Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 770 POTRET KEKEJAMAN KAUM FEODAL TERHADAP PRIBUMI JAWA DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER PORTRAIT OF A FEUDAL CLAN OF CRUELTY AGAINST THE NATIVES OF JAVA IN THE NOVEL GADIS PANTAI BY PRAMOEDYA ANANTA TOER Oleh sidiq satrio mandiri, universitas negeri yogyakarta. [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) wujud kekejaman kaum feodal terhadap pribumi Jawa dalam novel Gadis Pantai, dan (2) Jejak atau bukti identifikatif yang melatarbelakangi sikap kejam kaum feodal terhadap pribumi Jawa dalam novel Gadis Pantai. Objek penelitian ini adalah novel Gadis Pantai. Penelitian ini difokuskan pada permasalahan bentuk kekejaman kaum feodal terhadap pribumi Jawa dalam novel Gadis Pantai dan permasalahan berupa jejak atau bukti identifikatif yang melatarbelakangi sikap kejam kaum feodal terhadap pribumi Jawa dalam novel Gadis Pantai dengan menggunakan analisis pascakolonial Edward W. Said. Data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui uji validitas dan reliabilitas. Data dianalisis dengan deskripsi, kategorisasi, inferensi, dan penyajian data. Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, wujud kekejaman kaum feodal terhadap pribumi Jawa dalam novel Gadis Pantai yakni selir dan abdi. Kedua jejak atau bukti identifikatif yang melatarbelakangi sikap kejam kaum feodal terhadap pribumi Jawa dalam novel Gadis Pantai yang terbagi menjadi tiga aspek tinjauan yang dikemukakan oleh Edward W. Said melalui kajian orientalisme, yaitu (1) politik dengan temuan penggunaan dalih untuk menunjukkan superioritas melalui sikap kejam kaum feodal terhadap pribumi Jawa antara lain: (a) perbedaan status sosial yang sangat kontras antara golongan priyayi dengan golongan rakyat jelata, dan (b) meningkatkan derajat hidup diri sendiri dan keluarga; (2) ideologi dengan temuan dari teks-teks orientalis yang memiliki tendensi yakni: fenomena gila hormat dengan menunjukkan sikap pembelaan atas penindasan, karena Bendoro dalam konteks priyayi merasa derajatnya lebih tinggi dari selir dan abdinya yang berasal dari golongan rakyat jelata, sehingga sudah sepantasnya untuk dihormati dalam situasi apapun (3) perspektif yang dibangun oleh tokoh, dengan memperlihatkan bentuk kekejaman tokoh dengan berpegang teguh pada ajaran agama islam dan al-quran yakni spirit religiusitas setelah melakukan opresi kepada pribumi Jawa yang dilakukan tokoh-tokoh dalam penelitian ini dengan menggunakan ajaran agama islam dan al-quran sebagai kedok untuk mengelabuhi maksud dan tujuannya dalam menindas pribumi Jawa dalam konteks rakyat jelata. Kata kunci: Kaum Feodal, Pribumi Jawa, Potret Kekejaman, Pascakolonial Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 771 ABSTRACT This research aims to describe (1) a form of feudal clan of cruelty against the natives of Java in the novel Gadis Pantai, and (2) the trace or proof the identification of the that draconian aspects influenced attitudes towards native feudal house of Java in the novel Gadis Pantai. The object of this research is novel Gadis Pantai. This research is focused on the problems of this form of brutality against the native feudal house of Java in the novel Gadis Pantai and problems in the form of traces or evidence the identification of the that draconian aspects influenced attitudes towards native feudal House of Java in the novel Gadis Pantai by using pascakolonial analysis of Edward W. Said. Data were analyzed with descriptive qualitative analysis techniques. The validity of the data obtained through the test validity and reliability. Data analyzed with descriptions, categorization, inference, and presentation of data. The results of research showing the things, as follow. First, the realization of the enormity of the feudal clans against the natives of Java in the novel Gadis Pantai that is concubine and the man. Second trace or evidence the identification of the that draconian aspects influenced attitudes towards native feudal house of Java in the novel the Gadis Pantai is divided into three aspects of the views expressed by Edward W. Said, orientalism, namely studies through (1) politics with findings use of pretext to show superiority through the cruel attitude towards native feudal house of Java, among others: (a) the difference in social status are a stark contrast between the belonging to upper classes with the commoners, and (b) increasing degrees of life self and family; (2) with the ideology of the findings from the texts of the orientalists who have tendency that is: the phenomenon of snobby attitudes by showing the defence of oppression, because in the context of the belonging to upper classes Bendoro feel higher degree of consort and his servants are derived from the common people, of the been sensible to be respected in any situation (3) built by perspective, by showing a form of brutality with character cling to the teachings of islam and the quran that is spirit religiosity after doing opresi to native Java performed figures in this study by using the teachings of islam and the quran as a guise to confuse the intent and goal in the oppressive Javanese in the context of indigenous peoples the commoners. Keywords: Feudal Clan, Natives of Java, a portrait of cruelty, Pascakolonial. Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 772 PENDAHULUAN istilah inlander atau pribumi. Secara Dalam sejarah kolonial di tidak langsung, sikap kolonial Indonesia disadari atau tidak, Belanda menjadikan pengelompokan kekuasaan penjajah atas pikiran, tersebut didasari oleh adanya perasaan, sikap, dan perilaku kepentingan politis serta kepentingan masyarakat terjajah telah sangat kuat ideologis. dan berlangsung lebih lama daripada Politik kolonial Belanda masa kekuasaan terhadap wilayah. sampai kurang lebih tahun 1870 Dalam hal ini berdampak pada konsisten dengan anggapan umum di pribumi yang sulit untuk melepaskan negeri Belanda bahwa tanah koloni, diri dari pengaruh tersebut saat telah khususnya Jawa, adalah produsen memasuki era pascakolonial. komoditi agraris untuk ekspor. Tanah Meskipun era kolonial telah berakhir, koloni harus dieksploitasi untuk namun jejak penjajahan masih tetap menghasilkan komoditi agraris tertinggal dan menimbulkan dampak sebanyak-banyaknya dan semurah- terhadap mentalitas pribumi yang murahnya. Untuk tujuan itu, di tanah kolonial. Era kolonial telah koloni harus ada pemerintahan Eropa meninggalkan mentalitas penindas yang efisien dan terkontrol dan pembudak dalam masyarakat disamping pemerintahan bumiputera. Indonesia. Oposisi biner yang Di Jawa pemerintahan bumiputera ditinggalkan kolonial berdampak dikepalai bupati. Kedudukan bupati secara tidak langsung atas terjadinya tetap dipertahankan, karena hegemoni antara pihak yang kekuasaan atas rakyatnya yang berkuasa dengan pihak yang otoriter namun berwibawa masih dikuasai, antara pribumi dengan non diperlukan. Pada abad ke-19, apalagi pribumi, antara perjuangan dengan pada awalnya, di Jawa belum ada penindasan identitas. proletariat yang besar dan dapat Kolonial Belanda memiliki dipergunakan untuk usaha produksi andil besar dalam memosisikan secara besar- besaran. Untuk usaha rakyat Indonesia sebagai masyarakat produksi secara besar-besaran hanya kelas ketiga yang disebut dengan dapat dilakukan dengan Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 773 menggunakan tenaga kerja dalam pada tahun 1962-1965 oleh rangka ikatan desa dan ikatan feodal, Lentera/Bintang Timur. seperti pada waktu VOC. Ini berarti Novel Gadis Pantai tenaga yang dipergunakan adalah mengungkapkan betapa kejamnya tenaga wajib yang dikerahkan dari kaum feodal dalam konteks priyayi desa melalui bupati. Pemerintahan terhadap pribumi Jawa dalam tradisional tidak dihapus, tetapi harus konteks rakyat jelata terutama kaum diatur dan ditertibkan pejabat- perempuan pada masa pascakolonial, penjabat pemerintahan Eropa agar yang mengantarkan pada tidak ada penyalahgunaan dan kesengsaraan rakyat sebagai kesewenang- wenangan. Gubernur interpretasi dari individu yang lemah. Jendral Daendels (1808-1811) yang Dalam novel tersebut pengarang dapat dikatakan meletakkan dasar menghadirkan sosok gadis, anak pemerintahan kolonial kemudian seorang nelayan di sebuah kampung membentuk aparatur pemerintahan nelayan di Kabupaten Rembang, Eropa yang rasional dan terkontrol di Jawa Tengah yang mewakili rakyat samping korps pemerintahan jelata, mendapatkan perlakuan pribumi yang teratur, yang semula semena-mena dari seorang Bendoro merupakan kelompok yang yang mewakili golongan priyayi heterogen (Hatmosoeprobo, yang tidak lain adalah suami tidak 1995:55). resminya. Berdasarkan uraian Salah satu karya tersebut maka penulis tertarik Pramoedya Ananta Toer yang melakukan penelitian terhadap novel bercerita tentang potret kekejaman Gadis Pantai, karena novel Gadis kaum feodal dalam konteks priyayi Pantai memiliki keunikan dalam terhadap pribumi Jawa dalam mengkonstruksi ideologi konteks rakyat jelata yang pascakolonial, terutama ideologi dilatarbelakangi oleh pascakolonial pascakolonial yang melekat dalam adalah Novel Gadis Pantai. Novel orientalisme Edward W. Said. Hal tersebut pertama kali diterbitkan demikian karena pengarang Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 774 memaparkan seorang pembesar penelaahan dokumen yang akan santri atau dikenal dengan istilah menghasilkan data deskriptif berupa priyayi yang memiliki ideologi teks-teks tertulis. Sumber data dalam kolonial direkonstruksikan hidup penelitian ini menggunakan sumber dalam lingkungan religius islam yang data primer dan sumber data sangat kuat, namun hanya sebagai sekunder. Sumber data primer kedok semata dan secara terang- penelitian ini berupa novel Gadis terangan mampu memperlihatkan Pantai karya Pramoedya Ananta kontradiksi negatif praktik Toer. Sumber data sekunder feodalisme Jawa yang tidak memiliki penelitian ini berupa buku-buku yang adab dan jiwa kemanusiaan yang berisi tentang orientalisme dan ditunjukan dengan perutusan sorang pascakolonial. Teknik pengumpulan priyayi terhadap seorang gadis belia data yang digunakan dalam dari Kampung Nelayan Kabupaten penelitian ini menggunakan riset Rembang, Provinsi Jawa Tengah, pustaka, pembacaan, dan pendataan. untuk dijadikan selir (seorang wanita Riset pustaka merupakan teknik yang yang telah diikat tali kekeluargaan menggunakan sumber- sumber oleh laki-laki tetapi tidak berstatus tertulis untuk memeroleh data. Data sebagai istri) dan perlakuan semena- dalam penelitian ini adalah data mena yang ditunjukkan oleh seorang deskriptif yang ada dalam sebuah tokoh dari golongan priyayi terhadap novel yang sudah dijelaskan di abdinya dari golongan rakyat jelata. bagian sumber data. Konsep Dengan demikian akan sesuai dengan pemikiran mengenai pascakolonial judul penelitian “Potret Kekejaman Edward W. Said terdapat pada Kaum Feodal Terhadap Pribumi deskripsi cerita, yaitu berupa narasi Jawa dalam Novel Gadis Pantai dan dialog. karya Pramoedya Ananta Toer”. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN METODOLOGI PENELITIAN Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan H Hasil penelitian “Potret pendekatan kualitatif dengan metode Kekejaman Kaum Feodal Terhadap Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 775 Pribumi Jawa dalam Novel Gadis ketidakberdayaan pribumi Jawa Pantai Karya Parmoedya Ananta dalam konteks rakyat jelata, Toer” mencakup dua hal, yaitu khususnya perempuan yang mendeskripsikan (1) wujud disebabkan oleh perbedaan status kekejaman kaum feodal terhadap sosial yang sangat kontras antara pribumi Jawa dalam novel Gadis kaum feodal dalam konteks priyayi Pantai karya Pramoedya Ananta dengan pribumi Jawa dalam konteks Toer (2) jejak atau bukti identifikatif rakyat jelata khususnya perempuan.. yang melatarbelakangi sikap kejam Kedua yaitu ideologi; melalui kaum feodal terhadap pribumi Jawa seorang tokoh dalam novel tersebut dalam novel Gadis Pantai karya teks-teks memiliki wacana yang Pramoedya Ananta Toer. Wujud membawa paham seperti gila hormat kekejaman kaum feodal dalam yang menunjukkan sikap pembelaan konteks priyayi terhadap pribumi atas penindasan yang berlawanan Jawa dalam konteks rakyat jelata dengan sikap menerima apa adanya yang terdiri dari abdi dan selir yang ditunjukkan oleh pribumi Jawa. menjadi pokok gagasan yang banyak Ketiga yaitu perspektif; di dalam disinggung dalam novel tersebut. novel tersebut yang menarik adalah jejak atau bukti identifikatif yang spirit religiusitas sebagai sebuah melatarbelakangi sikap kejam kaum perspektif kaum feodal dalam feodal dalam konteks priyayi konteks priyayi di Jawa terhadap pribumi Jawa dalam pascakolonial. konteks rakyat jelata, khususnya Pembahasan perempuan, terdapat tiga pokok pisau 1. Wujud Kekejaman Kaum Feodal analisis yang akan dilihat dari teks- Terhadap Pribumi Jawa teks pada novel tersebut sebagai a. Selir bagian dari pascakolonialitas. Sebagai status sosial, dan Pertama yaitu kepentingan/politik; diduga terdapat peran kaum feodal formasi di dalam novel tersebut dalam konteks priyayi dan koloni di berujung pada titik sebuah teks dalamnya, selir dalam konteks novel berbicara mengenai Gadis Pantai menurut Toer (2003:6) Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 776 bermakna sebagai istri pembesar ketidakberdayaan pribumi Jawa santri setempat; seorang Jawa yang dalam konteks rakyat jelata terutama bekerja pada administrasi Belanda kaum perempuan. Hal itu dapat dan kemudian dikenal dengan ditunjukkan dengan kutipan novel di Bendoro Putri. Perempuan yang bawah ini. melayani “kebutuhan” seks laki-laki. Maka pada suatu hari Wujud kekejaman ini menurut perutusan seorang itu datang ke rumah orangtua gadis. Dan wacana pascakolonial yang digagas beberapa hari setelah itu sang gadis oleh Said menggunakan pemikiran harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampungnya sendiri teori kritis Foucault untuk dengan bau amis abadinya. Ia harus lupakan jala yang setiap pekan membongkar narsisme dan kekerasan diperbaikinya, dan layar tua yang epistemologi “Barat” terhadap tergantung di dapur juga bau laut tanah airnya. “Timur” dengan bias, kepentingan, Ia dibawa ke kota. Tubuhnya kuasa yang terkandung dalam dibalut kain dan kebaya yang tak pelbagai teori yang dikemukakan pernah diimpikannya bakal punya. Selembar kalung emas tipis kaum kolonialis dan orientalis (Baso, sekarang menghias lehernya dan berbentuk medalion jantung dari 2005: 209-210). Bias dan kekuasaan emas, membuat kalung itu manis yang ditunjukkan dalam novel tertarik ke bawah. tersebut ditunjukkan oleh kaum Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan feodal dalam konteks priyayi yang sebilah keris. Detik itu ia tahu: mengutus gadis belia dari sebuah kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya kampung nelayan untuk dibawa ke lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seorang rakyat yang tak kota dengan dalih akan dijadikan istri pernah dilihatnya seumur hidup. seorang pembesar, namun pada Ia tak tahu apa yang di kenyataannya justru gadis belia hadapannya. Ia hanya tahu: ia kehilangan seluruh hidupnya. tersebut hanya dijadikan selir. Kadang dalam ketakutan ia Berdasarkan paparan cerita, bertanya: mengapa tak boleh tinggal dimana ia suka, diantara tampak bahwa kaum feodal dalam orang- orang tersayang dan tercinta, di bumi dengan pantai konteks priyayi menggunakan dan dan ombaknya yang amis. memanfaatkan kekuasaannya untuk (Gadis Pantai, hlm. 11- 12). menindas dan mengelabuhi Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 777 Menjadi selir bagi tokoh wenang oleh “Barat” yang gadis belia dalam masyarakat novel dimaksudkan disini adalah kaum tersebut merupakan suatu feodal dalam konteks priyayi. keterpaksaan, karena melalui Kutipan di atas menjelaskan dominasi kaum feodal dalam konteks posisi selir sebagai bentuk priyayi dari berbagai aspek ketidakberdayaan pribumi Jawa khususnya ekonomi mampu dalam konteks rakyat jelata, memanfaatkan inferior pribumi Jawa khususnya kaum perempuan yang dalam konteks rakyat jelata, dikisahkan melalui tokoh gadis khususnya kaum perempuan yang belia untuk melawan perutusan dikisahkan melalui tokoh gadis belia Bendoro, meskipun perutusan sebagai sarana pemuas berbagai tersebut dirasa sangat merugikan kebutuhan kaum feodal dalam dirinya dan hanya menguntungkan konteks priyayi termasuk kebutuhan satu pihak saja yaitu Bendoro. Hal seks. Hal demikian sesuai dengan demikian sesuai pandangan Gayatri pandangan Said (2010: 108) Spivak via Gandhi (2001: vii) disesuaikan dengan masyarakat menyatakan bahwa “subaltern tidak novel, Said menyatakan bahwa bisa berbicara.” Yang dia segala hal yang bercorak “Timur” maksudkan di sini adalah kaum dalam istilah orientalnya merujuk perempuan dalam pelbagai konteks pada orang yang di-orient-kan yang kolonial tidak memiliki bahasa direpresentasikan sebagai individu konseptual untuk berbicara karena yang lemah, dan apabila mempunyai tidak ada telinga dari kaum lelaki kekuatan dianggap membahayakan, kolonial maupun pribumi untuk sehingga wajar saja jika “Timur” mendengarkannya. Ini bukan yang representasinya sebagai berarti bahwa perempuan tidak bisa pribumi Jawa dalam konteks rakyat berkomunikasi secara literal, tetapi jelata, dalam hal ini posisi rakyat tidak ada posisi subjek dalam jelata merujuk pada selir menjadi wacana kolonialisme yang bagian-bagian yang dapat diurus dan memungkinkan kaum perempuan diperlakukan secara sewenang- Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 778 untuk mengartikulasikan diri Dari serangkaian kegelisahan mereka sebagai pribadi. Mereka gadis belia tersebut pada akhirnya ditakdirkan untuk diam. menjadikan petaka bagi dirinya sendiri maupun keluarga gadis belia Timbulnya kesadaran tersebut. Hal itu dapat ditunjukkan semacam itu didasari oleh banyak dalam kutipan berikut di bawah ini. hal. Diantaranya kesadaran atas keuntungan salah satu pihak dan “Kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. kesadaran atas adanya pihak lain Semua yang telah kuberikan padamu. Bapakmu sudah yang dirugikan. Kutipan novel di kuberikan uang kerugian, cukup atas memberikan pandangan bahwa buat membeli dua perahu sekaligus dengan segala sikap Bendoro terhadap gadis belia perlengkapannya. Kau sendiri, tersebut menurut Said (2010: 347) ini...,” Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang menunjukkan adanya unsur pesangon. “Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari kepemimpinan ramah manusia kulit gedung ini. Lupakan aku, ngerti?” putih, dengan cara pemaksaan “Sahaya, Bendoro.” “Dan ingat. Pergunakan pesangon secara halus melalui perutusan itu baik- baik. Dan...tak boleh sekali- kali kau menginjakkan untuk membawa tokoh gadis belia kaki di kota ini. Terkutuklah kau tersebut ke kota untuk dijadikan bila melanggarnya. Kau dengar?” “Lantas ke mana dia boleh pergi selirnya. Selain itu adanya unsur Bendoro?” bapak memprotes. “Ke mana saja asal tidak di bumi budaya kapitalis Bendoro sebagai kota ini.” golongan priyayi yang ditunjukkan “Sahaya, Bendoro.” “Apalagi mesti kukatakan? Dokar dengan diberikan kegelimangan itu sudah lama menunggu.” harta dan status sosial dengan dalih “Anak ini, tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai akan dijadikan wanita utama yang memekikan rintihan. “Anak itu? Apa guna kau secara otomatis dapat menaikkan pikirkan? Banyak orang bisa urus derajat diri maupun keluarga tokoh dia. Jangan pikirkan si bayi.” “Mestikah sahaya pergi tanpa gadis belia, meskipun sebenarnya anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?” yang terjadi justru gadis belia “Lupakan bayimu. Anggap dirimu dijadikan selir Bendoro. tak pernah punya anak.” Gadis Pantai tersedan-sedan. Potret Kekejaman Kaum Feodal... (Sidiq Satrio Mandiri) 779 “Sahaya harus berangkat, mencari laki-laki lain yang Bendoro, tanpa anak sahaya sekiranya lebih baik daripada sendiri?” “Aku bilang kau tak punya anak. Bendoro. Nasib tokoh gadis belia Kau belum pernah punya anak.” “ Sahaya, Bendoro.” sebagai selir dalam masyarakat “Pergilah.” novel yang dilatarbelakangi oleh “Tanpa anak ini perhiasan dan uang pesangon tanpa artinya, pascakolonial pada akhirnya tak Bendoro.” “Kau boleh berikan pada si bayi.” lain hanya sebagai pemuas tuannya. Baik Bapak maupun Gadis Pantai terdiam kehabisan kata. Dan b. Abdi Bendoro menggoyang- goyangkan kursinya. Apabila melihat pengertian Gadis Pantai pun berjalan berlutut dan fungsinya, abdi merupakan mundur-mundur kemudian pergi diikuti oleh bapak. Sesampainya merujuk pada orang bawahan; di kamar ia segera memeluk bayinya. pelayan; hamba dalam novel ini “ Maafkan aku, anakku, tiada menggambarkan perlakuan kasar kusangka akan begini akhirnya.” (Gadis Pantai, hlm. 257- 258). dan tidak manusiawi Bendoro sebagai perwakilan dari kaum Kutipan di atas secara feodal dalam konteks priyayi sederhana hendak menggambarkan terhadap bujang wanita sebagi bahwa dalam posisinya sebagai perwakilan dari rakyat jelata. selir dan sebagai individu yang Berikut kutipannya di bawah ini. lemah, gadis belia yang menjadi Nampak seorang pria bertubuh selir Bendoro boleh dikatakan tinggi kuning langsat berwajah tidak memiliki hak apapun. Gadis agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan belia dalam kutipan tersebut pada berbaju teluk belanga dari sutera putih dan bersarung bugis hitam akhirnya tidak memiliki hak atas dengan beberapa genggang putih posisinya sendiri sebagai selir, tipis-tipis. Ia lihat orang itu membangunkan bujang dengan apalagi hak atas anak yang kakinya. Dan bujang itu bangun, cepat-cepat menggulung tikar dilahirkan dari rahimnya. Setiap dengan bantal di dalamnya, saat mereka dapat ditinggalkan oleh merangkak mundur kemudian berdiri membungkuk, keluar suami yang juga majikannya. dari pintu lenyap dari Bahkan gadis belia tersebut pandangan. (Gadis Pantai, hlm. 31). diberikan perintah untuk segera
Description: