10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah India mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa dari abad ke-18 hingga negara tersebut memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Menurut Gopal (2009), penjajahan India mulai pada tahun 1757 dengan Pertempuran Plassey yang memberi kemenangan pada British East India Company, sebuah perusahaan Inggris yang sangat besar di India, sehingga perusahaan ini memiliki kuasa untuk mengontrol Diwani Bengali. Kemudian pada tahun 1857 terjadi perang kemerdekaan pertama yang dikenal oleh Inggris sebagai Sepoy Mutiny. Sederetan peristiwa besar yang berkaitan dengan pendudukan penjajah terjadi di India hingga pada tahun 1945, yaitu saat Perang Dunia II berakhir. Pada tahun 1947 India memperoleh kemerdekaan, dan Inggris tidak lagi memegang kekuasaan. India akhirnya menjadi negara republik pada tahun 1950 dan, pada tahun 1952, mengadakan pemilihan umum pertama. Serangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa India memiliki pengalaman kolonial: India pernah dijajah dan dikuasai oleh pihak kolonial. Penguasa kolonial pernah mengatur segala aspek dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa India merupakan masyarakat pascakolonial. Karena begitu lamanya pendudukan Inggris di India, dan begitu kuatnya pengaruh kolonial Inggris terhadap masyarakat India, masyarakat India masih mau menerima dan mengalami pengaruh kebudayaan kolonial – meskipun Inggris 11 sudah tidak berkuasa lagi di sana. Besarnya pengaruh kolonial Inggris ini bisa dilihat dengan sangat jelas dari bahasa yang digunakan. Menurut Kulper (2011: 16), salah satu peninggalan kolonial di India adalah aturan Inggris untuk menggunakan bahasa Inggris di lingkungan formal. Hal ini menjadikan India sebagai salah satu negara terbesar yang menggunakan bahasa Inggris, yang menunjukkan betapa kuatnya kontrol kolonial sehingga mampu menguasai negara dengan bahasa. Dalam hal pendidikan, misalnya, penerapan kurikulum di India sudah bergaya Barat seperti dinyatakan oleh Stein (2010: 233): These educational developments are usually referred to as ‘western’ , meaning schooling based upon the curricula of upper schools, colleges and professional (e.g. law) schools in Britain, with English the medium of instruction. (Perkembangan pendidikan mengacu ke arah “kebarat-baratan”, yang berarti bahwa pengajaran berdasarkan kurikulum sekolah yang lebih tinggi, sekolah profesi misalnya hukum yang ada di Inggris yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantarnya). Kutipan ini jelas menunjukkan bahwa, setidaknya dalam bidang pendidikan, konsep ‘western’ menjadi rujukan, sampai pada tataran kurikulum yang berlaku di Inggris. Jika dikaitkan dengan cakupan teori pascakolonial, salah satu kemungkinan perhatiannya menurut Lo and Helen (1998) dalam Faruk (2007) adalah pada kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa terhadap kebudayaan penjajah, baik sebagai efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global). Maka India juga termasuk dalam cakupan tersebut karena di masa pascakolonial ini India masih 12 menjalani budaya peninggalan penjajah. Dengan kata lain, India termasuk salah satu masyarakat yang masih menjalani kebudayaan yang ditinggalkan oleh penjajah Eropa, dalam konteks ini Inggris. Meskipun India merupakan masyarakat dan kebudayaan bekas jajahan Eropa, orang-orang India tidaklah pasif. Masyarakat pascakolonial India tetap melestarikan budaya nenek moyang, disamping menjalankan budaya peninggalan penjajah. Menurut Sigh (2005: 132), di akhir kolonialisme India bisa memodernkan dirinya sendiri dengan budaya yang dimiliki, meskipun India tetap mengambil sisi intelektual kolonial. Masyarakat pascakolonial India juga menanggapi peninggalan penjajah dengan cara meniru atau melakukan mimikri. Sebagaimana diungkapkan oleh Homi K. Bhabha (1994: 86), the discourse of mimicry is constructed around an ambivalence; in order to be effective, mimicry must continually produce its slippage, its excess, its difference. Dari situ dapat dilihat bahwa wacana mimikri dibangun dari suatu ambivelensi: supaya efektif, mimikri secara terus-menerus menciptakan keterpelesetan, keberlebihan dan perbedaan. Dalam bidang sastra, seperti ditulis dalam bukunya Upamayu Pablo Mukerjee (2010: 3) bahwa masyarakat pascakolonial India menulis karya sastra dalam bahasa Inggris, sehingga muncul Indian English Novel. Tulisan kontemporer dalam bahasa Inggris tersebut, selain berisi kondisi masyarakat pascakolonial sendiri, juga mengandung kritikan terhadap rezim kolonial yang pernah berkuasa. Berbagai pernyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat India, sebagai masyarakat bekas jajahan, tetap aktif, tidak diam menerima pembentukan dan peninggalan penjajah. Aktivitas ini terwujud melalui kritikan terhadap rezim 13 kolonial, yang menunjukkan bahwa masyarakat merasa tertekan dengan rezim tersebut. Respon aktif yang ditunjukkan masyarakat India tersebut menjadikan masyarakat India sebagai masyarakat yang berlapis atau dualistik. Artinya, mereka menjalankan tradisi India sendiri sekaligus konsep peninggalan kolonial. Sementara itu, tradisi maupun kolonial memiliki aturan masing-masing, yang suatu ketika aturan tersebut cenderung menjadi tekanan bagi masyarakat India sendiri. Salah satu Indian English Novel yang tampaknya sarat dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat pascakolonial India yang dualistik ini adalah The God of Small Things karya Arundhati Roy. Novel ini adalah novel pascakolonial yang ditulis oleh Roy, seorang aktivis perempuan India, pada tahun 1996, kemudian mendapatkan penghargaan terbaik dari Booker Prize pada tahun 1997. Seperti diungkapkan oleh Tickell (2007: 3), The God of Small Things [is] set in the southern Indian state of Kerala and divided, chronologically, between the late 1960s and the early 1990s, seting yang diambil adalah Kerala (India) pada akhir tahun 1960an sampai awal tahun 1990an. Karena Arundhati Roy dilahirkan dari seorang ibu dari Kerala, India Selatan, yang beragama Kristen Siria dan ayah asli Bengali yang beragama Hindu, dia mengalami ketegangan budaya yang berbeda dari kedua orang tuanya, yaitu Kerala dan Bengali. Selain itu, ia menyaksikan kondisi masyarakat India pasca-kemerdekaan, termasuk konflik yang terjadi karena pengaruh kolonial. Kedua hal ini mempengaruhi penulisan novel The God of Small Things. Seperti yang diungkapkan salah satu juri pada saat 14 penganugrahan Booker Prize, With extraordinary linguistic inventiveness, Arundhati Roy funnels the history of South India through the eyes of seven-year- old twins. The story she tells is fundamental as well as local… (Thampi, 2000:130). Yang dimaksud dengan fundamental sekaligus lokal adalah bahwa kehidupan yang dilukiskan novel ini tidak terbatas hanya pada ruang dalam kehidupan masyarakat secara luas, tetapi juga lokal, ruang domestik dalam keluarga. Setelah penerbitannya, karya ini banyak dikaji, baik dari sisi isu sosial masyarakat maupun dari sisi kolonialisme dan pascakolonialisme, sebab – jika dikaitkan dengan sejarah India pada masa pasca-penjajahan Inggris – secara umum novel ini memotret kehidupan masyarakat India pasca-kemerdekaan. Dilihat dari tiga setting waktu dalam novel ini, yaitu mulai tahun 1957 dengan sebagian besar peristiwa dari akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1990-an, maka kehidupan masyarakatpun tidak akan jauh dari apa yang terjadi dalam sejarah India sebenarnya. Patchay (2007) meneliti novel ini dalam disertasinya. Kajiannya menunjukkan adanya penderitaan karena memori atau kenangan masa lalu karakternya. Ia mengatakan bahwa The God of Small Things berada dalam cakupan pascakolonial karena setingnya mengambil India sebagai masyarakat pascakolonial dan menunjukkan dampak hilangnya sejarah suatu keluarga yang disebabkan bukan hanya karena efek kolonialisme, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh relasi keluarga dalam struktur budaya India (Patchay: 152). Selain itu, ia menyatakan bahwa Roy mencari puing-puing kehancuran dua rumah yang 15 diceritakan (Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah) serta karakter-karakternya dan pada saat bersamaan menggali memori masa lalu. Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini fokus pada hilangnya sejarah masa lalu dan pengalaman buruk yang dialami karakter dalam relasi kehidupan keluarganya dalam masyarakat pascakolonial. Namun demikian, penelitian ini tidak melihat adanya korelasi antara hilangnya sejarah masa lalu – yang berkaitan dengan sejarah India- dengan jejak-jejak kolonial. Rumah Ayemenem sebagai rumah “keinggris-inggrisan” tidak dibahas sebagai dampak kolonial, dan Rumah Sejarah sebagai sesuatu yang hilang atau hilangnya masa lalu tidak dibahas pula sebagai manifestasi terhadap tidak bisa kembalinya masyarakat India kepada budaya asli. Sementara itu, penelitian dalam tesis Sun Siao Jing (2009: 5) melihat adanya signifikansi hal-hal kecil yang terjadi di Rumah Ayemenem. Dengan re- mapping hal-hal kecil dalam rumah tersebut, ia meneliti interelasi antara place, people dan space. Place yang dimaksud dalam penelitian tersebut diidentifikasi oleh sejarah dan pengalaman personal, bukan oleh perubahan lanskap. Pengalaman personal tersebut akan menghasilkan space kehidupan atau life space sehingga life space ini masih mengandung sense place. Meskipun lanskap yang diceritakan dalam tiga tempat utama dalam novel ini (yaitu Rumah Ayemenem, Sungai Menachal, dan Rumah Sejarah) mengalami perubahan, namun bagi si kembar, Rahel dan Estha, Rumah Ayemenem tetaplah seperti place yang dulu mereka kenal sebelum meninggalkannya. Pikiran mereka tentang Rumah Ayemenem telah dibentuk oleh peristiwa sejarah, pengalaman dan kenangan masa lalu, yaitu kematian Velutha (kalangan kelas bawah yang dekat dengan mereka). 16 Sedangkan space di sini adalah life space atau ruang kehidupan. Life space ini terbentuk dari hal-hal kecil dalam Rumah Ayemenem yang memiliki signifikansinya sendiri. Misalnya, smell atau ‘aroma’ yang berbeda-beda bagi tiap karakter. Aroma parfum mewah Margareth adalah kecemburuan Mamachi terhadap Chacko. Smell yang mereka rasakan menciptakan spaces atau ruang- ruang yang mereka miliki sendiri. Penelitian pertama membahas masyarakat pascakolonial India, terutama relasi hubungan keluarga dalam keluarga India (yaitu Rumah Ayemenem dan Rumah Sejarah) yang berhadapan dengan struktur kebudayaan India dan puing- puing rumah-rumah tersebut. Namun, dalam kajian ini belum dibahas secara spesifik kondisi rumah sebagai ruang tempat relasi keluarga tersebut berlangsung, sebagai lingkungan dengan struktur budaya India (Timur), dan mengapa kehancuran itu terjadi pada masyarakat pascakolonial. Sedangkan penelitian kedua mencoba mencari hubungan antara place (Rumah Ayemenem, Sungai Menachal, Rumah Sejarah), space dan orang-orang yang menghuni place tersebut. Meskipun penelitian ini telah menyinggung masalah space, ruang yang dimaksud adalah ruang kehidupan yang merupakan hasil interaksi pengalaman manusia dengan place atau tempat tertentu, sehingga – seperti halnya penelitian pertama, – penelitian kedua ini juga belum spesifik membicarakan space atau ruang, misalnya yang berupa rumah (sebagai tempat orang tinggal) atau ruang lain di luar rumah, ataupun kaitannya dengan kolonialisme Ingris di India. Sungai dibahas karena menyimpan kenangan yang menimbulkan sense of place untuk membentuk life space, sementara dalam novel sungai sering dijadikan tempat pelanggaran atas 17 aturan rumah, tempat di mana mereka keluar dari batas-batas yang ada di rumah. Sesuatu dianggap sebagai pelanggaran berarti ada sesuatu yang dilanggar, ada border yang dilewati dan order yang ditentang. Dengan melihat fenomena bahwa masyarakat India adalah masyarakat yang dualistik dalam struktur ruang pascakolonial, di mana aturan ganda, Barat dan Timur, yang dimiliki menyebabkan masyarakat India cenderung tertekan, maka muncul permasalahan tentang bagaimana masyarakat India bisa keluar dari atau bertahan dalam aturan kolonial dan tradisi yang ada. Untuk mengetahui adanya upaya yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial India, maka dilakukan penelitian terhadap novel The God of Small Things karena – sebagaimana dijelaskan di atas – novel ini secara sekilas membicarakan kondisi masyarakat pascakolonial yang menjalankan konsep Timur atau tradisi India dan Barat atau kolonial. Selain itu, penelitian yang pernah dilakukan belum menyentuh adanya konsep ruang yang mengontrol atau memberi batas-batas pada masyarakat beserta reaksi yang muncul akibat adanya kontrol tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana Barat dan Timur representasikan dalam struktur ruang dalam novel The God of Small Things, dengan rincian pertanyaan riset sebagai berikut: 1. Bagaimana Barat dan Timur direpresentasikan dalam struktur ruang di dalam dan di luar rumah dalam novel The God of Small Things karya Arundhati Roy? 18 2. Bagaimana strategi spasial pascakolonial dalam menyiasati munculnya dampak yang ditimbulkan oleh representasi tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua jenis tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dari penelitian ialah untuk mengungkapkan kondisi rumah dalam novel The God of Small Things dalam konteks ruang pascakolonial. Sementara, tujuan praktis penelitian ini adalah menghasilkan karya tulis yang diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa, pengajar, peneliti dan siapapun yang berkecimpung dalam dunia sastra terutama pascakolonial ruang. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi inspirasi untuk penelitian selanjutnya. 1.4 Tinjauan Pustaka Sudah banyak penelitian yang mengangkat novel The God of Small Things karya Arundhati Roy; beberapa diuraikan di bawah. Pertama, ada skripsi Vita Irawati (2003) yang berjudul Caste Sytem as a Social Phenomenon in Arundhati Roy’s The God of Small Things. Dengan menggunakan pendekatan ekstrinsik yang melihat sistem kasta dan komunisme yang berkembang di India, penelitian ini menitikberatkan beberapa karakter yang dianggap berkaitan dengan sistem kasta dalam cerita novel. Dari hasil pembahasan tentang sistem kasta pada karakter yang dipilih, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pandangan terhadap sistem kasta yang berkembang di India dalam novel. Terdapat dua tokoh 19 yang masih mempertahankan sistem kasta, meskipun mereka hidup dalam keluarga Kristen Siria yang tidak mengenal kasta. Terdapat dua karakter lagi yang berasal dari kasta berbeda (tinggi dan rendah) yang melakukan pelanggaran terhadap sistem kasta dengan saling mencintai (love relation). Dua karakter yang lain, penganut sistem komunisme, justru menunjukkan dukungan kuat terhadap sistem kasta, walaupun komunisme itu sendiri menghendaki kesamaan kedudukan manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem kasta terhadap karakter dalam novel tidaklah mutlak: kasta masih bisa dilanggar, bisa dinegosiasi. Tindakan tidak setia terhadap kasta, melanggar, ataupun setia terhadap kasta memiliki dasar. Ketika kasta merupakan tradisi, maka dalam masyarakat pascakolonial seperti India, sudah tentu tradisi itu akan dibaca dengan makna yang berbeda dari bacaan kolonial. Namun, penelitian ini tidak banyak membahas kolonialisme ataupun pascakolonialisme, sementara di India, sebagai negara pascakolonial, sudah pasti terdapat ruang-ruang yang dipengaruhi kolonialisme. Dengan demikian, penelitian ini belum menyentuh konsep ruang, yang merupakan unsur penting dalam pascakolonial dan berkaitan erat dengan sistem kasta yang melekat pada tubuh dan kehidupan masyarakat pascakolonial India. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Winda Chandra Hantari (2008) yang berjudul Patterns of Domination in Arundhati Roy’s The God of Small Things: A Postcolonial Study. Hantari mengkaji novel ini dengan mencari pola dominasi serta konflik yang berkaitan dengan isu ras, bangsa, dan budaya. Dengan menggunakan teori Jameson mengenai karya sastra sebagai alegori bagi cerita
Description: