MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 SASTRA WULANG DARI ABAD XIX: SERAT CANDRARINI SUATU KAJIAN BUDAYA Parwatri Wahjono Program Studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Abstrak Kitab Candrarini adalah sebuah karya sastra wulang, sastra etik didaktik bagi wanita dalam lingkungan hidup berpoligami, agar perkawinannya langgeng, karena aib bagi wanita bila ia bercerai. Karya sastra anak zamannya ini ditulis tahun 1860, dalam masa kemegahan feodalisme di Surakarta, di mana penguasa dari yang paling atas sampai rakyat jelata menjalankan hidup berpoligami. Keadaan yang sedemikian inilah yang menyebabkan Sri Susuhunan Paku Buwana IX memerintahkan R.Ng.Ranggawarsita menulis ajaran untuk wanita, mengambil teladan lima isteri Arjuna, tiga orang dari kasta ksatria, dua orang putri pendeta, wanita cantik luar dalam. Mereka hidup rukun mengabdi suami. Ajaran ini merupakan katarsis bagi wanita yang dimadu. Penelitian ini mengemukakan tinjauan dari aspek sastra, religi, sejarah, politik, sosial dan psikologis, yang masing-masing memberi makna dan warna tersendiri. Kesimpulannya, kecantikan seorang wanita bukanlah pariwara lahiriah saja, melainkan juga semua yang terpancar dari dalam: rendah hati, sopan santun, welas asih, pengabdian dan perilaku yang halus. Itulah jalan untuk menyelamatkan dan memelihara kelanggengan kehidupan perkawinan. Ajaran ini tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, abadi adanya. Abstract The Book of Candrarini is an ethic didactical book for women in polygamist system, for the eternity of her marriage. It was a disgrace that a woman divorced. This book was the masterpiece of it’s era, written in 1860 in the glory of feodalism in Surakarta, where the authority, high officials and the very peoples did polygamy. That is why His Majesty Paku Buwana IX had Ranggawarsita to write an ethic didactic for women, with the five wives of Arjuna as the model: three princesses and two daughters of priest with very nice performance and gentle behaviour. They lived in harmony, devoted to their husband. The ethic didactic was a catharsis for women in concubine. This research observes Candrarini from its own internal aspects as literary, religious, historical, political, sociological and psychological aspect. The result is : Beauty of a woman does not lie so much in her external appearance as in her internal virtues like modesty, chastity, compassion, service and refined manners. That is the way to save and preserve the eternity of marriage’s life. The ethic is always up to date, everlasting, eternal. Keywords: ethic didactic, polygamy system, Javanese world view, beautiful appearance and virtues, eternal marriage’s life 1. Pendahuluan wanita dalam bentuk tembang, yang ditulis pada hari Kamis tanggal 7 Jumadilakir, masa ke enam, tahun Be Serat Candrarini (selanjutnya SCR) merupakan sebuah 1792. Angka tahun yang ditunjukkan oleh karya sastra Jawa dari abad XIX, tepatnya ditulis pada candrasangkala “miyarsakna trus ingkang sabda hari Kamis tanggal 7 Jumadilakhir, mangsa keenam, narendra” (dengan angka 2971, dibaca dari belakang, tahun Be 1792, seperti yang tersebut dalam kolofon, 1792), adalah perhitungan tahun Jawa, adapun tahun pupuh I, Sinom, bait 1, yang berbunyi sebagai berikut: Masehinya 1863 1. Kang hagnya gita Srinata, ing Surakarta nagari, Ciri kesusasteraan Jawa zaman dahulu anonim, tidak Paku Buwana ping sanga, mangun wasitaning estri, menyebutkan nama pengarangnya, karena segalanya, ingkang cinitreng ari Respati tanggal ping pitu, jiwa dan raga rakyat adalah milik dan dipersembahkan Jumadilakir wulan, kang nem Be sangkaleng warsi, kepada Sang Raja, sesuai dengan Cultus Dewa Raja, miyarsakna trus ingkang sabda narendra. Artinya: Sri Susuhunan Paku Buwana IX di negeri 1 Menurut teks Serat Candrarini pada Serat-Serat Anggitandalem Surakarta berkehendak membuat ajaran untuk para KGPAA Mangkunagara IV, Noordhofd Kolff, 1953 jilid III hal 54 71 72 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 yaitu kepercayaan bahwa Raja adalah penjelmaan Dewa berbentuk seperti butir-butir air yang menetes, yang atau Tuhan di dunia. Raja adalah penguasa mutlak, kena pancaran surya seperti bintang beralih tempat”) segala sesuatu yang terkembang di atas bumi adalah milik sang Raja. Penelitian tentang SCR secara mendalam kiranya perlu diadakan, mengingat isinya yang mendeskripsikan Susuhunan Paku Buwana (selanjutnya P.B) IX hidup model wanita idaman (Jawa), yang melukiskan sejaman dengan Sri Mangku Nagara (selanjutnya M.N) kecantikan wajah serta sex appeal-nya, dan budi pekerti IV dan pujangga karaton Surakarta R.Ng. yang luhur dari para isteri Arjuna dengan pengabdian Ranggawarsita (selanjutnya RW). Dapat dimengerti bila yang tulus Ini merupakan pesan dari sang Raja PB IX Sri Sunan menghendaki, atau yang mempunyai ide kepada para wanita yang dimadu, agar tetap langgeng membuat sebuah serat, biasanya sang pujangga yang kehidupan perkawinannya. melaksanakan. Namun itupun tidak selalu demikian, kadang-kadang sang Raja berkenan menangani sendiri, Untuk wanita pada waktu itu, tentulah hal ini secara seperti Serat Centhini ditulis oleh P.B. V sendiri beserta psikologis merupakan suatu katarsis, agar tidak merasa tiga orang pujangga, R.Ng. Ranggasutrasna, R.Ng. susah kalau dimadu, karena pada jaman feodal memang Yasadipura II (semula bernama R.Ng. Ranggawarsita I) permaduan (wayuh) merupakan hal yang biasa. Tetapi dan R.Ng. Sastradipura. Serat Wulang Reh dibuat oleh apakah hanya dengan alasan agar wanita dapat tetap Susuhunan P. B. IV, Serat Wedhatama oleh Sri M.N.IV. menerima kodrat zamannya sajakah SCR ini dibuat? Oleh karena itu tidaklah keliru bila dikatakan Serat Cerita wayang merupakan obat atau pelipur bagi wanita Candrarini adalah buah karya R.W. (II) (seperti yang menderita batinnya karena dimadu, sehingga disebutkan pada halaman cover SCR terbitan Tan Arjuna, ksatria yang gemar bertapa digambarkan Khoen Swie, Kediri, 1939). R.W. memang dikenal sebagai Don Yuan? Untuk menjawab pertanyaan itu sebagai pujangga yang sangat handal dalam memilih diperlukan penelitian historis dan sosiologis. kosa kata yang tepat, cengkok atau gaya bahasanya luwes, halus, ngrawit. Dalam melukiskan keindahan Untuk zaman sekarang kitab ini sangat tidak relevan, sangat kena, menyentuh hati. Demikian halnya dengan karena sebagai manusia yang sudah lebih maju, sudah SCR bila ditilik dari rasa bahasanya, pemilihan kosa berkesempatan mengenyam pendidikan yang lebih dari katanya yang indah-indah, ndakik-dakik, terkadang orang-orang dahulu. Pria dan wanita kini sudah lebih hanya untuk memenuhi estetika bahasa atau mengejar “beradab”. Seharusnya tidak ada poligami lagi. Tidak bunyi aliterasi (purwakanthi sastra) dan asonansi ada wanita yang mau dimadu, hanya dituntut sebagai (purwakanthi swa ra), sehingga seringkali sulit penghibur untuk menyenang-nyenangkan pria. Wanita dimengerti arti maksudnya. Seperti misalnya ketika sudah lama ikut berkiprah dalam menjalankan roda melukiskan kecantikan Dewi Manuhara: kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan seyogyanya baik pria dan wanita juga menyadari bahwa perkawinan wanda luruh kang bau awijang, maya-maya adalah sesuatu yang sakral, dengan tujuan sawangane, mardapa ngenguwung, kuning wenes mengembangkan keturunan yang lebih baik kualitasnya, masemu wilis, lir hyang pudhak sinurat, katon dunia dan akhirat, sehingga tidak sepantasnya kalau warnanipun, tan pae pepindhanipun, andakara hanya menuntut kepuasan diri masing-masing secara kataweng ing ima nipis, rumamyang amradipta duniawi atau jasmani saja. (pupuh III,2.2-10) anyunari ingkang sitaresmi (pupuh III, 1.1) Akan tetapi mengingat Susuhunan PB IX itu raja besar secara bibit, bebet, bobot, memerintahkan membuat (“wajahnya luruh (sopan, menunduk), bahunya sastra etik, tentu pada kitab itu terkandung makna yang lebar, kelihatan samar-samar bercahaya, seperti pupus daun, kulitnya kuning kehijauan, seperti lebih dalam. Beliau putra Susuhunan PB VI, pahlawan bunga pandan tersurat, kelihatan rupanya tidak yang gigih melawan penjajah, beliau menurunkan berbeda seperti matahari tertutup awan tipis, Susuhunan PB X, seorang raja agung yang dalam menerawang cahayanya menyinari rembulan. pemerintahannya Surakarta mengalami zaman keemasan. Oleh karena itu di sini akan dicoba Deskripsi Dewi Ulupi: mengupas tuntas makna teks Serat Candrarini itu dari segi simbolis, filosofis: historis sosiologis dan politis, endah respati ing warna, liringe anunjung biru, religius, dan psikologis. sumorot kadi kartika (IV,1,5-7) pantes yen amathet lambe, ngiras mintonaken waja, 2. Tujuan Penelitian wangun tetesing toya, kataman baskara nawung, lir tranggana mrih sasana (IV,3-7) Mengkaji SCR adalah menggali hasil kesusastraan Jawa dan juga mengungkap adat tatacara bangsa Jawa di (“indah menarik hati wajahnya, lirikannya bak teratai masa lampau. biru, bersinar seperti bintang, pantas bila menggigit bibir, sambil memperlihatkan giginya yang MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 73 SCR yang melukiskan citra dan sifat para isteri Arjuna pupuh (canto), berisi 37 pada (bait), ditulis dalam dapat dikaji dari beberapa segi: huruf Jawa. 1. sebagai sastra wulang menunjukkan budi luhur/moral yang tinggi. “Keindahan” tidak hanya 1.1.2. Ns. nomor C 82/C 104, terdiri dari 16 hlm, terletak pada kecantikan jasmani atau lahiriah saja, bentuk macapat lima pupuh, 37 pada, huruf Jawa tetapi juga keindahan yang terpancar dari dalam, seperti tindak tanduk, tutur kata, rendah hati, kasih 1.1.3. Ns. koleksi Perpustakaan Sana Pustaka Karaton sayang, sopan santun, tenggang rasa dsb. Surakarta dengan nomor 47 (ha), terdiri dari 16 2. dari sudut pandang falsafah kewanitaannya halaman, lima pupuh, 16 pada, dalam huruf mengandung makna religius yang dalam. Jawa. 3. dari segi sosiologi, SCR memberikan gambaran bagaimana citra wanita pada waktu itu, bagaimana 1.2. Ns. cetak Candrarini yang sampai di tangan kedudukan dan kewajibannya. Dunianya hanyalah peneliti ada delapan buah, merupakan teks dalam seputar rumah tangga saja, di mana suaminya kumpulan karangan (kitab /serat), dalam majalah merupakan orang yang harus dihormati dan yang (kalawarti), atau merupakan satu ns. tersendiri. berkuasa mutlak. Poligami merupakan hal yang Semua ns. cetak ini menggunakan huruf Jawa. tidak dapat dihindari. Wanita pada waktu itu hanyalah kaum yang harus menepati kewajibannya, Kedelapan naskah tersebut merupakan varian, menaati kodrat yang sudah menjadi kebiasaan pada satu dan lainnya berbeda dalam ejaannya, kata- waktu itu, yaitu harus taat dan patuh kepada katanya ataupun wadahnya, yaitu jenis junjungannya. tembangnya, dalam pupuh yang berbeda, atau penggolongannya (per bab atau terusan saja). Bila ditinjau dari segi sejarah kewanitaan dari jaman Yang sedemikian ini adalah hal yang biasa dalam dahulu sampai sekarang akan kelihatan bagaimana penyalinan naskah. Ditambah atau dikurangi di kedudukan wanita dalam budaya Jawa. sana-sini, digubah lagi menurut selera penyalin, atau berbeda karena ketidakjelasan tulisan Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk sehingga penyalin menulis kembali hanya dengan memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam perkiraan saja, oleh karena itu kadang-kadang SCR, serat wulang abad ke XIX. dapat menyebabkan jauh berbeda dari naskah yang disalin. Naskah tersebut adalah: 3. Metode Penelitian 1.2.1. Naskah A, naskah Centhini, adalah karya Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dalam Susuhunan PB V dengan mengambil Serat mengumpulkan data. Naskah dan buku/majalah yang Jatiswara sebagai babon (induk)-nya, diperluas, telah diterbitkan dapat dilihat pada buku-buku katalog dikembangkan menjadi Serat Centhini. Adapun dan di Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan Nasional RI, pelaksananya R.Ng. Jasadipura II, yang bertugas Reksa Pustaka Mangkunagaran dan Sana Pustaka mengumpulkan data dengan mempelajari keadaan Keraton Surakarta. di wilayah Jawa Barat serta menghimpun pengetahuan dari wilayah tersebut. R.Ng. Di dalam mengkaji SCR ini digunakan metode content Ranggasutrasna di wilayah Jawa Timur, R.Ng. analisis, yaitu kajian yang secara intrinsik mengupas Sastradipura ditugaskan menyempurnakan kandungan isi teks. Pendekatan reseptif dari sudut pengetahuan dalam bidang agama Islam dengan pandang historis, filosofis, religius, psikologis, pergi haji ke Mekah, sedang PB V sendiri sosiologis dan politis akan memperjelas kekayaan isi menambahkan pengetahuan tentang sanggama. kandungan teks. Dengan analisis interpretatif dari Tentang agama digarap oleh Kyai Pangulu pelbagai segi tersebut maka lengkaplah kiranya Tabsiranom, tentang gending oleh abdidalem penelitian ini sebagai suatu kajian budaya. demang niyaga, dan pengetahuan lain-lain seperti tentang ngelmu, beksan (tarian), primbon, tentang 4. Pembahasan dan Analisis curiga (keris), kanoragan, pengasihan, jampi- jampi, masakan Jawa dan lain-lain sebagainya 1. Naskah Dan Pengarang digarap dengan bantuan para ahlinya masing- masing. Dengan demikian Serat Centhini adalah 1.1. Naskah (selanjutnya ns) yang berupa handschrift kitab yang dapat dikatakan sebuah ensiklopedi ada tiga buah, yakni dua buah koleksi mimi Jawa yang sangat lengkap. perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran. Adapun tentang teks Candrarini terdapat dalam 1.1.1. Ns. dengan nomor 076, terdiri atas 16 hlm. jilid I pupuh 86, bait 42-79, dalam tembang digubah dalam bentuk tembang macapat lima Asmaradana. 74 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 Sang Gunawan wacana ris, menek sang Wara bait terakhir atau bait penutupnya tidak terdapat Sumbadra, lan Srikandhi ku garwane, wong agung dalam ns. C dan F. ing Madukara, risang Andananjaya, lelima garwa kasebut, ana ing layang wiwaha. 1.2.5. Naskah E. SCR karya R.Ng. Ranggawarsita, diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri. Cet. Kabehe ayu linuwih, kang tri putrining narendra, pertama 1922, terdiri dari 36 pada, ditulis secara kalih atmaja wikune, pantes dadya tuladha, estri langsung bersambung pupuh-pupuh Sinom 8 kanggep ing krama. Winursita candranipum, dyah lima endah ing warna. pada, disambung pupuh Dhandhanggula 5 pada, ditandai dengan sasmitaning tembang yang Sumbadra sepuh pribadi, atmaja Sri Basudewa, ing berbunyi: ”tandya warta mring sang retna Mandura karatone, warna. Ngresepken ing tyas, Madubrangta” (di sini suku kata “madu” dalam sumeh lindri kang netra, aprasaja driya tangguh, madubrangta mengisyaratkan sesuatu yang manis semune kurang budaya, dst. seperti gula, dan ini menunjuk kepada tembang Dhandhanggula). Kemudian dilanjutkan dengan Kitab Centhini ditulis pada tahun 1733 Jawa /1806 pupuh Asmaradana 5 pada ditandai pada akhir Masehi, dengan candrasangkala ‘trining guna pupuh Dhandhanggula dengan kata “asmara” swaraningrat’. Dari penelitian kami naskah inilah yang dalam larik yang berbunyi “asmara mring menjadi babon (induk) SCR, berdasarkan konsep sasmita”. Sesudah itu dilanjutkan pupuh Mijil 6 maupun hampir seluruh baitnya sama bunyinya dengan pada, dengan sasmita “prabawa wijiling tapa”. SCR yang lain (B,C,D,E,F,G,H), dan teks Centhini Pupuh terakhir adalah pupuh Kinanthi sebanyak merupakan teks tertua dari teks-teks Candrarini lainnya, 12 pada, diisyarati larik-larik terakhir yang serta dalam bentuk satu pupuh yaitu Asmaradana, berbunyi mrih dadia kanthi ngladosi ing berjumlah 37 pada (bait). kakung”. 1.2.2. Naskah B. Serat Wiwaha Jarwa / Mintaraga edisi 1.2.6. Naskah F. SCR sama dengan ns. E, cet. kedua, J.F.C. Gericke dalam VBG ke XX, tahun 1844, 1939. Perbedaannya dengan ns. E, formatnya hlm. 18-22, tembang Sinom, merupakan cerita lebih besar, memuat gambar Tan Khoen Swie, para widadari: Supraba, Tilotama, Warsiki, gambar tokoh-tokoh: Dewi Wara Sumbadra, Surendra dan Gagarmayang yang akan menggoda Manuhara, Ulupi, Gandawati serta Wara tapa Arjuna (Mintaraga) dengan beralih rupa Srikandhi, dan juga foto almarhum R.W. menyamar sebagai isteri-isteri Arjuna: Subadra, Penulisan dibagi atas 6 bab: bab I pupuh Sinom 4 Manohara, Ulupi, Gandawati dan Srikandhi. bait, berisi prakarsa penulisan kitab, waktu Dalam tembang Sinom ini dilukiskan gambaran ditulisnya, maksud penulisan. Bab II pupuh kelima isteri Arjuna tersebut, sama seperti Sinom 4 bait, menggambarkan tokoh Wara pemerian dalam ns. A (Centhini), dengan Sumbadra. Bab III. Dhandhanggula 5 bait penyesuaian kosa kata untuk memenuhi matra melukiskan Manuhara, bab IV Asmaradana 5 tembang Sinom, yang sebagian besar tetap sama, bait memerikan Ulupi, bab V Mijil 6 bait namun tidak selengkap dalam ns. A (16 bait). menceritakan Retna Gandawati, dan bab VI Kinanthi 12 bait memuat penggambaran Wara 1.2.3. Naskah C. Candrarini dalam aurat kabar berkala Srikandhi serta penutup. Tebal kitab ini 13 hlm. berbahasa Jawa berhuruf Jawa Bramartani no. 33 (8 pada), no. 34 (16 pada), dan no. 35. (13 bait), 1.2.7. Naskah G. SCR karya RW., diterbitkan Fogel tahun 1878, terdiri dari pupuh Sinom ( 8 pada), van der Heide di Surakarta, tanpa tahun. Ns. lebih pupuh Dhandhanggula, Asmaradana dan Mijil (5, tipis dari ns. E hanya 10 hlm, penulisannya sama, 5, dan 6 pada), serta pupuh Kinanthi 13 pada. yaitu terus bersambung tidak dibagi-bagi dalam Ns. ini sama dengan ns. Candrarini dalam Serat- bab maupun pupuh. Isinya pun sama 36 pada, Serat Anggitandalem KGPAA MN IV (ns.H). bunyi tiap lariknya pun sama. Siapa yang memuat dalam surat kabar Bramartani tersebut tidak disebutkan, namun Dari penelitian ketiga ns. karya R.W. ini (ns. E, F pada bait pertama jelas tertulis bahwa kitab ini dan G) dapat disimpulkan bahwa ketiganya digubah atas perintah Sri PB IX, seperti tersebut merupakan varian dari satu arketip, yaitu pada bait pertama dalam ns. SCR D.E.F.G. Candrarini yang terdapat dalam Serat Wira Iswara karya PB IX, th. 1898 (ns. D). 1.2.4. Naskah D. Dalam Serat Wira Iswara karya PB IX terdapat ns. Candrarini pada hlm. 207-215. 1.2.8. Naskah H. Candrarini yang terdapat dalam Serat- Kitab Wira Iswara ini diterbitkan oleh Albert Serat Anggitandalem KGPAA MN IV jilid III, Rusche di Surakarta, 1898, terdiri dari 37 pada, hlm. 54-68. Ns. terdiri dari 5 pupuh: Sinom 8 sama dengan ns. C dan H, hanya berbeda pada pada, Dhandhanggula 5 pada, Asmaradana 5 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 75 pada , Mijil 6 pada, dan Kinanthi 13 pada, Sedang Serat Centhini berasal dari th.1733/ jaman PB seluruhnya 37 pada. V. Serat Wiwaha Jarwa dari th. 1704 (tasik sonya giri juga: Purbacaraka, 1964: 128) jaman PB III. Bila ns. E, F dan G menyebutkan Candrarini sebagai karya RW, sedang ns. D mengatakan karya PB IX, Kesimpulan dari penelitian filologis ns. SCR adalah teks sesungguhnya tidak ada masalah. Karena semua naskah berasal dari Serat Centhini karya Susuhunan Paku tersebut pada bait pertama pupuh pertamanya secara Buwana V (dikerjakan oleh RW). Mengingat PB IV eksplisit menyebutkan bahwa PB IX di Surakarta (ayahanda PB V), R.Ng. Ranggawarsita dan MN IV menitahkan membuat kitab wulang untuk para wanita. hidup sejaman, (RW pujangga karaton Surakarta sejak Kitab itu ditulis hari Kamis, tanggal 7 Jumadilakir, PB IV), MN juga berkenan ikut memasyarakatkan masa ke enam, th. Be 1792 (lihat kuitpan pada bab I. wulang putri yang terkandung dalam SCR itu, maka Pendahuluan). beliau membesut dan mengubah dengan menambahkan satu bait pada pupuh terakhir (Kinanthi). Kalau pada ns. Seperti diketahui sifat kesusasteraan Jawa dahulu yang lain pupuh Kinanthi hanya 12 bait, pada ns. C ada dipersembahkan kepada atau dan milik sang raja. 13 bait, sebelum bait ke 13 ditambahkan satu bait yang Sedang RW dalah pujangga abdidalem PB. Jadi masuk berbunyi: akal bila pelaksananya adalah RW. Yang sekilas terasa janggal adalah ns. H yang menyebut SCR sebagai karya Dumrunuh keh sami nutuh, kaduwunge angranuhi, MN IV. Karena bait pertamanya persis sama dengan ns. sanadyan dipun pupusa, jroning urip maksih eling, lainnya C,D,E,F,G, yang secara eksplisit menyebut yen kena haywa mangkana, becik rahayu lestari. nama PB IX. Tetapi setelah kita baca keterangan pada Bait terakhir semua ns. kecuali ns. A (Centhini) dan sampul dan daftar isi yang berbunyi: ns.B (Serat Wiwaha Jarwa) sama bunyinya, yakni: “Kaklempakaken jangkep saha kawedalaken amarengi dinten pangenget-enget 15 windu: 120 tahun saking Tatas titising pangapus, gita wiyataning estri,sang titimangsa miyosipun, awit dening dhawuh-dalem maha prameng lukita, sarta tanggung ingastuti, KGPAA MN VII. Katiti dening tuwan Dr.Th. Pigeaud” waranta sri naranata, winastan srat Candrarini. dan “Isinipun jilid III, Serat Piwulang Warni-Warni, Serat-Serat Iber mawi sekar macapat, Serat 2. Memahami Serat Candrarini Salokantara. Serat-Serat ingkang kawedalaken punika, kajawi serat-serat ingkang tetela anggitan- SCR termasuk jenis karya sastra etik didaktik yang dalem KGPAA MN IV, wonten ugi karangan sawatawis mengambil tokoh-tokoh wanita dalam pewayangan, ingkang taksih samar, ewadene sampun kenging yaitu Wara Sumbadra, Manohara, Ulupi, Gandawati katetepaken bilih karangan wau panganggi-ipun serta Wara Srikandhi, lima isteri Arjuna, sebagai putri awit saking dhawuhdalem, utawi sasam-punipun teladan. Sebagai karya sastra tradisional, SCR hanya kaanggit lajeng kaunjukaken saha salajeng-ipun kabesut miturut keparengdalem”. dapat dipahami dengan pengetahuan tentang kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra Jawa. Di samping Dari keterangan tersebut dapat diambil yang masuk akal itu penilaiannya juga tidak dapat lepas dari keadaan adalah keterangan yang terakhir, ialah “setelah masyarakat yang melahirkannya. dikarang, dipersembahkan kepada MN IV dan kemudian beliau merubah /menambah” (kabesut miturut SCR ditulis dalam bentuk tembang macapat, yang keparengdalem). Pengurangan/ penanggalan bait masing-masing jenisnya memiliki struktur yang khusus, terakhir/ penutup yang berbunyi: yakni setiap bait terdiri dari sekian larik, setiap larik terdiri dari sekian suku kata (guru wilangan) dengan “Tatas titising pangapus, gita wiyataning estri, sang vokal akhir (guru lagu) tertentu. Unsur-unsur lain yang maha parameng lukita, sarta tanggung ingastuti, perlu diperhatikan adalah diksi, di samping untuk waranta sri Naranata, winastan srat Candrarini” keindahan dipilih kata-kata yang mengandung purwakanthi sastra, purwakanthi swara, purwakanthi (“Tamatlah ajaran yang digubah dalam bentuk basa (aliterasi, asonansi dan perulangan sukukata atau tembang oleh sang pujangga yang pandai serta kata), juga berfungsi untuk memenuhi tuntutan metrum sangat terpuji, ajaran sri Raja ini dinamakan kitab (banyaknya suku kata dalam tiap larik serta vokal Candrarini”). akhirnya), seperti tembung garban (sandhi dalam bahasa Jawa Kuna), ialah meringkas dua suku kata (tiba Hal ini juga terjadi pada ns. SCR yang dimuat dalam ing menjadi tibeng), baliswara (inversi). Sebagai unsur surat kabar berkala Bramartani 1878 (ns. C). estetis lainnya adalah sasmitaning tembang (kata-kata Kemungkinannya adalah ns. H menyalin ns. C. yang merupakan isyarat atau menunjukkan nama tembang, misalnya gula, artati, manis, andhandhang, Naskah D.E.F.G berindukkan Serat Centhini (ns. A), menunjukkan tembang Dhandhanggula), sandhi asma yang digubah oleh PB IX, dilaksanakan oleh R.W. 76 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 yaitu nama pengarang yang disamarkan di dalam 3. Telaah Serat Candrarini Dari Unsur-Unsur tembang, biasanya diletakkan pada suku-kata pertama Yang Dimiliki tiap larik atau pedhotan/andheg, yaitu penghentian pada waktu satu larik dinyanyikan. Candrasangkala 3.1. Sebagai sastra wulang (etis didaktis) merupakan tahun ditulisnya kitab, berupa khronogram, SCR menunjukkan bagaimana cara atau sikap dan yaitu rangkaian kata-kata yang mengandung satu tindak tanduk wanita agar terjaga kelestarian kehidupan pengertian, masing-masing kata itu mempunyai watak rumah tangganya walaupun dimadu, karena senista- sendiri-sendiri yang diwujudkan dengan angka, nistanya wanita tiada yang melebihi nista atau hinanya kemudian pembacaan angka tahun dari belakang. wanita yang bercerai. Hal ini dapat kita lihat dari pupuh Misalnya candrasangkala atau tahun dikarangnya kitab I bait 3 yang berbunyi: Candrarini adalah: miyarsakna trus ingkang sabda narendra. Miyarsakna berwatak 2, trus berwatak 9, Awit jenenging wanudya, pegat denya palakrami, sabda berwatak 7, narendra berwatak 1, kemudian nistha, nir kadarmanira, wigar denira dumadi, sami dibaca dari belakang, tahun 1792. Yang demikian inilah lan mangun teki, kang badhar subratanipun, kode bahasa, kode sastra serta kode budaya yang harus punggel kaselan cipta dikuasai untuk dapat memahami makna bait-bait tembang macapat. (Yang disebut wanita, bila ia bercerai adalah sangat hina, hilang segala keutamaannya, urung / tidak Tokoh-tokoh yang diambil sebagai suri teladan adalah memenuhi kodratnya sebagai wanita, seumpama orang yang bertapa, gagallah samadinya). tokoh wayang, yang di dalam sastra tradisional Jawa sudah ditentukan sifat atau wataknya, sehingga teks Adapun caranya adalah: SCR ini merupakan suatu model pandangan dunia, 1. memperhatikan keadaan wadag (jasmani), dunia Jawa. Kode serta konvensi budaya dan konvensi memelihara agar selalu sehat dan sedap dipandang, sastra inipun harus diketahui untuk memahaminya. seperti terlihat dalam pupuh I bait 2 larik 4-6: Selain dari segi intrinsiknya seperti yang telah yogya ngupakareng dhiri, manjrenih mardi weni, diutarakan di atas, yaitu kandungan teksnya, penilaian wewida ganda rumarum, rumarah ngadi warna, SCR juga tidak dapat dilepaskan dari kondisi winor ing naya mamanis, mangesthia ing reh cumon- masyarakat yang melahirkannya sebagai unsur dhong ing karsa, ekstrinsiknya. (“hendaknya memelihara badan, merawat rambut, SCR sebagai sebuah hasil karya bukanlah merupakan melumuri tubuhnya dengan wewangian, merias sebuah ecriture atau monumen mati. Ia harus dipahami wajahnya, berbudi halus, sungguh-sungguh menepati dengan jalan interpretasi sehingga merupakan suatu norma-norma kehidupan dan menuruti kehendak suami). hasil seni yang berguna dan bisa dinikmati (pro desse et delectare, utile et dulce). Sebagai karya sastra 2. memperhatikan sopan santun berbusana agar tidak tradisional ia dibaca atau dinyanyikan bersama, melanggar tata tertib dan kesusilaan, artinya dinikmati oleh masyarakat. Bahkan pada tahun-tahun hendaknya sesuai dengan waktu dan tempat (empan permulaan abad ke XX ia menjadi milik hidup papan). Ini disebutkan dalam pupuh VI, pada 7 masyarakat Jawa di Sragen dan sekitarnya, secara larik 1-5: dihafalkan, lebih-lebih setelah dicetak, antara lain diterbitkan oleh Ki Padmasusastra th. 1922 (Suhawi, bangkit mantes lan memangun, jumbuhing kang dalam majalah Jayabaya no. 24/ /XXVIII/ 1974:21), busanadi, tumrape marang sarira, ing warna dengan mengalami beberapa perubahan yang tibaning wanci, nyamlenge tan pindho karya, disesuaikan dengan zaman, yaitu di mana poligami sudah tidak dapat diterima lagi, sehingga ungkapan- (“pandai memantas dan membuat busana sesuai ungkapan yang menyatakan “wanita yang pintar dengan badannya, warna dan jenisnya disesuaikan momong maru adalah wanita utama” diganti dengan dengan waktu dan tempat, sehingga sedap sifat-sifat wanita yang bisa dijadikan teladan oleh dipandang, tidak ada duanya”) sesama wanita. Jadi jelas di sini bahwa sastra tradisional berfungsi untuk memantapkan dan menyelamatkan 3. berusaha agar selalu menyenangkan dalam norma dan nilai budaya dalam masyarakat. pergaulan dengan tindak tanduk yang menunjukkan persahabatan, supel. Hal ini dinyatakan dalam Dari kandungan isinya SCR dapat ditinjau dari beberapa pupuh II. bait 2 larik 4-7 yang berbunyi: segi, ialah: segi sastra, religi, psikologi, sosiologi dan politik, yang kesemuanya saling berkaitan. tan regu semune manis, lirih tanduking angling, lumuh ing wicara sendhu, amot mengku aksama, MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 77 (“tidak banyak bicara, wajahnya manis, halus tutur susileng tyas sumawiteng laki, dumulur sapakon katanya, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar, (V.5.1-2) sangat pemaaf”). (“sopan santun dari lubuk hatinya dengan sifatnya mring maru kadi sudhara,rumesep tan walang ati, penuh pengabdian kepada suami, segala legawa anrusing batin (II.3.1,2,4,). perintahnya diturut”) (“terhadap madunya sikapnya seperti kepada bekti marang maratuwa, gumati mring dewi saudara sendiri, tidak mempunyai syak wasangka, Kunthi, pamunjunge saben dina, sakarsane hatinya mulus tulus sampai ke batinnya”). denturuti (VI. 10.3-6). sarwalus sasolahira (III.4.8) (semua tindak (“bakti terhadap mertua, sangat sayang kepada tanduknya serba halus)” dewi Kunthi, setiap hari menghaturkan sesuatu (makanan, hadiah), segala kehendaknya dituruti”) tembung arum rumaket amanis, tandukira angengayuh driya, bisa nuju ing karsane, priya 5. memiliki ketrampilan/kepandaian, ditunjukkan myang marunipun, pinapangkat denya nglagani, dalam: susila anoraga, sepi ing piyangkuh, (III.5.1-7), bisa nuju ing karsane priya, myang marunipun, (“kata-katanya manis sedap didengar, mengandung pinapangkat denya nglagani, (III.5.3-4). rasa persaudaraan, tindak tanduknya menarik hati, pandai melayani kehendak suami, para madunya (“mengetahui apa yang menjadi kegemaran suami, diberi tugas sesuai dengan tingkat dan kepada para madunya diberikan tugas sesuai kewajibannya, tahu sopan santun dan rendah hati kemampuannya”) serta tidak pernah sombong”). bisa cawis angladeni, kang dadi kareming priya tandang tanduke rumengkuh, mring priya myang (IV.5.1-2), (“pandai dan siap melayani apa yang marunira (IV.4.6-7), menjadi kegemaran suami”). (“tindak tanduknya kepada suami dan madunya setyeng priya datan lenggana sakarsa (II.3.9.). menunjukkan sikap persahabatan”). (“setia kepada suami, tidak menolak segala bisa cawis angladeni, kang dadi karem-ing priya, kehendaknya”) myang putra cethi sedene (IV.5.1-3). ing weweka titi (V.6) (“pandai membedakan yang (“dapat melayani apa yang menjadi kegemaran baik dan buruk”) suami, anak maupun para abdi)” wasis salir pakaryaning estri, reratus kekonyoh, kinawruhan maru sesikune, winaweka winoran widadari sang dyah pagurone,winulangken mring memanis, yen rengat pinlim-ping ing wicara arum marune sami (V.6), (V.5.3-6). (“pandai akan segala ketrampilan wanita yang (“para madunya tahu kalau marah selalu ditutupi didapat dari berguru kepada para bidadari, semua ini dengan kata-kata halus, demikian pula kalau diajarkan kepada para madunya”) kecewa”) lawan sukane sang ayu, maos sagung srat palupi miwah marang para maru, rinasuk dipun slon- (VI.6). dhohi, nora keguh rinengonan,gopyak-gapyuk den srowoli, dadya nora bisa duka, lejar lumuntur (“dan kegemaran sang ayu membaca semua kitab- ingkang sih (VI.8). kitab yang memuat keteladanan”) (“kepada para madunya menganggap saudara dengan segala kerendahan hati, tidak begitu saja Demikianlah cara-cara tersebut diturunkan kepada anak mudah percaya bila mendengar suara yang sumbang, cucu perempuan sebagai suatu tradisi, sebagai bekal dengan sikap yang ramah kemarahannya luntur membangun rumah tangga agar lestari tanpa halangan menjadi kasih sayang”) apapun, terlaksana apa yang menjadi cita-citanya, yakni sesuai dengan alam pikiran dan situasi zamannya. 4. memperlihatkan setia baktinya dengan tidak pernah membantah semua kehendak suami serta 3.2. Sastra Anak Zaman menghormati mertua dengan penuh kasih sayang dan bakti, hal ini ternyata dalam: SCR ditulis pada zaman absolut monarkhi, dalam arti kekuasaan mutlak pada Raja. Pada waktu itu masyarakat setyeng priya datan lenggana sakarsa (II.2) Jawa khususnya di Surakarta masih memegang teguh adat istiadat kuna, yaitu tatacara Jawa yang telah 78 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 mendapat pengaruh atau kemasukan unsur-unsur Hindu bersahabat, supel, kuat menjalankan puasa serta dan Islam. Tentang hal perkawinan, poligami gemar berolah puja. merupakan adat yang telah terbiasa. Sebelum menikah (dengan isteri resmi) biasanya para bangsawan maupun (III.3: manawi ngandikan sakeca tetembunganipun, pejabat telah mempunyai selir. Pada zaman itulah SCR merak ati sarta pinter nuju prananing garwa dilahirkan, karena lingkungan yang sedemikian tadi: punapa dene maru, susila ambeg rumengkuh tuwin alam kuna, kolot, alam paseliran. Oleh karena itu corak betah nglara lapa). kesusastraan pada waktu itu tidak jauh dari situasi 3. Retna Ulupi, putri Begawan Kanwa di pertapaan lingkungan atau kodrat zamannya. Watak atau nafas Yasarata. Parasnya sangat elok, pandai melayani sastra wulang (sastra etik didaktik) pada zaman tersebut apa yang menjadi kemauan suami, momong putra tidak lain hanyalah mengutamakan kesetiaan, darma dan para abdi Semua orang Madukara sayang dan bakti wanita kepada suaminya. Sampai th. 1930-an segan kepadanya, hormat serta tertawan oleh daya karya sastra Jawa masih bertemakan permaduan, antara pengaruh (perbawa) keturunan pendeta (IV.5) lain seperti serat-serat wulang: Wulang Estri (1816), Wulang Putri, Wulang Wanita (dalam Serat Wira 4. Retna Gandawati, putri Prabu Arjunayana di negeri Iswara, 1878), Serat Menak Cina (1934), Bab Sriwedari, sungguh cantik jelita, wajahnya serius, Kodrating tiyang gesang tuwin bab mardikaning wanita tenang dan santun serta halus dalam bicara. Tahu (1929), Jalu dan Wanita (1930), dll. membedakan yang baik dan yang buruk. Gerak gayanya sangat menawan, setia dan bakti kepada SCR termasuk sastra etik wanita yang dikodratkan suami, selalu mematuhi perintahnya. Kalau marah dalam tatanan perkawinan pada waktu itu. Kodrat tidak ketahuan karena disampaikan dengan kata- wanita yang selalu dihina atau disewenang-wenangkan kata yang manis. Ia sangat terampil dalam segala oleh kaum pria, hanya selalu harus setia dan bakti pekerjaan wanita, membuat segala ramuan, menuruti kehendak suami. Kewajibannya hanyalah wewangian hasilnya belajar kepada para bidadari, mengabdi dan mengabdi, melayani dengan segenap jiwa ini ditularkan kepada para madunya (V.1-6). dan raganya, yang berarti jiwa dan raganya dikuasai mutlak dan khusus untuk kemuliaan sang suami. Alam 5. Dewi Wara Srikandhi, putri raja Cempalaradya, dan budaya yang mengkodratkan wanita sedemikian Prabu Drupada. Sangat cantik, parasnya bak bulan, itulah yang ditunjukkan oleh SCR. Sifat-sifat wanita lirikan matanya galak-galak manis, tubuhnya sintal utama yang harus dijadikan teladan, digambarkan dalam badannya tinggi semampai. Tutur katanya lepas, tokoh-tokoh wayang, lima isteri Arjuna: gerak gayanya luwes, pantes, memikat, halus budinya. Pandai melayani suami. Ia sangat suka 1. Dewi Wara Sumbadra, wanita utama, putri raja membaca serat-serat wulang, dengan suaranya yang Basudewa di Mandura, adik Sri Baladewa dan Sri merdu mengalunkan tembang Wisatikandheh. Kresna. Putri yang sederhana dalam berhias namun Pandai menyelaraskan busana sesuai dengan tempat sedap dipandang, penuh senyum, tenang dan waktu, menjadi teladan para wanita. Terhadap pembawaannya, halus tutur katanya, tidak pernah para madunya sikapnya bersaudara, tidak mudah mengeluarkan kata-kata kasar. Pemaaf, terpengaruh oleh omongan yang didengar. Ia supel, mengutamakan kebenaran, teguh pendiriannya, tidak jadi marah, hilang marahnya menjadi sayang. setia dan bakti kepada suami, tidak pernah menolak Meskipun sangat disayang Arjuna ia tidak menjadi kehendaknya, sikapnya terhadap para madunya sombong, sebagai balasannya ia hormat dan bakti sama sekali tidak menunjukkan sikap terhadap kepada mertua, sayang kepada Dewi Kunthi, madu pada umumnya wanita. Tidak mempunyai dengan setiap hari ada saja kirimannya, dan semua syak wasangka, tulus lahir batin, penuh pengertian. keinginan Dewi Kunthi selalu dipenuhi. (II.3 : tangkepipun dhateng para maru boten mantra- mantra yen dhateng marunipun, boten kagungan Dikatakan SCR adalah sastra anak zamannya, karena raos sanggarunggi, rila legawa trusing batos, amot menurut kandungan isinya terdapat unsur-unsur sebagai momot mengku aksa ma sarta setya tuhu ing berikut: kakung). 1. Budaya, yakni budaya jawa. Pemilihan lima isteri 2. Dewi Manuhara, putri wiku Manikhara di pertapaan Arjuna sebagai wanita teladan menunjukkan bahwa gunung Tirtakawama. Cantik menawan, tenang, budaya wayang telah mendarah daging dalam kata-katanya manis, merak ati (menarik dan kehidupan masyarakat jawa. menyenangkan), serta pandai melakukan hal-hal yang membuat senang dan sesuai dengan kehendak 2. Historis, yaitu adanya sistem poligami di dalam suami serta para madunya, sopan santun, bersikap masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi di tanah Jawa saja, akan tetapi meliputi seluruh dunia. Di Eropa MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 79 pada zaman feudal atau kerajaan, istana harem di diselingi kata-kata arab. Unsur-unsur animisme, tanah Arab, geisha-geisha di Jepang (Soekarno: 1963: kebudayaan Hindu dan Islam diolah dengan alam 126-128: …perkataan Rumawi “famulus”. “Mereka pikiran jawa menjadi adat tata cara jawa. Kebudayaan mengatakan bahwa hidup perempuan Jepang adalah Hindu yang telah berurat berakar ditambah dengan suatu ‘kesedihan’, tragedi, satu ‘korbanan’, dan bukan kegemaran raja akan cerita wayang kemudian tokoh- sekali-kali satu puisi, satu syair”). Keadaan wanita tokohnya dianggap sebagai nenek moyang sendiri. Oleh sama saja, menjadi abdi lelaki. Wanita tidak karena itu tidak mengherankan apabila dalam SCR mempunyai hak atau tidak dapat mengelak atas wanita yang diambil sebagai suri teladan adalah tokoh- kekuasaan pria karena terbelenggu adat. Di negeri tokoh pewayangan, yakni isteri Arjuna. Hal ini Cina masih ada peninggalan cara kuna: perempuan menunjukkan bahwa budaya wayang yang berkaitan yang dipingit dengan kakinya dibuat kecil, memakai dengan budaya Hindu (Mahabharata dan Ramayana sepatu kecil atau diikat erat, katanya kecil itu indah, adalah kitab suci Hindu) telah mrasuk, mbalung yang sebenarnya hanya muslihat agar perempuan sungsum, merasuk mendarah daging menjadi bagian tidak dapat pergi jauh, lari, agar betah di rumah untuk hidup (dalam alam pikiran jawa) orang jawa. Walaupun melayani suami saja. raja dan masyarakat telah merasuk agama Islam yang berarti budaya Islam menjadi dasar kehidupan 3. Alam pikiran bangsa Jawa. Biasanya perempuan mau masyarakat, namun beliau tidak mengambil isteri Nabi dimadu karena menjadi selir bangsawan berarti Muhammad sebagai teladan, karena Islam masih baru nempil kamukten (numpang hidup senang atau bagi masyarakat walaupun Islam mengenal dan bahagia), apalagi kalau diambil selir raja, seakan-akan memperbolehkan poligami. nempil wahyu karena diberi benih luhur (putra raja). Oleh karena itu kehendak raja memberi ajaran kepada Adapun asal usul poligami kiranya dapat dikembalikan wanita yang dimadu agar berusaha supaya langgeng kepada sejarah kepercayaan. Pada zaman animisme ada perkawinannya, jangan sampai bercerai. anggapan bahwa setiap ujud ada rohnya, danyangnya Peribahasanya seperti orang bertapa akan urung atau mempunyai kekuatan (dinamisme). Orang tapanya, tidak berhasil. Padahal bila manusia menyembah berhala, pepohonan, gunung, dsb, mempunyai cita-cita, ia harus berusaha agar tercapai. mengumpulkan zimat atau barang magi. Semakin Untuk mencapai kamukten, kamulyan, kawibawan banyak barang magi yang dimiliki semakin besar (mukti, mulia, wibawa) manusia harus berusaha suci kekuatan atau kesaktiannya. Demikian pula kalau lahir batin, yang dimanifestasikan dalam pekerti yang banyak isterinya. Wanita, sebagaimana juga kepala luhur. termasuk benda magi. Dalam pewayangan wanita juga sebagai tanda takluk, putri boyongan. Patih Suwanda 3.3. Tinjauan Religius Atas Kedudukan Wanita yang berhasil menaklukkan raja-raja yang melamar Dewi Citrawati (yang kemudian menjadi permaisuri Seperti telah disebutkan di muka, SCR dibuat pada Prabu Arjunasasrabahu) dapat memboyong putri domas waktu pemerintahan PB IX, yang gelar lengkapnya (800 orang) yang kemudian menjadi madunya. Berarti adalah Ingkang Minulya saha Ingkang Wicaksana Patih Suwanda dan juga Prabu Arjunasasrabahu itu Sahandhap Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng sangat sakti. Sampai dengan zaman Hindu, konsep Susuhunan Paku Buwana Senapati ing Ngalaga “daya kekuatan” tersebut ada pada wanita, yaitu konsep Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah “sakti” atau spirit bagi dewa yang menguasai tiga dunia, Ingkang Kaping IX (Yang Mulia dan Yang Bijaksana yakni Trimurti, mereka itu adalah dewa Brahma, Wisnu Di bawah Duli Yang Dipertuan/Sri Paduka Yang dan Siwa. Sakti itu digambarkan sebagai permaisurinya Terhormat Kangjeng Susuhunan Paku Buwana dan merupakan simbol dari sifat serta kuwajibannya. Panglima Perang Yang Pemurah Sayid Pengatur Tanpa sakti, dewa-dewa tersebut tidak dapat berkarya. Agama dan Wakil Tuhan di Dunia). Dari gelar tersebut Bila dewa yang menguasai dunia tidak berkarya maka kita tahu bahwa Islam merupakan agama resmi di tri buwana akan gonjang-ganjing (kacau, banyak huru- Surakarta. Namun demikian pada kenyataannya tatacara hara). yang dipakai tidak seratus persen berdasarkan hukum Islam atau bukan budaya Islam. Banyak upacara- Di alam kedewaan, alam para dewa yang menguasai upacara yang sampai sekarang masih lestari dilakukan tiga dunia itu, permaisuri merupakan simbol sakti atau orang jawa, seperti sesaji untuk roh para leluhur daya kekuatan, ia memiliki kuwajiban sesuai dengan (peninggalan animisme), upacara labuhan di laut selatan kedudukan para dewa penguasa tersebut. Dewi ataupun laut utara, di gunung Lawu dll, bresih desa Saraswati, simbol ilmu pengetahuan adalah sakti dewa upacara untuk menghormat Dewi Sri, dewi kesuburan Brahma sang pencipta dunia. Dewi Sri atau Laksmi dan kemakmuran (pengaruh Hindu), upacara panggih yaitu dewi kesuburan, sakti dewa Wisnu sang penganten, caos dhahar nyuceni pusaka, ringgit lan pemelihara dunia, dan dewi Uma atau Durga adalah ratu gangsa yang telah menjadi adat orang jawa. Doa yang para makhluk halus, demon, simbol pengganggu dunia, digunakan adalah doa jawa, artinya dalam bahasa jawa sakti dewa Siwa sang pengrusak dunia. 80 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8. N0. 2, AGUSTUS 2004: 71-82 Menurut kepercayaan Hindu, isteri dianggap sama a. Menurut konsep sakti seperti yang telah diuraikan di seperti sakti bagi para dewa, yakni sebagai spirit, seperti muka, kelima isteri tersebut diperlukan oleh Arjuna tersebut dalam kitab Manu Smrti IX, bait 26-29: dalam hidupnya, memenuhi darma seorang satria pinandhita. Kekuatan atau spirit satria pinandhita Prajñartham mahābhāgāh, pūjārhā gŗhadīptayah, (satria yang berwatak pendeta) akan selalu stŗiyah çriyaçca gehesu, na wiçeso ‘sti kaçcana (26) memayungi dan menuntun jalan hidupnya, tidak (Tidak ada bedanya antara dewi Sri dan isteri, yang dapat berpisah, selalu mengikuti kemanapun ia pergi, diperisteri dengan harapan agar memberikan itu digambarkan sebagai kelima isteri yang setia dan keturunan, yang mendatangkan keselamatan, pantas yang berwatak satria (dilambangkan sebagai tiga dipuja sebagai pelita rumah tangga) putri raja: Wara Sumbadra yang mengutamakan watak utama, kebenaran, Retna Gandawati yang Utpādanam apatyasya, jātasya paripalanam, mengutamakan wiweka dan Wara Srikandhi yang pratyaham lokayātrāyāh, pratyakşam mengutamakan ilmu), dan watak pendeta stŗīnirbandhanam (27) (dilambangkan sebagai dua putri bagawan: Retna Ulupi yang mengutamakan ketenangan dan Retna (Melahirkan, merawat yang telah lahir, melanjutkan tata kehidupan dunia, itu wanita yang menjadi Manuhara yang mengutamakan berolah puja) seperti sumbernya). yang telah disebutkan dimuka. Apatyam dharmakāryāni, çuçrūşā ratiruttama b. Kelima isteri Arjuna itu dapat pula ditafsirkan dārādhīnastathā swargah, pitŗinām atmanaçca ha sebagai simbol tataran kemajuan jiwa Arjuna, yang (28) dialami dan telah dapat dikuasainya. Dalam mistik India dikenal adanya alam-alam yang harus dilalui (Anak-anak, upacara agama, pengabdian yang setia, oleh seorang mistisi (Jinarajadasa, 1957) yakni: kebahagiaan, sorga para leluhur dan pribadi, semua 1. alam fisik: alam kewadagan, alam kejasmanian. itu ada di telapak tangan wanita). Dalam SCR dilambangkan sebagai Dewi Wara Patim yā nābhicarati, manowāgdeha sangyatā. Sumbadra yang wataknya selalu menuruti sā bhartŗlokan āpnoti, sādbhih sadhwīti cocyate kemauan suami (datan lenggana sakarsa), (29) sehingga seolah-olah kurang mampu berpikir (semu kurang budaya), sangat lugu, polos, (Wanita yang dapat menguasai pikirannya, terserah mau diapakan saja tidak menolak, tidak bicaranya dan badannya, tidak menyebabkan pernah sakit hati ataupun marah. suaminya melakukan penyelewengan, akan 2. alam astral: alam perasaan, penuh kasih sayang mendapatkan sorga di akherat dengan suaminya, dan simpati, digambarkan dengan Dewi dan disebut sadwi, yakni wanita susila). Manuhara yang selalu mengerti apa yang Penokohan kelima isteri Arjuna: dikehendaki suami dan para madunya, semua dilayani sesuai kedudukannya (bisa nuju ing Adapun tokoh-tokoh wanita yang diambil sebagai karsane priya myang marunipun, pinapangkat teladan itu lima orang isteri Arjuna, apakah makna yang denya nglagani, rendah hati, sopan dan tidak terselubung di balik itu? Arjuna yang terkenal sebagai sombong (susila anoraga, sepi ing piyangkuh). ksatria yang berbudi luhur digambarkan beristeri lima, 3. alam mental: alam pikiran, daya cipta, tiga orang putri raja dan yang dua lagi putri pendeta. pengertian, digambarkan sebagai dewi Ulupi, yang tindak-tanduknya bersahabat, bersaudara Dalam SCR dilukiskan lima isteri Arjuna: Wara (tandang tanduke rumengkuh), selalu siap Sumbadra, putri raja Basudewa di Mandura, halus melayani kegemaran suami, para putra dan para budinya, santun, berjiwa besar, serta selalu ingin abdi (bisa cawis angladeni kang dadi kareming berbuat yang utama, sesuai dengan sifat darah ksatria priya myang putra cethi sedene). yang mengalir di tubuhnya. Dewi Gandawati, putri raja 4. alam budhi: alam kesadaran, kesadaran agung, Sriwedari, yang mengutamakan weweka, selalu memilih digambarkan sebagai dewi Gandawati yang perbuatan yang baik daripada yang tidak baik, serta mahir dalam segala pekerjaan wanita yang Wara Srikandhi, putri raja Cempalaradya yang sangat dipelajarinya dari para bidadari, dan gemar membaca kitab-kitab ngelmu, demikian pula kepandaiannya ini ditularkan kepada semua mempunyai watak ksatria. Sedang Retna Ulupi dan madunya sebagai bekal mengabdi suami (wasis Manuhara, keduanya putri pendeta, tidak pernah salir pakaryaning estri, reratus kekonyoh, meninggalkan tirakat dan selalu berulah puja, sesuai widadari sang dyah pagurone, winulangken dengan daya perbawa brahmana yang menurunkannya. mring marune sami, mrih dadia kanthi ngladosi Berikut interpretasi mengenai sifat dan perilaku kelima mring kakung). isteri itu: 5. alam nirwana: alam pembebasan sejati, disimbolkan dengan dewi Wara Srikandhi yang
Description: