PEMIKIRAN ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI TENTANG ASMA’ DAN SIFAT ALLAH NASKAH PUBLIKASI DiajukanKepada: Program Studi Magister Pemikiran Islam UniversitasMuhammadiyah Surakarta untukMemenuhi Salah SatuSyaratGunaMemperoleh Gelar Magister Pemikiran Islam Oleh: IKMAL FAHAD NIM : O 000080013 PROGRAM STUDI MAGISTER PEMIKIRAN ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013 ABSTRAK Penelitian ini mengangkat judul “Pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ”. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran deskriptif yang lebih jelas tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah serta apa yang melatarbelakangi dan membedakan pemikiran keduanya. Proses penelitian ini bersifat kualitatif yang dikembangkan dalam sebuah metode penelitian ilmiah. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif, analitis kritis, dan perbandingan. Data-data yang diperoleh kemudian dideskripsikan serta dianalisa dengan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Pendekatan sosiologis dan historis digunakan untuk mengungkap hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dengan melihat sejarahnya. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan dari “Pemikiran Abu al-×asan al- Asy‟arÊ tentang AsmÉ’ dan ØifÉt Allah ” adalah sebagai berikut: 1) Abu al- ×asan al-Asy‟arÊ mengimani dan menetapkan semua asmÉ’ Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah. Ia juga menolak pertentangan dalam polemik tentang al-ismu (nama) dan musammÉ (yang dinamai), baginya al- ismu adalah untuk musammÉ, sedangkan keyakinan bahwa al-ismu adalah selain musammÉ adalah kesesatan dalam beragama, sehingga perdebatan dalam masalah ini adalah kebidahan. 2) Ia menetapkan semua ÎifÉt Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Alquran dan sunah serta memperlakukannya sesuai makna lahirnya dengan tanpa melakukan takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, dan ta’wÊl. Sehingga ia menetapkan semua ÎifÉt żÉtiyah bagi Allah seperti ÎifÉt ilmu, wajah, dua mata, dua tangan, dan jari-jari. Ia juga menetapkan semua ÎifÉt fi’liyah bagi Allah seperti ÎifÉt al-qabÌah, al-istiwÉ’, al-ityÉn, al-majÊ’, dan al-nuzËl. Dalam penetapannya terhadap ÎifÉt tersebut, ia menegaskan keharusan menetapkannya dengan tanpa melakukan tamtsÊl dan takyÊf. 3) Asy‟ariyah berpendapat bahwa asmÉ’ Allah adalah qadÊm sebagaimana ÎifÉt-Nya, ia bukanlah makhluk dan ia adalah zat-Nya sendiri, hanya saja penamaan (al-tasmiyyah) maka itu adalah makhluk. 4) Asy‟ariyah berpendapat bahwa kewajiban pertama bagi setiap mukalaf adalah pengenalan atas Allah terkait dengan apa yang wajib ditetapkan atas-Nya, apa yang mustahil, dan apa yang boleh dari ÎifÉt-Nya yang berjumlah 20. 5) Asy‟ariyah menetapkan seluruh ÎifÉt Allah melalui akal sehingga mereka menafikan semua ÎifÉt khabariyah bagi Allah , baik yang berupa ÎifÉt żÉtiyah maupun ÎifÉt fi’liyah, melainkan hanya tujuh ÎifÉt yang mereka sebut dengan ÎifÉt ma’ÉnÊ. Selain dari tujuh ÎifÉt ma’ÉnÊ di atas, maka harus ditakwilkan atau diserahkan kepada Allah (tafwÊÌ). Kesimpulan yang dihasilkan adalah adanya perbedaan antara pemikiran akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dan Asy‟ariyah, yang membawa implikasi pada adanya perbedaan pemikiran dalam mengimani asmÉ’ dan ÎifÉt Allah . Ini merupakan fakta yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian (diskrepansi) dalam penisbatan Asy‟ariyah kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ. Kata Kunci: Pemikiran, AsmÉ’ dan ØifÉt Allah , dan Asy‟ariyah ABSTRACT In this study the title "Thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ about asmÉ’ and ÎifÉt Allah " is raised. The purpose of this research is to get a clearer of the descriptive in thinking Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite about asmÉ’ and ÎifÉt Allah . It can get distinguishes the background and thinking both in terms of faith in general and specifically in asmÉ’ thing and Allah‟s ÎifÉt. This is a qualitative research process is the research library (library research) that developed in a scientific research method. The comparative approach was used to compare the views of Abu al-×asan al-Asy'arÊ with other views associated with the specified theme. The sociological and historical approach also used to state the reasoning behind the Abu al-×asan al-Asy'arÊ by looking at its history. The results of this research can be inferred from the "Thought Abu al- ×asan al-Asy'arÊ" are as follows: 1) Abu al-×asan al-Asy'arÊ’s about asmÉ’ and ÎifÉt Allah faith and determine all asmÉ’ Allah as established by the Qur'an and the Sunnah. He also rejected the contention in the debate about al-ismu (name) and musammÉ (named), her al-ismu (name) is to musammÉ (named), while the belief that al-ismu (name) is besides musammÉ (named) is heresy in religion, so that the debate on this issue is heresy. 2) He sets all ÎifÉt Allah as established by the Qur'an and Sunnah and also treat it in suitable with the original meaning without doing takyÊf, tamtsÊl, ta’ÏÊl, and ta’wÊl. So he determine all ÎifÉt żÉtiyah for Allah like ÎifÉt science, face, two eyes, two hands, and fingers. He also set the all ÎifÉt fi'liyah for Allah like ÎifÉt al-qabÌah (grasping), al-istiwÉ', al-ityÉn, al- majÊ', and al-nuzËl. In his decision about ÎifÉt, he asked the necessity to define without tamtsÊl and takyÊf. 3) AsmÉ’ Ash'arite give an opinion that 'Allah is qadÊm ÎifÉt as his character, he is not a creature, and he is his own agent, only naming (al-tasmiyyah) then it is a creature.it meant of the naming is asmÉ’ Allah itself. 4) Ash'arite opinion is the first obligation of every mukalaf is recognition of Allah (ma'rifatullah) related to what is required to set upon him, Allah what is impossible, and what is allowed of his ÎifÉt totaling 20. 5) So they determine all set the whole ÎifÉt Ash'arite God through reason, thinking or logical , either in the form ÎifÉt żÉtiyah and ÎifÉt khabariyah for Allah and ÎifÉt fi'liyah, but only seven ÎifÉt they called by ÎifÉt ma'ÉnÊ. Beside from the seven ÎifÉt ma'ÉnÊ above, it should be deciphered (ditakwilkan) or submitted to Allah . The conclude is there are a lot of difference between thinking creed Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite thinking in directly the implications for differences in faith asmÉ’ thinking 'and ÎifÉt Allah . In fact that indicates the discrepancy in Ash'arite attribution to Abu al-×asan al-Asy'arÊ and Ash'arite‟s. Keywords: Thought, AsmÉ’ and ØifÉt Allah بِ سْ بِلرَّا بِ مَ سْلرَّا ابِ بِ سْ بِ Sudah menjadi sunnatullÉh al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtilÉf) dan perpecahan (iftirÉq) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah Bani Israil. Nabi menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya: “Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, NaÎrani terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan”. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan masuk Neraka dan yang satu akan masuk Surga yaitu al-jamÉ’ah ”. Dalam riwayat TurmużÊ, disebutkan dengan lafal: “Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang berjalan di atas jalan yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya”. Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khilÉfah-an Abu bakar, „Umar, dan „UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman. Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn dan awal ke-khilÉfah-an „AlÊ mulai bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah uÎËlu al-dÊn dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya firqah dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij kemudian firqah SyÊ‟ah dan diikuti oleh firqah-firqah yang lain seperti Murji‟ah, Mu‟tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Asy‟ariyah, MÉturÊdiyah, al-Nusuk (Tasawuf) dan lain-lain. Sehingga dari sini semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam, mengingat setiap firqah memiliki uÎËl yang mereka pertahankan. Hal ini merupakan bukti kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi di atas. Secara lebih khusus, Nabi telah menjelaskan jalan keluar dari perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para al-KhulafÉ' al-RÉsyidÊn yang mendapatkan petunjuk setelahku dan gigitlah ia dengan gigi geraham”. Ibnu Abbas juga meriwayatkan sabda Nabi : “Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah dan sunnahku”. Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang teguh dengan sunah beliau dan para sahabatnya. Syaikh „Abdullah al-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu: Pertama, Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya; 1) memperturutkan hawa nafsu yang mendorong manusia untuk menyimpang dari kebenaran dan menolaknya, 2) kebodohan hal ini penyebab utama seseorang jatuh pada kebidahan dan perselisihan, 3) sikap melampaui batas (al-ghuluw dan al-ifrÉÏ), hal ini adalah sebab yang mendorong terjadinya iftirÉq dalam Islam, 4) ta’wÊl terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil, 5) menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam menerima nas-nas syariat. Kedua, Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya; 1) futËÍÉt islÉmiyah, hal ini menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran dari luar Islam, 2) banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman, 3) penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani (ilmu kalÉm), serta usaha untuk mempelajari dan mendalaminya, 4) masuk islamnya sebagian misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain dengan tujuan untuk merusak Islam. Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) makar dan tipu daya dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena fanatisme (ta’aÎÎub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak diindahkannya kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4) peremehan terhadap Ïalabu al-’ilmi syar’i berdasarkan manhaj salaf, 5) penerimaan atas semua pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang kebenarannya dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya amar ma’ruf nahi munkar. Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan, bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya terjadi kontak kaum muslim dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran- pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis, dan Mu‟tazilah. Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke dalam Islam. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak terpengaruhi sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal. Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh Mu‟tazilah untuk memahami tentang keimanan (IlÉhiyyÉt) dan mereka tidak lagi menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎil bin „AÏÉ‟, yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah dan mereka berkeyakinan bahwa Allah tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka pemberian sifat kepada Allah membawa kepada kesyirikan atau politeisme. Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qadÊm (permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi Tuhan itu sendiri. Pemikiran-pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hużail al-„AllÉf, al- NaÐÐÉm, al-Murdar, al-JÉÍiÌ, al-JubÉ‟i, al-KhayyÉÏ, Abu HÉsyim, dan lain-lain. Di antara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang merupakan murid besar dari al-JubÉ‟Ê. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ pada perkembangan pemikiran dan pemahaman teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu Mu‟tazilah. Di antara yang ia tolak dari teologi Mu‟tazilah adalah penafian terhadap sifat Allah . Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya. Hanya saja para ulama menjelaskan bahwa pada masa awal penentangannya terhadap Mu‟tazilah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebenarnya masih dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik (logika) dan kecondongannya kepada Ahlusunah waljamaah atau AÎÍÉb al-×adÊts dan iapun jatuh pada pemahaman KullÉbiyah. Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah , ia hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah yang ia anggap sesuai dengan akal manusia. Adapun Îifat khabariyah tentang Allah iapun menakwilkannya. Apa yang dicetuskan oleh al-Asy‟arÊ ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy‟ariyah. Sikap sejalan dengan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr al- MÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-Asy‟arÊ terutama dalam masalah penetapan Îifat bagi Allah dan iapun menentang Mu‟tazilah. Dalam penetapan Îifat Allah ia sejalan dengan al-Asy‟arÊ yaitu menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan bagi Allah selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah menjadi 20 sifat bagi Allah . Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi Allah yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah. Dalam perkembangannya, mazhab ini berkembang ditengah masyarakat dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di kala itu. Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun ia
Description: