TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIK Dania Meirianitha, GAP Nilawati, Kt Ariawati, Ketut Suarta Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar 1. Pendahuluan Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, insiden dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika Serikat, dari 340.000 orang pada tahun 1999 menjadi 651.000 orang pada tahun 2010.1 Pada penelitannya, Bliwise dkk1 menyatakan bahwa di Amerika Serikat tiap tahunnya lebih dari 300.000 pasien menerima terapi hemodialisis dengan tingkat kematian tiap tahunnya sekitar 20%. Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya dan pada hampir semua pasien PGK.2 Prevalensi kejadian anemia pada pasien PGK adalah sebesar 36,6%.2 Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas serta angka perawatan di rumah sakit secara bermakna dari PGK.3-5 Anemia juga menurunkan kualitas hidup, menurunkan kapasitas hemodinamik sistem dan fungsi jantung, meningkatkan kejadian pembesaran ventrikel kiri jantung serta menurunkan kemampuan kognitif. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa angka prevalensi anemia berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dimana dikatakan anemia akan mulai terjadi pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/min per 1,73 m2.4 Prevalensi anemia pada pasien PGK stadium I adalah sebesar 31% dan meningkat menjadi 93,3% pada pasien PGK stadium 4 dan 5.2 Chavers dkk5 melaporkan bahwa kadar hemoglobin (Hb) <11 g/dL dialami oleh 69,5% pasien anak dan 55,1% pasien dewasa yang menjalani peritoneal dialisis, sedangkan pada pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 54,1% pasien anak dan 39,8% pasien dewasa. Terdapat empat mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada penyakit ginjal kronik, yaitu: hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, defisiensi besi dan penyebab lain.4 Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif melalui terapi zat besi, pemberian eritropoietin maupun transfusi darah.5 Tujuan penatalaksanaan anemia yang efektif adalah untuk mengurangi kebutuhan tranfusi darah, menghilangkan gejala yang ditimbulkan anemia, 1 mencegah komplikasi kardiovaskular, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat anemia dan meningkatkan kualitas hidup.6 Hingga saat ini pembahasan mengenai anemia pada anak dengan PGK khususnya tatalaksana anemia masih sedikit. Oleh karena itu, penulis berusaha membahas lebih jauh mengenai tatalaksana anemia pada anak dengan PGK. 2. Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal termasuk kelainan dalam darah, urin atau studi pencitraan.3,6 Jika tidak ditemukan tanda kerusakan ginjal, maka diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².3 The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (NKF- KDOQI) membagi PGK dalam lima stadium yaitu,6 - Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG (≥90 mL/menit/1,73 m²) - Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89 mL/menit/1,73 m²) - Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/menit/1,73 m²) - Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/menit/1,73 m²) - Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis) 3. Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik 3.1. Definisi Menurut definisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas Hb, dan volume packed red cells (PRC) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.4,6 The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (NK/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik anak usia 0,5 2 sampai 5 tahun jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl, untuk anak usia 5 sampai 12 tahun jika kadar Hb < 11,5 gr/dl dan <12,0 gr/dl untuk anak usia 12-15 tahun.6,7 3.2. Etiologi Terdapat empat mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada PGK, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, defisiensi besi dan penyebab lainnya4,5 3.2.1. Hemolisis Pada pasien hemodialisis kronik, pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui masa hidup eritrosit menggunakan 51Cr, menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, namun ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat maka sel darah merah tersebut memiliki waktu hidup yang normal.4 Efek faktor yang terkandung pada uremik plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi hemoglobin dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat- obatan.4 Peningkatan kadar hormon Paratiroid (PTH) pada darah akibat hiperparatioidisme sekunder juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada keadaan uremia, PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari sel darah merah manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hiperparatiroidisme dapat menekan produksi sel darah merah melalui dua mekanisme. Pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH dan mekanisme kedua yaitu, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada PGK adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat 3 fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG).4 Hemolisis dapat timbul akibat komplikasi dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide.4 Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang, yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi, seng (Zn), dan formaldehid dalam darah, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada PGK juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, Sistemic Lupus Eritematous (SLE), dan hipertensi maligna.4,6 3.2.2. Defisiensi Eritropoetin Eritropoietin adalah senyawa glikoprotein 30.4-kDa yang mengandung 40% karbohidrat. Pada saat fetus, hati merupakan penghasil utama eritropoietin, namun setelah lahir, fungsi ini diambil alih oleh sel peritubular interstitial didalam ginjal. Apabila terjadi penurunan suplai oksigen, maka akan terjadi peningkatan produksi eritropoietin yang dikontrol oleh hypoxia- inducible factor. Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan menurunnya reabsorbsi natrium di tubulus ginjal dan karena reabsorbsi natrium di tubulus merupakan determinan utama konsumsi energi di nefron, menyebabkan sedikitnya kebutuhan oksigen sehingga memberi sinyal untuk menurunkan produksi eritropoietin. Peran penting defisiensi eritropoetin terhadap patogenesis anemia pada PGK dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.4,5 4 3.2.3. Defisiensi Besi Penyebab lain terjadinya anemia pada pasien PGK adalah terjadinya defisiensi besi dimana terjadi defisiensi besi absolut dan defisiensi besi fungsional yang dapat dikoreksi dengan pemberian terapi pengganti besi yang lebih agresif.6,7 Defisiensi besi absolut terjadi jika simpanan besi mengalami deplesi disebabkan karena kehilangan darah atau menurunnya intake besi. Gambaran pemeriksaan darah menunjukkan saturasi transferin (TSAT) <20% dan feritin serum <100 ng/ml (PGK non dialisis) dan <200 ng/ml (PGK dengan hemodialisis). Sedangkan defisiensi besi fungsional terjadi jika didapatkan peningkatan kebutuhan besi untuk memenuhi sintesis hemoglobin. Gambaran pemeriksaan darah menunjukkan saturasi transferin (TSAT) <20% dan feritin serum > 100 ng/ml (PGK non dialisis) dan > 200 ng/ml (PGK dengan hemodialisis).6,7 Defisiensi besi sering terjadi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis disebabkan terjadinya kehilangan darah yang kronis disebabkan pengambilan sampel darah yang berulang-ulang, intervensi tindakan bedah, kehilangan darah selama hemodialisis serta memendeknya waktu hidup eritrosit. Kehilangan darah pada pasien predialisis adalah sekitar 6 mL/m2. Pasien hemodialisis rata-rata mengalami perdarahan gastrointestinal sekitar 11 mL/m2/hari dan kehilangan darah sekitar 8 mL/m2 per satu kali hemodialisis. Terapi dengan menggunakan eritropoietin juga membutuhkan besi sebagai bahan baku sintesis Hb.8 3.2.4. Faktor Lain Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan PGK stadium lima dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi 5 besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang. Penyebab lain seperti terjadinya inflamasi, hiperparatiroid sekunder, defisiensi vitamin B12 dan asam folat serta penggunaan obat-obatan sitotoksik, imunosupresan dan obat ACE inhibitor.9 3.3. Pemeriksaan Penunjang Anemia Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan anemia, pemeriksaan penunjang yang harus dikerjakan untuk mengevaluasi kondisi anemia pada pasien adalah pemeriksaan darah lengkap, hitung retikulosit, kadar serum feritin, kadar saturasi transferin serum, kadar vitamin B12 dan kadar asam folat.6,7,9 3.3.1. Pemeriksaan Darah Lengkap Relatif sedikit yang diketahui tentang progresivitas kejadian anemia pada pasien dengan PGK. Akibatnya klinisi tidak dapat menentukan secara tepat frekuensi optimal pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui kadar hemoglobin yang diharapkan. Pasien dengan PGK secara berkala harus dievaluasi kadar hemoglobinnya yang berhubungan dengan kejadian anemia terutama pada pasien-pasien PGK yang tidak menggunakan erythropoiesis-stimulating agents (ESA).6,7 Seringkali terjadi penurunan bertahap dari Hb dari waktu ke waktu seiring dengan penurunan tingkat laju filtrasi glomerulus (LFG). Hal tersebut menunjukkan adanya kebutuhan untuk selalu mempertahankan konsentrasi Hb. Frekuensi pemantauan kadar Hb, terlepas dari stadium PGK, sangat dipengaruhi oleh kadar Hb dan laju penurunan kadar Hb. Peningkatan angka prevalensi kejadian anemia sesuai dengan penurunan fungsi ginjal dan peningkatan stadium PGK.8,9 Untuk pasien-pasien PGK tanpa anemia, pengukuran kadar Hb dilakukan sesuai klinis dari pasien, selain itu juga pemeriksaan kadar Hb berkala sangat dianjurkan untuk pasien- pasien PGK. Pada pasien PGK stadium tiga, pemeriksaan dilakukan minimal sekali setahun, untuk pasien PGK stadium empat dan lima pemeriksaan dilakukan setidaknya dua kali pertahun dan untuk pasien PGK stadium lima dengan hemodialisis (HD) dan peritoneal dialisis (PD) minimal dilakukan pemeriksaan kadar Hb tiap tiga bulan.8,9 Pasien PGK dengan anemia stadium 3-4 yang menjalani HD ataupun PD yang tidak sedang menjalani terapi dengan preparat eritropoietin, pengukuran kadar Hb dikerjakan minimal tiap tiga bulan, sedangkan untuk pasien PGK stadium lima yang menjalani HD 6 pemeriksaan kadar Hb dikerjakan setiap bulan.8,9 Pada pasien PGK anak-anak, tidak ada perbedaan dengan pasien dewasa dalam monitoring kadar Hb. Pemeriksaan kadar Hb setiap bulan pada anak yang menderita PGK stadium lima yang menjalani HD dan PD wajib dikerjakan.7,9 3.3.2. Pemeriksaan Kadar Besi Serum Ada dua aspek penting dalam penilaian status zat besi pada pasien PGK yaitu ada atau tidak adanya cadangan besi dan ketersediaan besi untuk mendukung proses eritropoiesis. Pemeriksaan feritin serum adalah pemeriksaan yang paling sering dikerjakan. Tes ini digunakan untuk mengevaluasi jumlah simpanan zat besi dalam darah, dimana baku emasnya tetaplah pemeriksaan aspirasi sumsum tulang untuk mengetahui kadar zat besi. Saturasi transferin (TSAT; kadar zat besi serum dikali 100 dibagi dengan total iron binding capacity (TIBC)) adalah pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk mengukur ketersediaan besi untuk proses eritropoiesis. Kadar serum feritin dipengaruhi oleh proses inflamasi dan merupakan reaktan fase akut, dengan demikian, pada pasien PGK, kadar feritin serum harus ditafsirkan dengan hati-hati, khususnya pada pasien yang menjalani proses dialisis dimana sering terjadi proses radang.7,10 Kadar feritin serum < 30 ng/ml (< 30 g/l) menunjukkan telah terjadi defisiensi zat besi yang berat dan terjadi defisit besi di sumsum tulang. Kadar feritin >30 ng/ml (>30 g/l), tidak selalu menunjukkan simpanan besi dalam sumsum tulang dalam batas normal atau sudah memadai. Beberapa penelitian melaporkan kadar feritin serum pada semua pasien PGK sangat bervariasi, tetapi kebanyakan pasien PGK, termasuk mereka yang menjalani hemodialisis, akan memiliki kadar besi normal di dalam sumsum tulang ketika kadar serum feritin mereka >300 ng / ml (>300 g /l).10,11 3.3.3. TSAT dan Kadar Feritin Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk mengetahui kadar besi serum adalah TSAT dan kadar feritin serum. Kadar feritin yang sangat rendah (<30 ng/ml [<30 g/l]) menandakan telah terjadi defisiensi besi. Nilai TSAT dan kadar feritin serum memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada pasien PGK untuk memprediksi simpanan besi dalam sumsum tulang dan respon eritropoietik terhadap pemberian besi.10 7 Berdasarkan rekomendasi dari Kidney Diseases Outcomes Quality Initiative (KDOQI 2006), pemberian suplemen besi bisa mulai diberikan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD yang memiliki kadar feritin serum >200 ng/ml (>200 g/l) dan kadar >100 ng/ml (>100 g/l) pada pasien PGK non dialisis atau pasien PGK stadium 5 yang menjalani peritoneal dialisis serta memperhatikan nilai TSAT >20% pada semua pasien PGK. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative 2006 juga merekomendasikan untuk pemberian besi intravena (IV) secara rutin bila kadar feritin serum >500 ng/ml (>500 g/l).6 Pada kebanyakan pasien PGK dengan TSAT >30% atau kadar feritin serum >500 ng/ml (>500 g/l), proses eritropoietik hanya memberikan sedikit respon terhadap pemberian suplemen besi tunggal. Kadar feritin yang tinggi, dalam beberapa penelitian berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, dimana meningkatnya kadar feritin serum mengindikasikan terjadinya peningkatan deposit besi di hepar. Suatu penelitian mengemukakan bahwa tidak terdapat efek yang merugikan apabila preparat besi diberikan dengan dosis <1000 mg selama enam bulan, namun akan terjadi peningkatan angka kematian yang signifikan secara statistik saat preparat besi diberikan >1000 mg (adjusted hazard ratio [HR] 1.09; indeks kepercayaan (IK) 95% untuk pemberian preparat besi 1000 sampai 1800 mg 1.01-1.17; IK 95% untuk pemberian preparat besi >1800 mg 1.09-1.27).10 3.3.4. Pemeriksaan Kadar Vitamin B dan Asam Folat 12 Kekurangan asam folat dan vitamin B12 jarang terjadi, tetapi merupakan salah satu penyebab penting anemia yang dapat diobati, biasanya terkait dengan gambaran makrositik pada eritrosit. Data menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 dan folat sekitar 10% dari seluruh pasien PGK yang menjalani HD; sedangkan prevalensi pada pasien PGK tidak diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, karena kekurangan ini mudah diterapi, dan pada kasus-kasus defisiensi vitamin B12 menunjukkan adanya proses penyakit lain yang mendasari, maka penilaian kadar asam folat dan kadar vitamin B12 umumnya dianggap sebagai pemeriksaan standar komponen evaluasi anemia, terutama apabila ditemukan gambaran makrositosis.7,9 8 3.4. Penatalaksanaan Anemia Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik 3.4.1.Terapi Besi Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik Koreksi defisiensi besi dengan pemberian preparat besi oral ataupun intravena dapat mengurangi derajat anemia pada pasien PGK, sedangkan defisiensi besi yang tidak diterapi merupakan salah satu faktor penting terjadinya hiporespon terhadap terapi eritropoietin.9,10 Mendiagnosis defisiensi zat besi merupakan suatu hal penting karena dengan demikian akan mengarahkan kepada pengobatan anemia yang tepat dan penelusuran etiologi anemia defisiensi besi.9 Deplesi besi dan defisiensi besi biasa terjadi pada kejadian perdarahan akibat menstruasi, perdarahan saluran pencernaan, selain itu juga pada pasien-pasien PGK yang menjalani HD, seringkali mengalami anemia berulang akibat kehilangan darah yang berhubungan dengan retensi darah pada dialiser maupun pada kateter intravena. Penyebab lain yang sering menyebabkan anemia pada pasien PGK pada saat HD adalah frekuensi pengambilan sampel darah yang berulang kali, kehilangan darah saat prosedur pembedahan (pemasangan AV shunt), penghambatan penyerapan besi akibat penggunaan obat-obatan seperti antasida, preparat pengikat fosfat, serta kejadian inflamasi yang turut serta menghambat penyerapan besi.10 Suplementasi besi telah digunakan secara luas pada pasien PGK untuk mengatasi defisiensi besi, mencegah perburukan kondisi pasien, meningkatkan kadar Hb pasien yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan terapi eritropoietin serta menurunkan dosis eritropoietin pada pasien PGK.10 Terapi besi merupakan indikasi pada pasien PGK disaat simpanan besi di sumsum tulang mengalami deplesi atau pada pasien PGK yang cenderung memiliki respon eritropoetik yang bermakna secara klinis, namun penting sekali untuk menghindari terapi zat besi pada pasien-pasien PGK yang secara klinis pemberian terapi tidak memberikan manfaat, menghindari transfusi dan mengurangi gejala anemia. Relatif sedikit data penelitian yang menunjukkan keuntungan klinis jangka panjang pemakaian suplemen besi dibandingkan penelitian mengenai peningkatan kadar hemoglobin.10 Hal-hal yang perlu diperhatikan saat penggunaan preparat besi pada pasien PGK.10,11 9 1. Harus selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian penggunaan preparat besi termasuk efek samping preparat besi, reaksi anafilaktoid dan reaksi alergi lainnya. 2. Untuk pasien PGK yang membutuhkan terapi besi, pemilihan rute zat besi didasarkan pada derajat defisiensi besi, ketersediaan akses vena, respon terhadap terapi besi peroral, efek samping pemakaian zat besi, kondisi pasien dan biaya yang dibutuhkan. 3. Untuk seluruh pasien anak-anak yang menderita PGK yang disertai anemia namun tidak sedang mendapat terapi besi atau eritropoietin, sangat direkomendasikan pemakaian preparat besi oral (atau besi intravena pada pasien PGK yang menjalani HD) apabila TSAT <20% dan feritin <100 mg/ml (PGK non dialisis dan PGK yang menjalani peritoneal dialisis) atau feritin <200 mg/ml. 4. Untuk seluruh pasien anak yang menderita PGK dan sedang terapi eritropoetin namun tidak menggunakan terapi besi direkomendasikan pemakaian preparat besi oral untuk mempertahankan TSAT >20% dan feritin >100 ng/ml. Preparat besi yang tersedia di saat ini ada dua sediaan yatu parenteral (Iron sucrose, Iron dextran) dan sediaan oral (ferrous gluconate, ferrous sulphate, ferrous fumarat dan iron polysaccharide). Terapi besi oral diindikasikan pada pasien PGK non dialisis dan PGK dengan peritoneal dialisis yang menderita anemia defisiensi besi. Jika setelah tiga bulan TSAT tidak dapat dipertahankan > 20% dan/atau kadar feritin serum > 100 ng/ml, maka dianjurkan untuk pemberian terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisi.10 Pemberian terapi besi parenteral dibagi menjadi dua fase yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Pada fase koreksi yang bertujuan untuk koreksi anemia defisiensi besi absolut, dengan target pemberian sampai status besi cukup yaitu TSAT > 20% dan feritin serum mencapai > 100 ng/ml pada PGK non dialisis dan PGK dengan peritoneal dialisis atau > 200 ng/ml pada PGK yang menjalani hemodialisis. Sebelum dimulai pemberian terapi besi intravena pertama kali, terlebih dahulu diberikan dosis uji coba (test dose) yang bertujuan untuk mengetahui adanya hipersensitivitas terhadap besi. Iron sucrose atau iron dextran 25 mg dilarutkan dalam 25 ml NaCl 0,9% drip IV selama 15 menit, kemudian amati tanda-tanda hipersensitivitas. Bila tidak ditemukan tanda-tanda hipersensitivitas, bisa dilanjutkan dengan pemberian terapi besi fase koreksi dengan dosis 100 mg diberikan dua kali perminggu pada saat hemodialisis, dengan perkiraan keperluan dosis total 1000 mg ( 10 kali pemberian). Evaluasi status besi dilakukan satu minggu setelah terapi besi fase koreksi.12 Terapi besi fase pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan besi 10
Description: