ebook img

Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke-16 PDF

14 Pages·2017·2.34 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke-16

ISSN 0125-1790 (print) ISSN 2540-945x (online) Majalah GISeSoNg r0a1fi2 5In -d 1o7n9e0s (iap rVinotl)., 3I1SS, NN o2.5 24,0 S-9e4p5teXm (boenrl i2n0e1)7 (8 - 21) DOI: httpMs:a//jadloaih.o Grgeo/1g0ra.2fi2 I1n4d6o/nmegsiia.2 V5o4l9. 33,1 w, Nebo.:1 h, tMtpasr:e//t j2u0r1n7a l(.1u g- m11.)ac.id/mgi © 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI) © 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia. Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke-16 - 17 dan Dampaknya pada Pertumbuhan Kota Hafid Setiadi1, Hadi Sabari Yunus2, dan Bambang Purwanto3 1Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Indonesia 2Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia 3Fakultas Ilmu Budaya, Univeristas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia Email koresponden: [email protected] Diterima : Juni 2017 ; Direvisi : Juli 2017; Dipubikasikan: September 2017 © 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia. Abstrak Studi ini membahas keterkaitan antara tradisi kekuasaan, produksi ruang, dan pertumbuhan kota. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam pola dan proses spasial produksi ruang kekuasaan dan implikasinya pada pertumbuhan kota. Lingkup penelitian mencakup situasi geopolitik di Pulau Jawa selama abad ke-16 hingga ke-17 ketika Kesultanan Mataram memegang dominasi kekuasaan berlandaskan tradisi sawah. Metode analisis yang diterapkan mengacu pada pemikiran hermeneutika yang mengedepankan metode pembacaan teks. Data penelitian berasal dari sumber-sumber sekunder terutama hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan dalam bentuk artikel, buku, peta maupun makalah seminar. Hasil analisis memperlihatkan bahwa selama rentang waktu tersebut pola dan proses spasial produksi ruang kekuasaan didominasi oleh netralisasi dan pembentukan wilayah pinggiran sebagai konsekuensi dari absolutisme kekuasaan raja. Modus produksi ini menyebabkan terjadinya likuidasi politik terhadap kota-kota tertentu yang ditandai oleh perubahan identitas kota, terutama di wilayah pesisir. Kata kunci: Produksi Ruang Kekuasaan, Kesultanan Mataram, Tradisi Sawah, Identitas Kota, Pertumbuhan Kota Abstract This study discusses the relations between the tradition of power, the production of space, and city growth. This study primarily aimed to comprehend the spatial pattern and process of the production of authority space and its implications for city growth. It covers the geopolitical situation in Java during the 16th and 17th centuries when the Mataram Sultanate ran a dominant power based on ricefield tradition. The analysis method applied in this study referred to hermeneutical thinking, which foregrounds a text reading method. The research data was obtained from secondary resources, especially published research in the forms of articles, books, maps, and seminar papers. The analysis results showed that the spatial pattern and process of authority space production within these centuries were dominated by neutralization and the formation of peripheries, i.e., the consequence of the king’s absolute power. This production mode resulted in the political liquidation of certain cities and, thereby, changed the identity of the said cities, especially those located in coastal areas. Key words: Production of Authority Space, Mataram Sultanate, Ricefield Tradition, City Identity, City Growth PENDAHULUAN Salah satu tema utama dalam Neo-Marxian adalah Sejak tahun 1980-an, kajian geografi diramaikan produksi ruang yang dilandasi oleh pemikiran Henry oleh aliran baru yang dikenal sebagai aliran Neo- Lafebvre. Menurut Lefebvre (1991), produksi ruang Marxian (Ritzer and Goodmann, 2003). Berbeda sangat terkait dengan berbagai praktek yang dilakukan dengan gagasan awal Marxisme yang memandang oleh manusia serta bagaimana praktek-praktek tersebut manusia sebagai makhluk pekerja, aliran Neo- berinteraksi dengan unsur-unsur ruang baik yang dapat Marxian lebih memandang manusia sebagai makhluk dideteksi oleh indera maupun yang terkonsepsi dalam budaya yang berpikir (Adian, 2006). Cara pandang pikiran manusia. Produksi ruang juga terkait dengan ini mendorong kelahiran aliran geografi humanistik subjektivitas dan persaingan kekuasaan (Johnston yang berkembang di bawah tradisi pemikiran kritis dkk., 2000). Proses-proses keruangan dipahami sebagai (Johnston, 1983; Blomley, 2006). Kemunculan aliran wujud dari dialektika antara sistem politik, ekonomi, baru ini merupakan salah satu momentum penting dan sosial (Smith and O’Keefe, 1980; Cox, 2005). Soja dalam perkembangan disiplin geografi yang menandai (1980) menyebut proses ini sebagai socio-spatial dialetic semakin besarnya perhatian terhadap peranan unsur yang dapat menyebabkan perubahan struktur keruangan subjektivitas dan konstruksi sosial dalam membentuk secara radikal sebagai cermin dari perubahan-perubahan gejala keruangan (Buttimer, 2003). Ruang tidak lagi fundamental situasi sosial politik masyarakat. Perubahan dipahami sebagai sebuah wujud fisik; melainkan sebagai fundamental tersebut merupakan implikasi dari adanya representasi dari kesadaran, pengetahuan, dan perasaan pola-pola dominasi dan resistensi di tengah masyarakat manusia (Tuan, 1977; Cavalaro, 2001; Milun, 2007). (Johnston dkk., 2000). Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 Dalam kajian geografi politik, salah satu implikasi pada fakta historis bahwa pada masa itu kekuasaan penting dari perkembangan di atas adalah munculnya politik dan ekonomi di Pulau Jawa telah beralih dari geopolitik kritis yang meyakini gejala-gejala geopolitik Kesultanan Demak yang berbasis perdagangan maritim sebagai konsekuensi dari berbagai praktek keruangan ke Kesultanan Mataram yang berbasis persawahan dan jejaring kekuasaan dalam suatu struktur sosial (Lombard, 2005b; Mulyana, 2003). Perbedaan basis politik tertentu (Agnew, 1998; O’Tuathail and Dalby, kekuasaan menunjukkan perbedaan sistem nilai, 1998). Ruang kekuasaan pun dipahami sebagai wujud pandangan, kepentingan, serta cara dalam menciptakan kesadaran manusia dalam suatu konstruksi politik yang dan mengelola wilayah kekuasaannya. Salah satu produk dinamis serta berperan penting dalam membentuk dari perbedaan itu adalah kemunculan dan keruntuhan identitas politik, budaya dan sosial. Berbagai gejala kota. Dalam hal ini, kota berkedudukan sebagai simbol keruangan yang terkait dengan kekuasaan dipandang sekaligus titik konsolidasi kekuasaan politik yang sebagai sebagai wujud eksistensi dan identitas kekuatan tidak tumbuh di sembarang tempat (Evers and Korff, politik tertentu yang sarat dengan makna. Tema-tema 2002; Gilbert dan Gugler, 2007). Pertumbuhan kota yang terkait dengan produksi ruang seperti pemaknaan, senantiasa terkait dengan pembentukan negara (Field, komodifikasi, pencitraan, dan simbolisasi lokasi 1999). Kota merupakan bagian dari sebuah lingkungan semakin mengemuka (Mammadouh, 1998). lebih luas di mana kekuatan-kekuatan politik saling Sebagai bagian dari geografi kritis, studi ini bersaing demi memperkokoh eksistensinya. Ulasan menelaah mengenai produksi ruang kekuasaan di di atas menunjukkan bahwa gejala pertumbuhan kota Pulau Jawa abad ke-16 hingga abad ke-17. Merujuk mengandung dimensi geopolitik yang sangat kental pada Soja (2000), produksi ruang kekuasaan dapat (Dikshit, 1982; Agnew, 2001). Oleh sebab itu, studi dipahami sebagai teritorialitas. Berlandaskan pada ini bertujuan untuk menelaah gagasan serta praktek pendapat Deleuze dan Guattari, Soja menjelaskan kekuasaan tertentu yang terkait dengan penguasaan dan teritorialisasi sebagai restrukturisasi identitas pengendalian teritorial di balik pembentukan kota. teritorial yang dipengaruhi oleh hubungan antara ruang, pengetahuan, dan kekuasaan. Restrukturisasi METODE PENELITIAN identitas dapat berupa “deteritorialisasi” atau Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif “reteritorialisasi”. Jika deteritorialisasi memperlihatkan yang merujuk pada pemikiran geografi interpretatif. gejala pelemahan ikatan antara identitas dan teritori, Hoggart dkk. (2000) menyatakan geografi interpretatif maka reteritorialisasi justru memperlihatkan gejala senantiasa berupaya mencari dan menemukan makna penguatan. Restrukturisasi identitas juga terkait dengan dari suatu fenomena tertentu. Data yang digunakan konsepsi ulang (re-conception) terhadap teritori baik adalah data kualitatif berupa teks dan peta yang dengan cara perombakan batas, pemberian penafsiran dikumpulkan melalui studi literatur terhadap karya- baru, atau pun penyematan simbol-simbol baru. Soja karya ilmiah yang telah dipublikasikan seperti buku, (2000) juga berkeyakinan bahwa deteritorialisasi dan laporan penelitian, dan makalah seminar. Terkait reteritorialisasi merupakan dua proses teritorial yang dengan keperluan klarifikasi dan validasi, penelitian saling terkait, bahkan dapat terjadi pada saat yang ini menerapkan teknik triangulasi terhadap data atau bersamaan. informasi yang diperoleh dari beberapa sumber. Unit Pandangan Soja (2000) dapat dikombinasikan analisis yang digunakan mencakup unit analisis non- dengan pendapat Taylor (1993) tentang geopolitical spasial yaitu aktor kekuasaan dan unit analisisi spasial code dan geopolitical order untuk menjelaskan produksi yaitu kota. Aktor kekuasaan dipandang sebagai subjek ruang kekuasaan. Kode geopolitik (geopolitical yang aktif melakukan praktek-praktek politik didasari code) mencerminkan konsep ruang yang dianut oleh oleh kesadaran, harapan, motif, serta kepentingan suatu kekuasaan berdasarkan sistem nilai tertentu. yang khas. Adapun mengenai kota, penelitian ini Konsep ini merepresentasikan subjektivitas penguasa memahaminya sebagai produk sekaligus simbol suatu dalam teritorialisasi. Kode geopolitik mempengaruhi kekuasaan yang bekerja menurut tradisi tertentu dalam pemaknaan, penafsiran, dan perlakuan penguasa suatu sistem regional. terhadap tempat-tempat tertentu. Sementata itu, Penelaahan dilakukan berdasatkan suatu tatanan geopolitik (geopolitical order) mencerminkan pemikiran bahwa produksi ruang kekuasaan jaringan spasial suatu kekuasaan yang terangkai antar- merupakan hasil tindakan para penguasa berdasarkan tempat. Tatanan geopolitik merupakan produk dari pemaknaan dan imajinasi spasialnya. Kemunculan serta pemberlakukan kode geopolitik tertentu oleh rezim keruntuhan kota-kota merupakan jejak dari tindakan kekuasaan. Peralihan kekuasaan dari satu rezim ke tersebut yang tercermin melalui perubahan identitas rezim yang lain akan diikuti oleh pergantian kode kota demi membangun eksistensi suatu kekuasaan. geopolitik dan berujung pada perubahan tatanan Pemikiran ini memposisikan kota sebagai sebuah teks. geopolitik. Berdasarkan pemikiran tersebut, langkah berikutnya Penetapan situasi Pulau Jawa pada abad ke-16 adalah memperdalam pemahaman dengan menerapkan hingga ke-17 sebagai cakupan utama studi ini didasarkan metode penafisran berdasarkan prinsip hermeneutika https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |9 ilmiah yang telah dipublikasikan seperti buku, laporan penelitian, dan makalah seminar. Terkait dengan keperluan klarifikasi dan validasi, penelitian ini menerapkan teknik triangulasi terhadap data atau informasi yang diperoleh dari beberapa sumber. Unit analisis yang digunakan mencakup unit analisis non-spasial yaitu aktor kekuasaan dan unit analisisi spasial yaitu kota. Aktor kekuasaan dipandang sebagai subjek yang aktif melakukan praktek-praktek politik didasari oleh kesadaran, harapan, motif, serta kepentingan yang khas. Adapun mengenai kota, penelitian ini memahaminya sebagai produk sekaligus simbol suatu kekuasaan yang bekerja menurut tradisi tertentu dalam suatu sistem regional. Penelaahan dilakukan berdasatkan suatu pemikiran bahwa produksi ruang kekuasaan merupakan hasil tindakan para penguasa berdasarkan pemaknaan dan imajinasi spasialnya. Kemunculan serta keruntuhan kota-kota merupakan jejak dari tindakan tersebut yang tercermin melalui perubahan identitas kota demi membangun eksistensi suatu kekuasaan. Pemikiran ini memposisikan kota sebagai sebuah teks. Berdasarkan pemikiran tersebut, langkah berikutnya adalah memperdalam pemahaman dengan menerapkan metode penafisran berdasarkan prinsip hermeneutika yang memposisikan peneliti sebagai penafsir teks. Sebagaimana dijelaskan oleh Ricoeur (2008), teks adalah tindakan manusia yang meninggalkan jejak, sehingga terbuka Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 ditafsirkan. Kegiatan penafsiran dilakukan dalam dua tahap yang masing-masing tahap yang memposisikan peneliti sebagai penafsir teks. kekuasaan sebagai pelaku tindakan, (2) produksi ruang menggambarkan pembentukan teks dan proses dialogis antara penafisr dan teks (Gambar 1). Sebagaimana dijelaskan oleh Ricoeur (2008), teks kekuasaan sebagai wujud tindakan, (3) kota sebagai Tahapan tersebut mencakup empat unsur utama yaitu (1) pemegang kekuasaan sebagai pelaku adalah tindakan manusia yang meninggalkan jejak, jejak tindakan, dan (4) peneliti sebagai penafsir. Hasil tindakan, (2) produksi ruang kekuasaan sebagai wujud tindakan, (3) kota sebagai jejak tindakan, sehingga terbuka ditafsirkan. Kegiatan penafsiran pemahaman dan penafsiran terhadap teks selanjutya dadni la(k4u)k apne dnaelalmiti dusea btaahgaapi y apnegn maafssiinrg. -m Hasainsgi lt aphaepm ahdaibmerai n mdaaknn a pespnaasifasli raunnt utke rhmaednaupnj utkekkasn sbealhawnaju tya dibmeernig mgamakbnarak asnp paesmiable nutnuktuank t emkse dnaunn pjruokseks adnia lbogaihs wap rpordoudkusik rsuia nrgu akenkgu aksaeaknu maseanaimnb mulkeanni mjejbaku lbkearunp aj ejak antara penafisr dan teks (Gambar 1). Tahapan tersebut pola spasial pertumbuhan kota. berupa pola spasial pertumbuhan kota. mencakup empat unsur utama yaitu (1) pemegang Tahap 1 Tahap 2 Kekuasaan bertradisi sawah Teks Pra-pemahaman = kerangka teoritis Pelaku : Tindakan: Jejak tindakan : Penafsir: Pemegang Produksi Kota Peneliti kekuasaan ruang Pembentukan teks Penafsiran sebagai proses dialogis antara penafsir dan teks Gambar 1. Tahap Penafsiran HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau Jawa baik dari segi ekonomi, budaya, maupun Tradisi Sawah Sebagai Basis Geopolitik Pulau Jawa politik (van Setten van der Meer, 1979; Lombard, 2005c; Abad XVI - XVII Santoso, 2008). Pulau Jawa sering dihubungkan dengan sebuah Dalam hal budidaya padi, pada masa lalu tempat bernama Yavadvipa (Coedés, 2010). Istilah penduduk Pulau Jawa juga mengenal adanya tradisi Yava merujuk pada biji-bijian yang menyerupai ladang berpindah (huma) selain tradisi sawah. Jika padi. Adapun dvipa dapat berarti “pulau”. Jadi Pulau tradisi sawah berasosiasi dengan orang Jawa (Wong Jawa dapat diartikan sebagai pulau padi atau pulau Jowo), maka tradisi ladang berasosiasi dengan orang penghasil beras. Selain Yavadvipa, nama Jawa juga Sunda (urang Sunda). Secara fisiografi, batas spasial sering dikaitkan dengan istilah jewawut. Raffles (1817) antara kedua tradisi tersebut adalah Lembah Ci Tanduy. dalam buku History of Java, memberikan catatan kaki Sebelah barat lembah ini terdapat wilayah dataran yang menjelaskan jewawut sebagai tanaman rumput tinggi dengan puncak-puncak gunung yang sangat berspecies panicum italicum. Hasil utama tanaman rapat, tertutup hutan lebat, dan bercurah hujan tinggi. ini adalah biji-bijian yang dapat diolah sebagai bahan Sebelah timurnya terdapat wilayah dengan puncak- makanan. Nama-nama di atas mengindikasikan bahwa puncak vulkanik yang saling terpisah, lembah-lembah Pulau Jawa adalah wilayah yang kaya akan sumber sungai besar, dan curah hujan relative lebih sedikit. makanan yang selalu dikaitkan dengan padi. Kondisi fisiografi di sebelah timur Lembah Ci Tanduy lebih sesuai bagi kegiatan persawahan daripada sebelah Sebenarnya padi bukanlah tanaman endemik barat. Oleh sebab itu, tradisi sawah sebenarnya lebih Pulau Jawa (Bellwood, 2000). Oleh sebab itu, bagi Pulau merujuk pada wilayah bagian tengah hingga ujung Jawa budidaya padi juga dapat dikatakan sebagai tradisi timur Pulau Jawa yang dikenal sebagai Tanah Jawa asing. Sawah-sawah pertama di Pulau Jawa dibuka di (Gambar 2). Geertz (1983) menyebut wilayah ini Dataran Kedu dan Lembah Brantas (Geerzt, 1983). sebagai “Indonesia Dalam”. Adapun bagian barat Pulau Namun pada akhirnya tradisi sawah pun menjadi Jawa yang kental dengan tradisi ladang lebih dikenal cultural core bagi kehidupan penduduk di Pulau Jawa. sebagai Tanah Pasundan. Tradisi sawah turut menentukan corak kehidupan di 10| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 Gambar 2. Wilayah kultural sebagai basis tradisi kekuaaan Berbeda dengan para peladang, masyarakat sawah pegunungan tengah dan dari situ mereka memperluas adalah masyarakat yang hidup menetap, membentuk wilayah sampai ke seluruh pulau, tapi barulah menjelang permukiman-permukiman besar, mengembangkan 1300 muncul dinasti Majapahit yang berhasil bertahan ikatan sosial, serta memelihara kolektifitas. Tempat- di tengah sambil menjaga hubungan dengan daerah tempat yang cocok untuk menanam padi dipandang persawahan dan pelabuhan yang ramai di tengah sebagai tempat strategis untuk menyemai suatu (Furnival, 2009:8). masyarakat yang terorganisasi (Ricklefs, 2005). Dalam Tradisi sawah merupakan basis geopolitik penting kaitan tersebut, Sumardjo (2007) menyatakan bahwa bagi Kerajaan Hindu Majapahit ketika mencapai masa konsep ruang dalam budaya sawah terwujud sebagai kejayaannya di abad ke-13. Penguasaan Majapahit atas “kesatuan besar yang dikendalikan oleh satu pusat wilayah subur di Lembah Madiun dan Lembah Brantas utama”. Menurutnya, fungsi utama “pusat” adalah merupakan faktor penentu bagi kekuatan perdagangan untuk mengatur dan mengendalikan organisasi sosial maritimnya yang mencakup sebagian besar kawasan Asia dan sumberdaya yang sangat besar. Tenggara (Rahardjo, 2011; Mulyana, 2005; Lombard, Masuknya tradisi India di Pulau Jawa yang 2005b). Pola serupa dilanjutkan oleh penguasa Islam diperkirakan sejak abad ke-5 mempertegas peran pada masa Kesultanan Demak yang berkuasa di Pulau penting pusat. Ajaran Hindu-Budha yang terkandung Jawa pada abad ke-15. Reputasi Demak sebagai pewaris dalam tradisi India turut memperkenalkan konsep kejayaan maritim Majapahit juga ditentukan oleh tentang “gunung suci”. Konsep ini terkait dengan penguasaannya atas wilayah produsen beras di Pengging- keyakinan akan kedudukan Gunung Meru di India Pajang dan Dataran Kedu (de Graff dan Pigeuad, sebagai poros utama yang menghubungkan dunia dewa 2003). Berbasis pada perdagangan beras, Kesultanan dan dunia manusia (Heine-Geldern, 1942). Puncak Demak menjadi aktor utama di balik “kebangkitan gunung menjadi simbol eksistensi kesucian dewa di politik daerah pantai” di Pulau Jawa (Lombard, 2005b). tengah kehidupan manusia. Melalui poros tersebut, Kejayaan maritim tersebut berakhir pada abad ke-16 kesucian dewa dapat diraih dan diturunkan kepada seiring dengan runtuhnya Kesultanan Demak. Penguasa figur-figur tertentu, sehingga melahirkan gagasan baru yang berkedudukan di Pajang tampaknya tidak “raja sebagai titisan dewa” (Moertono, 1985; Sumardjo, tertarik untuk mengembangkan perdagangan maritim. 2007; Santoso, 2008). Pada masyarakat sawah di Pulau Kesultanan Pajang memutar orientasi kekuasaan di Jawa, gagasan ini mempertegas pentingnya sentralisasi Pulau Jawa untuk kembali sepenuhnya ke pedalaman kekuasaan (van Setten van der Meer, 1979; Lombard, (Ricklefs, 2005). Akhirnya menjelang abad ke-17 2005b). Gagasan juga ini memberi andil besar bagi Kesultanan Mataram menghentikan sama sekali politik berlangsungnya mekanisme penggabungan wilayah perdagangan maritim dan menggantinya dengan politik di Pulau Jawa melalui konsep kerajaan yang berbasis persawahan (Reid, 1993; Burhanudin, 2012). pada sistem kekuasaan terpusat (Lombard, 2005b). Dalam politik agraris Kesultanan Mataram, Berkenaan dengan itu, peneliti asal Belanda, J.S. desa-desa ditempatkan sebagai sumber pembiayaan Furnival (2009) menyatakan: pemerintahan melalui sistem lungguh dengan Di Jawa kita melihat dinasti susul menyusul naik cara “membagi desa-desa di antara para penguasa” ke puncak kekuasaan mulai dari daerah persawahan (Moertono, 1985). Sistem ini mengendalikan tingkat di timur kemudian bergerak ke barat ke daerah produksi padi dan mengatur jumlah uang yang akan https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |11 Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 disetor ke kas kerajaan (Lombard, 2005c). Sebagai Rahardjo (2007) menjelaskan kecenderungan ini sumber kekayaan kerajaan, para petani dan keluarganya dengan istilah yang berbeda. Jika Geertz menggunakan dipandang sebagai “makanan negara” (Moertono, istilah “kecenderungan introversif”, maka Rahardjo 1985). Mereka tersebar di desa-desa dan ditempatkan menggunakan istilah “sentripetal”. Keduanya pada hirarki terbawah. Jumlah mereka dijadikan menggambarkan bahwa tradisi sawah memiliki sebagai dasar untuk memperhitungkan besaran pajak kecenderungan untuk lebih mementingkan hubungan yang akan disetorkan oleh setiap desa ke kas kerajaan. ke dalam dari pada ke luar. Melalui system lungguh, Kesultanan Mataram telah Eksistensi dan peran penting pusat menegaskan mengembalikan modal kekuasaan di Pulau Jawa pada karakter mancapat sebagai suatu tatanan kerja penguasaan tanah dan penduduk setelah sebelumnya masyarakat sawah. Dalam tatanan tersebut terdapat pada masa Kesultanan Demak sempat beralih ke struktur sosial hirarkis yang dikendalikan oleh suatu kekuasaan berbasis kekayaan uang yang diperoleh dari otoritas tertentu (Wittfogel, 1957; Braudel, 1979). Setiap jaringan perdagangan maritim. upaya untuk meningkatkan produksi selalu menuntut otoritas terpusat yang semakin kuat (van Setten van Konsep Ruang Tradisi Sawah der Meer, 1979). Setiap pelaksanaan tugas bukan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi diri, tetapi Kalangan masyarakat sawah Pulau Jawa mengenal juga untuk menciptakan manfaat bagi kepentingan adanya konsep mancapat yang merupakan unsur pokok bersama. Meminjam istilah yang disampaikan oleh bagi mentalitas masyarakat sawah Pulau Jawa (Lombard, Mulder (2001), tatanan mancapat mencerminkan 2005b). Melalui hasil kajiannya yang dipublikasikan totalitas kehendak yang dibangun berdasarkan semangat ada tahun 1917, F.D.E van Ossenbruggen berpendapat kerukunan. Setiap elemen melaksanakan tugas dan bahwa arti suku kata pat dalam kata mancapat adalah kewajiban sesuai dengan hirarkinya masing-masing satuan ruang, sedangkan suku kata manca merujuk pada tanpa menimbulkan gangguan pada keseluruhan kelima titik yang membentuk ruang tersebut (Santoso, tatanan. Jakob Sumardjo (2002) dan Nigel Mulder 2008). Mancapat dengan demikian dapat disebut sebagai (2001) mendeskripsikannya sebagai berikut: konsep kesatuan lima (Sumardjo, 2002). Kesatuan lima merujuk pada eksistensi empat mata angin ditambah Masyarakat sawah adalah masyarakat kerja. titik kelima yang terletak tepat di tengah (Lombard, Setiap orang mempunyai tempatnya yang tepat dalam 2005c; Santoso, 2008). Secara keseluruhan, konsep kelompoknya. Etika kerajinan, etika profesi, dan etika mancapat atau kesatuan lima mengandung prinsip dan kerjasama (solidaritas) menjadi dasar moralitas ruang. pola dasar produksi ruang kekuasaan di dalam tradisi Hirarki ruang menjadi penting. Dan setiap ruang sawah. memiliki nilainya sendiri. .... Masyarakat ini sangat mementingkan sifat komunalnya (dependen-kolektif), Bagi masyarakat sawah di Pulau Jawa, konsep solidaritas yang kuat, produktif, dan lokalitas yang kuat mancapat merupakan wujud pemberlakuan hukum (Sumardjo, 2002:23-24) dan tatanan alam semesta pada kehidupan manusia. Jadi, tatanan yang berlaku pada kehidupan manusia Gagasan mengenai kesederajatan...sama sekali merupakan replika dari tatanan alam semesta (Heine- asing...bahkan mengganggu. Hingga batas di mana Geldern, 1942; Mulder, 2001; Santoso, 2008). Dalam orang tidak sederajat secara moral, hingga batas itu pula Macapat terdapat satu kekuasaan absolut yang menjadi ada hirarki yang menjadi tulang punggung organisasi titik pertemuan keempat elemen lainnya. Titik absolut sosial....hirarki organisasi yang jelas menjamin itu adalah pusat. Sebagai titik pertemuan, pusat berperan ketertiban, hirarki yang kondusif untuk menghindari penting untuk memadupadankan berbagai varian yang konflik terbuka dan mempertahankan keseimbangan... muncul dalam kehidupan. Pusat adalah wujud sintesis Ketidaksedarajatan moral muncul secara alamiah dari segala unsur kehidupan guna menciptakan energi (Mulder, 2001:99) bagi keseluruhan sistem kehidupan (Lombard, 2005b). Bagi masyarakat sawah, petani identik dengan Konsep mancapat menekankan perilaku aktif sawahnya (Sumardjo, 2002). Menghimpun para dari suatu pusat. Pusat adalah pemegang, pelaksana, petani berarti menghimpun petak-petak sawah yang dan sekaligus pemelihara kekuasaan (Lombard, 2005c). terbentang luas pada beberapa desa. Meskipun Pusat akan menarik elemen-elemen luar untuk masuk setiap petani memiliki sawah, namun keberhasilan ke dalam lingkaran pengaruhnya. Jadi konsep mancapat pengusahaannya ditentukan oleh kebersamaan, tidak mengenal adanya elemen luar. Konsep ini keharmonisan, serta keseimbangan sosial para petani memahami bahwa “semua ruang adalah ruang dalam” dalam suatu kesatuan besar (Sumardjo, 2007). Ukuran (Sumardjo, 2002). Setiap elemen luar selalu diupayakan dari kesatuan tersebut akan terus membesar seiring untuk ditarik ke dalam. Selain harus menunjukkan dengan upaya peningkatan produksi. Teritori pun loyalitasnya kepada pusat, setiap elemen luar tersebut akan semakin meluas. Masyarakat tipe ini menuntut dituntut untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan kehidupan ekonomi dan politik yang stabil (Rahardjo, kedudukannya dalam hirarki. Geertz (1983b) dan 2007). Organisasi keruangan para petani pun dicirikan oleh ikatan sosial yang kuat dan luas hingga melampaui 12| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 batas-batas kekerabatan dalam suatu tatanan hirarkis- mengalami penguatan bersamaan dengan kembalinya konsentris. Ikatan sosial jauh lebih penting dari pada primordialisme tradisi sawah. Peleburan antara ajaran ketegasan batas teritorial. Islam, warisan Hindu-Jawa, dan tradisi sawah akhinya Tatanan konsentris-hirarkis (Gambar 3) yang melahirkan konsep manunggaling kawula gusti. Pada berlaku pada tradisi sawah tidak dapat dilepaskan dari masa ini penataan kekuasaan politik berjalan bersama- konsep manunggaling kawula gusti yang bermakna sama dengan apa yang disebut oleh Burhanudin (2012) “kemanunggalan antara hamba dan Tuhan” (Mulder, sebagai “upaya penerjemahan Islam ke dalam inti 2001; Sunyoto, 2012), atau “manusia di dalam Tuhan” budaya Jawa”. Para penguasa berupaya mensintesiskan (Zoetmulder, 2000), atau “kesatuan yang sesungguhnya Islam dengan budaya Jawa dan merangkulnya ke dalam dengan Tuhan” (Moertono, 1974). Konsep ini pusat kekuasaan (Reid, 1993). Melalui sintesis tersebut, berakar dari gagasan “raja sebagai titisan dewa” yang konsep kekuasaan Islam yang diusung oleh Kesultanan menempatkan raja sebagai agen utama keselarasan Mataram “harus dapat menyesuaikan diri dengan dan kesejajaran antara dunia dewa (makrokosmos) konsep raja sebagai poros dunia” (Lombard, 2005b). dan dunia manusia (mikrokosmos). Meskipun konsep Kesempurnaan dan kesucian raja dengan demikian ini dilandasi oleh asumsi kesamaan derajat manusia menjadi kode geopolitik terpenting dalam pola di hadapan Tuhan (Sunyoto, 2012), namun manusia- kekuasaan di Pulau Jawa abad ke-17 di bawah Kesultanan manusia tertentu dapat “bergerak naik” hingga tingkat Mataram. Raja memegang kendali penuh atas semua tertinggi selama mereka mampu mempertajam aspek kehidupan sehingga melahirkan absolutisme kemampuan batin, memperdalam intuisi, dan kekuasaan. Absolutisme tersebut menjadikan istana menemukan kesejatian eksistensi dirinya sebagai raja atau kraton menjadi titik sentral bagi seluruh aspek hamba Tuhan (Mulder, 2001). Ketika sudah berada kehidupan. Istana menjalankan dua fungsi sekaligus, pada tingkat tertinggi pun, seorang hamba Tuhan juga yaitu fungsi sakral dan fungsi profan. Jika fungsi sakral harus “bergerak turun” untuk memberikan bimbingan, merujuk pada kesempurnaan, kesucian, kemuliaan, perlindungan, serta kasih sayang kepada mereka yang kewibawaan, kesaktian serta keunggulan batin sang raja, berada di tingkat bawah (Moertono, 1974). maka fungsi profannya lebih terkait dengan perannya sebagai penghubung antara raja dan para pejabat, bangsawan, serta penguasa daerah yang berkedudukan Makrokosmos di luar istana (Santoso, 2008). Kedudukan istana sebagai “pusat tunggal yang dominan” pun mencapai tingkat yang paling sempurna. Istana tidak dapat didirikan pada sembarang lokasi karena lokasi istana Mikrokosmos harus merepresentasikan kesempurnaan dan kesucian kekuasaan raja. Berdasarkan hal tersebut, pengkultusan terhadap figur raja harus didukung oleh pengkultusan terhadap lokasi istananya. Pengkultusan ganda ini menjadi landasan penting bagi berlangsungnya proses dan pola produksi ruang kekuasaan. Pengkultusan ganda tersebut tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut oleh Wessing (2008) sebagai proses pendewaan terhadap tanaman padi. Tanaman padi tidak hanya dipandang sebagai sumber Pinggiran Pinggiran makanan pokok, melainkan juga sebagai lambang kemuliaan dan kesuburan alam. Eksistensi Dewi Pusat Sri sebagai lambang kesuburan dalam kehidupan masyarakat sawah di Pulau Jawa menunjukkan adanya kesetaraan derajat kemuliaan antara kesuburan tanah dan kesuburan wanita (Ricklefs, et al, 2013). Tanah subur dipandang memiliki tingkat kesucian yang tinggi seperti kesuburan rahim wanita. Padi itu sendiri dipandang sebagai benih kehidupan yang akan disemai Gambar 3. Tatanan Ruang Konsentris-Hirarkis dan ditanam di dalam rahim. Dalam perspektif Gambar 3. Tatanan Ruang Konsentris-Hirarkis Masyarakat Sawah Masyarakat Sawah geopolitik, kepercayaan di atas dapat dimaknai “di mana padi dapat ditanam, di tempat itu pula kekuasaan Seiring dengan menguatnya pengaruh ajaran dapat berkembang”. Penghormatan, pemujaan, serta Seiring dengan menguIsalatmn,y gaa gapseann g“raajar usheb aagajia tritaisnan Idselwaam” a,k hgirangyaa san “raja sebagai titisan dewa” pemuliaan terhadap tanah-tanah subur merupakan berubah menjadi “raja sebagai Wakil Allah SWT”. akhirnya berubah menjadi “raja sebagai Wakil Allah SWT”. Dbaagilaan mpen tkineg kbaugia ksebaearlnan juKtane skeuhlidtuapnana.n Dalam kekuasaan Kesultanan Mataram gagasan tersebut Mataram gagasan tersebut mengalami penguatan bersamaan dengan kembalinya primordialisme tradisi sawah. Peleburan antara ajaran Islam, warisan Hindu-Jawa, dan tradisi sawah akhinya https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |13 melahirkan konsep manunggaling kawula gusti. Pada masa ini penataan kekuasaan politik berjalan bersama-sama dengan apa yang disebut oleh Burhanudin (2012) sebagai “upaya penerjemahan Islam ke dalam inti budaya Jawa”. Para penguasa berupaya mensintesiskan Islam dengan budaya Jawa dan merangkulnya ke dalam pusat kekuasaan (Reid, 1993). Melalui sintesis tersebut, konsep kekuasaan Islam yang diusung oleh Kesultanan Mataram “harus dapat menyesuaikan diri dengan konsep raja sebagai poros dunia” (Lombard, 2005b). Kesempurnaan dan kesucian raja dengan demikian menjadi kode geopolitik terpenting dalam pola kekuasaan di Pulau Jawa abad ke-17 di bawah Kesultanan Mataram. Raja memegang kendali penuh atas semua aspek kehidupan sehingga melahirkan absolutisme kekuasaan. Absolutisme tersebut menjadikan istana raja atau kraton menjadi titik sentral bagi seluruh aspek kehidupan. Istana menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi sakral dan fungsi profan. Jika fungsi sakral merujuk pada kesempurnaan, kesucian, kemuliaan, kewibawaan, kesaktian serta keunggulan batin sang raja, maka fungsi profannya lebih terkait dengan perannya sebagai penghubung antara raja dan para pejabat, bangsawan, serta penguasa daerah yang berkedudukan di luar istana (Santoso, 2008). Kedudukan istana sebagai “pusat tunggal yang dominan” pun Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 Proses dan Pola Produksi Ruang Kekuasaan di religius sejak berabad-abad sebelumnya sebagai “tempat Bawah Tradisi Sawah suci yang ideal bagi kekuasan”. Kemunculan tersebut Pada abad ke-16 pusat kekuasaan politik di Pulau bukan hanya meletakkan kembali nilai geopolitik Jawa telah berpindah dari pesisir utara (Demak) ke wilayah pedalaman pada tataran tertinggi, tetapi juga suatu dataran subur di antara Gunung Sumbing dan menjustifikasi proses pemutlakkan raja dan istananya Gunung Lawu di mana terdapat Dataran Kedu dan sebagai pusat tunggal. Kesempurnaan figur raja pun Lembah Bengawan Solo. Lombard (2005a) menyebut berpadu dengan kesucian tanah subur di Dataran Kedu. wilayah ini sebagai “jantung” Pulau Jawa (Gambar 4), Dataran inilah yang berperan sebagai pusat dari segala yaitu tempat tertanamnya kebudayaan Jawa yang paling proses produksi ruang kekuasaan di Pulau Jawa pada murni dan paling halus. Jauh sebelum kemunculan abad ke-16 hingga abad ke-17. Kesultanan Mataram, Dataran Kedu juga pernah Ciri utama dari produksi ruang kekuasaan tersebut menjadi pusat kekuasaan Dinasti Syailendra pada abad adalah menegakkan kembali kekuasaan terpusat yang ke-8 yang beraliran Budha Mahayana. Syailendra itu menjadi ciri khas tradisi sawah seraya mengedepankan sendiri berarti “raja gunung” (Cœdès, 2010). Dinasti politik anti-pesisir. Ciri ini ditandai oleh keputusan ini meninggalkan karya monumental berupa Candi penguasa Mataram untuk meletakkan istananya Borobudur. di balik Gunung Merapi sehingga membelakangi pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa. Penguasa Mataram memilih untuk menghadapkan istananya ke Samudera Hindia yang sepi dan berombak ganas dibandingkan ke arah perairan utara yang tenang dan ramai di Laut Jawa. Ciri anti-pesisir ini dipertegas oleh klaim penguasa Mataram bahwa mereka bukan pedagang seperti raja-raja Jawa lainnya (Burhanudin, 2012), terutama raja-raja Banten dan Surabaya (Vlekke, 2008). Raja Mataram yang bernama Sultan Agung pun memutuskan hubungan dengan dunia perdagangan yang berkembang di pesisir (Reid, 1993; Burhanudin, 2012). Vlekke (2008) mendeskripsikan politik anti- pesisir tersebut sebagai berikut: KKoottaaggeeddee Bagaimanapun keadaannya, kita bisa dengan pasti menyimpulkan bahwa pada pergantian abad ke- 16 menuju abad ke-17, pusat kekuasaan politik Jawa 0 Kilometer 25 telah beralih sekali lagi ke pedalaman. Konsekuensinya bagi daerah-daerah pantai adalah bencana. Penguasa- GambaGra 4m.b Dar a4t. aDraatanra nK Keedduu sseebbagaagi aJain Jtaunngt uPunlagu PJauwlaa u Jawa penguasa di pedalaman itu dan para bangsawan terus Tidak jauh dari Candi Borobudur, terdapat Candi Hindu Prambanan. Santoshoi d(2u0p0 8m) engikuti tradisi kuno dan tidak ada tempat bagi menilai Candi PramTbiadnaank jlaebuihh dmaermi Cpearlnihdaitk Bano rkoebausldiaunr ,b tuedradyaap aJatw Caa ndadrii padpaa rCaa snadui dagar di dunia kesatriaan itu (Vlekke, 2008:117). Borobudur. Menurutnya, Candi Prambanan menandai peleburan antara budaya Jawa dan tradisi Hindu Prambanan. Santoso (2008) menilai Candi India. Candi ini merupakan replika dari struktur makrokosmos yang selalu dikaitkan dengPano litik anti-pesisir ini mencerminkan imajinasi eksistensi GunPurnagm Mberaun dain I ndlieab siehb agmai epmuspate drulinhiaa.t Nkailnai kkeseaaksralilaann Prbamudbaanyaan terlestpaka spiaadl a penguasa Mataram yang meyakini pesisir representasinyJaa wseaba dgaair i“ rpumadaha” Cpaarna ddie wBao ryoabngu dmuern.g Matuer nkuerhuidtunpyaan , dCunaina d(Ji ordan, 2009). sebagai wilayah tercemar yang penuh dengan konflik Keberadaan Candi Prambanan juga sering ditafsirkan sebagai “pembenaran atas penguasaan Prambanan menandai peleburan antara budaya Jawa dan tanah untuk membangun suatu sistem kekuasaan” (Santoso, 2008). Ditinjau dari pdearsnp ekkteift idakstabilan (Lombard, 2005b). Pesisir dan geopolitik, pentraafidsriasni Itnerdseibau. t Cmaenmdpie ritneig ams eidreunptiataksa Dna rtaerpalni kKae ddua rsie sbtarguaik tteumrp at ipdeearld baaggai ngan maritim dipandang sebagai elemen berkembangnyma saukartuo kkeoksumasoaasn ybaesnagr. s elalu dikaitkan dengan eksistensi luar yang mengancam kemantapan dan kesucian Gunung Meru di India sebagai pusat dunia. Nilai Kemunculan pusat kekuasaan Kesultanan Mataran di jantung Pulau Jawak edkeungaasna an. Nilai kemuliaan dan kesucian pesisir jauh kesakralan Prambanan terletak pada representasinya demkian bukan suatu kebetulan. Pusat kekuasaan Islam ini muncul pada suatu tempat ylaenbgi hte lraehn dah dari pada pedalaman. Begitu pula dengan terlegitimasi sseecabraa gkauil tu“rraul-mrealihgi”u sp saerjaak d beewraaba yd-aanbgad mseebnelguamtnuyra kseebhaigdaui p“taenm pat suci yang nilai ke”jawa”annya. Oleh sebab itu, ketika pedalaman ideal bagi kekduuasnania”. ( JKoermduannc,u la2n0 0te9rs)e. bKut ebbuekraand haaannya Cmaenledtaik kParna kmembbaanlia nni lai geopolitik wilayah pedalaman pada tataran tertinggi, tetapi juga menjustifikasi proses pemutlakkand riapjoa sdiasni kan sebagai pusat, maka pesisir dipandang juga sering ditafsirkan sebagai “pembenaran atas istananya sebagai pusat tunggal. Kesempurnaan figur raja pun berpadu dengan kesucsiaenb taagnaahi mancanegara atau daerah luar yang secara subur di Datarpane nKgeudua.s aDaanta ratan ninaihla h uynantgu kbe rmpereamn sbeabnaggaui npu ssaut adtauri ssegisatlea mpr osesk porondsuekpsit ual sama dengan pinggiran. Kategorisasi ini ruang kekuasakane kdiu Pauslaaaun J”a w(aS paandtao asboa,d 2ke0-0186 )h.i n gDgai taibnajda uke -d17a.r i p erspektif merupakan anti-tesis terhadap praktek kekuasaan geopolitik, penafisran tersebut mempertegas identitas Ciri utama dari produksi ruang kekuasaan tersebut adalah menegakkan Kkeesmubltaalin an Demak dua abad sebelumnya. Sesuai kekuasaan terpDuasatta ryaanng K medenuja sdei bcairgi aki htaesm trpaadtis iid seaawla bha sgeir bayear kmeemngbeadnepgannkyaan polditeikn ganatni- kategori itu berkembang pula anggapan bahwa pesisir. Ciri insi udaittaun dkaei kouleahs kaeapnu tbuseasna pr.e n guasa Mataram untuk meletakkan istananya di balik pesisir – terutama kota-kota pelabuhan yang memiliki Kemunculan pusat kekuasaan Kesultanan kemandirian ekonomi – merupakan elemen yang Mataran di jantung Pulau Jawa dengan demkian bukan mudah melepaskan diri. Anggapan ini berarti bahwa di suatu kebetulan. Pusat kekuasaan Islam ini muncul pada pesisir tidak boleh ada dominasi kekuatan sentrifugal; suatu tempat yang telah terlegitimasi secara kultural- sebagaimana diisyaratkan di bawah ini: 14| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 Di dalam negara agraris, gerak atau perubahan Berdasarkan pemaknaan pesisir sebagai “wilayah hanya mungkin dari pusat ke pinggiran .... Dan gerak tercemar yang harus dinetralkan”, maka produksi tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh para pegawai ruang kekuasaan di Pulau Jawa pada abad ke-16 hingga yang merupakan pancaran kekuasaan raja sekaligus ke-17 didominasi oleh netralisasi pinggiran (Gambar menjamin hubungan antara kraton dan daerah-daerah 5). Selain melalui penaklukan pesisir, produksi bawahannya (Lombard, 2005b: 143). ruang kekuasaan juga dilakukan melalui mekanisme Bergerak dalam pusat lingkaran kekuasaan, penggabungan wilayah-wilayah subur ke dalam suatu para abdi raja berperan memancarkan kekuasaan raja tatanan ruang konsentris yang secara keseluruhan sampai ke daerah-daerah kekuasaan yang terjauh. berada di bawah kendali istana. Sejalan dengan konsep Mereka adalah miniatur sang penguasa. Sebagai mancapat, segenap mekanisme tersebut ditujukan “pancaran” raja, mereka harus menjamin keselarasan di untuk memastikan agar setiap elemen mengakui dan bagian dunia (mikrokosmos) yang telah dipercayakan setia kepada kedigdayaan pusat. Untuk itu ikatan sosial kepadanya. Namun dalam batasan ruang gerak yang yang terbangun secara hirarkis-konsentris jauh lebih dipercayakan kepadanya, para abdi raja juga memiliki penting dari pada batas teritorial. Ikatan tersebut suatu kekuasaan yang hampir mutlak. Mereka hidup membentuk suatu poros yang bukan saja berfungsi dari kekuasaannya sebagaimana raja hidup dari sebagai garis kendali, tetapi juga sebagai garis kontak kerajaannya (Lombard, 2005b: 72). untuk kepentingan komunikasi (Santoso, 2008) sehingga dapat menjamin terbentuknya ketertiban yang ideal (Mulder, 2001). Gambar 5. Proses dan Pola Spasial Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad XVI - XVII Selama periode abad ke-16 hingga abad ke-17, Kesultanan Mataram memperlihatkan bahwa upaya sistem dan ideologi Kesultanan Mataram menjadi pola untuk mendirikan struktur kekuasaan yang mantap dominan di Pulau Jawa yang mana kesempurnaan, tidak dapat hanya bertumpu pada kekuatan senjata kesucian, dan kemutlakkan kekuasaan raja menjadi kode dan penaklukan penguasa local; tanpa tidak disertai geopolitik terpenting. Berdasarkan kode geopolitik pemulihan suatu tatanan agraris yang mapan seperti itu, raja dan istananya diposisikan sebagai “pusat yang digambarkan di bawah ini: dunia”. Pola ini melandasi proses pemulihan tatanan Di tengah-tengah adalah kraton di mana terdapat geopolitik bercorak hirarkis-konsentris di Pulau Jawa kediaman raja dengan struktur “pemerintahan dalam”. sesuai dengan promordialisme tradisi sawah yang telah Di sekitarnya terdapat ibukota atau nagara tempat diperkaya oleh tradisi India dan Islam. Sebagaimana kedudukan “pemerintah luar” dan para bangsawan. Di akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya, sekitar ibukota terdapat lingkaran nagaragung berupa netralisasi pinggiran dan pembukaan sawah mewarnai tanah-tanah lungguh yang dipercayakan kepada para upaya pembentukan tatanan geopolitik ini. Para pangeran…sebagai sumber pajak bagi kraton. Lingkaran penguasa Mataram mempunyai andil besar dalam terluar dan terakhir adalah mancanagara atau “daerah pembukaan Tanah Pasundan bagian timur sebagai luar” yang letaknya jauh dari pusat kekuasaan di mana bagian dari upaya men”dalam”kan elemen luar. Merujuk raja mengangkat para bupati yang langsung tunduk pada Lombard (2005b), produksi ruang kekuasaan pada kekuasaan kraton (Lombard, 2005b: 99). https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |15 Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 Pertumbuhan Kota Sebagai Implikasi Teritorialisasi bercorak agraris. Beberapa kota di pesisir seperti Pati, dalam Produksi Ruang Kekuasaan Kudus, dan Grobogan juga segera mengakui kedudukan Produksi ruang kekuasaan oleh Kesultanan Sultan Mataram sebagai penguasa Pulau Jawa (de Graff Mataram selama abad ke-16 hingga ke-17 menimbulkan dan Pigeaud, 2003). teritorialisasi hingga ke seluruh pulau, kecuali ujung Dalam kondisi di bawah politik anti-pesisir, barat Pulau Jawa. Produksi ruang kekuasaan tersebut identitas kota-kota tersebut sebagai “pembangkit ditandai oleh penaklukan dan penguasaan beberapa gerakan ke luar” diubah menjadi “pemberi keuntungan kota penting di Pulau Jawa. Kota-kota di pesisir utara bagi pusat”. Eksistensi mereka tidak lagi identik dengan mulai dari Demak hingga Surabaya dan Pasuruan aktivitas pelabuhan. Kota-kota pelabuhan ditempatkan berhasil direngkuh ke dalam kekuasaan Mataram. sebagai titik-titik terluar dan terjauh dari pusat Begitu pula dengan kota-kota di pedalaman di bagian kekuasaan yang sepenuhnya dikendalikan oleh istana. tengah hingga timur yang merupakan pusat produksi Mereka adalah simbol kekuasaan dan kepanjangan padi. Terakhir, kota dan pusat permukiman pada tangan raja di pinggiran. Kedudukan masa lalu kota- wilayah-wilayah depresi di Tanah Pasundan bagian kota tersebut sebagai “entitas yang menentukan” timur. kini menurun menjadi “entitas yang ditentukan”. Sebagian besar kota-kota di atas adalah produk Perdagangan maritim hanya dipandang sebagai sumber sekaligus simbol dari rezim kekuasaan sebelumnya. hadiah atau pungutan bagi istana (Reid, 1999). Beberapa di antaranya seperti Surabaya dan Pasuruan Bersamaan dengan hilangnya peran pelabuhan, dipandang sebagai kompetitor bagi penguasa Mataram hilang pula gaya-gaya sentrifugal yang digerakan (de Graaf dan Pigeud, 2003). Kompetitor adalah olehnya. Hal ini berimbas pada melemahnya eksistensi sumber ketidakstabilan yang tidak dapat diterima masjid sebagai pusat yang menyeimbangkan dan keberadaannya dalam konsep ruang tradisi sawah. Demi meredam gaya sentrifugal tersebut. Daya tawar memulihkan tatanan geopolitik agraris, Kesultanan masjid di hadapan istana mengalami penurunan Mataram menyematkan identitas baru pada kota- drastis. Konsep manunggaling kawula gusti juga turut kota tersebut demi merepesentasikan kekuasaannya. mengurangi peran penting masjid baik sebagai pemberi Sesuai dengan konsep “dominasi pusat tunggal”, kota- legitimasi kesucian maupun simpul integrasi sosial kota tersebut diberi identitas sebagai kota pinggiran. bagi kepentingan kekuasaan raja. Para ulama tidak Pemberian identitas ini menandakan berlangsungnya lagi sepenuhnya memegang kekuasaan religius. Dalam netralisasi pinggiran. Dalam proses ini, kota-kota Kesultanan Mataram, ulama adalah pegawai kerajaan mengalami perubahan status dari elemen luar menjadi (Burhanudin, 2012). Kedudukan mereka terbungkus elemen dalam. Citra, karakter, serta kekuatan yang dalam absolutisme kekuasaan raja. melekat pada setiap kota dinetralkan oleh Kesultanan Menurunya peran dan kedudukan politik para Mataram. Satu-satunya citra yang harus ditampilkan ulama berakibat pada menghilangnya identitas beberapa adalah kewibawan dan kesempurnaan kekuasaan raja. kota pesisir yang pada abad ke-15 dikenal sebagai Implikasi terberat dari penyematan identitas baru kota suci atau kota dakwah. Kota-kota tersebut selalu ini dialami oleh kota-kota pesisir seperti Demak, Jepara, diidentikkan dengan eksistensi para ulama terutama Tuban, Gresik, dan Surabaya yang pada abad sebelumnya Wali Songo di masa itu. Tempat tersebut menjadi tempat dikenal sebagai pusat perdagangan maritim. Netralisasi Wali Songo bermukim dan memusatkan kegiatan pinggiran yang dilakukan oleh Kesultanan Mataram dakwahnya. Namun saat ini ulama dan masjidnya tidak berhasil mengakhiri kebebasan serta kemandirian lagi berperan sebagai penentu eksistensi kota. Seiring ekonomi kota-kota tersebut (Vlekke, 2008). Meskipun dengan itu, runtuh pula simpul-simpul “jaringan orang tetap diposisikan sebagai pelabuhan, kedudukan Jepara suci” yang sesungguhnya menjadi akses utama para sebagai pusat perdagangan maritim menurun karena ulama untuk memasuki lingkaran terdalam kekuasaan berkurangnya kebebasannya untuk bergerak ke luar politik (Burhanudin, 2012). (Mulyana, 2003). Kota pelabuhan Gresik juga mengalami Implikasi lebih lanjut dari keruntuhan ini adalah kemunduran akibat adanya pungutan yang relatif tinggi hancurnya dwi-tunggal antara Demak dan Jepara yang terhadap keuntungan perdagangan maritim (Schrieke, sesungguhnya mencerminkan kolaborasi antara istana 1957). Identitas Gresik pun berganti menjadi kota pasar (kekuasaan politik/raja), masjid (kekuasaan religius/ guna tempat menampung hasil bumi dari pedalaman ulama), dan pelabuhan (kekuasaan ekonomi/pedagang). melalui Bengawan Solo (Tjiptoatmodjo, 1983). Surabaya Pelabuhan dan masjid tidak lagi menjadi komponen dijadikan sebagai “pusat di pinggiran” demi mewakili utama pembentuk identitas kekuasaan. Istana dengan kepentingan raja di bagian timur Pulau Jawa (Lombard, demikian muncul sebagai satu-satunya pusat. Proses 2005b). Penaklukkan Surabaya pada dekade kedua abad pemutlakkan kekuasaan raja pun berlangsung tanpa ke-17 menjadi tanda berakhirnya netralisasi pesisir. halangan. Pemutlakkan tersebut sesungguhnya tidak Meskipun dapat terus bertahan sebagai kota pelabuhan terlepas dari proses penterjemahan ajaran Islam ke (Rutz, 1987), namun kedudukan geopolitik Surabaya dalam tradisi sawah yang berlaku di Pulau Jawa; yang tidak mampu menandingi reputasi Mataram yang lebih di dalamnya terdapat lapisan tebal unsur-unsur India. 16| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21 Penterjemahan itu memunculkan kembali mitos persawahan hingga memasuki Tanah Pasundan yang “gunung suci” yang kemudian dijadikan sebagai salah berakar pada`tradisi ladang. Pembukaan persawahan satu alasan untuk memunculkan istana pada dataran ini menyelusup ke wilayah-wilayah depresi yang subur di sekitar kaki gunung. tersembunyi di antara puncak-puncak gunung di Demi memulihkan tatanan agraris para penguasa wilayah pegunungan Pasundan hingga akhirnya Mataram juga memerintahkan pembangunan mencapai Dataran Sumedang (Gambar 6). Selanjutnya, jaringan irigasi seperti di Kali Winonga dan di Kali proses tersebut meluas ke arah barat hingga mencapai Bedog (Lombard, 2005b). Pembangunan irigasi ini tepi Ci Manuk. Gerakan ini disebut oleh Lombard merupakan bagian dari strategi Mataram untuk (2005c) sebagai “pembukaan Tanah Pasundan”. Gerakan memantapkan kehidupan ekonomi demi menopang ini berhasil menjadikan Sumedang sebagai vasal struktur kekuasannya khususnya ke arah pedalaman Kesultanan Mataram. Penguasa Sumedang diangkat (Lombard, 2005c). Modus produksi ini memberikan menjadi “koordinator” kekuasaan Mataram di Tanah keuntungan bagi kota-kota yang terletak di lembah- Pasundan (Muhsin, 2008). Sumedang kini menjadi titik lembah sungai besar, seperti Lembah Madiun dan pancar utama bagi kekuasaan Raja Mataram di Tanah Lembah Brantas. Kota Madiun, Kediri, dan Malang Pasundan. Tanah-tanah di wilayah ini pun berada di yang pernah berjaya secara politik dan ekonomi sebagai bawah penguasaan Sultan Mataram. Sejalan dengan itu, basis kekuasaan Hindu di Pulau Jawa pada abad ke-10 muncul beberapa pusat permukiman di sepanjang jalur hingga ke-11; memperoleh momentum untuk muncul persawahan seperti Dayeuh Luhur, Limbangan, Balubur, kembali meskipun hanya sebagai kota pinggiran. Selain Ciamis, dan Dayeuh Kolot (Rutz, 1987). Kemunculan ketiganya, pusat-pusat permukiman juga muncul di pusat-pusat permukiman ini dapat dipahami sebagai Banyumas, Kedu, Ungaran, Salatiga, Wates, Magetan, bentuk teritorialisasi Kesultanan Mataram agar dapat Grobogan, Nganjuk, Kertosono, Probolinggo, dan mengendalikan secara sekaligus tanah dan tenaga Besuki (Rutz, 1987). Penguasa Mataram juga membuka kerja. Gambar 6. Produksi Ruang Kekuasaan di Tanah Pasundan Melalui Pembukaan Sawah Tahun 1625 sebagian besar pesisir utara Jawa hingga Pasuruan telah berada di bawah kendali Mataram (Rutz, 1987). Hanya Kesultanan Banten dan Cirebon yang hingga menjangkau tempat-tempat penanaman lada di relatif bebas dari pengaruh kekuasaan Sultan Mataram. bagian selatan Sumatera. Sejak jatuhnya kekuasaan Demak, kedua kesultanan Secara keseluruhan, netralisasi dan pembentukan yang terletak di bagian barat tersebut memperoleh wilayah pinggiran oleh Kesultanan Mataram telah keuntungan ekonomi tersendiri dan berkembang menciptakan integrasi regional yang lebih mantap sebagai simpul transportasi laut ke arah Selat Sunda di Pulau Jawa pada abad ke-17, terutama di bagian dan Selat Malaka. Sejak abad ke-16, Cirebon tetap tengah hingga timur. Kesultanan Mataram berhasil bertahan sebagai kota persilangan (Lombard, 2005a). memulihkan kembali tatanan geopolitik negara agraris Keuntungan ekonomi yang diterimanya memungkinkan di Pulau Jawa yang sempat merosot selama abad ke-15 Cirebon untuk membina hubungan dagang hingga ke hingga ke-16 (Lombard, 2005b). Ibukota Kesultanan pedalaman. Adapun Banten melakukan hal yang sama Mataram beserta istananya muncul sebagai geopolitical https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |17

Description:
ke-8 yang beraliran Budha Mahayana. Syailendra itu sendiri berarti . Mereka adalah simbol kekuasaan dan kepanjangan tangan raja di pinggiran.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.