ebook img

Taisir Al-Wushul ila Al-Ushul PDF

636 Pages·2013·11.92 MB·Somali
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Taisir Al-Wushul ila Al-Ushul

1 ashakimppa.blogspot.com ريسيت لوصلأا ىلإ لوصولا Page | 1 هقفلا لوصأ يف تاسارد ليلخ نب ءاطع TASIRIL WUSHUL ILAL USHUL *#* * ‘Atho’ bin kholil DAFTAR ISI XI HUKUM SYARA: PENDAHULUAN 1 SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN DAN BENDA? SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM? 3 KHITHAB TAKLIFI SERUAN SYARI’ YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN HAMBA BERUPA TUNTUTAN DAN PEMBERIAN PILIHAN YANG MENJELASKAN HUKUM ATAS PERBUATAN MANUSIA 7 1. Pengertian asal dari amr 7 2. Hukum asal tentang perbuatan manusia 8 3. Hukum asal tentang benda 9 4. Hukum-hukum atas perbuatan manusia 13 Qarinah-Qarinah yang menjelaskan jenis suatu tuntutan 18 KHITHAB SYARI’ YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN HAMBA DENGAN PENETAPAN WADL’I, YANG MENJELASKAN PERKARA YANG DITUNTUT KEBERADAANNYAOLEH HUKUM, DISEBUT JUGA KHITHAB AL-WADL’I 38 I. Sabab 39 2 II. Syarat 40 III.Mani’ (halangan) 45 IV. Shihah, buthlan dan fasad 47 V. Azimah dan rukhshah 49 HUKUM SYARA YANG MENYELURUH KAIDAH KULLIYYAT 52 Page | 2 Al-Mahkum Fiih 65 Al-Mahkum Alaih 68 DALIL-DALIL SYARA 72 I. AL-QURAN 73 Pengumpulan al-Quran 77 Penyalinan Mushhaf-Mushhaf 80 Menghimpun Bacaan-Bacaan yang Mutawatir 84 Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Huruf 88 Pembubuhan Tanda Syakal pada Mushhaf 92 Al-Muhkam dan al-Mutasyabih 92 Penulisan Mushhaf Bersifat Tauqifi 96 AS-SUNNAH 98 Mengikuti Rasul dalam Perkara yang Berasal dari Beliau 100 IJMA 110 QIYAS 115 Kehujjahan Qiyas 117 Rukun Qiyas 119 Syarat-syarat Rukun Qiyas 120 Syarat-syarat ‘illat 123 Jenis-jenis ‘Illat 125 Perbedaan antara ‘Illat dan Sabab 141 Perbedaan antara ‘Illat dengan Hikmah 142 PERKARA YANG DIDUGA SEBAGAI DALIL PADAHAL BUKAN DALIL 148 MEMAHAMI DALIL 154 PEMBAHASAN TENTANG BAHASA 156 Penciptaan Bahasa 157 Al-Qur’an adalah Berbahasa Arab 159 Tata cara Orang Arab Mengungkapkan Makna-makna 163 Hakikat 164 Majaz 166 Pemberian faedah terhadap hukum. 173 Isytiqaq 174 Tata cara Orang-orang Arab Menyusun Perkataan 179 Mufrad 179 Al-Harf 179 Isim 204 Fi’il 205 Murakkab 207 DALALAH AL-FADZ 211 AL-KITAB DAN AS-SUNNAH 256 AMAR DAN NAHI 256 Bentuk Amar 256 3 Jumlah murakkab yang memberikan arti tuntutan dalam manthuqnya. 260 Jumlah Murakkabah yang Memberikan Arti Tuntutan dalam Mafhumnya 264 Bentuk Nahi 248 Jumlah Murakabah dalam Manthuq 272 Page | 3 Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Amar dan Nahyi 281 UMUM DAN KHUSUS 292 Bentuk-bentuk lafadz âm 293 Faidah 296 Bentuk-bentuk Lafadz Khusus 297 At-Taghlib 297 Pengkhususan Kata yang Umum 305 Dalil-dalil Pengkhususan 305 Hukum Lafadz Umum 319 Jawaban dari Pertanyaan Dilihat dari Umum dan Khusus 324 Asbab an-Nuzul326 Nakirah Dalam Susunan Kalimat Nafi Memberikan Arti Umum; Tetapi Bagaimana?330 Masuknya Ma’thuf ke dalam Keumuman Ma’thuf ‘Alaih 333 Berargumen dengan Pengkhususan Lafadz Umum Tidak Menghalangi pada Selain Lafadz Khusus 334 MUTHLAQ DAN MUQAYYAD 336 Muthlaq 336 Muqayyad 338 Taqyid Kulli dan Taqyid Juz-‘I 339 Mengamalkan Muthlaq dan Muqayyad 345 MUJMAL DAN MUBAYYAN 348 Mujmal 348 Mubayyan 357 NASAKH, NASIKH DAN MANSUKH 365 Tata Cara Terjadinya Nasakh 370 Perbedaan antara nasakh dengan takhsis 374 IJTIHAD 376 Mujtahid Mutlak 377 Urgensi Ijtihad pada Setiap Masa 379 Pengakuan Rasulullah atas Ijtihad Sahabat di masanya. 382 Ijtihad Mujtahid 385 Tidak Boleh ada Ijtihad pada Diri Rasul 388 TAQLID 397 Taqlid Bukanlah (Prinsip) Asal 401 Definisi masalah: 402 TARJIH DIANTARA BEBERAPA DALIL 404 TARJIH 413 I. Tarjih Diantara Dua Dalil 413 II. Tarjih di Antara Penunjukan Lafadz-lafadz dalam Satu Dalil 430 4 PENDAHULUAN Page | 4 Ushul fiqih tersusun dari dua kata, yaitu ushul dan fiqih. Al-Ushul merupakan jamak dari kata al-ashlu yang secara bahasa berarti setiap perkara yang menjadi dasar bagi yang lain, baik (bersifat) indrawi, seperti dibangunnya dinding di atas pondasi, atau (bersifat) aqli, seperti dibangunnya ma‟lul di atas „illat dan madlul di atas dalil. Adapun fiqih, secara bahasa berarti pemahaman, sebagaimana firman Allah:   Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu. (TQS. Hud [11]: 91) Secara syar‟i bermakna pengetahuan terhadap hukum-hukun syara yang bersifat praktis, yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan topiknya menyangkut perbuatan hamba; seperti: halal, haram, sah, batal, fasad, dan lain-lain. Dengan demikian ushul fiqih adalah kaidah- kaidah yang diatasnya berdiri ilmu atas hukum- hukum syara yang bersifat praktis, yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Ushul fiqih terkait dengan dalil-dalil sam‟i dan tata cara istinbath hukum syara dari dalil-dalil tersebut, termasuk berbagai perkara yang berkaitan dengannya. Fiqih tidak membahas perkara–perkara tentang akidah. Fiqih membahas hukum-hukum syara dari sisi asas yang dibangunnya, bukan dari sisi persoalan-persoalan yang dikandung oleh hukum. Seperti diketahui bahwa ushul fiqih membahas dua perkara mendasar: 1. Hukum syara dan yang berkaitan dengannya. 2. Dalil dan yang berkaitan dengannya. 5 Ditambahkan kepada dua perkara tersebut, yaitu perkara-perkara cabang yang merupakan implikasi dari dua perkara tadi, yaitu istinbath hukum syara dari dalil, termasuk perkara yang berkaitan dengannya. Disebut juga sebagai ijtihad, Page | 5 termasuk yang berkaitan dengannya. Perkara-perkara ini dibahas dalam empat bagian: Bagian Pertama: Hukum syara dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikan bab ini dalam empat pasal yaitu: Pasal pertama, pembahasan Hakim Pasal kedua, khitab taklifi Pasal ketiga, khitab wadl‟i Pasal keempat, kaidah kulliyah Bagian Kedua: Dalil dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikannya tiga bab: Bab I: Dalil Pasal pertama: Dalil syar‟i Pasal kedua: Apa yang disangka sebagai dalil padahal bukan dalil. Bab II: Memahami dalil Pasal pertama: Pembahasan tentang tata bahasa Pasal kedua: dilalah al-alfâdz Bab III: Pembagian al-Kitab dan as-Sunnah Pasal pertama: al-Amru dan an-nahyu Pasal kedua: al-„Aam dan al-khas Pasal ketiga: al-Muthlaq dan al-muqayad Pasal ke empat: al-Mujmal, al-bayan dan al- mubayyan Pasal ke lima: an-Nasakh, an-nasikh dan al- mansukh Bagian ketiga: Ijtihad dan yang berkaitan dengannya. Saya menjadikannya tiga pasal. Pasal pertama: Ijtihad Pasal kedua: Taqlid Pasal ketiga: Tarjih diantara dalil 6 Saya akan menjelaskannya dengan izin Allah Swt secara terperinci. Dan kepada Allah tempat meminta pertolongan. Page | 6 PENDAHULUAN Hukum syara‟ menurut istilah pakar ushul fiqih adalah seruan (khithab) Syâri‟ yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl‟i) dan pemberian pilihan (at-takhyir). Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri‟, tidak dikatakan Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma‟, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud dengan khithab itu hanya al- Qur‟an saja. Disebutkan pula (dalam definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila. Dari definisi tersebut jelas sekali bahwa hukum syara terbagi dua bagian: Pertama: Seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia; berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti (jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan atau tidak. Kedua: Seruan Syâri‟ yang menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan manusia, yaitu perkara–perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau 7 kesempurnaannya. Ini disebut dengan khithab wadl‟i. Berdasarkan penjelasaan di atas maka bagian pertama menjelaskan tentang hukum-hukum atas perbuatan hamba. Sedangkan bagian kedua Page | 7 menjelaskan hukum-hukum itu sendiri. Bagian pertama kita bisa melihatnya dengan jelas bahwa ia berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia). Begitu pula bagian yang kedua bisa dilihat dengan jelas keterkaitannya dengan perbuatan hamba.(meski tidak secara langsung). Karena perkara yang terkait dengan perkara lain yang berhubungan dengan sesuatu berarti terkait pula dengan sesuatu tersebut. Dengan demikian, hukum syara adalah seruan Syâri‟ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl‟i. Sebelum menjelaskan kedua bagian hukum syara tersebut kita mesti mengetahui terlebih dahulu siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan ataupun benda; atau biasa disebut dengan istilah al-Hâkim. Inilah yang akan kami jelaskan pada pasal pertama dari bab ini. SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM ATAS PERBUATAN DAN BENDA? SIAPAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AL-HAKIM? Maksud dari dikeluarkannya suatu hukum adalah menentukan sikap manusia atas suatu perbuatan. Apakah dia akan mengerjakannya atau akan meninggalkannya, atau memilih (salah satu) diantara keduanya. Begitu pula atas suatu benda, apakah akan mengambilnya atau meninggalkannya, atau akan memilih (salah satu) diantara keduanya. Semuanya tergantung pada pandangan manusia terhadap sesuatu; apakah perkara tersebut 8 baik atau buruk; atau tidak baik dan juga tidak buruk. Berdasarkan hal ini maka obyek pengeluaran suatu hukum atas perbuatan atau benda adalah menetapkan hasan (baik) dan qabih (buruk)nya Page | 8 suatu perbuatan atau benda. Penetapan tersebut bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu: 1. Dari aspek fakta. 2. Dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia. 3. Dari aspek pahala dan siksa, atau dari aspek pujian dan celaan. Untuk aspek pertama dan kedua, maka penetapan dan pengeluaran suatu hukum diserahkan kepada manusia itu sendiri, yakni kepada akalnya. Contohnya, akal manusia menetapkan bahwa ilmu itu baik, dan bodoh itu buruk; karena berdasarkan kenyataan ilmu dan bodoh itu memperlihatkan adanya kesempurnaan atau kekurangan. Akal juga mampu menetapkan bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam itu baik, dan membiarkannya celaka adalah buruk; karena tabiat manusia cenderung untuk menyelamatkan orang yang akan binasa. Sedangkan aspek ketiga, yakni aspek pahala dan siksa, maka penetapannya hanya bisa dilakukan oleh Allah Swt, yakni Syâri‟. Seperti, iman itu baik dan kufur itu buruk, ta‟at itu baik dan maksiat itu buruk. Terhadap perkara-perkara ini akal tidak mampu mengeluarkan hukum. Karena akal didefinisikan sebagai pemindahan (pencerapan) atas fakta yang telah diindera ke dalam otak dibarengi dengan adanya informasi sebelumnya yang akan menafsirkan fakta tersebut, kemudian mengkaitkan antara fakta dengan informasi. Berdasarkan definisi di atas maka akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum atas sesuatu yang tidak bisa diindera, seperti petunjuk (huda), kesesatan (dlalal), halal, haram, 9 ta‟at, maksiat, dan sejenisnya. Menentukan apakah suatu perbuatan itu diridhai Allah sehingga akan diberikan pahala, atau dibenci Allah sehingga akan dikenakan siksa, adalah diluar kemampuan akal, kecuali jika telah ada berita (informasi) dari Allah. Page | 9 Itulah dalil aqli tentang penetapan hasan dan qabih. Sedangkan dilihat dari aspek dalil syar‟i, maka syara telah menjadikan penetapan hasan dan qabih terbatas pada perintah syara semata, yaitu perintah Allah dan Rasul-Nya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengambil nash-nash dari al- Qur‟an dan as-Sunnah. Allah Swt berfirman:   Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)   Katakanlah: „Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu‟. (TQS. Ali Imran [3]: 31)   Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (Sunnahnya). (TQS. an-Nisa [4]: 59)   10 Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang- orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). (TQS. an-Nisa [4]: 83) Page | 10   Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (TQS. an-Nuur [24]: 63) Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang membuat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, yang tidak berasal 2 darinya, maka hal itu tertolak. Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada keluarganya, 3 hartanya dan seluruh manusia. Dari penuturan diatas jelas bahwa yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan benda adalah syara, bukan akal. Hal itu dilihat dari aspek pahala dan siksa atas suatu perbuatan. Dalam perkara ini tidak dikecualikan dua aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, karena akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan atau benda dilihat berdasarkan faktanya dan dari aspek kesesuaian atau tidaknya dengan tabi‟at manusia. Sedangkan dari aspek pahala dan siksa, akal tidak akan mampu mengeluarkan hukum karena hal ini termasuk kedalam aspek ketiga sebagaimana yang telah dijelaskan. Anda mampu menetapkan berdasarkan akal bahwa ilmu itu baik, akan tetapi menetapkan bahwa ilmu itu berpahala

Description:
DAFTAR ISI XI. HUKUM SYARA: PENDAHULUAN. 1. SIAPA YANG BERHAK MENGELUARKAN HUKUM. ATAS PERBUATAN DAN BENDA?
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.