ebook img

ontologi dan epistemologi kearifan dalam pengetahuan orang-orang arif dan implikasinya untuk ... PDF

13 Pages·2010·0.33 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview ontologi dan epistemologi kearifan dalam pengetahuan orang-orang arif dan implikasinya untuk ...

Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI KEARIFAN DALAM PENGETAHUAN ORANG-ORANG ARIF DAN IMPLIKASINYA UNTUK BIMBINGAN DAN KONSELING Ridwan [email protected] STKIP HAMZANWADI Selong-NTB ABSTRAK Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui ontologi dan epistemologi kearifan dalam pengetahuan orang-orang arif. Orang arif (‘ârif ) yang dimaksud dibesarkan dalam tradisi Islam (tasawuf) dan berlatar belakang pendidikan pondok pesantren, meskipun kemudian mereka menjadi akademisi dan pejabat pemerintah. Untuk mencapai tujuan dilakukan studi tokoh, melalui wawancara, observasi dan studi dokumen. Tokoh ‘ârif yang distudi meliputi pimpinan pondok pesantren Suryalaya Tasikmalaya, seorang dosen IAIN Walisongo Semarang dan Gubernur NTB. Analisis data dengan reduksi, display data dan menarik simpulan. Hasil studi menunjukkan bahwa tokoh arif memandang kalbu (hati) spiritual sebagai objek kearifan. Tokoh arif pesantren mengetahui bahwa hati memiliki tujuh lapis, dan mengamalkan cara-cara (zikir) untuk meraih kearifan. Sementara arif akademik dan pemerintahan dibaiat oleh tokoh arif pesantren tetapi membahas bahwa kalbu memiliki empat lapis. Mereka juga mengamalkan zikir tertentu untuk mem-berdayakan hati untuk mencapai kearifan. Implikasi temuan studi adalah agar kearifan diwujudkan melalui bimbingan dan konseling dengan alternatif tasawuf akhlaki, yakni tanpa baiat guru. Perlu dikembangkan model bimbingan untuk mengembangkan perilaku arif. Kata kunci: ontologi, epistemologi kearifan dan orang arif serta bimbingan dan konseling ABSTRACT The purpose of the study was to determine the ontology and epistemology of wisdom based on wise people’s perspective. These wise people (‘arif) were brought up in the traditions of Islam (tasawuf) and earned educational from Islamic boarding schools, even though they later became an academia and a government personnel. To meet the purpose of the study. A biography study on the figures was conducted through interviews, observations, and document study. The ‘arif figures who were studied were a principal of an Islamic boarding school of Suryalaya in Tasikmalaya, a lecturer of IAIN Walisongo in Semarang, and a governor of West Nusa Tenggara. The analysis was accomplished through reduction, data display and conclusion. The study found that the figures perceived spiritual kalbu (hearts) as the object of wisdom. The figure from an Islamic boarding schools knew that a heart had seven layers and he practiced some ways (zikir) to achieve wisdom. The academia and the government personnel were actually taught by the figure of an Islamic boarding school but they mentioned that a heart had only four layers. They also practiced certain kind of zikir to manage their hearts in achieving wisdom. The implication of the study was that wisdom had to be realized through guidance and counseling using an alternative approach of tasawuf akhlaki, without a teacher’s supervision. It was highly necessary to develop a guidance model to develop noble character of wisdom. Key word: ontology, epistemology of wisdom, wise people’s, guidance and counseling 247 Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014 Pendahuluan tersebut dipilih karena aliran-aliran psikologi Akhir-akhir ini banyak kalangan dipandang memiliki keterbatasan dalam mengatakan bahwa yang hilang dari bangsa memandang hakikat manusia (Corey, 1988: DI Nusantara ini adalah faktor kearifan. 15; Dahlan, 1988: 15; Sutoyo, 2009: 4), di Di masyarakat, orang lebih mudah curiga samping karena kini telah hadir kekuatan daripada saling percaya, lebih mudah baru yang dikenal dengan kekuatan spiritual mengambil daripada memberi, lebih mudah (Pedersen, 1996: 227-231), di mana menerjang atau mendahului daripada kekuatan tersebut merupakan kekuatan memberi jalan (Atmosutidjo, 2012: xiii). inti manusia (Witmer dan Sweeney, 1992; Di bidang pendidikan, terjadi perkelahian Myers, Sweeney dan Witmer, 2000; Myers antar pelajar, tawuran antar mahasiswa; dan Sweeney, 2005). juga ditengarai adanya isu mindset yang Kata dasar kearifan adalah arif. Kata sakit, menyederhanakan arah dan tujuan arif berasal dari bahasa Arab: ‘ãrif. Dalam pendidikan dengan membentuk perilaku bahasa Indonesia, arif berarti bijaksana, instant, yang mengingkari ha-kikat cerdik dan pandai atau berilmu; dan kearifan pendidikan (Kartadinata, 2010: 49-50; berarti kebijaksanaan, kecendekiaan (KBBI, 2012a: 10); sehingga lulusan pendi-dikan 2008: 65). Sementara ‘ãrif (orang ‘ãrif) sanggup berbohong, merampas hak orang adalah orang yang menguasai makrifatullah, lain, tega korupsi, ingin benar sendiri, tidak mengenal Tuhan melalui matahati (Lings, peka terhadap rakyat jelata (Tafsir, 2012b: 1995: 37; Armstrong, 1998: 35; Muthahhari, 129). 2002: 2; Nasution, 1990: 12). Orang ‘ãrif Dalam menyikapi hal tersebut, para berarti orang yang memiliki pengetahuan ahli kemudian melahirkan dan mendi- makrifatullah, yakni mengenal Tuhan melalui seminasi konsep-konsep. Dari Kemendikbud matahati, sehingga ia disebut pula orang lahir kurikulum pendidikan, dikenal dengan ‘ãrif billâh. Namun, istilah mengenal di sini Kurikulum 2013 (Furqon, 2013), yang maknanya cukup rumit, karena ia menunjuk menekankan pada ranah afektif untuk kepada pengetahuan langsung akan Tuhan mengembangkan kemampuan dan peminatan (padahal Dia tidak bisa dilihat dengan (Supriatna, 2014), di mana ranah afektif mata), sehingga ia juga menunjuk kepada sebagai lokus rasa pembentuk kearifan. pemahaman yang mendalam tentang al- Banyak pula dilakukan seminar nasional Haqq, Yang Maha Benar (Tafsir, 2012a: 79; tentang pendidikan dalam bingkai kearifan Lings, 1995: 123; Umar, 2014: 13). Dengan (Forum Pimpinan Pascasarjana LPTKN se- demikian, kearifan orang ‘ãrif berarti Indonesia, 2014). Di samping itu, muncul kebijak-sanan atau kecendekiaan dari orang pula istilah kearifan lokal. Tetapi, peneliti yang mengenal Tuhan (makrifat) melalui memandang bahwa kajian tentang kearifan matahati, yang mengenal-Nya melalui belum dipahami ontologinya, yakni apakah pemahaman yang mendalam. Kearifan orang kearifan tersebut dan dari apa ia dibentuk? ‘ãrif bersandarkan pada pengetahuannya Sebagai konsekuensi, maka epistemologi akan Tuhan. (proses untuk mencapainya)-nya pun menjadi Makrifatullah adalah pengetahuan tidak jelas mau kemana diarahkan. langsung terhadap Tuhan; bukan sekedar Kearifan bisa ditinjau menurut kajian mengenal, tetapi pengetahuan langsung sosiologi, antropologi, psikologi dan agama. tanpa perantara, bukan representasi Tuhan di Tulisan ini berupaya mendekatinya dari sisi akal tetapi Tuhan hadir (presentasi) di hati. psikologi dan agama (Islam), yakni melalui Karena itu, pengetahuan makrifatullah adalah psikologi agama (Rakhmat, 2003: 208), atau pengetahuan tanpa keraguan sedikitpun di psikologi sufi (Frager, 2002: 29). Pendekatan dalamnya (al-Ghazali, 2002b: 221), yakni 248 Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan ketika pengetahuan itu terjadi langsung mencapai makrifatullah dengan sempurna. tanpa perantara, melalui matahati. Sementara Ketika makrifat dicapai dengan sempurna, dalam pengertian arif (bahasa Indonesia) maka ia mencapai insan kamil. Karena itu, bisa jadi di dalamnya masih menyisakan pada titik makrifat inilah bertemunya istilah keraguan. Karena itu, dalam tulisan ini, orang arif dengan insan kamil, karena hati istilah arif digunakan dengan hati-hati agar seorang arif yang mampu mencapai insan ia dapat merepresentasi makna ‘ãrif. Karena kamil (Takeshita, 2005: 135). Di samping penggunaan kata arif yang bukan tempatnya itu, istilah arif dapat diterima oleh semua disebut oleh Shah (2002: 240) sebagai aliran tasawuf. Lings (1995: 37) mengatakan, “kearifan ideot” atau kearifan primitif. bahwa istilah arif menunjuk kepada orang Disebut demikian karena kearifannya semata- yang menguasai makrifat, dan ia tak merujuk mata diterima oleh lingkungan hidupnya. kepada aliran apapun. Ini artinya bahwa, Orang arif adalah insan kamil (manusia orang arif adalah insan kamil. paripurna). As-Sarraj (2007) mengatakan, Orang arif, insan kamil adalah manusia bahwa istilah arif telah banyak digunakan utuh (kãffah). Shihab (2010b: 544) dalam pada abad ke-8 M. Sementara itu, semua pakar menafsirkan QS. al-Baqarah [2: 208] tasawuf sepakat bahwa konsep insan kamil mengatakan bahwa, kepribadian utuh berarti dikemukakan pertama kali oleh Ibnu ‘Arabi memasukkan totalitas dirinya ke dalam (w. 1264 M), yang dikembangkan lebih lanjut Islam, sehingga semua aktivitasnya berada oleh al-Jilli (Rahman, 2003: 189; Ensiklopedi dalam wadah Islam, secara menyeluruh tanpa Tasawuf, 2008: 593). Sebelum itu, al-Ghazali kecuali, yakni dalam urusan kecil atau besar, (w. 1111 M), telah mengemukakan istilah an- dengan tunduk patuh kepada Tuhan, dan rida nafs al-kâmilah (diri yang sempurna), sebagai kepada hukum dan ketentuan-Nya (Quthb, urutan diri (nafs) paling tinggi. Mencapai an- 2000: 246). Sementara menurut Siroj (2006: nafs al-kâmilah berarti juga menjadi manusia 30), parameter kesempurnaan pengamalan paripurna (Rahmat, 2010: 180). ajaran Islam dapat dilihat seberapa jauh Insan kamil adalah manusia sempurna kemampuan seseorang menyeimbangkan yang menggambarkan citra Tuhan secara kandungan akidah, syariat dan ihsan definitif dan utuh, sementara di sisi lain (tasawuf). Karena itu, menurut Schimmel ia merupakan sintesis dari makrokosmos (2000: 34), hanya dengan yakin pada akidah yang permanen dan aktual, yang merupakan Islam, yakni iman pada Tuhan, kemudian miniatur Realitas (Tuhan dan Alam) menjalankan syariat Islam, keislamannya (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 591; Syukur, belum sempurna, kecuali bila ditambah 1999: 70). Insan kamil paling sempurna dengan ihsan. adalah pada diri Nabi Muhammad Dengan demikian, kepribadian (Schimmel, 2000: 284; Takeshita, 2005: utuh (kãffah) berarti mengamalkan iman, 185). Insan kamil merupakan copy Tuhan menjalankan syariat Islam, dan tasawuf (nuskhah al-Haqq), yang merupakan “tempat (ihsan). Istilah manusia kãffah disamakan penjelmaan” (tajalli) nama dan zat Tuhan dengan insan kamil. Rahmat (2010: 180) yang paling menyeluruh, yang dipandang- mengatakan bahwa, “Dalam pandangan insan Nya sebagai khalifah (wakil)-Nya di bumi kamil, secara hakikat dalam konsep utuh (Syukur, 1999: 70). Bila seseorang makin (kãffah) berarti tubuh menjalankan syariat, memiripkan dirinya dengan sifat Mutlak hati menjalankan tarekat, roh menggapai Tuhan, maka makin sempurnalah dirinya hakikat dan rasa mencapai makrifat.” Karena (Zamharir, 1987: 109). itu, kepribadian utuh adalah pribadi orang Sementara itu, orang arif adalah yang menjalankan syariat dan tarekat untuk orang yang mencapai kesempurnaan karena mencapai hakikat dan makrifat, dan ia adalah 249 Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014 manusia paripurna (insan kamil) atau orang mendekatkan diri kepada Tuhan dengan arif. Dalam hal ini dicapai melalui tasawuf. hidup zuhud dan mencurahkan diri untuk Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui beribadah (Ensiklopedi Tasawuf, 2008: 555). keadaan jiwa, baik maupun buruk, kemudian Jalan tasawuf adalah menggunakan bertekad untuk menyucikan jiwa tersebut rasa di hati untuk kenal Tuhan agar menjadi dari sifat-sifat buruk, diisi dengan sifat-sifat arif. Shihab (2010c: 374) mengatakan bahwa baik, serta berusaha merambah jalan (sulûk) mencari dan berkenalan dengan Tuhan untuk berada dekat di sisi Tuhan (Ensiklopedi cukuplah melalui perasaan atau informasi Tasawuf, 2008: 1316; al-Ghazali, 2002b: jiwa dan intuisinya, tidak perlu menempuh 204). Dalam tasawuf dikenal tasawuf amali, jalan berliku dan memasuki lorong-lorong akhlaki dan falsafi/teosofis (Siregar, 2002; sempit guna melayani akal, sehingga banyak Rahman, 2003; Syukur, 2012c). Tasawuf jalan dapat disingkat dan tidak sedikit amali identik dengan tarekat; yang akhlaki kelelahan dapat disingkirkan. Sementara menekankan pada perbaikan akhlak dalam Umar (2014: 205) mengatakan bahwa jalan kehidupan sehari-hari; dan tasawuf falsafi/ paling efektif menuju Tuhan ialah dengan teosofis merupakan kombinasi antara tasawuf menempuh jalur rasa cinta. Pendapat Shihab dan filsafat (Syukur, 2012c: 1-2). Sementara dan Umar tersebut mengajak orang untuk itu, tarekat adalah organisasi persaudaraan mengenali Tuhan melalui kalbu, bukan dalam tasawuf dan ia merupakan jalan untuk dengan akal-pikiran (kaum mutakallimin dan mendekatkan diri pada Tuhan dengan tujuan filosuf). untuk sampai (wusul) pada-Nya (Ensiklopedi Dengan demikian, kearifan dapat Tasawuf, 2008: 1309; Tafsir, 1990: 25). lahir dari beberapa jalan, antara lain dari Tasawuf (dan tarekat) bukan satu- orang-orang arif yang menguasai makrifat, satunya jalan untuk sampai pada Tuhan dan yang berpengetahuan suci (‘irfãn), di mana menjadi orang arif. Nicholson (1998: 55-56), pengetahuan tersebut dicapai melalui Sufisme dengan mengutip Sufi Niffari dari Mesir, (tasawuf). Karena itu, studi ini mengangkat mengatakan bahwa mereka yang mencari kearifan orang arif dari jalur tasawuf. Tuhan ada tiga kelompok, sementara hasil analisis al-Ghazali (1999: 15) ada empat. Metode Pertama, kelompok mutakallimin (golongan Tujuan penelitian ini adalah untuk ahli pikir dan analisis). Kedua, kelompok mengetahui pengetahuan orang arif tentang batiniah yang tunduk di bawah seorang ontologi dan epistemologi kearifan, dengan imam, di mana Nicholson menyebutnya melakukan studi tokoh. Studi tokoh adalah ahli ibadah. Ketiga, kelompok filosuf yang upaya menemukan, mengembangkan, ahli logika dan pakar dalam argumentasi. mengumpulkan data/ informasi tentang Keempat, kelompok sufi, di mana Nicholson tokoh secara sistematis (Rahardjo, 2010: menyebutnya kaum gnostik (menyaksikan 1). Dengan demikian, tujuan studi tokoh Tuhan dengan penglihatan rasa). Di adalah untuk mencapai pemahaman tentang samping itu, Ibnu Taymiyah (w. 1328 M) ketokohan individu dalam komunitas tertentu mengatakan bahwa kelompok sufi (ahli dalam bidang tertentu, melalui pandangan, tasawuf) bukan satu-satunya golongan yang motivasi, sejarah hidup dan ambisinya selaku termasuk shiddîqûn (orang-orang benar individu melalui pengakuannya (Furchan dan menurut pandangan Tuhan) (Ensiklopedi Maimun, 2005: 6-7; Rahardjo, 2010: 1). Tasawuf, 2008: 554). Karena para ahli fikih Subjek tokoh arif dipilih dengan dan pejabat pemerintah pun bisa menjadi prosedur berikut. (1) menetapkan ranah shiddîqûn, yakni bila mereka menjalankan tempat berkiprah, (2) membuat daftar tokoh agama dengan sebenarnya. Mereka dapat arif pada ranah tertentu, (3) memilih tokoh arif 250 Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan sesuai dengan kriteria (Rahardjo, 2010: 1). atau tidak (Furchan dan Maimun, 2005: 51- Penelitian ini mencermati adanya tiga ranah. 52). Observasi partisipasi dilakukan terhadap Ranah pertama adalah pondok pesantren tokoh yang masih hidup, karena dapat tarekat, karena dari sana muncul istilah diketahui apa yang dilakukan dan dihasilkan makrifatullah. Selanjutnya adalah ranah tokoh (Furchan dan Maimun, 2005: 55), dan pemerintahan, karena perkembangan politik dilakukan dengan terus terang kepada tokoh, di Indonesia memunculkan beberapa tokoh yakni bahwa tokoh mengetahui bahwa ia pesantren menjadi pemimpin pemerintahan sedang diobservasi (Sugiono, 2012: 312). (Zulkarnain, 2013). Sementara itu, sebagai Studi dokumen dilakukan terhadap dokumen akademisi di perguruan tinggi, beberapa di karya tokoh atau tentang tokoh, yang antara mereka adalah tokoh arif. dipublikasikan atau tidak, dan dokumen- Kriteria pemilihan tokoh adalah: (1) dokumen resmi. karya yang dihasilkan tokoh, (2) pandangan Analisis data dilakukan selama orang dan pandangan masyarakat luas pengumpulan data, dengan melakukan tentang tokoh tersebut, (3) judgement peneliti reduksi dan display data serta menarik (Rahardjo, 2010: 1). Dengan kriteria tersebut, kesimpulan (Miles dan Huberman, 1984: akhirnya dipilih (1) K.H. Ahmad Shohibul 21-23). Langkah analisis meliputi: (1) Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), mursyid menemukan pola/tema tertentu, (2) mencari Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, hubungan logisnya, (3) mengklasifikasi atau Jawa Barat; (2) Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, membuat pengelompokkan, dan (3) mencari M.A. (Pak Amin) dari IAIN Walisongo generalisasi gagasan spesifik (Furchan dan Semarang; dan (3) Dr. TGB. Muhammad Maimun, 2005: 60-62). Zainul Majdi, M.A. (TGB), yakni Gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat. Satu di antara tiga tokoh di atas telah wafat, yakni Abah Hasil dan Pembahasan Anom (w. 5 September 2011). 1. Ontologi Kearifan Studi tokoh merupakan salah satu jenis Dalam khazanah kearifan, dikenal penelitian kualitatif (Furchan dan Maimun, orang arif klasik dan kontemporer, di mana 2005: 15). Pendekatan yang digunakan pemikiran orang arif belakangan dipengaruhi adalah tematik (Furchan dan Maimun, oleh para pendahulu mereka (Ensiklopedi 2005: 34), di mana temanya berkembang Tasawuf, 2008: x), dan kini adalah fase di selama penelitian (Sugiono, 2012: 313). mana pemikiran orang arif klasik diamalkan Pengumpulan data menggunakan peneliti dalam bentuk tarekat, dan orang arif terlibat sebagai instrumen utama (Nasution, 1988: di masyarakat. (Rahman (2003: 218; Siregar, 54), dengan menerapkan teknik perolehan, 2003: 45; Shihab, 2008: 55). Oleh karena keabsahan dan teknik analisis data (Moleong, itu, tiga tokoh arif di atas mengikuti para 2007: xiii), yang dilengkapi dengan pedoman pendahulunya, antara lain Imam al-Ghazali masing-masing (Furchan dan Maimun, 2005: (w. 1111 M) dan Syeh al-Jaylani (w.1166 50). M). Berikut disajikan pengetahuan mereka. Wawancara dilakukan dengan Angka dalam kurung merujuk kepada pendekatan informal, yang mengandung sumber referensi yang digunakan (lengkap- unsur spontanitas, menggunakan lembar nya tersaji dalam Lampiran). yang berisi garis besar/topik pembica- Kearifan berarti kebajikan raan, dan daftar pertanyaan yang lebih rinci berlandaskan pada pengetahuan akan Tuhan, tapi terbuka (Sugiono, 2012: 319-321); yang diperoleh dari penglihatan matahati. dengan menekankan pada wawancara tidak Berarti kearifan berasal dari hati. Hati disebut terstruktur atau mendalam, baik langsung juga kalbu (bahasa Arab: qalb). Menurut 251 Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014 al-Ghazali (2009a: 582-583), istilah kalbu maka tersingkap lapisan hati lubb (terlalu dapat bermakna jantung fisik sebagai pusat rindu) dan sirr (mesra). Dalam pengamatan peredaran darah, dan jantung spiritual sebagai informan, Abah Anom senantiasa mahabah pusat perasaan ketuhanan. Dengan demikian, pada Tuhan, yang kemudian terpancar pada studi ini menggunakan kalbu sebagai hati perilakunya dan memantul kepada orang lain spiritual dan objek (ontologi) kearifan. (21; 22), sehingga orang merasa damai dan berani dalam menghadapi kehidupan (07: 470). Selanjutnya, dalam keyakinan Abah Anom, hakikat manusia adalah pada kalbunya, di mana di dalam kalbu tersebut terdiri dari lathîfah-lathîfah (04: 147). Ia 1 2 3 4 5 6 7 adalah anggota badan yang tidak dapat diraba dan dilihat; dia adalah perasaan halus. Ketika zikir terus menerus, rasa meresap ke dalam lathîfah-lathîfah dan kemudian lathîfah tersebut bergerak menuju Tuhan (04: 148). Hakikat manusia terletak di kalbunya Gambar 1 adalah karena di sanalah tempat roh manusia Tujuh Lapisan Kalbu Ajaran Abah Anom (4: 148). Roh yang menjadi pembeda manusia dengan binatang, memiliki beberapa Keterangan: arah panah ke dalam menunjuk kepada nama sesuai dengan tempatnya di lapis hati proses mencapai kearifan, dan keluar menunjuk tertentu. Roh jasmani di wilayah dada dan kepada perwujudannya ke dalam perilaku anggota badan yang tampak; roh rohani di kalbu; roh sultani di lapis hati fuad, dan Keterangan: roh al-qudsi di lapis hati sirr (05: 34-41). 1 Qasr (jasad/tubuh kasar) Dengan demikian, kalbu manusia adalah 2 Shadr (dada, lapisan hati terluar) tempat dan alat untuk maktifat dan melihat 3 Kalbu (hati) Tuhan setelah melewati proses pergerakan 4 Fuad (hati yang-lebih-dalam) lathîfah sehingga mencapai lapis hati sirr (04: 5 Syagaf (kerinduan) 149). Abah Anom mengikuti ajaran ayahnya 6 Lubb (merasa terlalu rindu) yang adalah pendiri Tarekat Qadiriah dan 7 Sirr (mesra, Rahasia Allah) Naqsabandiah di Indonesia (03: 104). Abah Anom telah mencapai derajat insan kamil Kalbu spiritual, berdasarkan hadis (manusia paripurna) sebagai pencapaian Nabi Muhammad, diyakini oleh Abah orang arif tertinggi (22). Anom memiliki tujuh lapis (04: 149). Sementara itu menurut Pak Amin, Dalam ajarannya, perilaku arif muncul bila hakikat manusia pada kalbunya, karena dialah seseorang mampu mencapai lapisan hati fuad, yang merasa, mengetahui dan mengenal di mana sebelum mencapai fuad seseorang segala sesuatu, serta yang diberi beban harus melalui lapisan qasr, shadr dan kalbu sebagai khalifah di muka bumi, dan disiksa, (04: 158). Pada Gambar 1, ditunjukkan dicaci, dsb., oleh Tuhan kelak di hari Kiamat, bahwa setelah mulai arif dan kemudian terus di mana kehidupan kalbu diberikan oleh roh melakukan latihan spiritual (riyâdhah), maka (09: 73-74). Dalam masalah roh, tokoh ini tersingkap lapisan hati syagaf di mana dapat mengikuti ajaran al-Ghazali (w. 1111 M). dirasakan cinta (mahabah) kepada Tuhan Sementara itu, menurutnya kalbu manusia dan rindu; bila riyâdhah konsisten dilakukan memiliki empat struktur, yakni shadr yang 252 Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan merupakan tempat bersemayamnya cahaya TGB (27). Di antara tiga tokoh tersebut, iman; kalbu tempat niat dan ilmu; fuad hanya Abah Anom yang menekuni tarekat, tempat terpancarnya cahaya penglihatan kemudian menjadi mursyid dan mengajarkan yang membedakan benar dan salah; dan tasawuf kepada muridnya sampai wafat (21). lubb tempat cahaya ketuhanan (14: 6-7). Sementara Pak Amin mengajarkan tasawuf Gambar 2 berikut menggambarkan struktur tanpa tarekat, dan TGB melalui tarekat kalbu tersebut. Dalam ajarannya, tokoh arif dan pengajian umum (20). Melalui tarekat, akademik ini mengikuti ajaran Abah Anom pencapaian kearifan dilakukan dengan dan telah dibaiat olehnya (24). sistematis, melalui tahapan perjalanan Pandangan tokoh arif akademik spiritual (rohani) yang disebut maqâmat (04; tersebut berasal dari karya al-Qusyayry (w. 09; 15). 1076 M) yang dikutip dari Husayn an-Nuri Inti ajaran Abah Anom, Pak Amin dan (w. 907 M) dan at-Tirmidzi (w. 898 M). Empat TGB dalam mencapai makrifat adalah zikir struktur kalbu tersebut juga diakui oleh tokoh (01 Juz 2: 9; 06: 2; 09; 10; 11; 15; 18). Dalam arif pemerintahan (28). Menurutnya, hakikat ajaran Abah Anom, zikir (mengingat Tuhan) manusia pada hatinya (akal-budi); sementara adalah melafalkan bacaan tertentu secara akal, pancaindera dan anggota tubuh menjadi terus menerus, melalui zikir harian (setiap jaringan kerja kalbu (28). Menurutnya, di habis salat), mingguan dan bulanan (02: 3, dalam kalbu tempat tersimpannya semua 10; 21; 23). Zikirlah yang mengantarkan rahasia (16: 56). Tokoh arif ini mengikuti perjalanan menempuh tahapan maqâmat ajaran al-Ghazali (w.1111 M) dalam masalah untuk perpindahan dari lathîfah (perasaan roh yang tempatnya di kalbu (15). Ajaran halus) yang lebih rendah ke lathîfah lebih TGB dalam bidang tasawuf mengikuti ajaran tinggi. Tujuan perpindahan antar lathîfah kakeknya yang juga seorang mursyid (27). adalah untuk meningkatkan kedudukan individu dari satu maqâm lathîfah ke maqâm lathîfah berikutnya (04: 157). Perpindahan dari lathîfah satu ke Shadr yang lebih tinggi merupakan proses menjadi Kalbu arif. Ada tujuh lathîfah dan sesungguhnya Fuad manusia tersusun olehnya (06: 32). Arif tertinggi, di mana dicapai insan kamil, terletak pada lathîfah nafs mardiyyah, diri diridai Tuhan, dan nafs kamilah, diri yang sempurna (06: 34; 04: 157). Ketika dibaiat pertama kali, seseorang berada pada lathîfah qalb (berisi nafs lawwamah: zalim, ingin dipuji). Pengetahuan pada lathîfah ini Gambar 2 diperoleh dengan talqin (pembelajaran) zikir Empat Lapis Hati dari al-Qusyayry (04: 156). Kedudukan merasa berikutnya (Husayn an-Nuri dan at-Tirmidzi) secara ber-urut adalah lathîfah ruh (berisi nafs mulhimah: diri yang terilhami); lathîfah sirri (berisi nafs mutmainnah: sayang pada 1. Epistemologi Kearifan sesama, senang ibadah, suka bersyukur); Sebagai orang arif, Abah Anom sejak lathîfah khafi (berisi nafs rodhiyyah: baik kecil mengikuti pendidikan di pondok budi, meninggalkan sesuatu selain Tuhan); pesantren dan menekuni tarekat (04; 08). lathîfah akhfa’ (berisi nafs mardhiyyah) Demikian juga dengan Pak Amin (09) dan di mana kesempurnaan dicapai; lathîfah 253 Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014 an-nafsi (berisi nafs ‘ammarah) yakni mendekati Allah (muqarrobah). Dari mensucikan dari segala ambisi, dengki, syahadat dilanjutkan dengan salat. Dalam bodoh, sombong; dan lathîfah jasad (berisi salat, akan bertemu dengan Tuhan (45). nafs al-kamilah) di mana dicapai insan kamil Dengan bertemu Tuhan atas anugerah-Nya, yang paling sempurna (16: 32-34), kearifan orang menjadi arif. yang paling arif. Selanjutnya, untuk menguasai makrifat Dengan tahapan perjalanan menjadi dan menjadi arif, TGB mengikuti ajaran arif, atas rahmat Tuhan, Abah Anom mencapai makrifat Imam al-Ghazali, yakni berupaya derajat insan kamil (orang arif) dalam bentuk mensinergikan antara syariat, thâriqah tiflul ma’ani, yakni bayi maknawi dengan (tarekat) haqîqat (hakikat) dan makrifat (15: penampilan yang manis dan cantik (15: 21; 72). Makrifat merupakan ilmu yang paling 22). Penggunaan kata tiflul ma’ani adalah wajib yang harus dikuasai (17). Tahapan karena ia berjasad halus dan suci, sebagai untuk mencapai makrifat mulai dari tobat, kiasan ditinjau dari kaitannya dengan badan; sabar, syukur, khauf (takut), raja’ (harap), ia berujud seperti rupa manusia, juga karena tawakal, mahabah, rida, ikhlas, muhasabah, manisnya bukan karena kecilnya; dilihat dari muraqabah (merasa diawasi Tuhan) (15). awal adanya, ia adalah manusia hakiki karena Pada tahap muraqabah orang menjadi arif. dialah yang berhubungan langsung dengan Namun, TGB memaknai maqâmât tersebut Tuhan (05: 22). secara fleksibel, karena bisa jadi seseorang Sementara itu, Pak Amin (12: 2; 19) tidak mengikuti secara kaku urutan maqâmât, mengajarkan bahwa untuk mencapai kearifan ia bisa melompat ke tahapan yang lebih melalui tasawuf bisa tanpa baiat guru rohani tinggi tanpa harus mengikuti tahapan secara (mursyid), artinya bisa tan-pa tarekat. Namun sistematis, karena semua tergantung pada bukan berarti tanpa bimbingan sama sekali. anugerah Tuhan (28). Ia menyarankan agar membaca buku-buku Perjalanan mencapai makrifat tersebut terkait dan konsultasi pada ahli zikir (12: 12; dilakukan dengan melazimkan zikir harian, 19). Menurutnya, tasawuf ditujukan untuk yakni dilakukan setiap habis salat fardu dan perbaikan akhlak, yakni agar dapat menghiasi membaca hizib (mingguan). Hizib adalah diri dengan akhlak karimah (tahalli). Caranya himpunan ayat-ayat al-Qur’an, salawat dan adalah dengan melaku-kan amalan-amalan doa (15: 175). Di samping itu, untuk jamaah batin (zikir), mulai dari membersihkan diri tertentu harus membaca wirid khusus untuk dari akhlak tercela (takhalli), kemudian mempercepat proses menguasai ilmu-ilmu menghiasi diri dengan akhlak terpuji, sampai hikmah (15: 202). akhirnya terpancar cahaya Ilahi di hati Pengetahuan tokoh-tokoh arif di atas (tajalli) dan orang menjadi arif (12: 12; 25). adalah sama dalam ontologi kearifan. Mereka Sebagai akademisi, ia menyajikan hanya beda dalam hal lapisan kalbu yang beberapa kajian untuk tahapan perjalan- perlu diberdayakan. Perbedaan itu mungkin an menuju Tuhan menurut pengalaman karena faktor guru (mursyid) yang diikuti, Sufi klasik seperti al-Ghazali (09; 10; 24). pengajaran mana kemudian dikembangkan Belakangan, ia mengemukakan bahwa lima oleh pengikutnya (Siregar, 2002: 264). rukun Islam dapat digunakan sebagai tahapan Itu karena ekspresi para mursyid terhadap perjalanan untuk mendekati Tuhan, mulai kebenaran beragam. Pertama, Kebenaran dengan Syahadat (24). Untuk bersyahadat terlalu luas untuk bisa dipahami sekaligus dengan benar, harus mulai dengan kesadaran, oleh seorang individu, siapapun dia. Kedua, sehingga syahadat (besaksi bahwa tidak karena tiap-tiap mursyid mempunyai Tuhan selain Allah) merupakan jawaban. concern masing-masing, sesuai dengan Dengan itu berarti ia tobat dan kembali tantangan yang yang dipahaminya. Ketiga, 254 Ridwan, Ontologi dan Epistemologi Kearifan karena Tuhan mengekspresikan secara falsafi. Namun, dalam pengetahuan orang terus menerus dan berubah-ubah setiap arif pesantren, tidak dimasalahkan perbedaan saat (Kertanegara, 2006: 111). Hal tersebut jalan tersebut. Karena menurutnya, jalan kemudian melahirkan pandangan filosofis tasawuf perlu dilakukan secara sistematis yang berbeda-beda. dan di bawah bimbingan syeh (mursyid). Kalbu adalah pusat pengembangan Hal tersebut mirip dengan tokoh arif kearifan, karena ia merupakan lokus dan pemerintahan bahwa, ketiga jenis tasawuf pusat pemahaman. Dalam taraf tertentu, tersebut bisa terdapat pada seorang arif. kalbu sebagai pusat tersebut terung-kap Seorang pengamal tasawuf akhlaki, pasti ia dalam temuan Witmer dan Sweeney (1992), juga sudah mengetahui tasawuf amali dan kemudian oleh Myers, Sweeney dan Witmer falsafi. Tetapi pilihan mana yang diajarkan (2000), dan Myers dan Sweeney (2005), adalah sesuai dengan minatnya. Pendapat yang dirumuskan dalam istilah wellness, tersebut benar, karena pada diri Pak Amin, yakni suatu keadaan sejahtera, di mana ketika mengajarkan tasawuf akhlaki, yang intinya adalah kekuatan spiritualitas, yang bersangkutan juga telah dibaiat melalui kemudian menentukan regulasi diri. Hati tasawuf amali, di samping ia juga mengetahui adalah inti pikiran, di mana hasil penglihatan tasawuf falsafi, karena ia adalah guru besar di dan pendengaran keduanya dibawa ke bidang tasawuf. pencerahan hati (Hamka, 1982: 257); karena Di antara tokoh arif di atas, kearifan hati memberikan jawaban yang paling benar, orang arif pesantren telah mencapai puncak, sebagai potensi pengetahuan yang sempurna sebagaimana ditunjukkan oleh orang arif (Shihab, 2010d: 50), karena hatilah yang klasik (Schimmel, 2000: 165, 289-290; sebenarnya digunakan untuk berpikir jernih Shah, 2002: 76; Ensiklopedi Tasawuf, 2008: (al-Qurthubi, 2009: 194), dan karena ia dapat xx). Hal tersebut diakui oleh dua tokoh arif menampung cahaya Ilahi (Frager, 2002: 53). lain. Tokoh arif akademik ingin membangun Penafsiran di atas menunjukkan bahwa pondok pesantren (ponpes), dan tokoh arif hati (kalbu) memiliki cara berpikir sendiri. pemerintahan ingin kembali ke Ponpesnya Dengan demikian, ada dua yang berpikir, ketika tidak lagi menjabat Gubernur. yakni hati di dada dan otak yang di kepala. Mengapa ponpes menjadi tempat terbaik Mubarok (2000: 33) mengatakan, dalam untuk membangun kearifan? Rahardjo (1985: al-Qur’an tidak dibedakan mana daya yang 42) mengatakan, gerak dan dinamika ponpes berpikir dan mana alat yang berpikir; tidak tidak hanya vertikal tetapi juga berkembang pula menunjukkan di mana pusat kegiatan ke wilayah horizontal. Selanjutnya, dalam berpikir, di kepala (otak) atau hati di dada. studi Sulthon dan Khusnurridlo (2006: 12), Hanya saja bahwa hati memiliki kemampuan ditunjukkan antara lain bahwa perilaku di berpikir untuk memahami. ponpes selalu ditujukan kepada pencapaian Selanjutnya, perbedaan dalam perilaku (akhlak) mulia, banyak melakukan memahami eksistensi ontologi berdampak riyâdhah (latihan spiritual) dan kiainya pada epistemologi kearifan. Tetapi memberikan teladan hidup zuhud. Di epistemologi tiga tokoh di atas disatukan samping itu, Taufik Abdullah mencatat bahwa oleh tujuan, yakni untuk mendekatkan diri sejak 1970-an, banyak kalangan ponpes (takarub) pada Tuhan (lihat al-Ghazali, berupaya memberikan pendidikan politik 2002b: 221). Pepatah yang populer adalah, dan kewarganegaraan melalui pendekatan ‘Banyak jalan menuju Roma.’ Dengan agama, dan berimplikasi pada perubahan demikian, ada banyak cara mencapai budaya ponpes menjadi lebih terbuka (dalam kearifan dalam wadah tasawuf. Cara-cara Tilaar, 2002: 408). tersebut melalui tasawuf amali, akhlaki atau Dalam praktik, tidak mudah untuk 255 Edusentris, Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pengajaran, Vol. 1 No. 3, Desember 2014 membawa tasawuf (dan tarekat) ke dalam akademik dan pemerintahan diungkap publik. Beberapa ahli menyebut ada dengan pendekatan kualitatif melalui studi beberapa faktor penyebab, antara lain tokoh. Dalam pengetahuan orang arif, karena: (1) pandangan sebagian warga kearifan lahir dengan memberdayakan kalbu. masyarakat masih negatif (Anwar, 2010: Dalam pengamalan tokoh arif pesantren, 283); (2) karena terbatasnya mursyid atau kalbu memiliki tujuh lapis, yakni qasr wakilnya untuk melayani warga masyarakat (jasad/tubuh kasar), shadr (dada, lapisan hati umum, dan (3) keengganan sebagian warga terluar), kalbu (hati), fuad (hati yang-lebih- sendiri untuk melakukan perjalanan rohani, dalam), syagaf (kerinduan), lubb (merasa karena mereka belum sadar akan perlunya terlalu rindu), sirr (mesra, Rahasia Tuhan). perjalanan rohani (al-Jauziyah, 1999: 54). Di Sementara arif akademik dan pemerintahan samping itu, kebutuhan untuk menjadi arif memandangnya dalam empat lapis adalah menjadi kebutuhan primer setelah kebutuhan shadr, kalbu, fuad dan lubb. sekunder sehari-hari terpenuhi (Umar, Kearifan dapat dicapai melalui 2014: 4). Dengan demikian, ada beberapa pemberdayaan kalbu agar tiap lapis kalbu kesenjangan untuk membangun kearifan. tersebut tersingkap. Untuk memberdayakan, Sementara itu, problem pasca 2000-an ditempuh jalur tasawuf, baik dilakukan telah diupayakan pengatasannya antara lain secara sistematis (melalui tarekat) atau tidak. melalui bimbingan dan konseling. Sutoyo Melalui tarekat dapat dicapai kearifan puncak (2006) dan Suherman AS (2011) berupaya sehingga menjadi orang arif (insan kamil) melahirkan sebuah model manusia utuh seperti dicapai oleh tokoh arif pesantren. (kaffah) berbasis nilai-nilai Qur’ani dengan Untuk membawa kearifan ke dunia subjek mahasiswa. Hanya saja, “keutuhan” pendidikan formal, diperlukan jenis tasawuf manusia Muslim tidak cukup dipandang dari akhlaki, yakni bisa tanpa baiat guru mursyid. segi pelaksanaan syariat Islam. Artikel ini Untuk itu, melalui bimbingan dan konseling meman-dang perlu mengembangkan keutuhan diharapkan perilaku arif dapat diwujudkan. manusia melalui melalui upaya bimbingan Studi ini masih memerlukan dan konseling dengan memberdayakan pembuktian berikutnya, yakni dalam hal hati sebagai ontologi dan epistemologi proses pengimplementasian tasawuf untuk kearifan di atas, dengan alternatif tasawuf dunia pendidikan formal melalui upaya akhlaki menjadi pilihan, yakni tanpa baiat bimbingan dan konseling. Untuk itu, guru karena baiat tidak wajib (Umar, 2014: diperlukan pengembangan model bimbingan 30; Tafsir, 2012a: 24; Hawwa, 1995: 171). dan konseling untuk mengembangkan Alasannya adalah untuk memperbanyak dan perilaku arif. Di samping itu, juga diperlu- berbagi pengalaman tasawuf kepada publik, kan penelitian untuk mengembangkan alat dengan prinsip sedikit tahu tapi diamalkan. ukur kearifan. Inti tasawuf adalah pengamalan. “Sedikit pengetahuan yang diterapkan membawa Daftar Rujukan kearifan, sedangkan pengetahuan buku Al-Ghazali, A. H. M. (1999). Penyelamat yang berlebihan mengakibatkan kelemahan dari kesesatan al-munqiz mindh- mental” (Frager, 2002: 62). Untuk itu, dhalal. Penerjeman Abu Ahmad Najieh. perlu dikembangkan model bimbingan dan Surabaya: Risalah Gusti konseling untuk mengembangkan kearifan. ……….. (2002b). “Kompas Pengembaraan Spiritual.” Dalam samudera pemikiran Kesimpulan dan Saran al-gazali. Kamran As’ad Irsyadi (penj). Ontologi dan epistemologi kearifan Yogyakarta: Pustaka Sufi dalam pengetahuan orang arif pesan-tren, ………. (2009a). Ihya ‘ulumiddin jilid 256

Description:
The analysis was .. individu dari satu maqâm lathîfah ke maqâm . menjadi kebutuhan primer setelah kebutuhan sekunder . treatment planning.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.