ebook img

Mematahkan pewarisan ingatan : wacana anti-komunis dan politik rekonsiliasi pasca-Soeharto PDF

166 Pages·2004·0.73 MB·English
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Mematahkan pewarisan ingatan : wacana anti-komunis dan politik rekonsiliasi pasca-Soeharto

Mematahkan Pewarisan Ingatan Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto Oleh Budiawan Kata Pengantar: Hersri Setiawan ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jakarta Juni 2004 Daftar Isi Pengantar Penerbit Pengantar Penulis Ucapan Terima Kasih Kata Pengantar: Hersri Setiawan Bab I Narasi Masa Lalu Komunis yang Tak Pernah Pudar • Pengantar • Jatuhnya Soeharto dan Munculnya Isu Rekonsilasi Nasional • Wacana Anti-Komunis dan Isu Rekonsiliasi: Sebuah Tinjauan Pustaka • Menginterogasi Narasi tentang Masa Lalu • Membaca sebuah Representasi-Diri • Sistematika Buku dan Sumber-Sumber Acuannya Bab II Wacana Anti-Komunis dan Praktik Sosialnya • Pengantar • Perubahan dalam Wacana Resmi Anti-Komunisme Setelah Soeharto Jatuh • Gagasan Gus Dur Tentang Rekonsiliasi Nasional dan Penjabarannya • Protes Menentang Toleransi terhadap “Komunis” dan “Komunisme” • “Komunis” dan “Komunisme” dalam Berbagai Cerita Rakyat • Catatan Penutup Bab III Memeriksa Narasi tentang Masa Lalu Komunis • Pengantar • Islamisasi Komunisme dan Pertentangan antara PKI dan Organisasi Islam, 1920-an – 1948 • Menuju Pemersetanan Komunisme: Dari Peristiwa Madiun hingga Pembantaian Massal 1965-66 • Catatan Penutup Bab IV Dua Otobiografi Muslim Komunis • Pengantar • Dua Muslim Komunis dan Otobiografi Mereka o Otobiografi Hasan Raid: Sebuah Laporan Pertanggungjawaban Seorang Muslim Komunis o Otobiografi Achmadi Moestahal: Tutur Pribadi Seorang Muslim Pluralis • Ketiadaan dalam Ke-ada-an • Membuka Ruang Untuk Narasi-Diri si “Yang Lain” • Catatan Penutup Bab V Merumuskan Kembali Masa Lalu dan Rekonsiliasi • Pengantar • Abdurrahman Wahid dan Dinamika Intern NU • Syarikat: Aktivis Muda NU dan Gagasan Rekonsiliasi Mereka • Rekonsiliasi di Tingkat Akar-Rumput: Kasus Blitar, Jawa Timur • Catatan Penutup Bab VI Refleksi Teoretis • Tinjauan dan Persoalan • Menghadapi Masa Lalu dalam Masyarakat Transisi: Tiga Kasus • Rekonstruksi Identitas dan Kemungkinan untuk Rekonsiliasi • Catatan Penutup Bibliografi Indeks Tentang Penulis Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca- Soeharto oleh Budiawan (Diterjemahkan dari disertasi doktoral di National University of Singapore dengan judul yang dipertahankan pada Juni 2003 dengan judul: “Breaking the Immortalized Past: Anti- Communist Discourse and Reconciliatory Politics in Post-Suharto Indonesia”) Penerjemah (Bab I – IV: Tim Penerjemah Elsam; Bab V-VI: Hersri Setiawan; Catatan Kaki: Eddie Riyadi Terre) Editor I/Penyelaras Terjemahan Hersri Setiawan Editor II/Penyelaras Akhir Eddie Riyadi Terre Desain Sampul: Layout: Cetakan Pertama, Juni 2004 Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbit ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519 E-mail: [email protected], [email protected]; Web-site: www.elsam.or.id Daftar Singkatan dan Akronim BAKIN = Badan Koordinasi Intelijen Nasional Bakorstanas = Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Banser = Barisan Serbaguna BKR = Badan Keamanan Rakyat BTI = Barisan Tani Indonesia CIA = Central Ingelligence Agency CIDES = Centre for Information and Development Studies CSI = Centraal Sarekat Islam DDII = Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia DI/TII = Darul Islam/Tentara Islam Indonesia ET = Eks-Tapol FDR = Front Demokrasi Rakyat FPN = Front Persatuan Nasional FSAS = Forum Studi Agama dan Sosial FUII = Front Umat Islam Indonesia G30S/PKI = Gerakan Tiga Puluh September/Partai Komunis Indonesia Gerwani = Gerakan Wanita Indonesia Gestapu/PKI = Gerakan Tiga Puluh September Gestok = Gerakan Satu Oktober IAIN Suka = Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta ICMI = Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia IJB = Inlandsche Journalisten Bond KISDI = Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam KNIL = Koninklijk Nederlands Indisch Leger Komas = Komunis, Nasionalis, dan Marhaenisme KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lakpesdam = Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Lekra = Lembaga Kebudayaan Rakyat Litsus = Penelitian Khusus LKTS = Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat LVRI = Legiun Veteran Republik Indonesia Mahmilub = Mahkamah Militer Luar Biasa Manikebu = Manifes Kebudayaan Masyumi = Majelis Syuro Muslimin Indonesia MK = Mahkamah Konstitusi MPRS = Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nasakom = Nasionalisme, Agama, dan Komunisme NGO = Non-Government Organization NU = Nahdlatul Ulama Ornop = Organisasi Non-Pemerintah PBB = Partai Bulan Bintang PDI-P = Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan Pesindo = Pemuda Sosialis Indonesia PKB = Partai Kebangkitan Bangsa PKI = Partai Komunis Indonesia PMP = Pendidikan Moral Pancasila PNI = Partai Nasionalis Indonesia PPKI = Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPP = Partai Persatuan Pembangunan PRRI = Perjuangan Revolusioner Rakyat Indonesia PSI = Partai Sosialis Indonesia SEASP, NUS = Southeast Asian Studies Programme, National University of Singapore SI = Sarekat Islam SOBSI = Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia Syarikat = Masyarakat Santri untuk Advokasi Masyarakat TKR = Tentara Keamanan Rakyat Tripika = Tiga Pimpinan Kecamatan TVRI = Televisi Republik Indonesia UUPA = Undang-Undang Pokok Agraria UUPBH = Undang-Undang Pokok Bagi Hasil YLBHI = Yayasan Lembaga Bantuan Hukum YPKP 65-66 = Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 Pengantar Penerbit Apakah sebaiknya masa lalu dilupakan atau diingat? Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa keduanya penting. Kita perlu mengingat masa lalu agar bisa bertahan hidup dan bahkan bisa merancang masa depan dengan lebih baik. Ini adalah sikap historis (geschichtlicht). Kita juga perlu memiliki kemampuan melupakan masa lalu agar luka-luka batin tersembuhkan. Terkadang memori itu mendukakan ketimbang mensukakan. Ini adalah sikap a-historis (ungeschichtlicht). Dalam konteks masyarakat pasca-otoritarian abad 20 yang lewat, sikap pertama barangkali terwakili oleh Afrika Selatan. Sementara, sikap kedua sedikitinya terwakili oleh Mozambik. Namun, yang jauh lebih penting, demikian kata Nietzsche, adalah bersikap suprahistoris (übergeschichtlicht). Dalam sikap sejarah yang demikian, begitu keyakinan Nietzsche, ada makna-makna yang melampaui perubahan sejarah. Pencecapan terhadap makna-makna yang melampaui sejarah itulah yang melahirkan mental Dionysian, mental yang berani mengatakan Ja-Sagen, berkata-ya, terhadap kehidupan. Mengatakan “ya” terhadap kehidupan berarti berani menggugat “diri”. Menggugat diri adalah awal sebuah rekonsiliasi. Tetapi, mengapa rekonsiliasi? Pertanyaan ini kiranya, sebagaimana keyakinan penulis buku ini, tidaklah memadai jika ditafsirkan sebagai pertanyaan politik dan legal semata. Mendekati pertanyaan tersebut dengan perspektif politik dan hukum semata akan berujung pada bahaya reduksi dan simplifikasi persoalan yang dengan sendirinya tidak bisa lari jauh dari wacana dominan. Padahal wacana yang demikian itulah yang justru hendak “dibongkar”. Pembongkaran terhadap wacana dominan tidak berarti menciptakan “wacana tandingan”. Mengapa? Karena penciptaan wacana tandingan berarti mengupayakan sebuah representasi masa lalu sebagaimana dicecapi (conceivable) dan diklaim, bukan sebagaimana adanya. Nah, justru persis itu jugalah yang dilakukan oleh wacana dominan yang ditandingi itu. Dalam situasi seperti ini, tidak mungkin tercipta apa yang namanya rekonsiliasi itu. Kalau begitu, apa yang menjadi syarat-syarat kemungkinan (conditions of possibilities) dari rekonsiliasi itu? Upaya yang ditawarkan oleh penulis buku ini adalah pembongkaran wacana yang telah berkanjang selama ini – dalam hal ini adalah, sesuai dengan fokus penelitian penulis buku ini pada tragedi terbesar sepanjang sejarah Indonesia pasca-kolonial, yaitu peristiwa pembantaian massal 1965-66 plus “api dalam sekam”-nya pada tahun-tahun sebelumnya serta “bunga api berpercikan” pada tahun-tahun sesudahnya – yaitu wacana anti-komunisme. Kiranya jelas dengan sendirinya mengapa penulis memilih masalah ini sebagai lokus pentahtaan upaya rekonsiliasi (nasional)-nya. Pembongkaran itu dilakukan dengan “menelusuri kembali proses pembuatan narasi masa lalu itu”. Untuk itu penulis buku ini “berpaling pada bahasa”. Namun dengan berpaling pada bahasa yang dimaksudkan di sini, penulis tidak bermaksud memeriksa muatan narasi masa lalu itu melainkan justru memeriksa struktur bahasanya di mana muatan narasi itu dihadirkan. Jadi, dengan pendekatan seperti itu, dalam sepanjang uraiannya – kembali ke soal syarat-syarat kemungkinan di atas tadi – penulis buku ini tampaknya lebih yakin pada upaya sosial kultural, jadi lebih menekankan inisiatif orisinal akar rumput, ketimbang pada upaya politik semata yang berarti adanya dominasi negara dalam menciptakan rekonsiliasi. Hal ini semakin artikulatif dalam uraian bab terakhir buku ini, setelah kita para pembaca diajak bertualang dengan bab-bab sebelumnya. Dalam hal inilah sumbangan buku ini tampak jelas dan khas, baik dalam tataran praksis kebermasyarakatan dan keberbangsaan maupun pada tataran teoretik-akademik. Pada tataran praksis ia memberi alternatif bukan lagi pada kesibukan mengurai konflik dengan mencari dasar-dasarnya atau rangkaian sebab-akibatnya, melainkan pada bagaimana masyarakat menafsirkan, membayangkan, menciptakan, mengontrol, mengatur, dan memperlakukan pengetahuan tentang masa lalu. Sementara, pada tataran teoretik-akademik, “penelusuran historis dapat dikatakan sebagai penggalian ke dalam episteme (pengetahuan) tentang masa lalu, untuk membedakan bagaimana kejadian pada masa itu dijelaskan oleh orang-orang kepada diri mereka sendiri melalui struktur narasi yang dominan dan terpinggirkan”. Dipandang dari perspektif Heideggerian, buku ini bukan hanya mengungkap sejarah sebagai masa lalu (Historie) per se, melainkan sejarah sebagai sesuatu yang hidup (Geschichte). Karena itu, agar kita tidak terpontal-pontal berlarian mengejar makna yang berlari bersama waktu yang telah mrucut dari ruangnya, kita perlu melakukan, mengikuti Derrida, “penundaan” (différance). Penundaan adalah saat-saat kita “menggembalakan” waktu, menggembalakan ada, menggembalakan makna. Penundaan adalah saat-saat teduh untuk “menanti secara aktif”, saat-saat hening untuk saling menjumpai sesama sebagai “sang diri” apa adanya (the self as suchness), saat-saat berharga untuk menenun rekonsiliasi. Buku ini hadir mengajak kita untuk melakukan “penundaan”, untuk berhenti sejenak merenung lalu kemudian bangkit menjumpai dan menjabat tangan sesama sebagai sesama warga bangsa dan negara, berjalan bersama menuju apa yang dicitakan bersama, atau paling tidak selalu diupayakan sebagai cita bersama. Penundaan tidak berarti “menunda-nunda” dalam pengertian tempus yang linear, melainkan merenangi lautan waktu sekaligus menyadari waktu; menjadi ikan yang berkesadaran, ikan yang berenang dalam air sekaligus menyadari air. Membaca buku ini membuat kita menahan nafas sejenak untuk menyadari nafas. Itulah saat-saat makna berbicara. Saat-saat komunikasi. Saat-saat kebenaran. Saat-saat rekonsiliasi. Karena itu, buku ini, dengan sajian yang cerdas, lugas dan sebisa mungkin di- Indonesia-kan secara lincah mengikuti gaya penulisan aslinya yang lincah, bisa dibaca oleh berbagai kalangan. Namun, tetap saja ada bagian-bagian yang perlu keseriusan berpikir untuk mencecap maknanya, ciri khas karya akademik tentu saja. Selamat membaca. Lectori salutem. (ERT-Elsam) Prakata Penulis BUKU ini merupakan terjemahan dari tesis doktoral saya di Southeast Asian Studies Programme, National University of Singapore (SEASP, NUS). Semenjak tesis itu selesai ditulis pada akhir Januari 2003 (dan kemudian dipertahankan pada akhir Juni 2003), sejumlah hal yang berkaitan dengan wacana anti-komunis dan isu rekonsiliasi dengan para survivors tragedi 1965-66 telah terjadi. Selain itu, sejumlah buku tentang tragedi 1965 dan berbagai macam dampaknya, baik yang ditulis oleh para eks-tapol maupun non eks-tapol, telah bermunculan. Kedua hal tersebut belum sempat saya singgung di dalam buku ini. Selain alasan waktu, sependek yang dapat saya amati sejauh ini belum terjadi perubahan yang benar- benar mendasar dan menyeluruh terhadap wacana anti-komunis dan isu rekonsiliasi. Artinya, kebiasaan mem-“PKI”-kan orang lain atau sesuatu yang tidak menyenangkan, serta keraguan untuk menerima para eks-tapol (dan keturunannya) sebagai warga masyarakat dan warga negara secara penuh, masih terjadi di sana-sini. Meskipun demikian, di masyarakat semakin bermunculan prakarsa untuk mematahkan pewarisan ingatan sosial dan sekaligus mendorong rekonsiliasi sosial. Ini berarti apa yang dibahas di dalam buku ini merupakan sejarah yang masih berlangsung (current history). Buku ini ditulis dengan berangkat dari kegelisahan atas pengawetan wacana anti- komunis, sekaligus bertolak dari pengharapan atas munculnya berbagai prakarsa untuk mematahkannya. Meskipun demikian, buku ini bukan sekadar upaya untuk mendokumentasikan kedua hal itu. Lebih jauh, buku ini berusaha memahami kedua hal tersebut, tak lain untuk menunjukkan bahwa apa yang semula kelihatan tidak mungkin kini menjadi mungkin, sekalipun di sana-sini masih banyak rintangan. Dengan maksud semacam itu, buku ini ingin turut ambil bagian dalam mendorong sesuatu yang mungkin, yakni menempatkan masa lalu pada tempatnya dan rekonsiliasi antar-berbagai kelompok (berikut keturunannya) yang pernah berseteru dan saling menaruh curiga dalam tragedi 1965. Tesis yang kemudian diterjemahkan menjadi buku ini tidak akan pernah terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya. Terima kasih yang pertama saya tujukan kepada National University of Singapore, yang telah memberi beasiswa untuk menempuh studi doktoral dari pertengahan 1999 hingga awal 2003. Selanjutnya ucapan terima kasih saya tujukan kepada Ariel Heryanto, pembimbing saya dalam semester pertama perancangan tesis ini; dan terima kasih juga kepada Goh Beng Lan, yang melanjutkan tugas Ariel sebagai thesis supervisor saya. Tanpa bimbingan mereka, apa yang saya kerjakan barangkali tidak akan berwujud sebuah karya tulis yang layak disebut thesis. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada beberapa kawan Indonesia di kampus NUS seperti Ajar Budi Kuncoro, Mahendra K. Datu, Sukardi Rinakit (Cak Su), Didi Kwartanada (Koh Tan), dan Djoko Istiadji. Berbagai saran dan bantuan teknis mereka turut membantu penyelesaian tesis yang kemudian diterjemahkan menjadi buku ini. Ungkapan terima kasih juga saya tujukan kepada beberapa kawan di Yogyakarta yang turut membantu mencairkan kebekuan dalam penelitian lapangan saya. Mereka adalah Femi Adiningsih dan para aktivis Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) seperti M. Imam Azis, Syaiful Huda Shodiq, Iip Dzulkifli Yahya, dan Setiadi Rumekso. Saya juga berterima kasih kepada para aktivis Lakpesdam NU Blitar, yakni Bahruddin dan Munif. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Pak Umar Said, seorang eksil Indonesia yang tinggal di Prancis, yang dalam kontak-kontak melalui email turut mendorong saya dalam penulisan buku ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Asvi Warman Adam dan Mary S. Zurbuchen, berturut-turut sebagai pengundang dan pemberi sponsor atas keikutsertaan saya dalam lokakarya tentang “Sejarah dan Memori” yang diselenggarakan di Ubud, Bali, akhir Agustus 2002. Diskusi dan perdebatan yang berlangsung dalam lokakarya itu turut mengilhami penulisan bab terakhir buku ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Pak Hersri Setiawan, yang telah menerjemahkan dan memberi kata pengantar buku ini. Terima kasih yang tak terkira saya sampaikan kepada Elsam, yang bersedia menerbitkan buku ini. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Eddie Riyadi Terre, yang telah mengerjakan berbagai pekerjaan teknis penyuntingan naskah buku ini. Last but not least terima kasih kepada isteri saya, Ike Janita Dewi, dan putri kami, Karlina Nusawanindya. Tanpa dorongan moril mereka, mungkin karya tulis ini tidak akan pernah selesai. Meskipun berbagai pihak telah membantu proses munculnya buku ini, isi buku ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab saya. Terima kasih. Yogyakarta, Mei 2004 Budiawan

Description:
Study of public contestation upon ex-members of the Indonesian Communist Party in post-President Soeharto reign.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.