ebook img

Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara PDF

353 Pages·2013·2.59 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara

SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA Penyunting Dicky Sofjan, Ph.D. Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara @ Katalog Dalam Terbitan (KDT) Penyunting Dicky Sofjan --cet. 1 -- Yogyakarta: Penerbit Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013 hlm. xxviii + 330 ISBN 978-979-25-0118-6 1. Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara Judul 2. Kumpulan Essai Cetakan Pertama, Juli 2013 Penyunting Ahli: Dicky Sofjan Penyunting Bahasa: Elis Zuliati Anis Desain Cover: Joko Supriyanto Pradiastuti Purwitorosari Tata Letak : Pradiastuti Purwitorosari Foto Cover: Julispong Chularatana Keterangan Gambar Cover: Upacara Maharam pada hari peringatan Asyura di Bangkok, Thailand. Kuda Imam Husein yang bernama “Dzuljanah” membawa keranda matinya yang telah dihiasi sebagai bentuk peringatan terhadap tragedi pembantaian terhadap Imam Husein, keluarga, dan pengikutnya di Karbala. Penerbit: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jl. Teknika Utara, Pogung Sleman, Yogyakarta Anggota IKAPI No: 077/DIY/2012 Hak Cipta @ 2013 pada Penerbit Dicetak oleh: Percetakan Lintang Pustaka Utama (0274-624801) Isi di luar tanggung jawab percetakan SANKSI PELANGGARAN PASAL 72: UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tutjuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau, menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah) SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA Penyunting Dicky Sofjan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) KONTRIBUTOR 1. Azyumardi Azra Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta 2. Husein Heriyanto Universitas Indonesia, Jakarta 3. Imtiyaz Yusuf Universitas Mahidol, Bangkok 4. Julispong Chularatana Universitas Chulalongkorn, Bangkok 5. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh 6. Mohammad Ali Rabbani Islamic Culture and Relations Organization, Jakarta 7. Mohd Faizal Bin Musa Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur 8. Rabitah Mohamad Ghazali Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur 9. Rima Sari Idra Putri Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur 10. Supratman Universitas Hasanuddin, Makasar 11. Yance Zadrak Rumahuru Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri, Ambon 12. Yudhi Andoni Universitas Andalas, Padang 13. Yusni Saby Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri, Banda Aceh 14. Yusuf Roque Santos Morales Universitas Ateneo De Davao, Davao-Filipina 15. Zulkifl i Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta PENDAHULUAN Penulisan buku ini berawal dari konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) berlokasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. ICRS adalah sebuah lembaga konsorsium tiga universitas yang kesemuanya berada di Yogyakarta, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). ICRS menawarkan program internasional di tingkat Ph.D. (Doctor of Philosophy) dengan tiga bidang spesialisasi, yaitu teks suci, sejarah sosial agama-agama serta agama, dan isu-isu kontemporer. Saat ini, setelah enam tahun didirikan, ICRS memiliki lebih dari 60 mahasiswa dari sepuluh negara yang berbeda. Dalam konferensi internasional ini, saya diberi kepercayaan sebagai anggota Steering Committee yang bertugas untuk mengawal substansi. Setelah melalui proses diskusi dan pertimbangan yang mendalam, kami di ICRS sepakat untuk memberi tema konferensi tersebut The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory (Keberadaan Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara: Melihat Arah Masa Depan). Konferensi ini diselenggarakan pada 21 Februari 2013 dan dihadiri oleh para sarjana v dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang mempunyai perhatian besar terhadap permasalahan Syiah di Asia Tenggara. Sayangnya, para sarjana dari Singapura dan Filipina berhalangan hadir untuk memberi kontribusi mereka dalam konferensi tersebut. Untuk sampai kepada tema ini pun, prosesnya juga tidaklah mudah karena terjadi persilangan pendapat. Tema pertama yang muncul sebenarnya menggunakan konsep “The Historical and Cultural Encounter”, di mana konsep “encounter” dapat diterjemahkan sebagai ‘perjumpaan’. Alasannya, kata encounter lebih dinamis dan interaktif, dibandingkan kata “presence” yang bermakna ‘kehadiran’ atau ‘keberadaan’. Ada yang beranggapan bahwa kata encounter mengandung konotasi yang sedikit negatif. Konotasi ini mungkin berasal dari potongan kata “counter” yang biasanya menggambarkan paralelisme atau bahkan perlawanan. Argumentasi ini sebenarnya kurang kuat karena dengan proposisi “en-”, makna dan orientasi kata tersebut berubah total. Hanya saja, kata ini memang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, seolah encounter mempunyai makna ‘mengkounter’, dalam Bahasa Indonesia. Dengan demikian, pada tataran persepsi politik, jika ada Syiah, maka pihak yang akan mengkounter tentunya saja kaum Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni. Mengingat sensitivitas dari isu yang diangkat dan beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi mendahului konferensi tersebut, maka kemudian digunakanlah konsep “presence” sebagai konsep yang lebih netral, non-polemik dan non-politis. Persoalan lain yang muncul dalam penyuntingan buku ini menyangkut masalah bahasa. Dalam menghadapi persoalan terjemahan, saya meminta bantuan teman dekat saya, Saut Pasaribu, seorang fi losof yang sudah menerjemahkan lebih dari 60 buku- buku akademis yang serius dan tebal. Keyakinan saya kepada Bung Saut ini didasari oleh pemahaman dan penghayatannya terhadap kompleksitas beragam pemikiran dan lika-liku perjalanan sejarah tradisi pemikiran dan fi losofi . Kualifi kasi seperti itu yang saya butuhkan dari seorang penerjemah, dan bukan sebatas orang yang mampu mengalihbahasakan artikel dari Bahasa Inggris ke Indonesia. Hal lain menyangkut persoalan bahasa terkait dengan penggunaan banyak sekali istilah-istilah dan frase-frase asing. Ada Bahasa Arab, Farsi, Hindi, Thai, Tagalog, Aceh, Makasar, Jawa, Minang, Maluku, dan lainnya sehingga membuat buku ini seperti tampak multilingual. vi SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA Pada perjalanan menyunting buku ini, saya juga harus membuat beberapa keputusan sulit dalam memproses pilihan-pilihan diksi dan kebiasaan gaya para Penulis. Problematika pertama yang saya hadapi menyangkut penggunaan kata “Syiah”. Sebagaimana tertera dalam judul buku ini dan yang termaktub dalam semua bab yang ada, saya telah memutuskan untuk menggunakan pengejaan “Syiah”dan bukan “Syi’ah”, “Shiah” ataupun “Shia”. Hal ini saya lakukan semata- mata untuk mendahulukan kepentingan pembaca Indonesia yang terbiasa dengan pengejaan ini. Artinya, sebagai Penyunting, saya lebih memegang prinsip familiarity (keterbiasaan) dan functionality (kegunaan)—dari sudut pandang Pembaca—di atas prinsip transliterasi dan akurasi. Meskipun demikian, persoalan tidak berhenti di situ. Penggunaan kata Syiah sendiri dapat mengundang permasalahan tersendiri, mengingat kebanyakan orang Syiah lebih sering menggunakan istilah “ Tasyayyu” dan bukan “Syiah” untuk menyebut diri mereka sendiri. Makna dari kedua istilah ini sebenarnya sama karena hal yang dituju sama sekali tidak berbeda. Hanya saja, vantage point atau perspektif yang dipakai kedua kata tersebut berbeda secara hakiki. Syiah diambil secara langsung dari konsep “Syi’atu Ali” yang berarti “Pengikut Partai Ali bin Abu Thalib”. Para Syi’atu Ali ini adalah orang-orang pengikut garis kepemimpinan spiritual dan politik Imam Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad. Mereka biasanya diposisikan vis-à-vis pengikut para khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan dinasti-dinasti Islam turunannya seperti Bani Ummayah serta Bani Abbasiyah. Perihal kaum Syiah, Ali Syariati (1971) dalam Fatimah is Fatimah menulis sebagai berikut: Mereka adalah yang terinspirasi oleh kebebasan dan keadilan. Mereka adalah api yang tak akan pernah sirna melawan para penguasa yang despotik dan mereka yang hatinya bias (prejudiced). Mereka adalah orang-orang yang berserah diri pada Jalan Kebenaran. Akibat keterikatan mereka dengan marahnya Kebenaran, para pengikut [Syiah] adalah para musuh yang menutupi Kebenaran. Mereka adalah musuh dari segala bentuk politik yang menjadikan manusia sebagai budak. Mereka adalah musuh dari eksploitasi ekonomi dan despotisme spiritual. Sedangkan Tasyayyu lebih diartikan sebagai sebuah ideologi atau paham Syiah, selanjutnya disebut Syiahisme. Ada hal yang esensial untuk membedakan dua istilah yang mirip ini. Istilah Syiah terkadang PENDAHULUAN vii terbagi dua, yaitu Syiah Diniyah (spiritual) dan Syiah Siyasah (politik), seolah keduanya dapat dipisahkan. Logika ini didasari oleh asumsi bahwa seseorang dapat menjadi Syiah secara spiritual, walaupun tanpa berbaiat secara politik. Sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu seseorang dapat memegang teguh haluan politik Syiah, tanpa mengikuti kepemimpinan spiritual dari Imam A li. Bagi sebagian orang, tentunya hal ini sangat absurd. Akan tetapi, bagi sebagian lainnya, hal ini masuk akal. Oleh karena itu, saya lebih memandang perbedaan ini semata- mata untuk memisahkan para keluarga suci Nabi Muhammad dan orang-orang yang berbaiat dan mengikuti Imam Ali secara langsung, ketika Beliau masih berada di antaranya. Artinya, generasi-generasi belakangan hanya sebatas mengikuti garis intelektual, spiritual, dan ideologi politik Imam Ali serta keturunannya. Dengan begitu, istilah Syiah lebih akurat, inklusif, dan kontekstual apalagi jika kawasan Asia Tenggara yang menjadi fokus perhatian, mengingat banyaknya orang-orang yang secara emosional cenderung pada Syiah, bahkan menjalankan ritual-ritualnya, tetapi tidak secara total berorientasi secara politis maupun berafi liasi secara ideologis, seperti layaknya seseorang yang memegang teguh prinsip Tasyayyu. Di samping itu, istilah Tasyayyu sendiri jarang dipakai oleh kaum Syiah di Asia Tenggara. Masih di F atimah is Fatimah, Syariati (1971) menjelaskan mengenai Syiahisme sebagai berikut: Syiahisme [atau T asyayyu] adalah segala yang berkaitan dengan Islam—bukan apa yang mereka katakan kepada kami: “Islam dengan tambahan ini itu. Tidak!” Syiahisme adalah Islam yang murni, Islam minus khalifah, identitas pseudo-Arab, dan mereka yang hidup bermewah-mewahan. Syiahisme bukan berarti mengambil dua prinsip yakni keadilan dan imamah (kepemimpinan agama) dan menambahkannya pada Islam—Islam tanpa keadilan dan imamah adalah sama dengan Islam minus Islam. Kalau demikian, pertanyaan paling fundamental mengenai hal ini tertuju pada istilah “Syiah” itu sendiri. Mungkin sebagian kita akan bertanya: kenapa kita tidak merasa cukup dengan label “Islam” atau “Muslim”, dan harus menggunakan “Syiah” dalam diskursus i khtilaf (perbedaan madzhab) ini? Di dalam Alquran sendiri, kata “Syiah” muncul beberapa kali, dan selalu dikaitkan dengan para pengikut pemimpin-pemimpin yang lurus dan taat kepada Allah. Sebagai ilustrasi, Nabi Ibrahim—yang dikenal sebagai Bapak Tauhidullah (Monoteisme) karena menjadi panutan bagi ketiga agama samawi viii SEJARAH & BUDAYA SYIAH DI ASIA TENGGARA terbesar di dunia,yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam—disebut sebagai Syiahnya Nabi Nuh. Ini dapat ditemukan dalam Alquran di surah Ash- Shafaat yang menyebutkan bahwa, “Dan sesungguhnya Ibrahim benar- benar termasuk Syiahnya [Nuh]” (37:83). Nabi Musa juga dinyatakan ada Syiahnya dalam surah Al-Qashaash: Dan Musa masuk ke kota [Memphis] ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari Syiahnya [Bani Israil] dan seorang [lagi] dari musuhnya [kaum Firaun]. Maka orang yang dari Syiahnya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata [permusuhannya]”(28:15). Kaum Syiah juga sering diasosiasikan dengan para pengikut “Ahl al-Bayt” atau ‘Penduduk Rumah’ Nabi Muhammad yang berpredikat ishmah atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Di dalam Alquran, Ahl al- Bayt disebut dalam penggalan surah Al-Ahzab (33:33), yang berbunyi: “Sesungguhnya kami akan menyucikan kalian, wahai Ahl al-Bayt, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.” Kalangan ulama menafsirkan penggalan ayat ini secara beragam. Ada yang menafsirkan sebagai istri-istri Nabi Muhammad, keturunan langsung Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib atau keluarga langsung Nabi Muhammad dari garis Fatimah bin Muhammad dan Ali, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, dan para Imam suci selanjutnya hingga Imam yang ke-12,yaitu Imam al- Muntazhar Muhammad al-Mahdi. Gelar “al-Muntazhar” diberikan kepada Imam Mahdi karena Beliau memang disebut sebagai “Yang Dinanti-Nanti”. Merekalah yang disebut kaum Ma’shumin atau orang- orang yang terbebas dari segala ketidaktahuan, kealpaan, kelupaan, perbuatan dosa, dan bahkan godaan syaitan. Satu lagi istilah kontroversial yang sering digunakan sebagian kalangan Sunni terhadap kaum Syiah adalah Rafi dhah, sebuah label pejorative (merendahkan) yang dapat melukai sesama. Istilah Rafi dhah bermakna secara harfi ah sebagai ‘Pihak yang Keluar’. Ini mengasumsikan bahwa kaum Syiah sebagai kalangan yang keluar dari jalur Islamatau yang berjalan di luar Ash-Shirat al-Mustaqim (Jalan yang Lurus). Istilah Rafi dhah ini juga berkonotasi sebagai kalangan yang memisahkan diri dari kaum Islam ortodoks, yaitu Sunni karena itu perspektifnya lebih berlandaskan pada logika mayoritas-minoritas. PENDAHULUAN ix

See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.