* '\ gsm fj»/i TOM ätfala^Uafv Ibrahim Alfian BIBLIOTHEEK KITLV 0036 5872 O<Ö6GI\\ 6QQ ^ ^ Perang di Jalan Allah z a\s\>i L<.~. Ibrahim Alfian Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912 sb. PUSTAKA SINAR HARAPAN Jakarta, 1987 l Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912 Oleh Ibrahim Alfian 87/SP/05 Desain sampul: Natasa T Foto-foto diambil dari buku-buku: 1. The Contest for North Sumatra by Anthony Reid 2. J.B. van Heutsz leven en legende door J.C. Witte 3. Klamboes Klewangs Klapperbomen, Indie gewonnen en verloren door Pierre Heijboer Hak Cipta dilindungi Undang-undang Pustaka Sinar Harapan, Anggota Ikapi Jakarta Cetakan Pertama 1987 Dicetak oleh: PT New Aqua Press M Pengantar Barangkali para sejarawan tidaklah salah kalau mereka cenderung untuk saling setuju dalam menuai pertengahan kedua abad 19 se- bagai "masa menaik dari kolonialisme", dan bermulanya periode imperialisme modern. Berbagai kasus sejarah tentu bisa mereka ajukan - mulai dari proses dibelah-belahnya Afrika oleh kekuatan- kekuatan Barat sampai dengan dimulainya sistem eksploitasi eko- nomi baru. Periode ini adalah saat ekspansi geografis dan persaing- an kolonial sedang terjadi dengan cepat dan ketika sistem kapitalis- me modern, di bawah naungan imperialisme, mulai menguasai du- nia. Kalau sekiranya contoh-contoh sejarah dibatasi pada tanah air kita saja, maka periode ini adalah saat makin terwujudnya pax- Neerlandica, khususnya Hindia Belanda yang telah semakin terin- tegrasi dalam kesatuan administratif, dan ketika apa yang disebut politik ekonomi liberal mulai ditanamkan. Dalam proses perluasan pax-Neerlandica ini, maka kasus yang terjadi dengan Aceh dengan jelas memperlihatkan bahwa gerak maju kolonialisme Belanda bu- kanlah kasus yang berdiri sendiri, tetapi terkait pula dengan gerak maju kekuatan kolonial lain, yaitu Inggris. Dalam Traktat London, Inggris dan Belanda berjanji antara lain akan sama-sama menghor- mati kedaulatan Aceh. Tentu saja hal ini bisa dimengerti karena keduanya sedang sibuk dengan konsolidasi kekuasaan di koloni masing-masing apalagi pada waktu itu di Eropa, perang Napoleon baru saja berakhir. Tetapi dalam waktu kurang dari lima puluh ta- hun, perjanjian lain, yang disebut Traktat Sumatra (1871) diada- kan lagi antara kedua kekuatan kolonial itu. Dalam perjanjian ini Inggris memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas wi- layah kekuasaan di pulau Sumatra. Setelah berbagai insiden dan persaingan diplomatik, maka di tahun 1873, agresipun dilancarkan Batavia kepada Aceh, sebuah negara yang berdaulat di bagian utara pulau Sumatra. Tetapi, de- ngan mengumandangkan seruan "tiada Tuhan selain Allah", negara Aceh berhasil mempertahankan diri terhadap agresi pertama ini: 5 Namun dalam agresi yang kedua, di bulan Januari 1874, pasukan Belanda di bawah pimpinan jenderal Van Swieten, berhasil mere- but dalam (kraton) dan menghancurkan mesjid Kotaraja. Sultan Mahmud Syah meninggal dunia dalam pengungsiannya. Maka, ten- tu tak terlalu mengherankan jika pada tanggal 31 Januari Van Swieten dengan bangga memproklamirkan bahwa kerajaan Aceh telah ditaklukkan dan pemerintah Hindia Belanda telah mengganti- kan kedudukan Sultan. Namun Van Swieten telah memberikan apa yang bisa disebut sebagai "overstatement of the century", per- nyataannya diucapkan ketika Perang Aceh baru saja pada tahap yang paling awal. Setelah itu perang, yang bermula sebagai konflik antara dua negara yang berdaulat ini —yang satu "negara kolonial" dan yang lain "negara tradisional" — memasuki situasi konflik ber- senjata yang hampir tanpa henti. Bahkan setelah tahun 1903 ke- tika Sultan T. Muhammad Daud dan Panglima Polem telah dipaksa menyerah, sebagian besar uluebalang telah diharuskan puas sebagai penguasa kecil di bawah naungan Belanda dan ulama-ulama besar, yang sanggup menggerakkan rakyat dalam jumlah besar, telah ti- was atau meninggal dunia, pertempuran kecil masih terus berlan- jut. Bahkan pada tahun 1907 Kotaraja, kota yang dianggap paling aman, diserang oleh para gerilyawan Aceh. Perang Aceh, atau lebih tepat Perang Belanda di Aceh, yang ber- langsung puluhan tahun ini, memperkuat tradisi penentangan yang keras terhadap kolonialisme Barat, yang dengan mudah dirumus- kan sebagai "kaphé" alias kafir. Tradisi penentangan terhadap se- gala hal yang dianggap sebagai "kaphé" bukan saja telah menye- babkan berkembangnya suatu sikap politik tertentu dari masya- rakat Aceh tetapi juga mempengaruhi corak serta tempo perkem- bangan sosial di Aceh. Keberanian dan pengabdian pada nilai-ideal yang ditempa dalam perang memang tak selamanya sejalan dengan keterlibatan dalam gerak modernisasi, yang bertolak dari paradig- ma yang sama sekali berbeda dari landasan nilai-ideal itu. Kalau telah begini, maka berbagai situasi kritis dalam proses integrasi bangsa bisa pula terjadi. Tetapi hal ini barulah dirasakan nanti, ketika keutuhan dari po- lity lama serta otonomi kultural yang relatif dari masing-masing kelompok ethnis telah dirobek-robek oleh perkembangan kesadar- an politik serta dinamika sosial-ekonomi. Namun Perang Aceh seba- gai peristiwa sejarah memberikan beberapa hal yang dapat memper- dalam pengetahuan tentang sejarah perjalanan kita sebagai bangsa. 6 Ketika kesejajaran yang logis gagal menampakkan dirinya maka Ä S E & Beatpa ^ ^ " S ^ Z sejarah, di saat berbagai perisüwa ^ f * , ^ lo- „ Tot.™ hukankah ironi itu hanyalah suatu pemaKsaan 10 Ska yang "g gal Srh"ap realitas? Jadi, barangkali tak 1 * 1 » San historissederhana harus dianggap sebagai ironi. Ketika dasa- * m mùTn Ä L a telah * » - - « * J * ~ 5 mi pula Bud i Utomo cüdir ^ ^ . ^ yang StÄSgJS MASS an Sultan « ^ . ' ^ f ^ ^ ' S K S S « u a n g per sen dari jumlah penduduknya dalam P ^ P " ? " ^ ^ warsa vane disebut oleh seorang sejarawan Belanda, sebagai se- warsa yang aiseuuu p i i i memang merupakan ge- orinr p n konsolidasi politik Hindia Belanda, tetapi adalah seorang ilmuwan yang meninggalkan bekas yang lebih mendalam. Dalam Perang Aceh inilah Snouck Hurgronje berhasil menulis karya agungnya. De Atjehers, tetapi lebih penting lagi dari pengalaman di Aceh ini pula ia merumuskan apa yang kemudian dikenal sebagai "politik Islam". Di samping menjadikan kedudukan uluebalang dan ulama sebagai dua kelompok elit Aceh yang berada dalam situasi konflik, Snouck juga membagi Islam atas tiga bagian, "ibadah", "muama- lah" dan "politik". Betapapun mungkin kedua pembagian ini dari sudut ilmiah dapat dianggap bertentangan dengan realitas sesung- guhnya — sebagaimana telah ditunjukkan oleh berbagai ahli na- mun masalah Snouck Hurgronje ialah rekayasa sosial, bukan kete- tapan analisis. Kalau telah begini, maka betapapun salahnya suatu kebijaksanaan bila dilaksanakan dengan konsisten akan dapat me- lahirkan realitasnya sendiri. Dan realitas baru itu memang muncul. Situasi baru diciptakan di Aceh dan "politik Islam" diterapkan di seluruh Hindia Belanda. Kalau terhadap ibadah harus toleran, ^ maka terhadap segala hal yang berbau politik haruslah dihadapi dengan tangan besi. Keunggulan politik Islam", yang dirumuskan Snouck Hurgronje bertolak dari hasil yang dicapai, bukan teruta- ma dari suatu ketepatan akademis dalam menyalin realitas. Aceh adalah laboratorium dalam pengujian keunggulan politik itu. Hing- ga betapapun memekiknya, kemudian, seorang ahli kolonial Pran- cis, akan kesia-siaan politik Islam itu, politik itu tetap dijalankan. Hanya saja menjelang tahun 1920-an, situasi yang tak terbayang- kan oleh Snouck menampakkan dirinya Islam, yang dianggapnya telah "tidur" sebagai suatu agama, kini telah menampilkan sema- ngat reformis yang keras. Suatu dilemma baru dalam "politik Is- lam terjadi". Tetapi ini masalah lain. Berakhirnya perang besar di Aceh dan dimulainya proses kon- solidasi keamanan di daerah itu membawa akibat yang cukup pen- ting dalam perkembangan politik-ekonomi Hindia Belanda. De- ngan dihentikannya kampanye militer dengan biaya besar peme- rintah Hindia Belanda dalam berhemat. Hal ini memberi kemung- kinan bagi Hindia Belanda untuk mendapatkan otonomi dalam masalah keuangan dari negeri induk, Belanda. Akibat lanjutan dari otonomi Hindia Belanda ini ialah dimulainya gerakan ke arah de- sentralisasi serta otonomi daerah dalam berhadapan dengan Bata- via/Bogor. Dengan kata lain, proses ke arah terjadinya reformasi politik di Hindia Belanda bermula. Inilah proses yang antara lain 8
Description: