1 Nasionalisme “Tribal” Menurut Hannah Arendt: Menyingkap Mekanisme Populisme Agama Oleh Haryatmoko Perkembangan politik di Indonesia setelah Reformasi (1998), selain hasil positif, dalam bentuk semakin meluasnya partisipasi dalam pengambilan keputusan politik, sekaligus juga diwarnai kekecewaan terhadap landasan ideologi bangsa (Pancasila) karena dianggap begitu lama disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaaan rezim Orde Baru. Akibatnya, di kalangan masyarakat, tumbuh sikap skeptis terhadap Pancasila yang seharusnya menjamin nilai-nilai persatuan, keadilan, kebebasan dan kesetaraan di depan hukum. Sebagai reaksi apatis, banyak kendala dalam penanaman nilai-nilai Pancasila sehingga tidak efektif. Marasme seperti itu membuka peluang ideologi-ideologi intoleran semakin berkembang di kalangan masyarakat. Ciri-cirinya: menolak pihak yang berbeda, intimidasi, persekusi dan kekerasan terhadap kelompok lain semakin marak. Keprihatinan terhadap situasi seperti itu mendorong penulis menerima ajakan untuk ambil bagian dalam menggali nasionalisme, terutama mekanisme patologisnya: diskriminasi dan perpecahan bangsa. Gagasan Hannah Arendt menawarkan analisis yang tajam tentang nasionalisme berkat pengalaman dan luasnya studi arsip. Perspektif baru membantu menguak fenomena propaganda, fitnah, intimidasi, mobilisasi massa, persekusi, kekerasan dan pembentukan paramiliter sebagai instrumen gerakan totaliter. Tulisan ini melihat adanya kemiripan antara patologi nasionalisme “tribal” dengan fenomena populisme agama yang marak di banyak negara di dunia dewasa ini. Alur penyajiannya: pertama, definisi nasionalisme “tribal”; kedua, nasionalisme “tribal” sulit menerima pembedaan Bangsa dan Negara; ketiga, pijakan pada realitas membeda- kan chauvinisme dari nasionalisme “tribal”; keempat, patologi nasionalisme “tribal” mendorong imperialisme dan totalitarisme (kelima); keenam, anti-semitisme dijadikan mekanisme “kambing hitam” pemersatu gerakan; akhirnya, menghadapi populisme agama, masyarakat ditantang kritis dan intelektual mengambil tanggung jawab moralnya. 1.Nasionalisme Barat dan Nasionalisme “Tribal” Biasanya kalau orang bicara tentang bangsa (nation), asosiasinya langsung ke konsep E. Gellner. Menurut pakar nasionalisme ini, bangsa mengandaikan tiga unsur: (i) bangsa memiliki acuan ke budaya yang sama; (ii) bangsa merupakan bangunan keyakinan, loyalitas dan solidaritas anggota-anggotanya; (iii) bangsa terbentuk bila anggota-anggota masyarakat saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status mereka sama (1983: 7). Berbeda dengan Gellner, Hannah Arendt lebih menggali dari bukti sejarah perkembangan negara-kebangsaan. Maka filsuf politik ini membedakan Nasionalisme negara-negara Barat dengan nasionalisme “Tribal” (nasionalisme kesukuan). Nasionalisme Barat adalah negara-kebangsaan yang mendaku menjadi representasi masyarakat dan kedaulatan nasional sebagai hasil dari perkembangan yang dimulai sejak Revolusi Perancis selama abad ke 19. Bentuk nasionalisme ini merupakan kombinasi dua faktor yang seharusnya terpisah, yaitu bangsa dan negara (Arendt, 1995: 197). “Secara sosiologis negara-kebangsaan adalah tubuh politik Eropa yang mengemansipasi kelas petani... nasionalisme Barat... adalah hasil yang berakar dalam dan 2 merupakan bentuk emansipasi petani” (Arendt, 1995: 197). Kombinasi negara dan kebangsaan bertolak dari pernyataan Revolusi Prancis tentang kedaulatan rakyat. Maka Arendt terus-menerus mengacu ke Prancis sebagai definisi bangsa sesungguhnya. “Konsep baru tentang “bangsa” yang lahir dari Revolusi Perancis (1789) memiliki ciri: pertama, mendasarkan pada kedaulatan rakyat dan persetujuan aktif terhadap pemerintah (le plébiscite de tous les jours) serta mengandaikan adanya sejumlah organisasi nasional yang tak terbilang yang juga sama-sama berdaulat” (Arendt, 1945: 444-445); kedua, bangsa mulai mencatat sejarah dan memperoleh emansipasi ketika masyarakat mencapai suatu kesadaran akan dirinya sebagai kesatuan budaya, sejarah dan wilayah sebagai tempat tinggal permanen (Arendt, 1995: 197). Sedangkan nasionalisme “tribal” berasal dari kesadaran sukuisme yang diperluas dengan komitmen untuk menyatukan semua orang yang memiliki darah yang sama atau asal-usul rohani yang sama (agama) untuk menandai pembedaan “bangsa” di atas semua yang lain (Cocks, 1996: 41). Dalam nasionalisme Barat, masyarakat mencapai suatu kesadaran akan dirinya sebagai kesatuan budaya, sejarah dan wilayah, sedangkan di negara-negara Eropa Timur kesadaran semacam itu tidak dialami atau dicapai. Negara- negara Eropa Timur dianggap gagal dalam pendirian negara-kebangsaan karena tidak berakar dalam dan kuat pada kelas petani. Kelas petani di daerah-daerah Eropa Timur lebih cenderung membawa kepentingan-kepentingan pribadi yang melekat pada diri masing-masing dari pada keprihatinan bersama dan keadaban publik (Arendt, 1995: 202). Masalahnya mereka tidak memiliki negara (state) dan tidak ada pencapaian sejarah yang bisa dibanggakan bersama. Kesamaan mereka lebih hanya terletak pada bahasa, bahkan mereka hanya mengandalkan pada semangat Slavia atau Jermania (Arendt, 1995: 201). Nasionalisme “tribal” mendorong negara untuk menekan bentuk-bentuk manifestasi publik yang mengungkap perbedaan etnis-budaya agar identitas nasional dan kesetaraan warganegaranya bisa dijamin. Sikap ini berarti membiarkan penindasan terhadap perbedaan minoritas etnis (agama) (Beiner, 2000: 47). Kecenderungan untuk menekan manifestasi publik perbedaan etnis-budaya ini, menurut Arendt, disebabkan oleh dua alasan: pertama, nasionalisme negara-negara Slavia dan Jerman ditandai oleh pemisahan antara loyalitas bangsa dengan negara, artinya negara dianggap bukan lagi merepresentasikan kedaulatan rakyat, tetapi menjadi mesin birokrasi supra-nasional (Arendt, 1945: 460). Maka dalam kasus penjajahan Jerman atas Ceko, eksploitasi Slovakia oleh Hungaria, Ruthenia (orang Lithuania di Polandia Timur) oleh Polandia, tumbuh struktur negara supra-nasional sebagai negara supra-sosial dari bangsa yang homogen yang diandaikan mengatasi celah-celah perjuangan kelas (Arendt, 1945: 460). Kedua, di daerah Eropa Timur ini, setiap titik adalah tempat tinggal penduduk dari beragam etnis yang telah bercampur sehingga lemahnya representasi dalam politik tidak bisa dikompensasi seperti bentuk perwakilan dari wilayah yang penduduknya homogen. Jadi kebanyakan orang di situ tidak pernah berhasil mengakar menjadi satu dengan tempat yang mereka tinggali seperti bangsa-bangsa Eropa Barat. Akibatnya, kewarganegaraan mereka telah dialihkan dari wilayah karena dipisahkan sepenuhnya dari negara dan menjadi sebuah nilai sendiri. Kenyataan bahwa dilahirkan sebagai seorang Jerman, Ceko atau Slovak lebih utama dari pada loyalitas terhadap negara-kebangsaan (Arendt, 1945: 461). Oleh karena terbiasa hidup dengan orang-orang yang berbeda kebangsaan selalu dalam suasana persaingan, kesadaran nasional yang tumbuh hanya menyentuh keutamaan-keutamaan pribadi, bukan prestasi bersama yang meninggalkan 3 jejak sejarah. Pencapaian bersama tidak bisa direpresentasikan organisasi politik, sedangkan komunitas tidak bisa memberi kesaksian yang memadai (Arendt, 1945: 461). Bahaya dari situasi semacam itu ialah bila ada kesempatan yang bisa menyatukan etnis sama yang tersebar di berbagai tempat, langsung siap untuk petualangan politik dan matang untuk melakukan ekspansi imperialis (Arendt, 1945: 462). Menurut Arendt, rahasia suksesnya gerakan-gerakan Pan-Slavia dan Pan-Jerman terletak dalam dukungan basis massa yang kuat sampai tumbuh chauvinisme. Chauvinisme yang tercipta dari tiada terpenuhinya tritunggal nasionalisme (bangsa-wilayah-negara) mempengaruhi idealisme negara-kebangsaan yang mereka dambakan. Mereka ini membentuk massa militan yang sebetulnya tidak memiliki secuil gagasanpun tentang makna patria, bahkan tak ada pemahaman tentang tanggungjawab terhadap komunitas bersama yang terbatas, apalagi pengalaman akan kebebasan politik (Arendt, 1945: 462). Mereka siap untuk melakukan apa saja dan antusias untuk masuk ke dalam petualangan politik, bahkan melampaui kemampuan organisasi politik nasional yang ada. Nasionalisme “tribal” tidak lepas dari narasi yang menjelaskan gerakan-gerakan penyatuan Pan-Slavia dan Pan-Jermania (akhir abad 19, awal abad 20), yang akhirnya berujung pada tragedi mengerikan gerakan-gerakan totalitarisme. Situasi perubahan terus-menerus batas-batas negara, migrasi penduduk yang tak pernah berhenti menjadi hambatan bagi terbentuknya tiga pilar nasionalisme “beradab”, yaitu bangsa, wilayah dan negara (Beiner, 2000: 51). Nasionalisme tanpa pilar utama dan akar mendalam yang disebut nasionalisme “tribal”, pada gilirannya, akan membuka lahan subur bagi totalitarisme (Beiner, 2000, 51). Gerakan-gerakan penyatuan nasional mengancam negara-kebangsaan karena mengabaikan perbatasan politik: ekspansionisme di Eropa dan imperialisme ke benua di luar Eropa. Mitos-mitos diciptakan untuk mengkompensasi tiadanya negara, wilayah dan kehidupan publik yang riil dengan mengacu ke kejayaan masa lalu “Rusia Suci” atau “Imperium Romawi Suci” sebagai mitos yang menginspirasi kaum intelektual Slavia dan Jerman (Arendt, 1995: 192). Ingatan akan sejarah, meski tinggal jejak-jejak kabur, memberi daya tarik emosional melampaui batas nasionalisme. Tumbuh nasionalisme baru yang ditandai massa yang termotivasi melakukan kekerasan karena fakta obyektif kalah pengaruhnya dibanding emosi dalam membentuk opini. 2. Menolak Pembedaan Negara dan Bangsa Bangsa merepresentasikan lingkungan di mana seseorang menjadi bagian sejak dilahirkan, artinya suatu masyarakat tertutup karena seseorang menjadi bagiannya karena hak yang menempel sejak kelahirannya. Sedangkan negara adalah masyarakat yang terbuka yang menguasai suatu wilayah, yang kekuasaannya dimaksudkan untuk melindungi masyarakatnya dan membuat hukum. Maka sebagai lembaga hukum tertinggi, negara hanya mengetahui warganegaranya tanpa memandang apapun kebangsaannya. Dengan demikian tatanan hukumnya terbuka untuk semua yang kebetulan tinggal di wilayahnya (Beiner, 2000: 52). Negara tidak sama dengan bangsa karena fungsi negara adalah pelindung utama hukum untuk menjamin orang dan hak- haknya sebagai orang, sebagai warganegara dan hak-haknya sebagai bangsa. Hanya hak- haknya sebagai manusia dan warganegara merupakan hak-hak yang utama, sedangkan hak-haknya sebagai bangsa diasalkan dari hak-haknya sebagai warganegara dan implikasinya (Beiner, 2000: 53). 4 Tragedi negara-kebangsaan terjadi saat tumbuhnya kesadaran masyarakat justru membuat sulit untuk menerima perbedaan sehingga mengganggu fungsi-fungsi utama negara (perlindungan bagi semua penduduk di wilayahnya tanpa peduli kebangsaannya dan menjadi lembaga hukum tertinggi). Lalu atas nama kehendak rakyat (identik dengan mayoritas), negara dipaksa untuk memberikan hak-hak politik dan sipil secara penuh hanya kepada mereka yang merupakan bagian komunitas nasional atas dasar hak asal- usul dan fakta kelahiran. Dengan demikian, negara diubah dari instrumen hukum menjadi instrumen bangsa (Beiner, 2000: 51). Akibatnya komponen yang menjadi tali pengikat warganegaranya adalah kebangsaan yang didasarkan pada asal-usul yang sama, padahal setiap kelas sosial dan bagian dari masyarakat didominasi oleh kelompok kepentingan. Kepentingan bangsa diidentikkan dengan kepentingan komunitas yang mempunyai asal- usul yang sama, seakan kesamaan asal-usul ini bisa menjamin melalui sentimentalisme yang terungkap dalam nasionalisme (“tribal”). Konsep bangsa yang menyita kewenangan negara seperti itu yang menjadi alasan mengapa Arendt menentang Zionisme seperti digagas oleh Theodor Herzl. Menurut Arendt, Zionisme tidak berbeda dengan politik nasionalis “tribal” karena pilarnya mengandalkan pada pengalaman sebagai kepemilikan bangsa yang sama, yaitu bangsa Yahudi sebagai dasar pendakuan negara dan bangsa yang sama. Politik Zionis ini oleh Arendt dianggap memilih konsepsi komunitas politik yang sebetulnya justru mengkhianati aspirasi utama masyarakat yang tertindas (Beiner, 2000: 45). Mengapa dianggap mengkhianati aspirasi masyarakat yang tertindas? Pada kemunculan awalnya pada abad 19, nasionalisme menawarkan ajaran politik yang taat asas, yaitu nasionalisme menjadi prinsip-prinsip revolusioner yang bermakna bagi organisasi nasional masyarakat. Namun nasionalisme berubah menjadi kekuatan jahat ketika tidak menjamin lagi kedaulatan rakyat dan tidak mampu menetapkan hubungan yang adil terhadap penduduk yang tinggal di luar batas-batas nasional (Beiner, 2000: 45). Seperti inilah nasib Zionisme sehingga tidak lagi berbeda dengan ideologi- ideologi lain (nasionalisme dan sosialisme) dalam pengertian sebagai bentuk distorsi terhadap realitas politik, bahkan Zionisme dianggap sebagai ideologi sektarian (Beiner, 2000: 45). Ideologi nasionalis ini telah disita oleh elite intelektual Yahudi dengan sepengetahuan negara-negara besar karena dijual habis kepada penguasa imperialis, yang tujuannya: mendirikan negara-kebangsaaan Yahudi di Palestina. Akhirnya, gerakan Zionis tidak lagi solider dengan bangsa-bangsa yang tertindas. Semangat revolusioner warisan nasionalisme Revolusi Prancis telah dikorbankan oleh manipulasi kepemimpinan Zionis (Beiner, 2000: 47). Maka para pemimpin gerakan Zionis lebih fokus pada hubungan dengan negara-negara besar dari pada proyek politik membangun hubungan kepercayaan dengan negara-negara tetangga Arab. Arendt menentang pemisahan Palestina dan negara Yahudi (persetujuan PBB 1947) serta pembentukan negara Yahudi. Dia mengusulkan suatu bentuk negara federal Yahudi-Arab (Beiner, 2000: 47-48) karena tujuan nyata orang Yahudi di Palestina hanya bisa dicapai atas dasar kerjasama Yahudi- Arab. Arendt, untuk menjamin masalah kebangsaan, mengandalkan pada sistem federasi. Dalam struktur federasi, kebangsaan akan menjadi status pribadi dari pada status wilayah (Beiner, 2000: 53). Bila menjadi status pribadi berarti masalah warganegara masuk ke tatanan politik. Lalu orang ditempatkan sebagai bagian dari bangsa dalam posisinya yang tepat di kehidupan publik (Bdk. Tingkat “aksi politik” dalam Condition 5 de l’homme moderne). Maka Arendt selalu mengacu ke revolusi Prancis karena sejak revolusi itu, manusia dipahami sebagai citra dari keluarga bangsa dan hak-hak manusia dimaksudkan untuk diakui secara universal, rakyat itu bukan individu, tetapi merupakan citra manusia (Arendt, 1995: 199)). Hak-hak manusia tidak bisa dipisahkan dari manusia, dan harus dijamin oleh semua pemerintahan. Dalam perkembangan sejarah, negara-negara yang mengadopsi hak-hak manusia, pada umumnya, tidak mengakui dimensi universalnya. Negara- kebangsaan memahaminya dalam kerangka nasional yang dipahami sebagai lingkup komunitas partikular kongkrit, bukan universal. Maka tidak mengherankan dalam praktiknya, pemerintahannya sendiri sering lalai terhadap warganegaranya. Akibatnya tidak ada lagi otoritas yang bisa melindungi mereka (korbannya biasanya kelompok minoritas) dan tidak ada lembaga yang bersedia menjamin mereka (Arendt, 1995: 199). Jadi masalah hak-hak manusia tidak bisa dipisahkan dari masalah emansipasi bangsa, artinya hanya kedaulatan rakyat yang telah diemansipasi yang mampu menjamin mereka. Padahal rakyat yang telah dibebaskan (memiliki kedaulatan), seperti direpresentasikan oleh konsep “manusia” Revolusi Prancis itu, dianggap abstrak, tidak dikaitkan langsung dengan penduduk yang tinggal di suatu tempat. Sedangkan rakyat yang berdaulat itu kongkrit tinggal di suatu wilayah, memiliki ikatan budaya yang menyejarah. Masalah muncul ketika hak-hak manusia agar bisa dijamin secara efektif mengandaikan adanya agency negara. Padahal agency negara biasanya hanya akan melindungi mereka yang dianggap sebagai anggota-anggotanya sendiri. Maka kehilangan hak-haknya sebagai bagian dari suatu bangsa berakibat pada kehilangan hak-hak manusia itu sendiri. Demikian nasib yang dialami kaum minoritas yang tak berkewarganegaraan. Logika perlunya agency negara sebagai penjaga dan penjamin hak-hak seseorang, bagi Arendt, ternyata tidak mengacu ke negara-kebangsaan “tribal”. Menurut Beiner, Arendt melihat satu-satunya jalan agar negara menjadi tempat aman bagi hak-hak manusia warganegaranya ialah mengeluarkan bangsa dari negara-kebangsaan (Beiner, 2000: 55). Pendapat Arendt ini, menurut Beiner, mengacu ke Amerika Serikat karena sebagai komunitas politik telah mencapai kondisi negara, tanpa harus berbentuk negara- kebangsaan, tapi lebih sebagai negara di dalam jaringan hubungan federal. Negara tidak identik dengan situs kedaulatan. Kedaulatan nasional menguak sisi kerentanan nasionalisme sebagai ideologi: menolak semua bentuk universalitas karena dianggap sebagai campur-tangan unsur dari luar, akibatnya juga menolak dimensi universal hak- hak manusia (Beiner, 2000: 55). 3.Pijakan pada Realitas Membedakan Chauvinisme dari Nasionalisme “Tribal” Chauvinisme tumbuh berkembang dari gagasan lama tentang adanya misi bangsa, yaitu membawa terang bagi bangsa-bangsa lain yang dianggap kurang beruntung (Arendt, 1945: 457). Menurut Arendt, sejauh konsep ini tidak berkembang menjadi ideologi, tetapi sebagai bentuk kebanggaan nasionalistik, tentu positif karena mencerminkan berkembangnya tanggungjawab terhadap kesejahteraan bangsa-bangsa yang tertinggal (Arendt, 1945: 57). Hanya yang menjadi masalah ialah di balik gagasan mission sacrée itu tersirat perasaan superioritas seakan bangsa yang menginvasi itu merasa diri sebagai yang “terpilih”. Konsep keterpilihan ini menghancurkan gagasan kesatuan umat manusia sebagai yang memiliki asal-usul ilahi yang sama (Arendt, 1945: 458). Lalu berisiko 6 mendorong perlakuan yang semena-mena. Maka chauvinisme rentan terhadap kesewenangan ketika berubah menjadi ideologi karena chauvinisme mengendap di dalam nasionalisme yang menandai sejak awal negara-negara imperialis (Arendt, 1945: 458). Imperialisme yang mengasingkan warganegara jauh dari tanah air telah mengasingkan nasionalisme dari batas-batas negaranya. Namun chauvinisme ini meski ditandai oleh pemisahan loyalitas nasional, ternyata tidak pisah dari loyalitas terhadap negara. Dengan ini, Arendt mengacu ke gerakan-gerakan penyatuan (Pan-Slavisme dan Pan-Jermanisme) yang diasalkan dari negara-kebangsaan, namun menganggap negara bukan representasi kedaulatan rakyat, meski negara tampil sebagai mesin birokrasi supra-nasional yang kewenangannya dipegang di lembaga-lembaga penguasa (Arendt, 1945: 460) Dalam teori-teori gerakan penyatuan (Pan-Slavisme dan Pan-Jermanisme) sangat kental pemikiran yang menentang negara sebagai lembaga. Pencinta budaya Slavia menentang kehadiran negara yang secara alamiah dianggap asing bagi rakyat sehingga rakyat Rusia tidak peduli terhadap negara. Maka orang-orang Rusia disebut “rakyat tuna negara” (Arendt, 1995: 210-211). Sikap ini tentu saja menguntungkan kaum liberal karena sikap despotiknya mendapat pembenaran: kekuasaan mutlak bisa berjalan karena rakyat tidak turut camput tangan dalam kekuasaan negara (Arendt, 1995: 211). Dalam perspektif sama, Pan-Jermanisme menekankan prioritas nasional di atas kepentingan negara atau dunia politik berada di atas kerangka negara karena satu-satunya faktor permanen dalam sejarah adalah rakyat bukan negara (Arendt, 1995: 211). Dari cara penafsiran seperti ini lah awal sifat totaliter penguasa muncul, karena dengan mengatakan faktor permanen sejarah itu rakyat, dimungkinkan untuk menyimpulkan bahwa kebutuhan nasional yang berubah menurut keadaan harus selalu menentukan tindakan politik negara (Arendt, 1995: 211). Celah manipulatifnya terletak pada definisi siapa rakyat itu dan siapa yang merumuskan kebutuhan nasional. Kedua celah manipulatif itu menjadi kesempatan bagi penguasa totaliter untuk merepresentasikan dirinya. Kecenderungan sifat totaliter dari nasionalisme “tribal” semakin kentara bila dikontraskan dengan chauvinisme. Dari sudut psikologi, menurut Arendt, chauvinisme lebih tertarik pada yang terjadi di luar dirinya dari pada gagasan atau perasaan sendiri. Jadi lebih fokus pada pencapain-pencapaian spiritual dan material bangsa. Maka chauvinisme masih berpijak pada realitas, meski diwarnai nostalgia pada masa lalu (Maurras dan Barrès) yang diangkat ke tatanan yang ada di luar kontrol manusia; sedangkan nasionalisme “tribal” lebih peduli kepada apa yang dipikirkan dan dirasakan sendiri dari pada memperhatikan orang lain atau apa yang terjadi di luar dirinya. Jadi lebih memusatkan perhatian pada jiwa dirinya yang dianggap sebagai pewujudan kualitas nasional yang umum. Lalu unsur- unsur semi-mistik yang tidak ada dianggap akan terlaksana pada masa mendatang (Arendt, 1995: 193). Manifestasinya dalam bentuk arogansi: bisa mengukur dan meramalkan nasib bangsa dengan menggunakan tolok ukur kualitas batin dan mendiskualifikasi keberadaan tradisi, lembaga-lembaga dan kebudayaan yang ada (Arendt, 1995: 193). Pandangan semi-mistik semacam ini memberi dasar pembenaran atas pendakuan politiknya: bangsanya dikepung oleh suatu dunia penuh musuh; bangsanya sendiri adalah unik sehingga mengingkari sebagai bagian dari kebersamaan umat manusia (Arendt, 1995: 194). Pendakuan seperti itu jadi pintu masuk untuk melepaskan dari rasa bersalah ketika akhirnya menindas, mengeksploitasi dan menghancurkan bangsa lain, kelompok atau etnis tertentu. 7 4.Patologi Nasionalisme “Tribal”: Imperialisme Merendahkan Bangsa Lain Nasionalisme “tribal” yang merepresentasikan diri dalam gerakan-gerakan penyatuan (“pan-...”) menggunakan dasar rasionalnya hak-hak bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, yang pada gilirannya, dijadikan layar untuk menutupi ekspansionisme imperial suatu bangsa (Beiner, 2000: 49). Ideologi nasionalis memperjuangkan aspirasi untuk menyatukan bangsa yang berasal dari asal-usul yang sama, meski berbeda sejarah di manapun mereka tinggal. Dasar negara-kebangsaan semacam ini melandaskan diri pada kesatuan primordial yang sangat berbahaya karena rentan bagi perkembangan berbagai bentuk diskriminasi. Sumber diskriminasi ini bisa dijelaskan melalui patologi negara-kebangsaan. Salah satu bentuk patologinya dalam politik praktis, menurut Arendt, ialah bahwa di mana bangsa menampilkan diri sebagai penakluk akan menumbuhkan kesadaran nasional dan juga hasrat akan kedaulatan di antara orang-orang yang dikalahkan (Arendt, 1945: 45). Jadi kecenderungan imperialistisnya melekat pada ideologi nasionalismenya karena penaklukan menjadi metode permanen dalam memerintah. Suatu sistem negara, yang menafikan nasionalisme imperialistisnya, akan membuka peluang bagi gerakan-gerakan totalitarisme untuk menyelesaikan tugas menghancurkan inti gagasan negara-kebangsaan. Negara-kebangsaan yang seharusnya menawarkan perlindungan bagi warganegara dan menjamin hormat akan hak-hak negara-kebangsaan lain untuk melakukan yang sama, akhirnya menginjak-injak sendiri tugas utamanya (Beiner, 2000: 50). Negara-kebangsaan rela menghancurkan negara sebagai tempat berlindung bagi warganegaranya, baik secara moral maupun secara hukum (Beiner, 2000: 50). Dengan cara itu, impian kemurnian bangsa tidak lagi ada yang menghalangi. Nasionalisme tidak lepas dari patologi kewarganegaraan karena hasrat untuk menundukan negara kepada gagasan tentang bangsa. Sebagai akibatnya kebangsaan lebih diidentikkan dengan ekspansionisme yang mengatasi batas-batas negara, termasuk batas moral. Upaya untuk menghapus rasa salah bahwa mengabaikan batas moral dipakai cara ilmiah canggih: membedakan antara etika dan moral. Midlarsky mengacu ke Avishai Margalit ketika membedakan antara etika dan moralitas (Manus I. Midlarsky, 2011: 343): etika kewajiban yang muncul dari hubungan tebal (keluarga, sesama bangsa), maka yang dipertaruhkan oleh etika lebih berkaitan dengan loyalitas dan pengkhianatan. Sedangkan, moralitas merupakan kewajiban dalam hubungan tipis, yang bukan dari keluarga atau bukan sesama bangsa. Pertaruhan dalam moralitas diarahkan ke masalah hormat ke orang lain dan penghinaan. Kejeniusan Hitler terletak dalam mengubah norma moral universal yang sepenuhnya relevan untuk Jerman adalah etika. Lalu fokusnya menuntut adanya loyalitas warganya karena merupakan hasil hubungan tebal yang melibatkan keluarga atau sesama bangsa Jerman. Menurut Hitler, tidak mungkin secara naluriah melakukan hal benar bila pikiran kita melupakan perbedaan antara diri kita sendiri dan pihak lain. Ketika ada dua orang yang sedang tenggelam, salah satu adalah adik saya, maka yang paling masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral adalah apabila saya memprioritaskan menolong adik saya. Adik saya adalah bagian dari “kita”. Dalam upaya menciptakan perbedaan yang ketat antara “kita” dan “mereka”, direkayasa rumusan dari slogan SS (Schutzstaffel = Skuadron Pelindung Hitler): Meine Ehre Heisst Treue (Kehormatanku adalah loyalitas). 8 Ternyata bukan hanya fanatisme, yang menolak perbedaan, menjadi dasar kekuatan yang mendorong orang ke ekstremisme, tetapi ekstrimisme tumbuh bila mampu menyingkirkan moral tradisional yang mengarahkan orang. Moral tradisional itu mendorong kepatuhan pada norma moral universal dalam bentuk rasa empati dan simpati, padahal empati/simpati ini harus dilawan karena menghambat fanatisme kelompok. Semakin korban anonim atau asing semakin kejam perlakuan, hanya empati dan simpati yang menghambat untuk bisa tega atau kejam. Maka pembedaan etika dan moral tersebut di atas merupakan bagian dari proses sistematik untuk menghilangkan hambatan tersebut. Pembedaan itu pula yang menutupi rasa salah dari politik imperialistiknya. Imperialisme digunakan untuk memecahkan masalah konflik internal, bahaya disintegrasi. “Pemecahan masalah-masalah itu adalah imperialisme dan jawaban terhadap pertanyaan yang menentukan mengapa Komite bangsa-bangsa Eropa membiarkan kejahatan itu menyebar sampai segalanya dihancurkan, yang baik maupun yang jahat, adalah bahwa semua pemerintahan tahu persis bahwa negara-negara mereka sedang dalam situasi disintegrasi, bahwa tubuh politik sedang dihancurkan dari dalam, dan mereka hidup dalam waktu pinjaman” (Arendt, 1945: 450). Menurut Arendt, “imperialisme dengan gagasannya tentang perluasan wilayah yang tak terbatas seperti mau menawarkan penyelesaian yang terus-menerus terhadap kejahatan yang semakin meningkat dan tanpa-henti” (Arendt, 1945: 453). Jadi imperialisme didorong oleh keyakinan bahwa tubuh nasional itu sendiri terpecah secara mendalam ke kelas-kelas sehingga perjuangan kelas menjadi gejala kehidupan politik modern. Bahkan warganegara pribumi sering memandang rendah warganegara yang dinaturalisasikan, mereka mendapat hak-haknya berkat hukum, bukan karena kelahiran di negara itu (Arendt, 1995: 200-201). Bisa dibayangkan betapa rentannya kohesi bangsa dalam situasi diskriminatif seperti itu. Maka perluasan wilayah bisa menjadi penyelamat sejauh dapat menetapkan pertaruhan bersama kepada bangsa (Arendt, 1945: 454). Sebetulnya masih ada satu lapisan yang diciptakan untuk tidak berpihak pada kelas- kelas tertentu: pelayanan publik sebagai tubuh pejabat publik permanen yang mengabdi warganegara tanpa memandang dari kelas/kelompok mana dan tidak tergantung perubahan pemerintahan. Kehormatan dan penghargaan diri mereka berasal dari jabatannya sebagai pelayan bangsa (Arendt, 1945: 456). Independensi pelayan publik sangat tergantung pada kemandirian ekonomi dan netralitas politik. Ketika bangsa mulai dibusukkan oleh korupsi para pelayan publiknya, mereka ini mulai diragukan netralitas. Korupsi dan pembusukan pejabat publik menciptakan kondisi matang bagi totalitarisme. 5.Totalitarisme: Propaganda, Intimidasi, Teror dan Paramiliter Menghadapi korupsi di segala bidang dan pembusukan birokrasi, muncul gerakan pra-totaliter (bisa dalam bentuk populisme agama). Dengan dalih mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, gerakan pra-totaliter menekan penguasa. Dalam ketakpastian ekonomi global, pengangguran dan ketakadilan, gerakan pra-totaliter menjanjikan ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral. Gerakan ini mengritik pemerintah dan demokrasi karena pemerintah yang seharusnya cermin kehendak rakyat, telah disita, didistorsi dan diekploitasi elite busuk. Senjata politik untuk disinformasi dengan menggunakan propaganda dan teknik merekayasa pesan agar menyentuh emosi digunakan untukk membungkam pikiran kritis masyarakat dan menimbulkan perpecahan. 9 Strategi gerakan pra-totaliter meliputi: pertama, propaganda dan intimidasi yang dipakai sebagai instrumen persuasi massa; kedua, merekayasa informasi agar masyarakat bingung dalam menafsir realitas; ketiga, merekayasa manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok; keempat, menjatuhkan musuh melalui fitnah dan penghancuran karakter, terutama melalui isu peka (agama); dan kelima, menciptakan mitos-mitos politik. Semua teknik propaganda yang menyentuh emosi dipakai untuk menarik masyarakat banyak dan juga elite ke semangat totaliter, maka harus memperoleh simpati massa melalui propaganda. Semua strategi itu dimungkinkan karena cerdik menggunakan/menyalahgunakan kesempatan rezim yang menjamin kebebasan berpendapat dalam rangka memperoleh kekuasaan. Kalau perlu mereka menggunakan teror dan intimidasi sejauh belum memancing aparat negara bertindak (Arendt, 1972: 67). Seperti partai-partai lain, mereka mencari pengikut dan tampil untuk kelihatan kredibel di mata publik. Dalam perkembangannya, ketika sudah mendapat kendali kekuasaan, mereka akan menggantikan propaganda dengan indoktrinasi. Kekerasan hanya digunakan untuk menakut-nakuti orang (Arendt, 1972: 67). Propaganda menjadi bagian dari perang psikologis, sedangkan teror adalah esensi yang melandasi rezim semacam itu untuk mancapai tujuan-tujuan psikologis, yaitu kepatuhan masyarakat secara total (Arendt, 1972: 69). Maka intimidasi dan teror yang awalnya beroperasi secara terbatas, dengan berkembangnya waktu, semakin meluas tanpa takut kepada aparat penegak hukum. Baik polisi maupun pengadilan tidak berani menindak dan memproses secara serius kejahatan- kejahatan yang dilakukan oleh “kaum kanan”. Intimidasi dan teror ini sangat berharga karena bisa menjadi bentuk propaganda betapa berkuasanya mereka (Arendt, 1972: 70). Gerakan yang mengarah ke totaliterisme biasanya menggunakan rasisme (bisa diskriminasi agama) untuk menyatukan kelompok massanya agar semakin militan. Mulai dengan kualifikasi pemimpin yang tidak bisa salah (Arendt, 1972: 74). Keberhasilan komunikasi publiknya mau meyakinkan bahwa pemimpinnya tidak bisa salah dengan self-fulfilling prophecy: kebiasaan mengumumkan maksud politiknya dalam bentuk ramalan. Contoh paling terkenal ketika Hitler di depan Reichstag (Januari 1939) mengumumkan: “Lagi hari ini, saya ingin menyampaikan ramalan saya: jika para penanggung jawab keuangan Yahudi sekali lagi berhasil mendorong rakyat terjerumus dalam suatu perang dunia, hasilnya adalah penghancuran ras Yahudi Eropa”. Bila diterjemahkan dalam bahasa politik, “saya bermaksud melakukan perang dan membunuh orang-orang Yahudi Eropa” (Arendt, 1972: 75). Ramalan semacam itu menjadi alibi retrospektif bahwa tidak ada yang bisa terjadi tanpa diramalkan lebih dulu. Kelemahan utama propaganda totaliter terletak pada ketidakmampuannya untuk memuaskan hasrat massa agar visi tentang dunia mereka itu koheren, bisa dipahami dan bisa diramalkan, tetapi tanpa bertentangan dengan akal sehat (Arendt, 1972: 78). Maka agar visi tentang dunia itu koheren, dengan sukarela mereka bersedia dicabut dari akar realitas. Misalnya, dua tetangga semula hidup rukun. Ketika salah satu diberitahu guru agamanya bahwa cermin orang beriman sejati adalah tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama, sejak saat itu ia rela melepaskan persahabatan dengan tetangganya. Dia tercabut dari realitas hubungan baik bertetangga. Senada dengan contoh ini, menurut Arendt, massa begitu terobsesi oleh hasrat untuk lepas dari realitas karena dalam ketercabutan dari akar realitas itu, mereka tidak tahan akan segi kebetulan dan yang tidak bisa dipahami nalar (Arendt, 1972: 79). Maka ketercabutan itu harus dikompensasi 10 dengan pembenaran ideologis: penjelasan ideologis metafisik penuh kebohongan menjadi jawaban. Individu massa itu soliter, terisolasi dan teratomisasi, maka tiada perlawanan kritis. Penolakan terhadap realisme akal sehat dan pandangan dunia yang masuk akal tidak lain kecuali akibat dari atomisasi massa serta hilangnya status sosial mereka, bahkan mereka telah kehilangan relasi yang normal dengan komunitas keseharian, padahal komunitas itu yang memungkinkan mereka tetap bisa menggunakan akal sehat (Arendt, 1972: 79). Keterasingan dengan realitas keseharian adalah harga yang harus dibayar demi gerakan dunia baru yang lebih adil dengan ajaran utopis dan pemimpinnya. Untuk menjamin dipatuhinya pimpinan mereka dan ajarannya, diciptakan kelompok paramiliter sebagai instrumen perjuangan ideologi gerakan (Arendt, 1972: 97). Pembentukan paramiliter ini berasal dari logika totaliter yang memungkinkan selalu memasukkan lapisan baru ke dalam organisasi untuk mendefinisikan tingkat militantismenya (Arendt, 1972: 96), maka anggota paramiliter mendapat kepercayaan mengawal ideologi gerakan. Gerakan totaliter sebelum bisa mengambil alih kekuasaan selalu membangkitkan dunia yang penuh kebohongan, bahkan sangat koheren sampai melebihi realitas itu sendiri sehingga memberi kepuasan akan kehausan jiwa manusia. Salah satunya menciptakan fiksi. Fiksi Nazisme yang paling efektif adalah propaganda yang merekayasa tentang adanya konspirasi Yahudi seluruh dunia (Arendt, 1972: 80-81). 6.Mistifikasi Anti-Yahudi: Orang Asing Agen Aparat Negara yang Menindas Bagi kaum Nazi, anti-semitisme merupakan senjata politik penting untuk menutupi teror dan kekerasan dengan dalih membuka peradaban baru dan pembangunan badan politik baru (Arendt, 1995: 156). Kebencian itu muncul dari kecurigaan hubungan tersembunyi antara komunitas Yahudi dan negara-kebangsaan Eropa: orang-orang Yahudi dituduh sebagai agen aparat negara yang menindas, lebih dari stigma itu, dianggap penindas asing (Arendt, 1995: 195-196). Pada awalnya, rasa benci terhadap orang-orang Yahudi didasarkan pada pengalaman nyata melihat langsung kehidupan orang Yahudi di bidang ekonomi, sosial dan politik (Arendt, 1995: 197). Baru kemudian mencari legitimasi dari sebuah ideologi rasisme dan xenophobia (anti orang asing). Contohnya: pengalaman Schoenerer, pioner Pan-Jermanisme Austria, menyaksikan adanya hubungan antara monarki Habsburg dan dominasi Rotschild (pengusaha besar Yahudi) dalam sistem perkereta-apian di Austria; komentar Rozanov, penulis Rusia Pan-Slavia, yang penuh insinuasi “tidak ada masalah kehidupan di Rusia, di mana seperti ada ‘tanda koma’, juga tidak ada pula pertanyaan: Bagaimana mengatasi orang Yahudi” (Arendt, 1995: 196). Dominasi di bidang ekonomi menumbuhkan kecemburuan sosial, yang dirasakan sebagai ketakadilan. Secara psikologis kesenjangan sosial membuat perasaan tidak aman, yang berdampak pada perasaan-tak-berguna. Perasaan-tak-berguna itu oleh demagog dipakai untuk provokasi agar berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Lalu tinggal menunggu pemicu untuk mengobarkan emosi sosial yang berujung kekerasan. Benih-benih kebencian yang tumbuh dari pengalaman tersebut semakin mendapat kekuatan dengan adanya “kesadaran akan kesukuan yang meluas” yang menjadi motor emosional gerakan-gerakan Pan-Slavisme dan Pan-Jermanisme. Pan-Slavisme mulai menjadi anti-semitisme pada akhir abad 19 seperti ilustrasi berikut ini (Arendt, 1995: 213-214): Schoenerer dalam sikap anti-semitismenya bisa mengintip adanya peluang untuk menghancurkan imperium Habsburg; Adolf Stoecker, seorang pendeta Protestan di
Description: