ebook img

produksi kopi di priangan pada abad ke-19 PDF

13 Pages·2017·0.26 MB·English
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview produksi kopi di priangan pada abad ke-19

Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 Paramita: Historical Studies Journal, 27 (2), 2017: 182-194 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v27i2.11160 PRODUKSI KOPI DI PRIANGAN PADA ABAD KE-19 Mumuh Muhsin Z. Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran ABSTRACT ABSTRAK This research examines the coffee production Penelitian ini mengkaji produksi kopi di Pri- in Priangan in the 19th century. The issues angan pada abad ke-19. Masalah-masalah that will be revealed in this research are formu- yang akan diungkap dalam penelitian ini diru- lated in the following questions: how was the muskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: ecological condition of Priangan making it bagaimana kondisi ekologis Priangan sehingga suitable for cultivating coffee crops? How to cocok untuk membudidayakan tanaman kopi? manage human resources to work on crops of Bagaimana mengelola sumber daya manusia coffee? How was the price of coffee both in untuk mengerjakan tanaman kopi? Bagaimana local and international market? The answers to situasi harga kopi di tingkat lokal dan harga di these questions become the goal of this re- pasaran internasional? Mengungkap jawaban search. To work on this study used method of atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi history that includes four stages of work, i.e., tujuan dari penelitian ini. Untuk mengerjakan heuristic, criticism, interpretation, and histori- penelitian ini digunakan metode sejarah yang ography. meliputi empat tahapan kerja, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Keywords: coffee production, Residency Pri- angan, 10th century Kata-kata kunci: Produksi Kopi, Keresidenan Priangan, Abad ke-19 Author correspondence Email: [email protected] 182 Available online at http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 PENDAHULUAN melipuiti empat tahapan yaitu (1) heuris- Priangan abad ke-19 bukan lagi merupa- tik, mencari sumber; (2) kritik, mengkritik kan issue lokal, tapi sudah berada pada sumber baik secara eksternal maupun in- kisaran persoalan regional, bahkan mondi- ternal; (3) interpretasi, menafsirkan sum- al. Semua itu dimungkinkan terjadi ber- ber yang sudah lolos kritik; dan (4) histori- kat komoditas yang dihasilkan Priangan ografi, menuliskan laporan penelitian. yang laku di pasar internasional. Nila Untuk mengungkap persoalan terse- (indigo), kopi, teh, dan kina merupakan but di atas tampaknya tidak cukup me- empat produk unggulan yang berasal dari madai bila hanya secara deskriptif-naratif Priangan pada abad ke-19, di samping yang berkisar pada upaya menjawab per- produk lainnya yang masuk kategori tanyaan apa, siapa, di mana, dan kapan. bukan produk unggulan (minor crops). Di Jawaban atas pertanyaan bagaimana dan antara empat produk unggulan tesebut, mengapa pun harus dieksplisitkan; dan kopi menempati urut pertama. untuk itu diperlukan penjelasan yang ber- Pemerintah kolonial menerapkan sifat analitis dan struktural. Bantuan pen- kebijakan ekonomi di Priangan hampir dekatan ilmu-ilmu sosial seperti an- tanpa perubahan, yaitu diberlakukannya tropologi, sosiologi, dan ilmu politik di- sistem eksploitasi yang dikenal dengan perlukan karena kajian historis yang bersi- sebutan Preangerstelsel. Sistem ini berlaku fat diakronis saja dianggap tidak cukup. sejak VOC berkuasa pada tahun 1677 Untuk memperoleh gambaran yang utuh hingga tahun 1870 ketika Pemerintah Ko- perlu dilengkapi dengan analisis secara lonial Belanda menerapkan sistem sinkronis. Dengan cara ini pula eksplanasi ekonomi liberal. Bahkan, Preangerstelsel historis yang dihasilkan diharapkan cukup menjadi purwarupa bagi sistem eksploitasi memadai. ekonomi pada periode 1830-1870, yaitu dengan diterapkannya Sistem Tanam HASIL DAN PEMBAHASAN Paksa (Cultivation System). Ketika Sistem Sejarah Priangan periode kolonial hampir Tanam Paksa dihapus dan digantikan oleh identik dengan penanaman kopi. Hal itu Sistem Liberal dan diterapkannya Un- didasarkan pada kenyataan bahwa selama dang-Undang Agraria tahun 1870, praktik hampir dua abad wilayah ini menjadi tem- Preangerstelsel tidak dihapuskan sepe- pat eksploitasi kolonial melalui tanaman nuhnya, terutama untuk jenis tanaman kopi. Lebih dari itu, Priangan pun meru- tertentu, dengan argumen bahwa sistem pakan tempat pertama kali diperkenal- itu sangat menguntungkan pemerintah kannya (diujicobakan) tanaman kopi di kolonial (de Klein, 1931: 74 – 77). Pulau Jawa. Kemudian, secara kuantitatif Khusus berkait dengan kopi, mun- pelaksanaan tanaman kopi di Priangan cul masalah yang dapat dirumuskan da- melibatkan jumlah tenaga kerja dan lahan lam sejumlah pertanyaan berikut: yang sangat ekstensif, sehingga produksi bagaimana kondisi ekologis Priangan se- kopi dari keresidenan ini selalu paling hingga cocok untuk membudidayakan tinggi dibandingkan dengan keresidenan tanaman kopi? Bagaimana mengelola lain di seluruh Pulau Jawa. Di samping sumber daya manusia untuk mengerjakan itu, untuk kepentingan kopi pula di tanaman kopi? Bagaimana situasi harga Keresidenan Priangan diberlakukan se- kopi di tingkat lokal dan harga di pasaran buah sistem yang sangat lama masa berla- internasional? Mengungkap jawaban atas kunya, yaitu Preangerstelsel dari 1677 tahun pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi hingga tahun 1870 (de Klein, 1931). tujuan dari penelitian ini. Arti penting kopi Priangan bagi keu- angan VOC dapat digambarkan sebagai METODE PENELITIAN berikut. Pada tahun 1726 VOC menguasai Untuk menjawab masalah penelitian ter- 50% hingga 75% perdagangan kopi dunia. sebut di atas dilakukan penelitian dengan Dari jumlah yang diserahkan VOC itu, menggunakan metode sejarah. Metode ini sebanyak 4.000.000 pon atau hampir 75% 183 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 diproduksi di Priangan. Data lebih lanjut, 2.141.000 pohon kopi, 1.041.000 di an- untuk keuangan Negeri Belanda, pada taranya sedang berbuah. Di Priangan Bar- pertengahan pertama abad ke-19, kopi at penduduk mulai menanam kopi di selalu merupakan produk yang mem- tanah milik sendiri dalam skala luas. Pri- berikan keuntungan sangat besar. Misal- angan Timur dan Tengah segara mengiku- nya, antara 1840 dan 1849 saja diperoleh tinya. Oleh karena itu, sekitar tahun 1725, keuntungan dari kopi sebesar 65 juta gul- secara mengejutkan kopi Priangan dapat den; sedangkan dari indigo sebesar 15 juta mengungguli Yaman sebagai pusat utama gulden. Adapun gula sampai tahun 1845 produksi kopi dunia (Knaap, 1986: 36). belum menguntungkan. Penyumbang Sebagai perbandingan, kopi yang yang terbesar kopi adalah dari Priangan dibeli VOC dari Yaman dan Priangan dari (Fasseur, 1975: 36). Sebagai produsen uta- tahun 1722 sampai 1728 dapat dilihat ma kopi, posisi Priangan pertama kali tabel 1. tergeser oleh Keresidenan Pasuruan pada permulaan tahun 1860-an. Jumlah lebih Tabel 1. Jumlah kopi yang dibeli VOC dari rinci produksi kopi antara tahun 1854- Yaman dan Priangan (1722 – 1728) (ton) 1870 di beberapa keresidenan di Jawa ter- dapat dalam tulisan R.E. Elson (1994) Tahun Yaman Priangan berjudul Village Java under the Cultivation 1722 832 6 System 1830-1870. Awalnya, kopi diperkenalkan VOC 1723 427 36 ke daerah Priangan pada permulaan abad 1724 399 663 ke-18. Kopi pertama kali ditanam tahun 1725 228 1.264 1707. Motivasi yang mendorong VOC menanam kopi di wilayah ini adalah san- 1726 277 2.145 gat berkaitan dengan kompetisi pasar kopi 1727 264 2.076 dunia. Menjelang berakhirnya abad ke-17 permintaan kopi di Eropa meningkat. 1728 0 2.021 Merespons kebutuhan kopi untuk pasar Sumber: David Bulbeck et al. (comp.). 1998. Eropa VOC membelinya dari Yaman da- Southeast Asian Exports since the 14th lam jumlah yang terus meningkat. Misal- Cloves, Pepper, Coffee, and Sugar. Sin- nya, pada tahun 1695 dibeli 300.000 sam- gapore: Institute of Southeast Asian pai 400.000 pon, tahun 1707 dibeli Studies, hlm. 144. sebanyak 500.000 pon, dan dari tahun 1715 sampai beberapa tahun berikutnya Pertanyaan yang kemudian muncul ada- dibeli hampir 1.500.000 pon (Knaap, lah bagaimana sistem penanaman kopi di 1986: 36). Keresidenan Priangan beroperasi sehingga Pembeli kopi dari Yaman, tentu berjalan relatif stabil, paling tidak, hingga saja, bukan hanya VOC, tetapi juga nega- pertengahan pertama abad ke-19. Keber- ra-negara lain seperti Inggris, Turki, dan hasilan penanaman kopi sangat berkaitan sebagainya. Akibatnya, persaingan terjadi dengan beberapa faktor, antara lain, tanah dan bahkan menajam. Pada gilirannya, yang cocok, tersedianya tenaga kerja, har- harga kopi pun meningkat, sehingga ga kopi, persentase penanaman, dan marjin keuntungan yang diperoleh VOC pengawasan. mengecil. Oleh karena itu, untuk meng- ganti posisi Yaman, VOC berupaya men- Ekologi dan Tanah cari wilayah alternatif yang dapat Untuk keberhasilan tanaman kopi, faktor memproduksi kopi dalam jumlah banyak. pertama adalah kecocokan tanah. Prinsip- Didapatkanlah Priangan sebagai tempat nya, kopi ditanam pada tanah yang yang cocok untuk tanaman kopi. Pada masih belum digarap yang jaraknya cukup tahun 1723 dilaporkan bahwa di Keresi- jauh dari perkampungan penduduk. denan Priangan terdapat hampir Ketinggian tanah pun sangat penting; ide- 184 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 Tabel 2. Jumlah Pohon Kopi di Kabupaten-Kabupaten Keresidenan Priangan (1832-1864) Jumlah Total Pohon Kabupaten 1832 1835 1836 1839 1864 Cianjur 13.017.006 19.180.432 24.202.804 24.488.406 13.619.303 Bandung 15.942.158 30.020.550 30.247.200 29.398.100 20.041.750 Sumedang 9.971.177 17.736.760 18.587.093 8.598.230 10.100.360 Limbangan 5.965.989 8.045.155 10.245.845 18.979.676 5.252.983 Sukapura 375.000 6.225.670 10.678.612 5.627.097 2.005.337 Total 45.271.331 81.208.567 93.961.554 87.091.509 51.019.733 Sumber: Algemeen Verslag (A.V.) Preanger, 29a/19, 1932; A.V. Preanger 36/3, 1835; A.V. Preanger, 2/7, 1935; Preanger Statistiek 1836, A.V. Preanger 7/1, 1837; A.V. Preanger 34/1, 1839; A.V. Preanger 30/6, 1864. alnya antara 1.000 sampai 4.000 kaki. Barat merupakan areal utama produksi P.F.H. Fronberg, seorang ahli kimia per- kopi, kemudian diikuti oleh Priangan Ti- tanian menyatakan bahwa menanam kopi mur, begitu juga di antara kabupaten- di bawah 1.000 kaki harus dihindari. Pada kabupaten di Priangan Timur pun ber- tanah berketinggian lebih dari 4.000 kaki beda. Misalnya, Kabupaten Bandung dan tanaman kopi bisa produktif lebih lama Cianjur lebih produktif daripada Kabupat- dan dapat berumur lebih panjang ketim- en Parakanmuncang dan Sumedang. bang yang ditanam di pelataran yang lebih Meskipun kewajiban memperluas rendah (van Baardewijk, 1994: 161). tanaman kopi dan meningkatkan Tanaman kopi biasanya terletak di produksinya sudah berlangsung lama, deretan lebih rendah dari tanah yang ber- bahkan sejak periode VOC, tapi dampak bukit-bukit dari kemiringan gunung. Lan- regionalnya tidak sama. Perbedaan skap Priangan didominasi oleh rangkaian jumlah total pohon dan produksi kopi di pegunungan dan dataran tinggi. Lanskap antara kabupaten-kabupaten di Keresi- seperti ini memberikan perlindungan yang denan Priangan antara lain disebabkan baik terhadap tanaman kopi dari tiupan karena pebedaan ketinggian (altitude) dari angin laut yang kencang. Priangan yang masing-masing kabupaten dan tingkat merupakan wilayah yang belum padat kecocokan serta kesuburannya. Sebagai penduduknya memiliki lahan tanah liar contoh konkret dari perbedaan ini dapat yang sangat luas. Kopi sangat baik pada dilihat jumlah pohon kopi di tiap kabupa- tanah yang baru dibuka dari hutan primer ten di Keresidenan Priangan pada tahun (Knaap, 1986: 44). Oleh karena itu, dapat 1832 – 1864 (Tabel 2). dipahami jika dalam Laporan Penanaman Perbedaan jumlah pohon kopi paralel (the Cultivation Reports) tidak pernah dise- dengan perbedaan jumlah produksinya. butkan berapa luas bau tanah yang Semakin banyak jumlah pohon kopi, se- digunakan untuk tanaman kopi. Bau makin banyak pula produksinya. Kabu- merupakan unit ukuran luas, kira-kira sa- paten Bandung merupakan kabupaten ma dengan 500 Rijn roeden2 atau 7096,5 m2 terbanyak jumlah pohon kopinya, kemu- atau 1,7587 acre (ukuran Inggris) (Maten en dian disusul oleh Cianjur, Sumedang, Gewichten van Nederlandsch Oost-Indie hand- Limbangan, dan Sukapura (lihat tabel 3). boek voor cultuur en handels-ondernemingen in Alasan di balik angka ini adalah faktor nederlandsch indie,1914). natural dan struktural. Faktor pertama Di Keresidenan Priangan sendiri, berarti bahwa kabupaten-kabupaten di tanah yang cocok untuk tanaman kopi sebelah selatan tidak begitu cocok untuk tidak sama untuk tiap daerah. Priangan tanaman kopi. Faktor kedua berarti bah- 185 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 Tabel 3. Perbandingan Produksi Kopi di Kabupaten-Kabupaten Keresidenan Priangan (1820-1835) (dalam pikul [125 pond Amsterdam]) Kabupaten Tahun Total Cianjur Bandung Sumedang Limbangan Sukapura 1820 10.487 17.311 5.917 4.570 0 38.285 1822 24.837 26.931 17.542 17.264 0 86.574 1824 18.512 23.172 13.890 10.102 0 65.676 1826 24.770 24.473 16.278 15.312 0 80.833 1828 42.109 23.139 15.328 14.206 0 94.782 1830 18.748 22.084 11.693 9.649 0 62.174 1832 11.543 22.328 9.560 9.805 0 53.236 1834 46.711 74.428 20.122 18.045 717 160.023 Sumber: "Statistiek der Residentie Preanger Regentschappen 1837", Preanger 29a/1 1837, ANRI. wa kabupaten-kabupaten yang terletak mediary heads) yang memliki pengaruh jauh dari pusat pemerintahan keresidenan, nyata pada implementasi sistem eks- sehingga pengawasan tanaman kopi tidak ploitasi di wilayah ini (van Baardewijk, seintensif kabupaten-kabupaten yang dek- 1994: 152). Di tangan-tangan merekalah at ke pusat keresidenan. tanaman kopi dioperasikan, termasuk pe- Organisasi Produksi rihal pengadaan tambahan tenaga kerja Secara umum keberhasilan tanaman kopi dan perluasan lahan tanam. Mereka di Priangan bukan hanya berkat faktor menunjuk lahan untuk tanaman kopi, ekologis, seperti kecocokan dan kesuburan mengumpukan dan mengatur tenaga ker- tanah, tapi juga bagaimana praktik pena- ja, serta mengawasi penanaman dan naman dioperasikan oleh sebuah sistem panen (Clarence-Smith. 1994: 245). Da- yang dipercaya oleh Pemerintah Kolonial, lam hal ini, cara yang dilakukan tidak ber- yang dibangun di atas bentuk-bentuk beda dengan yang diorganisasikan tradisional seperti penyerahan upeti dan pemerintah kolonial melalui corvee services pancen (forced labour) (van Baardewijk, (herendiensten), yaitu pelayanan yang tidak 1994: 152). Pemerintah Kolonial Belanda dibayar untuk semua jenis proyek dan tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan yang mengerahkan tenaga rak- penduduk desa dan tidak mencampuri yat (Fasseur, 1975: 29). pelaksanaan penanaman. Pemerintah Ko- Sedikit diketahui model produksi lonial Belanda menyerahkan hampir se- kopi yang mana yang pertama kali dijal- luruh aspek produksi kopi ke tangan ankan di Priangan di antara model-model: penduduk pribumi, baik petani penanam perkebunan regular, kopi hutan, kopi pa- maupun pemimpin lokal. gar, dan kopi kampung. Akan tetapi, tam- Akibatnya, penanaman kopi tetap paknya, model kopi pagar merupakan berada di luar pengawasan langsung cara yang paling awal dilakukan; selanjut- pemerintah kolonial. Semua regulasi yang nya tanaman kopi terkonsentrasi pada berkait dengan tanaman kopi, termasuk sistem perkebunan. Perubahan ini distribusi beban dan tugas-tugas lainnya, agaknya terjadi sejak akhir tahun 1840-an. merupakan urusan administrasi desa. Perbedan jenis produksi itu cukup ber- Pemimpin lokal mulai dari para bupati pengaruh baik terhadap masalah admin- hingga kepala-kepala desa bertanggung istrasi maupun terhadap masalah-masalah jawab mengorganisasikan aktivitas lainnya, seperti pengadaan tenaga kerja, kesehariannya. Bahkan antara bupati dan distribusi tenaga kerja, transportasi, dan kepala desa, dua kekuatan formal admin- sebagainya (van Baardewijk, 1994: 158). istrasi pemerintahan lokal terdapat satu Penanaman kopi di perkebunan rangkaian pemimpin perantara (inter- yang lokasinya jauh dari desa merupakan 186 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 praktik penanaman yang memberatkan Di antara model-model tersebut, petani, tapi pemerintah menyukainya, ka- model mana yang paling populer di rena kapasitas produksinya lebih besar Keresidenan Priangan? Paling tidak, dan waktunya lebih pendek. Jarak dari didasarkan pada masing-masing model, desa tempat tinggal petani-penanam ke sepanjang abad ke-19, terdapat perbedaan perkebunan kopi bervariasi antara 10, 20, kecenderungan pada tiap-tiap dekade itu. dan 34 pal. Oleh karena itu, penanam kopi Pada tahun 1830-an dan awal 1840-an harus mendirikan pangkalan atau pratak model kopi pagar/kopi kampung dan kopi (shelters) di tengah-tengah perkebunan, hutan yang sangat populer. Pada tahun sehingga mereka dapat tinggal di perke- 1837 di kabupaten-kabupaten Bandung bunan ketika masa-masa persiapan, dan Sumedang lebih dari 50% pohon kopi panen, dan pengangkutan hasil panen adalah kopi pagar dan kopi hutan; se- (A.V. Priangan, 30/3, 1852, ANRI). Untuk dangkan di Kabupaten Sukapura lebih mempersiapkan perkebunan kopi, petani dari 63% merupakan kopi hutan. Pada yang ditunjuk dimobilisasi bersama-sama. tahun 1839 peningkatan jumlah kopi pa- Mereka membersihkan tanah dari semak- gar atau kopi kampung terjadi di tiga ka- semak belukar dan pohon-pohon besar, bupaten, yaitu Kabupaten Bandung, mencangkulnya, menyianginya, membuat Sumedang, dan Sukapura berturut-turut sengked (terraced), dan memagari lahan 55,71 %, 55,48 %, and 53 %. yang sudah dibersihkan, sebelum kemudi- Pada permulaan periode 1850-an, an menanaminya. Pekerjaan pertama ini kontras dengan periode-periode sebe- biasanya dilakukan selama musim kema- lumnya, tanaman kopi sangat terpusat rau, tetapi terus bersambung ke permulaan pada model perkebunan, bahkan untuk musim hujan. Selama fase awal ini rumah tahun 1857 – 1868 lebih dari 80% pohon tangga penanam kopi dituntut untuk ting- kopi adalah kopi perkebunan. Sebagai per- gal sementara di saung-saung untuk bandingan, pada tahun 1870 kopi hutan menghemat waktu dan tenaga (Elson, sangat populer di Keresidenan Pasuruan; 1994: 65; M.R. Fernando, 2003: 166; bahkan pada tahun 1875 sebanyak 2/3 Frans van Baardewijk, 1994: 160-167). kopi di Keresidenan Pasuruan ditanam Kopi hutan ditanam secara sederhana di dengan model tersebut (Elson, 1994: 65- tanah-tanah yang cocok, biasanya hanya 66; W.G. Clarence-Smith, 1994: 252), dengan cara membersihkan rerumputan sementara kopi pagar banyak dipraktikkan dan membakarnya sebelum penanaman di Kersidenan Kedu dan Banyumas (van dimulai. Setelah itu, tanaman secara peri- Baardewijk, 1994: 167). odik disiangi dan dibersihkan dari rerum- Selain kopi pemerintah (government putan liar. Kopi pagar juga tidak rumit; coffee) di Keresidenan Priangan pun umumnya ditanam di lingkungan berkembang perkebunan-perkebunan kopi penduduk yang menetap, baik di kebun- swasta. Meskipun banyak disebutkan bah- kebun dekat rumah atau pun di tanah- wa pengusaha-pengusaha swasta mulai tanah desa. Pemeliharaan tanaman kopi menanam tanaman eksport pada tahun model ini melibatkan kaum wanita dan 1870-an sebagai konsekuensi dari penera- anak-anak, khususnya dalam memanen pan Politik Ekonomi Liberal, namun di dan memrosesnya. Sedikit buruh diper- Keresidenan Priangan partisipasi perus- lukan untuk membersihkan tanah dan me- ahaan swasta sudah dimulai sejak awal nyianginya terutama dari pohon-pohon abad ke-19. Sejak dekade pertama abad ke yang tinggi (Elson, 1994: 65-66; W.G. -19 kopi ditanam di tanah-tanah pribadi, Clarence-Smith, 1994: 252). Banyak juga yaitu di Ujungberung (Kabupaten Ban- pohon kopi ditanam di tanah-tanah yang dung), Gunung Parang, dan Ciputri sempit di desa-desa. Oleh karena itu, (Kabupaten Cianjur). Pada tahun 1813 model ini dikenal dengan sebutan kopi tanaman kopi swasta telah mulai ber- kampung. produksi, meskipun hanya menyumbang 7% dari total produksi kopi dari seluruh 187 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 Keresidenan Priangan (A.V. Preanger 34/1, tahun 1865. Pada tahun 1871 perkiraan 1840, ANRI) (lihat TABEL 4.19). berkisar dari 100 hingga 240 orang per Pada tahun 1840 tanaman kopi hari. Rumah tangga biasanya diberi alo- swasta meningkat tajam di semua kabu- kasi 600 pohon di perkebunan reguler paten di wilayah Priangan, kecuali dan/atau kopi hutan, tapi hal ini sangat Tasikmalaya. Lebih dari 70 juta pohon bervariasi. Antusiasme para pejabat di kopi ditanam, dan pada tahun 1853 di- Mojokerto telah membebani rakyatnya produksi sebanyak 321.610 pikul. Kabu- dengan rata-rata 1.674 pohon tiap rumah paten Bandung merupakan wilayah yang tangga pada tahun 1837 (Elson, 1994: 65, sangat populer dengan kopi swastanya. Di 89, 205, 231; W.G. Clarence-Smith, 1994: tempat itu 75% pohon kopinya adalah 255). kopi swasta (Archieve Minister van Kolonien, Di Priangan beban penanaman kopi 1850-1900 [Inv. Nr. 27], 14 February sangat beragam di antara kabupaten- 1856, ARA). Kemudian, pada tahun 1870 kabupaten, begitu juga di antara periode -an tanaman kopi swasta, baik pada tanah waktu. Pada tahun 1820-an penduduk huur maupun erfpacht, berjumlah sebanyak yang terlibat pada tanaman kopi paksa 58 perkebunan yang mencapai luas 20.249 pemerintah (government’s forced coffee) bau dan tersebar di hampir seluruh hanya kira-kira 33,70% yang bertanggung afdeeling di Keresidenan Priangan jawab atas rata-rata 534 pohon kopi (A.V. Pada waktu yang sama pemerintah Preanger 29a/7, 1828, ANRI). Pada tahun membuka kesempatan kepada masyarakat 1830-an persentase penduduk yang terlibat pribumi untuk membuka perkebunan kopi dan jumlah pohon yang harus dipelihara yang kemudian disebut sebagai vrijwillig, meningkat; pada tahun 1837 sebanyak merdeka atau manasuka tuinen (per- 62,74% dan 1.275 pohon; dan pada tahun kebunan bebas). Pada tahun 1874 1839 sebanyak 64,36% dan 1.092 pohon dilaporkan bahwa di delapan afdeling ("Statistiek der Residentie Preanger Re- Keresidenan Priangan terdapat 382 petani gentschappen 1837", Preanger 29a/1 1837, pribumi yang menanam kopi seluas 4.729 ANRI.; A.V. Preanger 34/1, 1839, ANRI). bau (Koloniaal Verslag, 1875). Pada tahun 1852 tiap rumah tangga di- wajibkan menanam kopi sebanyak 1000 Buruh pohon dan bekerja rata-rata 100 hari tiap Berapa besar beban yang dituntut untuk tahun (A.V. Preanger 30/3 1852, ANRI). mengerjakan tanaman kopi? Menurut Pada tahun 1852 sebanyak 113.447 rumah perhitungan Direktur Penanaman, B.J. tangga di Priangan terlibat dalam tana- Elias, untuk perkebunan baru yang me- man paksa kopi, lebih banyak 39.782 ru- nanam 600 pohon, seorang petani- mah tangga daripada di tahun 1837. Pada penanam (planter) harus bekerja 135 hari tahun 1859 tiap rumah tangga menanam setahun untuk tiga tahun pertama. Beban dan memelihara tidak lebih dari 600 itu praktiknya bervariasi untuk tiap wila- pohon (A.V. Preanger 5/1 1859, ANRI). yah. Sebagai contoh, di Kabupaten Galuh Pada tahun 1864 rumah tangga penanam pada tahun 1857-1862, Bupati R.A.A. sebanyak 63,32%, masing-masing dari Kusuma di Ningrat menghitung bahwa di mereka memlihara 600 pohon (A.V. Prean- kabupatennya pekerjaan yang dituntut ger, 30/6, 1864, ANRI). untuk menanam dan memelihara 500 Menurunnya petani penanam dan pohon kopi sesuai dengan aturan jumlah tanaman kopi pemerintah di se- pemerintah berjumlah kira-kira 115 hari luruh Priangan agaknya sudah tampak dalam satu tahun (Frans van Baardewijk, sejak 1850-an. Menurunnya pohon kopi 1994: 163). Elson telah mengumpulkan secara drastis terjadi pada tahun 1870-an, berbagai estimasi seperti pada jumlah hari sehingga pada tahun 1874 satu rumah bekerja dari rumah tangga buruh, mulai tangga hanya memelihara kopi peme- dari 53 hari per tahun di Semarang pada rintah rata-rata sebanyak 220 pohon. Se- tahun 1856 sampai 124 hari di Tegal pada jak tahun 1876 jumlah kopi pemerintah 188 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 secara perlahan meningkat lagi. mengikuti harga pasar dunia. Setelah itu, pada abad ke-19 pemerintah membeli kopi Pembayaran (Crop Payment) dengan harga yang ditetapkan sangat ren- Instrumen yang merangsang petani untuk dah. Tiga dekade menjelang akhir abad ke menanam kopi dan meningkatkan pro- -19 pemerintah mulai menaikkan harga duksinya adalah pembayaran hasil tanam- kopi. Dalam kenyataannya, fluktuasi har- an; sedangkan untuk meningkatkan ga itu tidak memiliki korelasi positif keterlibatan pemimpin lokal dan admin- dengan ekspansi jumlah pohon dan nai- istrasi kolonial adalah penerapan persen- knya produksi, karena hal itu sudah tase penanaman yang telah memberi ke- konsekuensi dari sifat paksa tanaman ko- untungan finansial secara langsung kepa- pi. Kalaupun fluktuasi produksi terjadi, itu da para pejabat. bukan disebabkan oleh fluktuasi harga Secara teoretis, respons petani un- beli, tapi lebih karena faktor-faktor alami- tuk menanam kopi tergantung pada pem- ah, seperti cuaca yang terlalu panas atau bayaran harga kopi dan pembayaran upah dingin. kerja; sedangkan pembayaran tanaman Pada tahun 1711 ketika Bupati lokal mengikuti fluktuasi harga-relatif kopi Cianjur, Aria Wiratanu, menawarkan dunia. Teori semacam itu tidak selalu ter- pengiriman pertama kopi kepada VOC, ia jadi di Priangan. Meskipun petani Pri- menuntut bahwa harga ditetapkan delapan angan enggan melakukan pekerjaan yang heavy (atau dalam ukuran Asia, sepuluh tidak memberi imbalan finansial yang me- light) stuiver per pon. Menurut surat ter- madai, mereka tidak dapat menghentikan tanggal 23 Juli 1711, Heeren XVII (Dewan penanaman kopi, karena ini merupakan Pimpinan VOC) akan membayar delapan tanaman wajib. Oleh karena itu, anggota atau bahkan 15 stuiver per pon. Untuk sua- rumah tangga yang diwajibkan menanam tu waktu pasokan tetap tak berarti, maksi- kopi meningkat hingga mencapai jumlah mal hanya beberapa ribu pon. Harga hampir 60% dari seluruh rumah tangga setinggi itu tampaknya menarik petani petani di seluruh Jawa sepanjang dekade Priangan sehingga menjelang akhir tahun kedua abad ke-19. Jawa Barat di mana 1720 produksi kopi mencapai 100.000 Priangan merupakan wilayah inti me- pon. Pada tahun 1724 sejumlah ekspansi miliki lebih banyak petani-penanam da- produksi di Priangan memunculkan ke- ripada Jawa Tengah dan Jawa Timur khawatiran pada Heeren XVII di Negeri (Fernando, 2003: 169). Belanda dan Pemerintahan Kolonial di Antusiasme rumah tangga petani Batavia terhadap terjadinya produski ber- dalam menanam kopi, nyatanya, agak lebih. Kekhawatiran itu terjadi tidak lama menurun ketika harga belinya murah; na- setelah harga kopi di pasar Eropa stagnan; mun masih ada alasan lain antusiasme di Negeri Belanda sendiri hanya f.1,00 per petani menanam kopi yaitu dikaitkan pon. dengan tingkat kebutuhan akan uang kon- Oleh karena itu, Heeren XVII tan. Untuk meningkatkan pemasukan menuntut pengurangan harga. Pada tahun uang, mereka mendapatkannya melalui 1725 Pemerintah Kolonial di Batavia kopi. Kopi pada suatu waktu merupakan mengurangi harga kopi di Priangan Barat sumber untuk mendapatkan uang secara dari 12 rixdollar menjadi sembilan rixdol- cash, terutama untuk petani yang dapat lars untuk satu pikul (125 pon); harga un- menanamnya pada lahan berskala kecil di tuk Priangan Timur dikurangi sampai 10 hutan dan kopi kampung yang terletak rixdollars per pikul. Pada 15 Januari 1726 dekat dengan rumah mereka. sebuah keputusan tentang harga kopi Terdapat tiga kecenderungan ditetapkan di Batavia; tiap pikul dari Pri- perkembangan harga kopi di Keresidenan angan dihargai lima rixdollar. Ini berarti Priangan. Pada abad ke-18, yang merupa- harga kopi hanya 2½ stuiver per pon kan periode awal ketika tanaman kopi (Knaap, 1986: 41). Meskipun harga kopi diperkenalkan, harga kopi cenderung di Jawa, di luar Priangan, lebih tinggi da- 189 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 ripada harga kopi di Priangan, namun hal pemerintah bahkan meningkat, meskipun itu tetap mengindikasikan tendensi yang harga kopi tidak lebih dari f.2.42 per pikul sama. (van Meerten. 1887: 26). Alasan lain menerapkan penurunan Hingga tiga dekade pertama abad harga adalah mengamankan ketahanan ke-19 tanaman kopi-paksa tetap berlaku di pangan, finansial, dan politis. Kopi Pri- Keresidenan Priangan. Kewajiban menye- angan pada masa-masa ketika VOC mem- rahkan kopi kepada pemerintah dipaksa- bayar dengan harga yang baik mendapat kan kepada rakyat keresidenan lain pada respons yang baik. Petani penanam, dise- tahun 1833 ketika Gubernur Jenderal van butkan, menjadi senang dengan pengala- den Bosch mengeluarkan resolusi pada man baru mendapatkan uang, dan bahkan tanggal 3 Februari (Indische Staatsblad. dikhawatirkan mereka enggan menanam 1833, no. 7). Sebelumnya, petani dari padi, karena mereka merasa tercukupi keresidenan lain memelihara tanaman- segala kebutuhannya dengan sedikit kerja tanaman kopi dan mereka bebas menen- tapi mendapat uang banyak dari kopi. Na- tukan sebagaimana yang mereka ingin mun, ketika pada tahun 1726 Pemerintah hasilkan. Akibatnya, kebanyakan kopi Kolonial di Batavia kekurangan uang dan mereka dijual kepada pembeli-pembeli mendengar bahwa beberapa bupati telah swasta (Fasseur, 1975: 36). menggunakan uang hasil persentase kopi Van den Bosch tidak memasukkan untuk membeli senjata, secara drastis tanaman kopi sebagai subjek Sistem VOC mengurangi harga beli kopi. Lebih Tanam Paksa sejak awal sistem ini di- dari itu, Heeren XVII takut bahwa pada terapkan (1830). Paling tidak, ada tiga akhirnya Priangan akan memegang mo- alasan untuk menjelaskannya. Pertama, nopoli dalam produksi kopi. Monopoli harga kopi pada tahun 1830-an rendah. semacam itu akan mengamankan pema- Kedua, ia ingin membatasi rencana bah- sukan uang yang sangat banyak kepada wa kebijakan-kebijakan barunya di Jawa produsen kopi Priangan. Priangan Barat, hanya didasarkan pada paksaan. Ketiga, misalnya, pada tahun 1725 memproduksi tidak ada keuntungan segera (immediate lebih dari 3.150.000 pon kopi dan Pri- advantage) dengan mengecualikan tana- angan Timur memproduksi 650.000 pon, man kopi pada kebijakan-kebijakan ini masing-masing menerima uang sebesar (Elson, 1994: 63). f.733.000 dan f.280.000. Akibatnya, wila- Dalam periode ini terdapat tiga ka- yah-wilayah itu mungkin menjadi pusat tegori kebijakan harga kopi yang sangat kekuatan politik yang penting. Munculnya berkaitan dengan kewajiban penyerahan pusat kekuasaan seperti itu yang secara pajak/sewa tanah (land rent) kepada geografis dekat ke Batavia mesti diwaspa- pemerintah. Tiga kategori itu direpresen- dai (Knaap, 1986: 41). tasikan dalam tiga model keresidenan Merespons penurunan harga kopi yang berbeda dalam hal praktik penye- di wilayah Priangan tidak dirasakan sama rahan sewa tanah, yaitu: pertama, Keresi- di tiap daerah. Produksi kopi di Priangan denan Priangan; kedua, Keresidenan- Timur bahkan meningkat. Pada tahun keresidenan Madiun, Kediri, Pacitan, 1730 Priangan Timur memproduksi ham- Banyuwangi; dan ketiga, selebihnya pir sebanyak produksi di Priangan Barat (selain model satu dan dua). (Knaap, 1986: 43). Penduduk Keresidenan Harga kopi di Keresidenan Pri- Priangan terus melanjutkan penanaman angan hingga tahun 1873 sangat rendah kopi, meskipun keuntungan bagi produsen dan selalu di bawah harga standar, karena kopi jarang atraktif lagi. Pada tahun 1729- di keresidenan ini tidak ada sewa tanah, 1730, bahkan ribuan pohon baru ditanam termasuk pada tanah yang tidak di Priangan Tengah (Knaap, 1986: 43). Di ditanamai kopi (non-coffee land) yang di- Jawa Barat, secara umum, pada pertenga- tarik oleh Pemerintah Kolonial, kecuali han kedua abad ke-19 produk kopi yang pajak-pajak khusus yang ditarik oleh pe- disampaikan ke gudang-gudang mimpin-pemimpin tradisional (van 190 Paramita: Historical Studies Journal, 27(2), 2017 Baarderwijk, 1993:2 46). Tidak diketahui mencerminkan harga pasar di Batavia, alasan resmi mengapa sistem sewa tanah yang pada waktu itu ditetapkan f.25,00 tidak diperkenalkan di Keresidenan Pri- per pikul (125 pon). Dari harga per pikul angan. Diduga adalah karena petani di itu pemerintah menguranginya sebesar keresidenan ini memiliki terlalu sedikit 40% untuk sewa tanah yang digunakan sumber yang bisa dijadikan subjek pajak untuk tanaman kopi; dan, selanjutnya, moneter yang reguler. Alasan lain, dan ini mengambil sebesar f.3,00 untuk biaya dianggap alasan yang lebih kuat, adalah pengangkutan kopi dari gudang di pedala- karena takut mengganggu sistem kopi Pri- man ke gudang di dekat pantai; selain itu, angan yang sangat menguntungkan itu karena takut terjadinya penyusutan (short- (Elson, 1994: 47). Sebelum tahun 1837, changed) dalam pengantaran, pemerintah misalnya, pembayaran untuk kopi hanya masih mengambil untuk setiap pikul kopi antara f.2,42 hingga f.2,92½ per pikul (van 2%. Akibatnya, penanam hanya meneri- Meerten, 1887: 26; C. Fasseur, 1975: 38), ma kurang dari separuh dari harga yang sementara di Surakarta dan Yogyakarta ditetapkan secara resmi oleh pemerintah, f.18,33 dan di daerah Jawa lainnya sehar- yaitu f.12 per pikul (Fasseur, 1975: 36-37; ga f.10,00 (Laerne, 1885: 536-537). R.E. Elson, 1994: 63; W.G. Clarence- Van den Bosch melalui resolusi Smith, 1994: 247). Oleh karena itu, tanggal 3 Februari 1833 menginginkan pengaturan terhadap harga pasar seperti suatu keuntungan yang tinggi dari harga itu berarti resolusi itu tidak sesuai dengan minimum kopi, dan ini dikaitkan dengan praktiknya. beban pajak. Tujuan sesungguhnya adalah Secara umum dapat dikatakan bah- bahwa setiap jenis sewa tanah harus diku- wa harga kopi dibayar di bawah harga rangi dari pembelian kopi. Bentuk seperti kopi dunia, dan bahkan Pemerintah Ko- ini hanya berlaku di daerah-daerah yang lonial mendapatkan margin keuntungan lebih jauh dan pinggiran seperti Pacitan, yang tinggi dari penjualan kopi di Negeri Madiun, Kediri, dan Banyuwangi. Petani Belanda. Kebijakan baru itu secara finan- di keresidenan-keresidenan itu harus me- sial berhasil memenuhi harapan-harapan nanam sejumlah besar pohon kopi tiap politisi Belanda, dan terus begitu hingga rumah tangga. Mereka juga menerima tahun 1870-an. Pada titik ini, prinsip da- uang yang sedikit dari penjualan kopi sarnya secara politik sampai pada hal mereka daripada di keresidenan- yang tidak bisa diterima, dan kebijakan- keresidenan lain, di tempat-tempat itu se- kebijakan itu digantikan oleh seperangkat wa tanah untuk setiap kategori tanah ide kaum Liberal. Namun, paksaan dalam dikurangi dari pembayaran kopi. Pada sektor kopi terus berlangsung lebih lama tahun 1837, misalnya, ketika di Priangan daripada jenis tanaman lainnya harga kopi sekitar f.3,13 per pikul, di Paci- (Fernando, 2003: 160). tan, Madiun, dan Kediri seharga f.6,25; Sungguh, pada tahun 1870 kesem- dan harga itu turun lagi menjadi f.5,21 per patan ekonomi baru terbuka luas dan har- pikul pada tahun 1844. Untuk waktu yang ga kopi dunia meningkat lebih tinggi. lama, penghasilan mereka mungkin lebih Meskipun hal itu memengaruhi lebih ting- besar jika mereka menerima pembayaran ginya harga pembelian kopi petani, na- lebih tinggi untuk tanah kopi mereka, dan mun harga kopi yang ditetapkan kemudian dibayar sewa tanah pada tanah pemerintah tetap tidak realistik. Pada ta- non-kopi secara terpisah (Laerne, 1885: hun 1870, produsen menerima f.13,00 per 536-37.; Cf. W.G. Clarence-Smith, 1994: pikul, ketika harga rata-rata penjualan di 246; C. Fasseur, 1975: 36). Di Madiun, Jawa sebesar f.33,00. Pada tahun 1874 Pacitan, dan Kediri kebijakan seperti itu harga penjualan di Amsterdam hampir berakhir pada tahun 1859; dan di Banyu- f.64,00 dibandingkan dengan f.14,00 yang wangi pada tahun 1873. diterima oleh petani-penanam (Clarence- Di seluruh keresidenan lain yang Smith, 1994: 248). jadi subjek tanam paksa, pembayaran kopi 191

Description:
This research examines the coffee production in Priangan in the 19th century. The issues that will be revealed in this research are formu- lated in the
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.