ebook img

pembredelan pers di indonesia pasca pencabutan pembatala.n siupp PDF

12 Pages·2017·2.97 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview pembredelan pers di indonesia pasca pencabutan pembatala.n siupp

36 HlIkum dall Pembungunan PEMBREDELAN PERS DI INDONESIA PASCA PENCABUTAN PEMBATALA.N SIUPP Oleh Satya Arinanto Semenjak dikeluarkan serangkaian Un dang-undang Ketentuan Pokok Pers yakni, Undang-undang Nomor 11 tahun 1966, Un dang-undang Nomor 4 tahun 1967, dan Un dang-undang Nomor 21 tahun 1982 jo Per aturan Menteri Nomor OliPen/Menpen/1984 keberadaan Pers di Indonesia hangat di bicarakan, khususnya konsep kebebasan pers yang semakin dibatasi oleh karena masih adanya budaya telepon, pembatalan StuPP, pembredelan pers dan sebagainya. Padahal apabila merujuk pada konstitusi kita adanya kehebasan atau kemerdekaan mengemuka kan pendapat itu amat dijunjung tinggi. Oleh sebagian kalangan adanya pembatasan "kebebasan pers" itu dinaggap tidak sesuai lagi dalam era keterbukaan dewasa ini dan di dalam negara yang menganut demokrasi Pancasila. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan adanya hal-hal yang bersifat das Sein dan das Sollen dalam bi dang kebebasan pers pada masa Orde Baru. Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. (Lord Acton) Di zaman pemerintahan Mao Zedong, Cina pernah memperoleh hembusan "angin surga" dengan diperkenankannya "seribu bunga" ber kembang. Yang dimaksud dengan "seribu bunga" berkembang di sini adalah kebijakan Mao Zedong yang memperkenankan tumbuhnya berbagai pen dapat yang berbeda di kalangan rakyat Cina, termasuk untuk berbeda pen dapat dengan Mao Zedong sendiri. Dan gayung pun bersambut. Rakyat Cina ban yak yang menggunakan kesempatan ini untuk melemparkan berbagai kritik vokal yang terbuka, terutama terhadap diri dan pemerintahan Mao Zedong yang memang mem punyai banyak kelemahan. 37 P~mbre4e/an Dengan Kata lain,. hanya untuk mengetahui siapa-siapa sebenarnya· orang at au kelompok yang berbeda pendapat dengannya, di mana pada akhirnya akan dilakukan tindakan terhadap mereka. Setelah berbagai pendapat yang berbeda dan kritik vokal yang di sampaikan secara terbuka pun muncul ke permukaan, diambillah langkah langkah represif oleh Mao Zedong. Kebijakan seribu bunga dibiarkan ber kembang, sekedar untuk mengetahui apa sebenarnya pendapat masyarakat. AkankaIi hal ini juga akan terjadi di tanah air kit a? Jawabannya dapat dirunut dari sejak awal kelahiran Orde Baru. Era "Keterbukaim" di Indonesia? Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan di depan Dewan Per wakilan Rakyat pada tanggal 16 J anuari 1990 yang lalu antara lain mengatakan : I Beberapa waktu yang lalu saya sudah menegaskan bahwa kita tidak perlu terlalu khawatir lagi akan adanya beraneka ragam pandangan dan pendapat dalam masyarakat. Perbedaan pendapat justru harus kita pandang sebagai penggerak dinarnika keJridupan itu sendiri. Memang ada saatnya kita harus khawatir terhadap perbedaan pendapat, yaitu di saat masyarakat kita masih ber simpang ideologinya. Keadaan demikian sudah mulai lewat. Pancasila sudah kukuh secara melembaga dalam masyarakat kita. Jika di saat ini kita masih juga mengkhawatirkan keanekaragaman pendapat, hal itu bukan saja berarti kita menyangsikan keampuhan Pancasila, tetapi juga menghambat perkembangan Pancasila itu sendiri. Pada hari-hari pertama sesudah diucapkannya pidino Presiden tersebut, muncul berbagai tanggapan dari masyarakat. Tanggapan yang penulis nilai justru sejalan dengan kehendak Presiden itu adalah yang datang dari Menko Polkam Sudomo. Tanggapan-tanggapan itu antara lain tercermin dalam berbagai per nyataan Sudomo untuk menghapuskan "lernbaga telpon" (yang sekarang disebut "budaya telpon"l, dan, yang terpenting adalah keinginan untuk mencabut pembatalan SIUPP. Pernyataan itulah yang kemudian menimbulkan perdebatan sedus dengan pihak yang mengeluarkannya, dalam hal ini ialah Menteri' Pene rangan Harmoko, walaupun hal ini tidak diakuinya.2 Menurut pandangan penulis, kerumitan ini muncul karena-adanya per bedaan penafsiran terhadap isi pidato Presiden tersebut. Anehnya, ternyata Presiden Suharto sendiri kemudian justru mendukung pendapat Harmoko, dengan mengatakan ]1ahwa pets tak perlu takut dan khawatir terhadap I) Kompas. 80ktobc:r. 1990. hal. 6. 2) Tempo, 13 Oktobcr, 1990. hal. 22·23. ..' Februari 1991 38 Hukum dan H?nlbangunan UndangoUndang Pokok Pers dan peraturan pelaksanannya.3 Pernyataan Presiden ini penulis tafsirkan sebagai bel urn adanya' keinginan untuk meng ganti Undang-Undang Pokok Pers dan peraturan pelaksanaannya, yang terutama dalam hal ini adalah Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No. . 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Tekad Awal Orde Barn. Dua puluh empat tahun yang silam, di masa·masa awal lahirnya Orde Baru, istilah kebebasan pers dan Orde Bam digambarkan scolah-olah ber gandengan dengan mesra, seolah-olah onlosmakelijk, tidak terpisahkan satu dengan yang lain.' Pada masa-masa kelahiraJmya Orde Baru memang menjanjikan untuk tidak membatasi pengakuan terhadap kebebasan pel's sebagai suatu asas demokrasi saja, tetapi akan menjunjung tinggi dan mengamalkan asas ke bebasan pers tersebut. 5 Orde Baru akan ontkennen sifatnya, apabila di dalamnya kebebasan pers sebagai suatu esensialia dari suatu negara hukum yang demokratis -- juga di dalam negara hukum Pancasila -- tidak terealisasikan.6 Sebenarnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, secara konstitusional Negara Republik Indonesia telah mengenal dan mengakui adanya kebebasan atau kemerdekaaan pers. Hal ini tercermin dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan adanya ke merdekaan untuk mengeluarkan pikiran seeara Iisan dan tulisan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kebebasan pers. Rumusan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut agak berbeda dengan rumusan yang terdapat di dalam kedua Undang-Undang Dasar lain Ilya yang pernah berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Semen tara 1950. Dalam pasal 19 Undang-Undang Dasar RIS 1949 dinyatakan bahwa: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat". Pasal ini sarna bunyinya dengan pasa1 19 Undang-Undang Dasar Sementara 1950.' Apabila !dta perbandingkan ketiga Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, akan tampaklah bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mempergunakan istilah kemerdekaan pers,8 sedangkan baik 3) Ibid. . 4) Oemar Seno Adji. Mass Media dan Hukum (cel8.kan ke-2; Jakarta: Eriangga. 1977), hal. 95. S) Satya Arinanto, ·Mem~soalkan Kebebasan Pers/ dalam DeMY J.A., Jonminofri. Rahardjo (cds.), Menegakkan tkmokrasi: Pandangan Scjumlah Tokob dan Kaum Muda Mengenai Oemokrasi di Indonesia (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia dan The Asia Foundation, 1989), hal.89 . ~. . 7) Soepomo. Undang-Undang Dasar Semcntara Republik Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramlta, 1974), hal. 32. 8) Lihat pasa\ 28 Undan8-Undang Dasar 1945. , Pembredelan 39 Undang-Undang'Dasar RIS '1949 niaiIpun Uildang-Undang Dasar Sementara- 1950 mempergunakan istilah' kebebasan pers. _ Selain itu dapat kita lihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memper gunakan istifah pikiran> sedangkan'baik Undang-Undang Dasar RIS'"1949 maupun Un(;I~-Undang Dasar Sement.ara ,1950 mempergunakan. istilah pendapat., .' , Perbedaan kedua istilah tersebut dapat kita paharni -a,pabila kita me ninjau situasi internasi~na1 di sekitar penyusunan ketiga Undang-Undang Dasar tersebut. Universiu Da:laration of Human Rights 'yang diundangkan oleh Perserikatan Bangsa-Ba.n gsa pada tanggallO Desember 1948 -- kurang . , lebih satu tahun sebelum berlakunya Undang-Undang Dasar RIS 1949, -' sangat berpengaruh terhadap kedua Undang-Undang Dasar tersebut, yakni Undang-Undang Dasar RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pasal .19 PemYl\taan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia tersebut menegaskan bahwa: Everyone has the right to freedom of opinion aiid expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. Terhadap adanya" kedua istilah tersebul, yakni kebebasan pers dan kemerdekaan pers, maka penulis lebih condong untuk mempergunakan istilah' yang pertama, yakni kebebasan pers, walaupun kedua istilah tersebut se benarnya identik.9 Sekarang kita kembali pada pembahasan mengenai rumusan yang ter dapat-dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang yang dijanjikan pasal 28 tersebut, khususnya yang berkaitlln dengan kebebasan pers, ternyata baru terwujud setelah lebih dari 21 tahun kemudian, yaitu pada saat diundangkannya Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, yang berfungsi sebagai landasan untuk melakukan pembinaan, terhadap pers. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang No. '11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Terakhir, Undang-Undang No.4 tahun 1967 tersebut diubah dengan Undang-Undanl'! No. 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undan~-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.4 tahun 1967. Undang-Undang No. 21 tahun 1982 ini mulai ',berlaku' pada,tanggal 20 S~pteinber 1982. . ' Sangat menarik untuk diamati, bahwa ketiga Undang-Undang Pokok Pers tersebut ternyata dilahirkan pada masa Orde Baru. Apakah hal i!)i 9) J.C.T. Simorangkir, Hukum dan Kebebasan Pers (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1980); hal 51. Penulis buku ini mempunyai pandangan yang sarna dengan penulis. yakni lebih condong untu!!: mempergunak:an istilah kebebasan pers daripada kemerdekaan pers. Hal ini nampak dati judul bukunya yang dicetak miring diatas. . Februari 1991 40 HukulII dan Pemballgullul/ memang pertanda bahwa pemerintah Orde Baru ·komitmen terhadap .c ita citanya? Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut!. Praktek Kebebasan Pers Orde Baru: Suatu Langkah Mundor? , Berdasarkan analisa terhadap perundang-undangan yang berkaitan dengan pers tersebut, penulis dapat melihat adanya tiga asas pembatas dalam kebebasan mengeluarkan pendapat lisan dan tulisan di Indonesia. Pertama adalah as as tanggung jawab, yaitu bahwa dalam pelaksanaan ke bebasan mengelLarkan pendapat lisan dan tulisan senantiasa harus diperhatikan agar manifestasi kebebasan tersebut "tidak membawa akibat limbulnya keresahan, kecemasan serta kcgelisahan masyarakar yang tidak perIu." 10 Kedua, adalah asas kepentingan umum, yaitu bahwa pelaksanaan ke bebasan mengemukakan pendapat tidak boleh bertentangan dengan upaya nasional untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. Ketiga, adalah "tidak bolch bertentimgan dengan dasar negara", yaitu bahwa pelaksanaan kebebasan mengemukakan pendapat tidak boleh ber lentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu permasalahan mendasar yang berkaitan dengan kebebasan pers pada masa Orde Baru adalah mengenai pembredelan pers.1I Pertanyaan pertama yang harus kita kemukakan terhadap permasalahan ini ialah: "Adakah perbedaan antara SlUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1982jo Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No. Ol/Per/Menpenll984 dengan SIT (Surat Izin Terbit) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. II tahun 1966?12 Menurut Prof. Oemar Seno Adji, SIUPP tak bisa digunakan untuk membredel pers. Pencabutan SIUPP tak boleh menggunakan dasar isi muatan media massa.ll Permasalahan yang terlontar setelah dibata1kannya SIUPP suratkabar Sinar Harapan yang kemudian disusul oleh suratkabar Prioritas itu timbul dalam ceramah tunggal Prof. Oemar Seno Adji pada akhir Maret 1987 di Universitas Diponegoro, Semarang, yang kemudian menjadi berita utama di berbagai media massa. Dalam ceramahnya tersebut Prof. Oemar Seno Adji antara lain mengatakan bahwa: "Pers yang bebas dan bertanggung jawab sering disalahartikan." Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut, esensi dari dari pers bebas adalah tidak diperkenankan nya langkah atau tindakan preventif dalam kehidupan hukum. Seperti sensor, pembredelan dan penghapusan SIT. Segala kekangan dan perizinan lebih dahulu dipandang sebagai tindakan terlarang, yang tidak dibenarkan oleh kebebasan pers. 10) Berita Buana dalam Tempo, 8 Nopember 1986. hal. I. I 11) Lihat Satya Arinanto, Loc. Cit., hal. 94 et seqq. 12) Tempo, II April, 1987, hal. 78. ll) Lihat pendapat Prof. Oemar Seno Adji dalam Tempo, 11 April, 1987, hal.78. 41 Pembredelan Sedangkan pers yang bertanggung jawab adalah pers yang isinya tidak menyinggung masalah: penghinaan, penghasutan, pernyataan terhadap agama, pornografi dan penyiaran berita bohong. Tidak menyiarkan berita yang mengganggu keamanan nasional dan ketertiban umum. Juga, pemberi taan jangan sampai menghambat jalannya peradilan. Jika sampai memuat masalah-masalah tersebut, maka pers tersebut dapat dituntut ke pengadilan, tapi tanpa dibredel.I4 Yang harns dituntut tentunya sesuai dengan Undang·Undang Pokok Pers, yang ketentuannya berlawanan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, yang diajukan dan bertanggung jawab adalab orang yang benar-benar melakukan kesalahan. Actual wrong, bukan fiktif, dan bukan suksesif. Sebaliknya, dalam Undang-Undang Pokok Pers, malab fiktif dan suksesif. Artinya, jika isinya salab; maka yang bertanggung jawab pertama adalah pemimpin umum, lalu pemimpin redaksi, pemimpin perusahaan, anggota redaksi, dan kemudian baru penulis. Memang, dalam pers, orang yang di atasnya yang bertanggung jawab. Jadi, bisa memindahkan, suksesif. Dalam sistematika dan kategori hu1rum pers, SIT termasuk dalam Code of Publication. Sedangkan SIUPP, masuk dalam kategori Code of Enter· prise. Artinya, SIT mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan per nyataan pendapat, melalui pers. Sedangkan SIUPP banyak mengatur faktor ekonomis, yang tidak boleh dihubungkan dengan kebebasan menyatakan pendapat melalui pers. SIUPP lebih merupakan perizinan sebuab perusabaan pers. Ia banyak berkaitan dengan hukum dagang, perdata, perpajakan dan perburuhan. Jadi, ia tidak langsung berhubungan dengan hal-hal yang fundamental, seperti kebebasan berekspresi melalui pers, yang digolongkan ke dalam Code of Publication. Dalam pelaksanaannya ternyata terdapat pergeseran dan kelihatan rancu. Yakni, keluar dari ketentuan dan fungsi SIUPP itu sendiri. Ter· utama masalah pembredelan setelah berlakunya SIUPP. Padahal sebenar nya SIUPP mengatur masalah bagaimana perusahaan pers itu agar berdiri. Jadi, jika syarat-syarat berdirinya perusahaan pers belum terpenuhi, misal nya modal, maka SIUPP dapat dibatalkan diberikan. Jadi, bukan dibatal kan karena isi beritanya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan ke- rancuan. ' , , Dalam kasus Sinar Harapan misalnya. Pada tanggal9 Nopember 1986 SIUPP-nya dibatalkan, karena tulisan-tulisan dalam suratkabar tersebut "baik disengaja atau tidak umumnya menciptakan suasana yang serba suram, risau, bingung dan resah di kalangan masyarakat." Tulisan'tulisan itu berupa, antara lain, artikel Tajuk Rencana ten tang Devaluasi. Diusul kan dalam suatu tulisan, agar sejalan dengan de.valuasi, maka deposito 1'5) Tempo, 180ktober. 1986. hal. 13. 14) Alternatif inilah yang juga ditawarkan oleh Menko Polkam Sudomo. tapi kemudian ditentang oleh Menteri Penerangan Harmoka, yang tampaknya ingin mempertahankan status quo Undang·Undang Pakok Pers dan Peraturan Menteri Penerangan tentang SIUPP. . Februari 1991 HU/..:/l1II dall Pembul1gulI(ln jangka pendek agar ditukar dengan obligasi. Namun keputusan pembatalan SIUPP yang menetapkan b!lhwa suratkabar tersebut dilarang dicetak, diter bitkan dan diedarkan karena suatu artikel yang berjuduJ: "Pemerintah akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor.15 Jadi harian sore terscbut dibatalkan SIUPP-nya, bukan dibredel. Apakah hal ini menyalahi aturan? Menurut Prof. Oemar Seno Adji, hal ini jeJas menyalahi aiuran. Scbab, setelah lembaga SIT dihapuskan, dan ditegaskan bal1\va lembaga lcrsebul tidak eliperlukan lagi, maka kurang pada tempatnya untuk masih memandang perlu, dan melakukan, pembredeJan. to o SIUPP Pll~ mempunyai lapangan yang berbecla dcngan SIT. la tidak dapat digunakan sebagai suatu sarana untuk dapal rtlclljatuhkan pem breddan terhadap pers. Jadi, scandainya dilakukan at au dijatuhkan dengan kata-kata pembatalan, sebenarnya esensi atau isi sural tersebut swna dengan \Vaktu menjatuhkan pembreuelan ulllu. KesaJahannya terdapat pad a isi berita. tetapi yang dihukurn perusahaannyo.. Seharusnya adalah redaksinya. Atau orang yang menulis berita itll yang dituntut di depan pengaelilan untuk mempertanggungjawabkan tulisan nya. Bukannya kebebasan pers yang menjadi korban. Hal yang sarna itu, yakni pembatalan SIUPP, telah pula menimpa suratkabar Prioritas. Kedua kasus suratkabar yang dibatalkan SIUPP-nya tersebut sengaja penulis pilih sebagai contoh kasus, karen a kedua kasus terse but merupakan kasus yang pertama terjadi selama diberlakukannya Undang-Undang No. 21 tahun 1982, yang di dalamnya mengatur ketentuan-ketentuan mengenai SIUPP yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Penerangan sebagaimana telah diuraikan eli muka. Kasus ketiga daIam hal pembatalan SlliPP adalab sebagaimana me nimpa suratkabar tabloid Monitor baru-barn ini. Berdasarkan berbagai tuntlltan dati masyarakat, pemerintah melakukan pembalalan SIUPP Monitor karena dalam salah satu edisinya pada bulan Oktober 1990, dalam judul Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita telah menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan tokoh idola yang ke-II. Bagaimanapun alasannya, penulis tetap tidak setuju terhadap pem batalan SIUPP tersebut, karena sebagaimana yang kemlldian terbukti, hanya pihak pemimpin redaksinya sajalah yang "ebenarnya berkeinginan lIntuk memuat hasil angket tersebut. Bahkan hanya dialah yang merencana kan angkel tcrsebut. Akibatnya, keseluruhan karyawan suratkabar tersebut .. - termasuk para pedagang asongan yang selanla ini ikut menikmati rejeki dari penjualan Monitor -- terpaksa kehilangan pekerjaannya, hanya karena ulah dari salah saru orang. Apakah hal ini sesuai dengan nilai-nilai ke adilan? Sedangkan kasus-kasus yang terjadi sebelum berlakunya Undang Undang No. 21 tahun 1982 yang berkaitan dengan hal tersebut adalah pen cabutan SIT, karena pada saat itu masih berlaku Undang-Undang No. 11 16) Pendapat Prof. Demar Seno Adji dalam Tempo, loco Cit. Pembredelanl 43 tahun 1966 sebagaimana diubah dengan Undimg-Undang No.4 tahun 1,%7. Dan pencabutan SIT tidak begitu menimbulkan persoalan yang mendasar, dibandingkan dengan masalah pembatalan SIUPP yang memberikan kesan salah kaprah itu. Berbeda dengan Undang-Undang No. 11 tahun 1966 yang mengatur mengenai SIT, rnaka pembatalan SIUPP yangdiatur dalam undang-Undang No. 21 tahun·1982 bersifat final. Artinya ialah, bila suatu penerbitan dibatalkan SIUPP-nya, maka ia harus meminta SIUPP baru dengan nama suratkabar yang baru pula. Hal ini pun terjadi pada Sinar Harapan yang kemudian mempunyai nama baru Suara Pembaruan, dan Prioritas yang kemudian menjadi Media Indonesia.17 Kasus lainnya yang berkaitan dengan praktek konsep kebebasan pers pada masa Orde Baru ini adalah larangan terhadap buku-buku tulisan Pramoedya Ananta Toer. Sebagaimana diketahui, Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan yang menulis buku-buku Bumi dan Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan Jejak Langkah yang pada dasarnya menggambarkan tentang babaya-bahaya penjajahan ekonomi. Buku-buku karya sastrawan yang lama menetap di Pulau Buru tersebut pada waktu itu dilarang dan bahkan diperintahkan untuk dibakar oleh J aksa Agung karena isinya dianggap menyebarluaskan Marxisme/Leninisme. Dalam kaitan dengan kasus ini, pada tahun 1981 tercatat adanya empat orang mahasiswa Fakultas IImu Sosial dan IImu Politik (FISIP) Universitas Indonesia yang dipecat karena mengundang Pramoedya Ananta Toer untuk berbicara di kampus.18 Sementara itu beberapa waktu yang Ialu, seorang mahasiswa dan seorang karyawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dihadapkan ke depan pengadiJan karena menjualbelikan buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer tersebut. 'Kasus ini sekarang telah berkekuatan hukum yang tetap, dan ke duanya baru-baru ini sempat "berdarma wisata" ke Pulau Nusa Kambangan karena kesalahan pimpinan lembaga pemasyarakatan setempat. Permasalahan lain yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan praktek kebebasan pers di Indonesia pada masa Orde Baru ini ialah adanya "Iembaga telpon" yang sekarang diubah istilahnya menjadi "budaya telpon' oleh Menko Polkam 'Sudomo.19 Menurut Prof. Oemar Seno Adji, hal ini sebenarnya sudah ada sejak jam. an Bung Karno dulu, yang dilakukan , 17) Pfda saat dibatalkannya SIUPP harlan pagi Priaritas. penuli~ - berdasarkan sural tugas dari Rebar Universitas Indonesia - bersama dua orang mahasiswa Universitas lainnya.(satu dari Fairultas Ekonomi. dan satu tagi dad Fakuhas Matematika dan IImu Pengetahuan Alam) secara kebetulan sedang bertugas mengikuti job trainee padaharian tersebut. Jadi dapat mengikuti proses -kematian-sural tabar te~~but dcngan jelas. AI ini merupakan salah satu sebab mengapa penulis amat tcrtarik untuk mengk'aJI per masalahan Uti. dan menyajikannya dibadapan forum ini. - 18) T. Mulya Lubis. Fauzi Abdullah. Mulyana W. Kusumab, cds .• Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981 <Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Lembap Bantuan HukUm Indonesia. 1983). bal. 59-6>. '; .. 19) Libat komentar Satya Arinanto pat~ Tempo, 6 Oktober 1990, hal. IS yang berjudul: -Penegasan Sudomo: Meroang Kehendak Konstitusi-. Februari 1991 44 Hukum dan Pembangunan oleh Seknegnya.20 Soal ini pada akhirnya memaiig diserahkan kepada pers nya, sendiri., Yang terjadi umumnya persnya akan menurutinya, dengan dalih daripada dilarang terbit: Menurut catalan penulis, hal ini banyak dilakukan dalam masa Orde Baru. Salah salU praktek diterapkannya '"budaya telpon" yang terjadi 'beberapa waktu yang 'Ialu ialah yang dilakukan oleh MenterilSekretaris Negara Moerdiono kepada beberapa pemimpin redaksi suratkabar dan ma:jalah di Jakarta, agar tidak.memuat -- apalagi dalam judul-judul besar -- berita-berita mengenai pemberontakan mahasiswa, dengan alasan untuk menjaga stabilitas nasional. 21 Peraturan Menteri Penenuogan: Suatu Kerancuan di Bidang Perundang- Undangan? ,.' , Berdasarkan teori perundang-undangan, fungsi suatu undang-undang atau peralman pemerintah !pengg~ti undang-undang (perpu) adalah sebagai berikut: I. ..fv1engatur lebih I""jut ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang tegas tegas menyebutkannya; 2. "Mengatur lebih lanjllt secara umum aturan-aturan dasar dalam Batang Tubuh UUD 1945; 3. Pe<t,gaturan di bidang hubungan antara lembaga tertinggi dan tinggi negara, meng;enai hubungan antara negara dengan warga negaral penduduk dan sebagainya; 4. Pengaturan lebih lanjut ketentua~-ketentuan dalam Ketetapan MPR(S) "yang tegas-tegas menyebutkannya; 5. Pengaturan lebih lanjut aturan-aturan dasar dalam Ketetapan MPR(S). , Berdasarkan logika tersebut, penulis melihat bahwa Peraturan Menteri Penerangan tersebut sebaiknya ditinjau kembali dan digantilditingkatkan bentuknya menjadi peraturan pemerintah (PP); yang fungsinya antara lain ialah: I. Mengalm' lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutkannya; 2, Pengaturan lebih lanjut ketentuan undang-undang yang mengatur, meskipun' tidak secara tegas disebutkalU1ya. Sebagaimana kita ketahui, pasal 13 ayat (5) Undan'g-Undang Pokok Pers sebenarnya sudah menegaskan bahwa ;22 Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers me merlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oIeh pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan 20) Pendapat Prof. Oemar Seno Adji, Loc. Cit. 21) Data ini penulis dapatkan dari sumber yang dapat dipercaya, namun menolak disebutkan namanya. Sesuai dengan etika pemberitaan dan peTS, nama orang tersebut tidak akan penulis scbutkan. 22) A. Hamzah, I Wayan §uandra, B.A. Manalu, Delik-Delik Pers d.i Indonesia (Jakarta: Media Sarana Press. 1987), hal. 291.23) Linat penjcJasan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pembredelan 45 diatur pemerintah (cetak miring oleh penulis) setelah mendengar per timbangan Dewan Pers. Apabila kita perhatikan kata yang penulis cetak miring di atas, daTi sudut ilmu perundang-undangan, akan nampakiah bahwa ketentuan tentang SIUPP tersebut seharusnya diatur oleh siIatu Peraturan Pemerintah (PP) dan bukannya oleh Peraturan MenteTi (Permen) yang dalam tata urutan perundang-undangan terletak di bawah Keputusan Presiden (Keppres). DaTi sudut ini saja sudah menimbulkan perdebatan berkepanjangan, belum lagi menyangkut implementasi peraturan menteri tersebut yang tidak . sesuai dengan asas negara hukum. Pers Indonesia "Pasca SIUPP" Pada waktu judul makalah ini penulis ajukan kepada LK2 sekitar dua minggu yang silam, masalah pencabutan pembatalan SIUPP seolah-olah berkembang menjadi masalah yang hanya tinggal menunggu waktu saja, daTi hal yang sifatnya ius constituendum menjadi ius constitutum, atau daTi das sollen menjadi das sein. Tapi setelah adanya penegasan Presiden Soeharto yang mengarah kepada status quo Undang-Undang Pokok Pers, maka penulis pun mem pertanyakan: quo vadis keterbukaan, quo vadis kebebasan mengemukakan dan berbeda pendapat? Jawabannya ialah: tergantung political will pemerintah. Janganlah sampai terjadi dalil Lord Acton sebagaimana penulis kutip di awal makalah ini menjadi nyata di negeri kita. Secara akademis, penulis masih menginginkan adanya berbagai per ubahan terhadap Undang-Undang Pokok Pers dan Peraturan Menteri Penerangan tersebut, yang nyata-nyata bertentangan dengan "hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis, dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. "23 Penutup Demikianlah beberapa perbedaan antara hal-hal yang bersifat sollen dan sein dalam bidang kebebasan pers pada masa Orde Baru. Per masalahan-permasalahan yang penulis uraikan di sini memang belum men cakup semua permasalahan yang terjadi pada masa Orde Baru, namun pada pTinsipnya, telah menyinggung faktorcfaktor yang fundamental dan esensiil yang harus dibenahi dalarn masa Orde Baru ini, agar Orde Baru dapat di kembalikan kepada cita-citanya yang semula, pada semangatnya yang menyala-nyala, untuk mengadakan berbagai koreksi terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang daTi Undang-Undang Dasar yang dipraktekan pada masa Orde Lama, dan bukannya justru mengulangi kesalahan yang sarna. 23) Uhat peojeluaD pual28 UUD 1945 Februari 1991

Description:
keberadaan Pers di Indonesia hangat di- dang kebebasan pers pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, Pramoedya Ananta Toer.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.