ebook img

Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU PDF

345 Pages·2012·5.62 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU

MUQODDIMAH ) ، هِ للا دِ بْعَ نِ بْ دمَّ حَ مُ اَندِ ّيسَ ، هِ للا لِ وْسُ رَ ىلَعَ مُ َالسَّ لاوَ ةَُالصَّ لاوَ ، هِّ لِ ل دُ مْ حَ لا :دُ عْ بَ امَّ ٔا ، هَُالاوَ نْ مَ وَ هِ بِحْ صَ وَ هِ ِلٓا ىلَعَ وَ Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, sebagai organisasi tertua dan terbesar di dunia yang memiliki masa puluhan juta umat. Dalam perjalanannya bukan berarti tidak mengalami berbagai problematika. Problem-problem yang terjadi di tubuh NU cukup beragam. Ada yang memang sudah warisan dari orang-orang terdahulu, yang banyak orang tidak berusaha untuk memahami dan mempelajarinya, ada juga problem-problem tersebut muncul dari kalangan eksternal ataupun dari kalangan internal NU itu sendiri. Mulai dari sulitnya menertibkan pengaturan secara organisatoris dan administratif sampai kepada usulan mengulang kembali makna "Nahdhoh", mengkritisi Qonun Asasi warisan Syaikh Hasyim Asy'ari serta menghapus dua madzhab Abu Hasan al- Asy‟ari dan Abu Mansur al-Maturidi serta Madzahibul Fuqaha‟ al- Arba‟ah. Selanjutnya, sejumlah perubahan besar terjadi di kalangan NU. Perubahan-perubahan tersebut dimotori oleh gerakan kalangan muda NU yang mempunyai latar belakang pendidikan campuran: Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU pesantren dan pendidikan modern. Mereka seakan-akan menjadi counter part kalangan ulama tradisional dalam mendinamisasi NU. Perubahan itu tidak hanya menyangkut organisasional, bahkan sudah mempertanyakan pola yang selama ini dianggap baku. Sistem bermadzhab contohnya, terus-menerus dikritisi oleh kaum pemikir modern yang datang dari kalangan NU sendiri. Untuk menindak lanjuti keputusan Khitthah NU 1926 di Situbondo, NU membentuk organisasi yang bernama Lakpesdam (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), sebuah organisasi sayap NU yang bertujuan mengimplementasikan Syu'un Ijtima'iyah dalam praktik nyata. Desain awal Lakpesdam sebetulnya menyerupai LSM dimana aktivitasnya ditujukan terhadap pengembangan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan kewirausahaan, pertanian, tambak udang, dan sejenisnya. Lakpesdam pun tidak tanggung-tanggung menjalin hubungan dengan lembaga donor milik kafirin, Asia Fondation. Begitu juga liberalisasi politik yang terjadi pada masa reformasi, langsung dimanfaatkan oleh Gus Dur untuk membangun sebuah kekuatan partai politik yaitu PKB. Kendati tidak resmi menyatakan diri sebagai partai NU. Tidak dapat dipungkiri, pada awalnya, PKB adalah partai resmi NU dimana pembentukannya PBNU turut aktif membidaninya. Kegagalan Gus Dur mempertahankan kursi kepresidenan dan gagalnya Hasyim Muzadi menjadi wakil presiden berpasangan dengan Megawati, tampaknya membuat perpolitikan NU mulai mendera. Keputusan kembali ke Khitthah 1926 tidak hanya memutar bandul politik NU. Dampak lain yang perlu mendapat perhatian adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran keagamaan yang telah ditanamkan oleh Gus Dur. Sebagai contoh, dalam sebuah seminar tentang Islam dan politik di Indonesia, di Cornel University, 12 April 1992, Gus Dur mengatakan bahwa NU akan selalu menghindari formalisasi ajaran Islam di dalam peraturan perundang-undangan Negara. Menurutnya, setiap upaya untuk menformalkan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan negara akan bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain. Contohnya adalah gagasan tentang undang- undang zakat yang memungkinkan warga negara Islam memperoleh potongan pajak atas sejumlah zakat yang telah dibayarkan. "Kalau orang Islam boleh mendapat potongan, bagaimana dengan penganut Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya agama selain Islam?" Kata Gus Dur sambil menambahkan "Dalam suatu negara harus hanya ada satu hukum yang tidak membedakan agama, ras dan keyakinan politik rakyatnya". Gagasan Gus Dur semacam itulah yang menurut sejumlah tokoh NU sebagai salah satu contoh sekularisme yang dikembangkan di tubuh NU. Anwar A. Dulmanan, koordinator Forum Generasi Muda NU, mengatakan, "saat ini telah terjadi sekularisme ditubuh NU, buktinya banyak kalangan NU, terutama kalangan mudanya yang dengan tegas menolak agama dijadikan sebagai landasan politik dan dengan tegas menghendaki tatanan politik sekuler. Salah satu alasannya adalah akan terjadinya diskriminasi terhadap kelompok non-Islam dan menjadikannya sebagai warga negara kelas dua. Ini akan mengancam kesatuan Negara." Penyebaran sekularisme di tubuh NU inilah yang tampaknya dikawatirkan oleh KH. Yusuf Hasyim, paman Gus Dur. Praktek do'a bersama sejumlah penganut agama. Masuknya Gus Dur sebagai pengurus di beberapa organisasi Yahudi. Juga langkah politik Gus Dur dalam mendukung Mega dan kelompok Nasionalis-Sekuler. Tak heran jika mendapat sorotan tajam dari kalangan ulama NU. "Warga NU harus bersikap kritis terhadap langkah politik Gus Dur tersebut, baik itu berupa taktik sesaat apalagi kalau bersifat pemikiran konseptual yang mendasar," kata Sholahuddin Wahid. Gus Sholah mengatakan, "Mega dan kelompok Nasionalis- Sekuler secara konsisten menolak masuknya Syari'at Islam ke dalam legislasi nasional. Tahun 1973 kelompok Nasionalis-Sekuler mengajukan rancangan Undang-undang Perkawinan yang ditolak keras oleh umat Islam, termasuk NU. Tahun 1989 kelompok ini juga menentang rancangan Undang-undang Peradilan Agama dan Rancangan Undang-undang Pendidikan Nasional. Selanjutnya Gus Sholah mengatakan, “Pemikiran politik Gus Dur didasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler dan nasionalis. Bahkan sudah ada komitmen antara Gus Dur dengan kelompok Nasionalis-Sekuler dan ABRI untuk menjadikan Indonesia sebagai masyarakat sekuler. Padahal sebelumnya, Gus Dur belum menentang legislasi ajaran Islam. Pada Agustus 1975 Gus Dur menulis sebuah artikel di Majalah Prisma dengan judul "Menjadikan Hukum Islam Sebagai Penunjang Pembangunan". Kritik terhadap sekularisme Gus Dur juga dikemukakan oleh Gus Ishom Hadzik, pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang. Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU Ia mengatakan, "Kecemasan Gus Dur bahwa dukungan terhadap partai agama bakal melahirkan formalisasi ajaran agama dan mengancam integrasi nasional, sebetulnya amat berlebihan, aneh tapi nyata. Sementara fenomena Islamfobia sedikit banyak sudah lenyap dari pikiran tokoh Nasionalis-Sekuler, Gus Dur justru masih menyimpan kecurigaan". Begitu juga penyebaran paham Pluralisme yang diusung Gus Dur sudah menyebar dan menjadi kegiatan keagamaan di kalangan umat Islam, dengan dalih ukhuwah, toleransi dan sosial kemasyarakatan.[1] Dampak Pluralisme adalah pendangkalan aqidah. Di negeri ini, doa bersama lintas agama yang melibatkan tokoh-tokoh NU bukan pemandangan asing lagi. Baru-baru ini acara serupa diselenggarakan di Sidoarjo yang melibatkan seorang tokoh NU, Hasyim Muzadi. Acara yang diberi tema "Forum Silaturahmi Nasional Lintas Agama" itu dihelat di GOR Sidoarjo pada hari Jum‟at, 22 Januari 2010. Acara yang dihadiri oleh menteri pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Gubernur Jatim Soekarwo itu dalam rangka mendo‟akan Gus Dur. Sebelumnya dia juga pernah hadir pada acara do'a bersama di Surabaya, pada hari Senin tanggal 17 Agustus 1998, bertepatan dengan HUT RI ke-53, dan hadir di acara tersebut Pendeta Wismo (Kristen), Romo Kurdo (Katolik), Parisada Hindu Indonesia (Hindu), dan Bingki Irawan (Konghucu). Keterlibatan PBNU di bawah Ro'is Aam KH. Sahal Mahfudz dan Ketua Umumnya, KH. Hasyim Muzadi sebagai penyelenggara kegiatan do'a bersama antar umat beragama juga pernah terjadi. Acara do'a bersama lintas agama yang bertema "Indonesia Berdo'a" di Jakarta 6 Agustus 2000 itu pun menuai protes di kalangan ulama- ulama NU. Para ulama NU prihatin terhadap elit NU yang sudah  tidak lagi menghiraukan ayat-ayat Allah dan peringatan dari Nabi  Muhammad . Sebagai pengurus PBNU, mestinya mereka tahu bahwa pada Muktamar NU ke-30 di Kediri telah memutuskan tentang keharaman melakukan kegiatan do'a bersama lintas agama.[2] Begitu juga adanya pendirian tiga gereja ilegal di Pandaan Pasuruan yang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tiga gereja tersebut 1). As'ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi NU. 2). Surat PCNU Kodya Surabaya kepada PBNU, tertanggal 23 Jumadhil Ula 1421 H/ 23 Agustus 2000 M. Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya dipermasalahkan oleh warga setempat, bahkan keberadaannya yang ilegal sangat meresahkan masyarakat. Karena sebelumnya, sudah ada dua gereja resmi, sehingga masyarakat pun mengirim surat protes kepada pihak pemerintah daerah Pasuruan, namun pemerintah kesannya diam tanpa ada tanggapan. Yang menjadi keheranan masyarakat Pandaan adalah apa yang dilakukan KH. Hasyim Muzadi selaku Ketua Tanfidziyah PBNU, yang tiba-tiba mendatangi tempat ibadah umat Kristiani yang jumlahnya hanya lima orang tersebut dalam rangka memberi dukungan keberadaan gereja ilegal tersebut sekaligus meresmikannya tanpa adanya konfirmasi sebelumnya dengan masyarakat setempat. Berita pembelaan Ketua Tanfidziyah PBNU ini sempat dirilis oleh Koran Radar Bromo. Kerjasama antara PBNU dengan Syi‟ah juga pernah terjadi dalam acara Konferensi Ulama Sunni-Syi'ah pada hari Selasa-Rabu 3- 4 April 2007 di Bogor. Acara yang diprakarsai oleh NU serta didukung oleh Muhammadiyah dan Pemerintah itu dalam rangka meredam konflik yang berkepanjangan antara Sunni-Syi'ah di Irak dan pentingnya menggagalkan upaya musuh dalam memecah belah muslimin. Sebagaimana komentar Kyai Hasyim bahwa pernyataan Syaikh Yusuf Qardlawi saat kunjungannya ke Indonesia Januari 2007, bahwa kaum Syi'ah Irak telah membantai kaum Sunni di Irak, dan juga pernyataan beliau bahwa Al-Qur'an yang ada di Iran telah mengalami distorsi (tahrif). Ungkapan Syaikh Yusuf Qardlawi saat Muktamar Doha, Qatar pada bulan Januari 2007, menurut kyai Hasyim adalah pernyataan yang provokatif. Terselenggaranya konferensi tersebut sebagai implementasi dari pernyataan presiden SBY saat menjamu presiden Goerge Bush dalam kunjungannya di Bogor. Menurutnya masalah Irak bukan hanya tanggung jawab AS tapi juga menjadi tanggungjawab dunia. Acara serupa juga pernah diselenggarakan di Hotel Sultan Jakarta, 1921 Desember 2009. Acara yang bertema "Konferensi Persaudaraan Muslim Dunia" ini menurut Hasyim merupakan bentuk kerjasama antara PBNU dengan At-Taqrib Baina Madzahib Al- Islamiyyah yang berpusat di Iran dan beraliran Syi'ah. Di hadapan PWNU seluruh Indonesia cak Hasyim mengatakan bahwa konferensi yang sedang berlangsung merupakan bagian dari kegiatan International Conference Of Islamic Scholars (ICIS) pra-Muktamar Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU NU yang ke-32. Selanjutnya cak Hasyim yang juga selaku presiden ICIS mengatakan, "Kalau kita kerjasama dengan kelompok Syi'ah, bukan berarti kita menjadi Syi'ah. Paling tidak dengan mengadakan pertemuan dengan Syi'ah, kita bisa mengetahui apa yang mereka mau, dan posisi kita setara, kita tidak berada di bawah." [3] Tidak heran, jika banyak kalangan yang menuduh Kyai Hasyim telah menyeberang ke Syi'ah karena seringnya cak Hasyim membela kelompok Syi'ah dengan sering mengunjungi kaum Syi'ah di Irak dan Iran. "Saya ke Irak dan Iran bukan untuk membela Syi'ah, saya tidak membela Syi'ah sebagai ajaran, tapi saya membela Syi'ah sebagai masyarakat yang terjajah", kata cak Hasyim saat menghadiri peringatan seratus hari wafatnya KH. Yusuf Hasyim. Dirinya menemui kelompok Sunny-Syi'ah justru untuk mendamaikan mereka, kilahnya. Kyai Hasyim Muzadi telah melakukan kebohongan besar, justru kelompok Sunni di Irak-lah yang dijajah dan dihabisi oleh kelompok Syi'ah dengan kejam dan sadis, begitu juga kelompok Sunni di Iran, dijajah dan dihilangkan seakan-akan yang ada hanya kelompok Syi'ah. Penolakan formalisasi Syari'at Islam juga datang dari tokoh- tokoh Islam sendiri. Pada tanggal 10 Agustus 2002 beberapa orang Liberal berkumpul di Hotel Indonesia, di antaranya: KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), Syafi'i Ma'arif (Ketua Muhamadiyyah), Masdar Farid Mas'udi (Pengurus PBNU), Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), dan beberapa orang dari Yayasan Paramadina milik Noerkholis Majid. Mereka membuat pernyataan dengan pers bahwa mereka menolak Syari'at Islam secara legal. Menurut mereka, jika Syari'at Islam dilaksanakan akan menimbulkan bahaya dan menimbulkan kemunafikan. Penolakan berlakunya Perda-perda Syari‟at yang meliputi Undang-Undang Perkawinan, Undang-undang Ekonomi Syari‟at dll dan keberhasilan penerbitan surat berharga Syari'at negara. Juga mendapat perlawanan dan penolakan dengan dikomandani oleh PDS dan PDIP serta beberapa anggota fraksi PKB dan fraksi Golkar, mereka meminta pimpinan DPR agar menyurati Presiden untuk membatalkan Perda-Perda Syari‟at tersebut, kata ketua fraksi PDS 3). http://www.media Indonesia. Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya Constant Ponggawa yang didampingi seorang tokoh Golkar yang ngaku NU, Nusron Wahid. Berikut petikan wawancara GATRA dengan ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi (HM), Rabu 19 April 2006 di gedung PBNU Jakarta. GATRA:Sikap NU pada penerapan Syari‟at Islam? HM: Syari‟at Islam sekarang diterima dengan apriori, pro dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan Syari‟at harus dilakukan secara tekstual. Di pihak lain, ada orang mendengar kata Syari‟at saja sudah ngeri. Istilah Arabnya ada Ifrath (berlebihan mengamalkan agama) dan Tafrith (meremehkan, longgar, dan cuek dalam beragama). Menurut NU, masalahnya bukan pro dan kontra Syari‟at. Tapi bagaimana metodologis pengembangan Syari‟at dalam NKRI. Syari‟at tidak boleh dihadapkan dengan negara. NU sudah punya polanya. Bahwa Tathbiq al-Syari‟at (aplikasi Syari‟at) secara tekstual dilakukan dalam civil society, tidak dalam nation-state. Aplikasi sosial itu untuk jamaah NU, untuk jamaah Islam sendiri. Dia harus taat beribadah, taat zakat, dan  sebagainya. Sehingga Firman Allah : نَ وْرُ فِ اكَ لْا مُ هُ كَ ئِلوّْافَ هُ َّ للا لَ زَ ْنّّا امَ ِب مْ كُ حْ يَ مْ َل نْ مَ وَ "Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang kafir". (QS. Al-Maidah: 44). Ungkapan نْ مَ (barangsiapa) di sini maksudnya orang, bukan „institusi‟. GATRA: Pandangan NU pada kampanye khilafah? HM: Khilafah dalam arti apa? Kalau dalam arti Khulafaur Rosyidin yang pernah ada setelah Rasulullah itu sudah tidak relevan lagi sekarang. Tapi kalau khilafah dimaksudkan sebagai pemerintah yang demokratis, mungkin masih kita pertahankan. Menurut pandangan NU, ketika Rasul wafat, ada dua hal yang tidak diputuskan Rasul. Pertama, siapa penggantinya. kedua, dengan proses apa pengganti diangkat. Sehingga Rasul yang wafat hari Senin, baru Rabu sore dimakamkan, karena menunggu keputusan musyawarah siapa penggantinya. Artinya, khilafah itu bukan perintah Rasul. Kalau bukan Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU perintah, maka khilafah itu masalah Ijtihadiyah (hasil pemikiran), bukan Syar‟i (ketetapan Tuhan atau Nabi). Penerapannya sesuai kondisi negara, kondisi bangsa, ruang, waktu, dan pemikiran. Sehingga tidak logis memaksakan khilafah dalam arti makna khilafah zaman Khulafaur Rasyidin. Nah, begini-begini ini yang membuat resah berbagai kelompok yang tidak mengerti duduk masalahnya. Bagaimana pengamalan Islam yang relevan untuk konteks kekinian? Umat Islam sebaiknya langsung menjadikan Islam sebagai agama yang produktif. Jangan lagi bertikai pada aspek simbolik, tidak khilafah, Syari‟at atau tidak Syari‟at. Ya sudah, agama Islam kita laksanakan secara aplikatif. Melahirkan persaudaraan, keadilan, dan kemakmuran, sehingga Syari‟at jangan hanya dipikirkan secara simbolik. Kita mengurus petani supaya makmur, itu Syari‟at. Kita menginginkan Indonesia aman, itu Syari‟at. Indonesia harus berkeadilan, itu Syari‟at. Maqashid at-Tasyri‟, nilai esensi Syari‟at yang harus segera wujud. Jangan digeser ke permasalahan simbolik yang mengakibatkan perpecahan, sehingga Islam tidak produktif. GATRA: Anda menyerukan implementasi Syari‟at secara maknawi bukan harfiyah. Apakah anda menempatkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) sebagai contoh implementasi Syari‟at secara maknawi. Ternyata menuai penolakan keras juga? HM: Khusus RUU APP, PBNU sudah punya pendapat secara organisatoris. Bukan pendapat ketua umumnya saja. Kita memerlukan RUU APP disahkan menjadi UU dengan memperhatikan masukan serta kebhinekaan yang ada. Ini penting. Karena tanpa aturan, kita akan sulit mengerem tayangan dan penampilan yang mengeksploitasi pornografi dan seks melebihi dosisnya. Sehingga mengakibatkan dampak negatif terhadap budaya generasi muda yang hedonis sekarang ini. Meluasnya free sex juga mengakibatkan penyakit. Sikap PBNU ini mewakili perasaan orang tua, guru, pendidik, dan para kyai. Di lain pihak, kebhinekaan kita tak bisa disamaratakan. Karena itu, harus ada exception dalam RUU ini, untuk mewakili Informasi, Penyimpangan dan Jawabannya kebhinekaan adat, agama, atau budaya. Misalnya, yang karena agama orang Bali bertelanjang dada. Kalau agamanya memang menyuruh begitu, kita harus tolelir. Begitu juga orang Papua pakai Koteka. Tapi kalau pakai koteka di Pasar Baru (Jakarta), ini porno. Kalau mau telanjang ya di tempat telanjang. Jangan telanjang di Stasiun Gambir (Jakarta), misalnya. Menyangkut kawasan pariwisata, ya dinyatakan saja bahwa daerah ini daerah wisata, sehingga orang boleh berjemur di pasir dengan bikini. Tapi jangan berjemur di Stasiun Tanah Abang (Jakarta) pakai bikini. Ini semua harus ditata. Kalau sama sekali tidak ada rambu-rambu, maka yang dirugikan umumnya generasi muda. Kenapa sekarang ada pro dan kontra begini kuat? Karena ada pro-kontra kepentingan. Pertama, pornografi dan pornoaksi ini sudah menjadi bagian penetrasi budaya global. Kedua, dia sudah menjadi industri. Jadi antara penetrasi dan industri ini saling memperkokoh. Memperkenalkan budaya yang nanti bisa membongkar sendi-sendi Syari‟at sekaligus dapat duit, betapa nikmatnya. Ini skala besar. Maka umat Islam Indonesia jangan merasa pornografi sebagai masalah sederhana, ini masalah berat. Karenanya pendekatan hukum boleh kita perkenalkan. Tapi pendekatan hukum saja belum cukup untuk melindungi budaya muslim. Harus ada gerakan kebudayaan bersama. Misalnya oleh NU dan Muhammadiyah, dimulai dari dirinya sendiri, keluarganya, dan anak-anaknya. Sebagai muslim sudah sopankah? Sebagai orang Indonesia, sopankah? Sebab kalau hanya gerakan hukum, dan hukum tidak bisa mengangkat budaya, maka orang ekstrem akan memakai hukum untuk gerakan kekerasan. GATRA: Apakah perlu pembuatan Perda yang mengadopsi Syariat Islam untuk menjaga „ketertiban‟? HM: Itu saya kira tidak perlu. Masing-masing Perda cukup mendorong polisi agar menegakkan KUHP dengan benar. Tidak perlu Perda karena sudah ada KUHP. GATRA: Bagaimana dengan Perda tentang Syarat baca Al-Quran untuk rekrutmen PNS atau mau jadi pengantin? HM: Ya ndak usahlah. Itu semua nanti akan mengganggu sistem hukum Indonesia. Kalau ada persyaratan baca Al-Quran, seperti Membuka Kedok Tokoh-tokoh Liberal dalam Tubuh NU itu, tak usah masuk Perda, cukup ketentuan teknis saja. Pihak teman-teman muslim sendiri sebaiknya memilih tathbiq Syari‟at ini secara maknawi, tata hukum Islam secara tata nilai tidak secara tekstual. Ada indikasi Perda Islami ini sekadar komoditas politik untuk kepentingan Pilkada. Ada juga. Itukan pikiran lokal. Kita tidak boleh melakukan hal parsial dan temporal yang kemudian tidak menyatu dengan sistem nasional. Ini juga dipicu sistem otonomi daerah yang memberikan kelonggaran. Kalau tidak dikontekskan dengan hukum nasional, negara kita ini negara kesatuan atau negara federal? Kalau negara federal sekalian ditetapkan, sehingga sistemnya sendiri-sendiri. Tapi itu berbahaya menurut saya untuk integritas Nasional.[4] Perubahan-perubahan di kalangan NU ini sungguh menarik untuk diamati secara seksama. Alasannya adalah organisasi NU sejak awal berdirinya didesain sebagai forum kalangan ulama tradisional dalam mempertahankan pola keberagamaannya. Nama Nahdlatul Ulama yang dapat diartikan sebagai kebangkitan ulama mencermikan bahwa di dalam organisasi ini, otoritas tertinggi adalah ulama. Yang dipresentasikan dalam lembaga Syuriyah. Sedangkan komitmen mempertahankan pola keberagamaan, tercemin dari garis organisasi untuk setia terhadap paham Ahlussunnah wal Jama'ah dengan cara bermadzhab. Dengan garis seperti ini, NU selalu dipahami sebagai organisasi yang berkomitmen menjadi tradisi, sehingga ciri ortodoksi dan konservatisme sangat kuat. Perubahan-perubahan tersebut bukanlah proses mendadak. Selalu ada kondisi yang menjadi pra-syarat bagi munculnya perubahan. Seiring kemajuan ekonomi dan sosial yang berlangsung sejak dekade 1970-an, komunitas NU mulai berkenalan dengan institusi-institusi modern. Pesantren yang awalnya terstruktur dalam sistem pendidikan otonom dan mandiri, lama-kelamaan mulai bersentuhan dengan sistem pendidikan kurikulum nasional. Perkenalan ini mengantar generasi NU untuk mengenyam pendidikan modern. Tapi pendidikan modern memang bagaikan kotak pandora. Sekali generasi muda NU bersentuhan dengannya, maka dampak jangka panjangnya tidak terkirakan. 4). Laporan utama Majalah Gatra edisi 25, Senin 1 Mei 2006.

Description:
HM: Syari‟at Islam sekarang diterima dengan apriori, pro dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan .. "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan Syafi'i Ma'arif, Dawam Raharjdo, Abdul Munir Mulkhan, Muslim. Abdurrahman, Amin .. (Berkah Finance dan Berkah Haramain).
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.