tuntunan syariat. Semakin berkembangnya model-model akad yang dipergunakan oleh LKS dan belum tercovernya model-model akad tersebut ke dalam pendapat para fuqoha terdahulu menjadi per- soalan tersendiri. Menyerahkan hal ini sepenuhnya kepada masing- masing LKS untuk merumuskan hukumnya, tentu membawa konsekuensi tersendiri, yakni potensi terjadinya perbedaan hukum dalam kasus yang sama, disebabkan oleh karakteristik fiqih itu sendiri yang demikian lentur. Kesimpulan hukum dalam fiqih di- pengaruhi oleh berbagai hal, di antaranya dipengaruhi oleh kon- teks yang melingkupi dirumuskannya hukum tersebut (‘illat). Perbedaan konteks (‘illat) dalam satu kasus dapat menimbulkan perumusan hukum yang berbeda. Sehingga hukum suatu masalah bisa menjadi relatif sepanjang konteksnya (‘illat) berbeda. Kondisi ini tentu saja menjadi tidak kondusif bagi dunia ekonomi dan keuangan disebabkan oleh tidak adanya kepastian hukum dalam satu kasus yang sama. Oleh karenanya dibutuhkan adanya sebuah lembaga yang mempunyai otoritas merumuskan hukum, misal- nya dalam bentuk fatwa, yang dapat dijadikan pegangan bagi LKS dalam menjalankan transaksi akadnya. Problemnya, lembaga yang mempunyai otoritas mengatur lembaga keuangan, baik bank ataupun nonbank tidak dilengkapi dengan otoritas dalam bidang kesyariahan, karena Negara Indonesia bukanlah negara agama tapi juga bukan negara sekuler. Sebagai contoh, Bank Indonesia yang selama ini oleh undang-undang di- berikan mandat sebagai otoritas mengatur perbankan, tidak mem- punyai kompetensi untuk menentukan apakah operasional atau- pun produk yang dikeluarkan oleh LKS belum atau telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga lembaga pemerintahan lainnya, yaitu Kementerian Keuangan sebagai regulator bidang asuransi, dan Bapepam LK sebagai regulator bidang pasar modal. Karena memang lembaga pemerintah tersebut tidak didesain untuk mengurusi aspek kesyariahan. Penentuan kesesuaian produk dan atau operasional LKS terhadap nilai syariah harus ditetapkan Pengantar vii oleh sebuah lembaga yang mempunyai otoritas di bidang keaga- maan. Peraturan perundangan menyebutkan bahwa lembaga yang mempunyai otoritas menentukan aspek kesyariahan dalam bidang ekonomi, baik perbankan ataupun lainnya, adalah Majelis Ulama Indonesia. Rupanya Majelis Ulama Indonesia telah mengantisipasi tugas konstitusional tersebut. Jauh sebelum adanya peraturan perundangan yang secara resmi menunjuk MUI sebagai lembaga yang berwenang memutus aspek kesyariahan di bidang keuangan syariah, MUI telah membentuk lembaga khusus bernama Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada tahun 1999 M. Tugas dari DSN-MUI adalah menjalankan tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi syariah, baik yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah ataupun yang lainnya. Pada prinsipnya pem- bentukan Dewan Syariah Nasional dimaksudkan oleh MUI sebagai upaya efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu- isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Salah satu tugas pokok DSN-MUI adalah mengkaji, menggali dan me- rumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syariah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syariah. Sebagaimana amanat peraturan perundangan yang ada, DSN-MUI merupakan mitra lembaga pemerintah yang menjadi regulator dalam mengatur lembaga keuangan syariah. Pemerintah menyerahkan sepenuhnya domain kesyariahan yang terkait dengan lembaga keuangan syariah kepada DSN-MUI. Misalnya dalam hal memverifikasi salah satu izin prinsip pendirian lembaga keuangan syariah di Indonesia yang disyaratkan harus telah memenuhi aspek kesyariahan, maka dalam hal penentuan apakah lembaga tersebut betul telah memenuhi aspek kesyariahan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada DSN-MUI. Selain itu, dalam hal produk dan akad-akad yang dipergunakan lembaga keuangan syariah untuk menjalankan operasionalnya juga harus didasarkan atas ketetapan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Dengan begitu tidak viii Teori Hukum Ekonomi Syariah dibenarkan bagi lembaga keuangan syariah untuk mendasarkan prinsip kesyariahan operasionalnya dari pendapat ulama yang tidak tercover dalam fatwa DSN-MUI, selagi sudah ada fatwa dari DSN- MUI tentang hal tersebut. Wewenang DSN-MUI tidak sampai di situ saja, lembaga ini juga diberikan kewenangan untuk memastikan diterapkannya fatwa yang telah ditetapkannya dalam setiap operasional lembaga keuangan syariah. Dalam melakukan fungsi pengawasan ini DSN-MUI memberikan kepercayaan pada Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan kepanjangan tangan dari DSN-MUI di lembaga keuangan syariah. Selain bertugas mengawasi terlaksananya fatwa DSN di lembaga keuangan syariah, DPS juga bertugas memberi- kan opini syariah atas permasalahan kesyariahan yang timbul di lembaga keuangan syariah yang belum tercover oleh fatwa DSN. Selama belum ada fatwanya dari DSN, dibenarkan bagi lembaga keuangan syariah untuk mendasarkan operasionalnya di atas opini syariah dari DPS, dengan catatan permasalahan tersebut harus segera dikomunikasikan kepada DSN-MUI untuk ditetapkan fat- wanya. Dengan begitu, keberadaan DSN-MUI bukan hanya sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang ekonomi syariah, tapi juga sebagai lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan fatwa tersebut di setiap operasional lem- baga keuangan syariah. Fatwa DSN-MUI Tidak bisa dipungkiri bahwa domain utama Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia adalah pada fatwanya terkait dengan ekonomi syariah. Apabila ditelaah lebih dalam, fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI pada umumnya merupakan tindak lanjut dari kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Merespons ide regulator (misalnya Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Bapepam-LK). Fatwa biasanya dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan atau kehati-hatian bisnis pelaku usaha. 2. Merespons ide pelaku usaha (lembaga keuangan atau lembaga Pengantar ix bisnis syariah). Biasanya untuk memenuhi permintaan pasar, proses mirroring (proses cermin/memodifikasi produk konven- sional) yang biasanya banyak terjadi di Indonesia. 3. Merespons ide Dewan Pengawas Syariah (DPS). Biasanya untuk merinci implementasi fatwa DSN-MUI yang telah ada. 4. Ide dari DSN-MUI sendiri. Biasanya merujuk pada pendapat ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fikih yang mu’tabarah, lalu ditawarkan kepada pelaku. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut DSN-MUI melanjut- kannya dengan menetapkan alur penetapan fatwa, yang pada umumnya melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: • BPH DSN-MUI menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk atau permasalahan yang muncul di lembaga keuangan syariah. • BPH DSN-MUI membuat memorandum khusus yang berisi hasil telaahan dan pembahasan terhadap pertanyaan atau usul- an hukum yang ada. • BPH DSN-MUI selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama In- donesia untuk mendapat pengesahan. • Memorandum yang sudah mendapat pengesahan dari rapat pleno DSN-MUI ditetapkan menjadi fatwa DSN-MUI. Fatwa tersebut ditandatangani oleh ketua DSN-MUI (ex officio Ketua Umum MUI) dan Sekretaris DSN-MUI (ex officio Sekretaris Umum MUI). Sebagai sebuah lembaga yang secara resmi mempunyai oto- ritas di bidang penetapan fatwa ekonomi syariah, DSN-MUI mem- punyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang baku. Sehingga dengan begitu, siapapun yang menjadi pengurus DSN-MUI harus mengindahkan sistem dan prosedur tersebut sebelum menetapkan suatu fatwa. Secara ringkas sistem dan prosedur penetapan fatwa di lingkungan DSN-MUI adalah sebagai berikut: • Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan peninjauan terlebih dahulu pendapat para imam mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara saksama berikut dalil-dalilnya.