Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA PERSPEKTIF KONTEKTUAL Jejen Kurnia Azri Program Magister Religious Studies pascasarjana UIN Sunan gunung Djati Bandung Jl.A.H Nasution 105 Cibiru, Bandung 40614.Indonesia E-mail: [email protected] _________________________ Abstract This study tries to analyze Islamic Liberal thought in Indonesia context. Islamic Liberal in this study analyzed of its genealogy, a frame of reference and contextuality of issue on Indonesia, by using two approaches were complementary. The first, by using positivistic approach to objective explanation an Islamic Liberal thought. The second, by using verstehen approach to interpret the meaning of Islamic Liberal thought on its context. It‟s found that in Islamic Liberal thought there are many problems that can make social destruction, because it goes beyond text, seeking that which is represented or revealed by language, then it‟s miss social meaning which based on the text. Islamic Liberal thought didn‟ really destructive in it‟s thought, but in its implementation which is not true to context. In the middle east context, Islamic Liberal thought struggles to liberate the spirit of Islam from corrupt power isolation. But isn‟t like that on Indonesia, because the political majority in Indonesia isn‟t majority religious. Keywords Freedom of Thought, Idea of Progres, Rights of Minority __________________________ Abstrak Penelitian ini mencoba menganalisis pemikiran Islam liberal di Indonesia. Liberal Islam dalam penelitian ini menganalisis silsilahnya, kerangka acuan dan kontekstualitas isu di Indonesia, dengan menggunakan dua pendekatan yang saling melengkapi. Yang pertama, dengan menggunakan pendekatan positivistik untuk penjelasan obyektif pemikiran Liberal Islam. Yang kedua, dengan menggunakan pendekatan verstehen untuk menafsirkan makna pemikiran Liberal Islam dalam konteksnya. Ditemukan bahwa dalam pemikiran Liberal Islam ada banyak masalah yang dapat membuat kerusakan sosial, karena melampaui teks, mencari apa yang diwakili atau diungkapkan oleh bahasa, maka itu adalah kehilangan makna sosial yang didasarkan pada teks. Pemikiran Liberal Islam tidak benar- benar merusak pemikirannya, namun dalam implementasinya yang tidak sesuai dengan konteksnya. Dalam konteks Timur Tengah, pemikiran Liberal Islam berjuang untuk membebaskan semangat Islam dari isolasi kekuasaan yang korup. Tapi tidak seperti itu di Indonesia, karena mayoritas politik di Indonesia bukan mayoritas beragama. Kata kunci Kebebasan Berpikir, Ide Progres, Hak Minoritas __________________________ dalam” IAIN yang telah berjasa menyemaikan benih pemikiran Islam Liberal di Indonesia A. PENDAHULUAN sejak dekade 1970-an. Saat itu istilah Islam Sejak awal, gagasan Islam Liberal di Liberal belum sepopuler sekarang, namun Indonesia berasal dari intelektual yang berlatar substansi dan metodologi pemikiran mereka belakang pendidikan IAIN (sekarang UIN). jelas liberal. Selanjutnya, barulah para pemain Sebut saja Cak-Nur (Nurcholish Madjid), non-IAIN, baik atas nama pribadi maupun dari Harun Nasution, Mukti Ali, Munawir Sadjali Ormas dan LSM ikut meramaikan gagasan dan Djohan Effendi.1 Mereka adalah “orang Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru 1 Kecenderungan Pemikiran Islam para tokoh ini (1995); Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandi pada Liberalisme terbaca sangat jelas dalam karya- Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan karya seperti, Fachry Ali & Bachtiar Effendi, Aksi Politik (1998); dan, Greg Barton, Gagasan Islam Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Islam Indonesia Masa Orde Baru (1986); M.Syafi‟i Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Abdurrahman Wahid (1999) Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual Islam Liberal di Indonesia; ada Gus-Dur B. HASIL DAN PEMBAHASAN (Abdurrahman Wahid), Kuntowijoyo, Dawam 1. Asal Usul Istilah Islam Liberal Rahardjo, Ulil Abshar Abdalla dan lain-lain.2 Apa itu Islam Liberal? Pertanyaan ini harus Sehingga, suka atau tidak, sebagian orang UIN kita kupas tuntas dari mata-airnya. Adalah dicitrakan oleh masyarakat sebagai agen Islam Leonard Binder dan Fazlur Rahman. Ke- Liberal di Indonesia. duanya adalah Guru Besar pada Universitas Maka, bagi orang UIN ketika membincang Chicago; Binder adalah profesor pada Fakultas Islam Liberal, lebih arif jika mendekatinya Ilmu Politik, adapun Rahman adalah profesor dari dua posisi dan dua pendekatan. Pertama, dalam bidang Filsafat dan Pemikiran Islam. pada satu sisi posisi orang UIN adalah Mereka sepakat melakukan sebuah proyek ilmuwan yang harus objektif dalam menga- penelitian yang berpusat di Universitas Chi- mati subjek Islam Liberal. Karena itu pende- cago dan diberi judul: “Islam dan Perubahan katannya harus ilmiah-positivistik; Kedua, Sosial”. Proyek penelitian tersebut berlang- posisi orang UIN di mata masyarakat tidak sung 5 tahun (1974-1978) dengan mendapat mudah dilepaskan dari citra sebagai “orang- dukungan dana yang tidak kecil dari Ford dalam” yang membidani Islam Liberal. Karena Foundation.3 Hasilnya, proyek penelitian ini itu pendekatan yang kedua ini niscaya harus menemukan dan mengembangkan wacana verstehen (introspeksi dan mawas diri). Kalau baru yang muncul di Dunia Islam kontem- kita mau pakai dua pendekatan ini, yakni porer, yakni Islam Liberal. Temuan tersebut pendekatan ilmiah-positivistik dan verstehen selanjutnya dipublikasikan luas melalui se- secara komplementer, mudah-mudahan kita buah buku yang ditulis sendiri oleh Binder dan bisa mengamati Islam Liberal secara lebih diterbitkan oleh Universitas Chicago Press murni dan konsekuen. pada tahun 1988 dengan judul “Islamic Liberalism”. Dari tulisan Binder inilah, Tapi, jika kita kesulitan untuk pakai dua pemikiran “Islam Liberal” selanjutnya pendekatan itu sekaligus, maka pilihlah salah satu pendekatan yang “berlawanan” dengan menjadi wacana yang mendunia. Binder mengungkapkan, ciri pokok dari kecenderungan “selera” kita. Mengapa begitu? Islam Liberal adalah upaya untuk menangkap Karena setiap manusia pasti memiliki “sisi- esensi terdalam dari wahyu; artinya, makna gelap” (kecenderungan buruk) yang secara wahyu ada di luar lahiriah dari kata-kata yang laten tersimpan dalam dirinya. Maka, butuh tertulis pada kitab suci. Islam Liberal, bagi “nyali besar” untuk berani rendah hati Binder, bersedia meninggalkan makna lahir menerima kritik dari luar perspektif kita, demi dari teks untuk menemukan makna terdalam meminimalisir aktualitas “sisi gelap” kita dari konteks historis pada ruang dan waktu masing-masing. Jadi, bagi orang UIN yang ketika wahyu itu turun. Lebih jelasnya, Binder “cinta-mati” Islam Liberal, dalam mengamati menuliskan sebagai berikut: Islam Liberal pilihlah pendekatan ilmiah- For Islamic Liberals, the language of the positivistik. Dan bagi orang UIN yang “cinta- Qur‟an is coordinate with the essence of mati Islam Fundamental”, pilihlah pendekatan revelation, but the content and the meaning verstehen saat mengamati Islam Liberal. of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur‟an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an 2 Khusus untuk Ulil Abshar Abdalla, gagasan Islam effort at understanding which is based on Liberalnya meledak menjadi polemik yang the words, but which goes beyond them, kontroversial sejak artikelnya dimuat di Harian Kompas, Senin 18 November 2002 dengan judul: Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam; Lihat juga, 3 Periksa Pengantar yang ditulis oleh Leonard Binder Luthfi Assyaukanie (ed.), Wajah Liberal Islam Indonesia (2002); Ulil Abshar Abdalla, Menjadi Muslim dalam bukunya sendiri, Binder, Leonard (a), Islamic Liberal (2005); dan Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Liberalism, (Universitas of Chicago Press, 1988), Terj. Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Imam Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Tersiar (2007). hal: v-vi 5 2 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual seeking that which is represented or posisi untuk menempatkan Islam sebagai nilai revealed by language.4 maupun etika yang berlandaskan atas keadilan, Kata Binder, “Bagi Islam Liberal, bahasa kesetaraan, demokrasi dan penghargaan terha- al-Qur‟an sejajar dengan esensi pewahyuan, dap kemanusiaan sebagai suatu landasan tetapi kandungan dan makna pewahyuan pada kultural dalam kehidupan bermasyarakat mau- dasarnya tidak bersifat verbal (terbatas pada pun berpolitik.7 teks). Karena kata-kata (teks) dalam al-Qur‟an Jadi, dari kajian Binder, Rahman dan Bar- tidak mengungkapkan langsung makna ton itu, setidaknya kita bisa sepakat untuk satu pewahyuan, maka diperlukan adanya upaya definisi yang akan kita gunakan di sini. pemahaman yang berdasar pada teks, tetapi bergerak keluar teks (menuju konteks), untuk 2. Genealogi Islam Liberal di Indonesia mengkaji lebih dalam apa yang sesungguhnya Setiap gerakan pemikiran keagamaan kon- hadir dan diwahyukan melalui bahasa”. Inilah temporer lazimnya selalu muncul sebagai watak metodologis dari Islam Liberal. Lalu respon terhadap arus modernisasi yang apa sesungguhnya yang dicari oleh Islam berdampak liberasi dalam segala aspek Liberal dengan meninggalkan makna lahiriah kehidupan, meskipun respon itu bisa beragam teks al-Qur‟an (juga Hadits) menuju makna cara, berupa penerimaan, penolakan ataupun konteksnya itu? Fazlur Rahman menyebutnya negosiasi dan kompromi. Demikian halnya sebagai, “the embodiment of the fundamental dengan gerakan pemikiran Islam. Charles human values of freedom and responsibility” Kurzman menuliskan,8 sejak dua abad lalu (untuk suatu perwujudan cita-cita kemanu- telah ada 3 tradisi interpretasi sosio-religius siaan fundamental mengenai kebebasan dan yang berkembang di seluruh wilayah Islam t anggung jawab).5 secara berturut-turut, yakni Islam Adat, Islam Dalam konteks Indonesia, oleh Greg Revivalis dan Islam Liberal. Kritisi atas Islam Barton, watak Islam Liberal itu dinisbatkan Adat melahirkan Islam Revivalis; kritisi atas pada wacana Neo-Modernisme Islam-nya Faz- Islam Revivalis dan Islam Adat melahirkan lur Rahman, yang ditemui pada pemikiran Islam Liberal. Sementara Fazlur Rahman empat tokoh: Cak-Nur, Gus-Dur, Djohan mengungkapkan,9 sejarah gerakan pembaruan Effendi dan Ahmad Wahib. Menurut Barton, Islam dibangun atas empat fase penting: wacana Neo-Modernisme Islam yang ditam- Revivalisme, Modernisme, Neo-Revivalisme pilkan oleh keempat tokoh itu bersifat mode- dan Neo-Modernisme. rat, liberal dan progresif, yang secara terbuka Dalam konteks Indonesia, Islam Liberal dan dialogis menempatkan diri sebagai respon dapat dibedakan atas 2 madzhab, yakni: Neo- terhadap modernitas.6 Berbeda dari wacana Modernisme dan Post-Tradisionalisme. Selan- Modernisme Islam yang masih memiliki jutnya, Neo-Modernisme itu terbagi lagi atas obsesi untuk menyatukan agama dan negara, yang Pro-Modernisasi dan yang Pro- dengan menerapkan syari‟at Islam sebagai T ransformasi.10 ideologi negara dalam bingkai nation state; Islam Liberal muncul sebagai produk wacana Neo-Modernisme Islam mendukung dialektika antara Islam, modernisme dan ide pemisahan agama dan negara. Neo- tradisi lokal. Gagasan Cak-Nur: Islam, Kemo- Modernisme Islam cendrung mengambil 4 Binder, Leonard (b), Islamic Liberalism, (Universitas of 7 Ibid., hal. 5. Chicago Press, 1988), hal. 5. 5 Rahman, Fazlur, Islam, (Chicago & London: The 8 Lihat, Kurzman, Charles, Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University Press, Inc., University of Chicago Press, 1979) hlm. 39. Cita-cita inilah yang menjadi acuan Islam Liberal, seperti 1998), Terj. Bahrul Ulum & Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. xv dituliskan dalam, Ulil Abshar Abdalla, op.cit., hal 196. 6 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: 9 Fazlur Rahman, sebagai mana dikutip dalam, Barton, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, op.cit., hal. 9. Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman 10 Periksa, Airlangga Pribadi & M. Yudhie R. Haryono, Wahid (Jakarta: Paramadina1999) hlm. 9 Post Islam Liberal, (2002) hal. 210-247 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 53 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual dernan dan Ke-Indonesiaan, jelas sekali meng- Pribumisasi Islam-nya (Islam Kultural).15 Tapi konstruksikan tentang itu. setelah Abdurrahman Wahid sempat menjadi Gagasan Islam Liberal di Indonesia presiden RI, citranya sebagai tokoh Islam berkembang dalam dua madzhab: Kultural jadi kurang signifikan. Sehingga Neo-Modernisme Islam Neo-Modernisme selanjutnya tugas itu diwariskan pada generasi muda NU, khususnya Ulil Abshar Abdalla Islam di Indonesia dirintis oleh Nurcholish (Jaringan Islam Liberal / JIL). Proyek utama Madjid dengan mengacu pada pemikiran Neo- Modernisme Islam Fazlur Rahman, pemikir Post-Tradisonalisme Islam16 adalah berusaha Islam asal Pakistan.11 Tujuan utama Neo- melakukan liberasi (pembebasan) pemahaman Islam di Indonesia melalui kritik di wilayah Modernisme Islam adalah menggagas agar metodologi pemikiran Islam dan pencarian umat Islam mampu menghadapi tantangan substansi Islam secara lebih mendalam. Post- peradaban modern, dengan memberikan Tradisionslisme ingin melakukan desakralisasi jawaban-jawaban otentik yang berdasarkan sumber-sumber khazanah Islam yang selama pada khazanah intelektual klasik Islam dan pemahaman yang kuat terhadap modernitas.12 ini disakralkan. Pemikiran Post-Tradisio- nalisme banyak merujuk pada pemikiran- Rahman dalam merumuskan metodologi pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid (Mesir), ijtihad-nya banyak mengutip Abu-Yusuf, Muhammed Arkoun (Al-Jazair), Muhammed seorang qadhi pada masa khalifah al-Mahdi, Abed Al-Jabiri (Maroko), Hasan Hanafi al-Hadi dan al-Rasyid dalam Daulah (Mesir), Abdullah Ahmed An-Na‟im (Sudan), Abbasiyah. Abu Yusuf sendiri adalah murid dari Abu Hanifah, Imam madzhab Hanafi.13 dan Fatimah Mernissi (Maroko).17 Madzhab Hanafi dikenal sebagai aliran fiqh S elisih Batas Pemikiran: yang paling liberal dalam kalangan Sunni, jika Baik Neo-Modernisme maupun Post-Tradisio- dibandingkan dengan madzhab Zhahiri, Han- nalisme memang mengusung agenda yang bali, Maliki dan Syafi‟i.14 relatif sama dalam hal liberasi sosial, politik, Post-Tradisionalisme Islam Post-Tradisio- ekonomi dan budaya. Bedanya adalah: nalisme Islam di Indonesia awalnya dirintis Post-Tradisionslisme ingin melakukan desak- oleh Abdurrahman Wahid dengan gagasan ralisasi sumber-sumber khazanah Islam yang selama ini disakralkan, dan ini belum sempat d ilakukan oleh Neo-Modernisme. 11 Keniscayaan fakta ini dapat dibaca dari banyak Selanjutnya, Neo-Modernisme Islam di karya-karya intelektual muslim Indonesia maupun Indonesia berkembang menjadi dua varian: Barat: Fachry Ali & Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Pro-Modernisasi (developmantalisme) dan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Pro-Transformasi: Masa Orde Baru (1986); M.Syafi‟i Anwar, Pemikiran a. Tema yang diangkat oleh Neo- dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (1995); Dedy Modernisme Pro-Modernisasi adalah Djamaluddin Malik & Idi Subandi Ibrahim, Zaman Sekulerisasi Politik (Cak-Nur); Reak- Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik tualisasi Ajaran Islam (Munawir Sadja- (1998); dan, Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di li); dan Islam Rasional (Harun Nasu- Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish tion).18 Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan b. Adapun tema yang diangkat oleh Neo- Abdurrahman Wahid (1999) 12 Ibid., Modernisme Pro-Transformasi adalah 13 Jalaluddin Rakhmat, “Tinjauan Kritis atas Sejarah Strategi Demokratisasi melalui Ranah Fiqh: Dari Fiqh Al-Khulafa‟ Al-Rasyidin hingga Madzhab Liberalisme”, dalam Budhy Munawar 15 Hal ini diungkapkan oleh Zuhairi Misrawi, Rachman (ad.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam intelektual muda NU yang juga giat menyebarkan Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995, hal. 295-296. gagasan Post-Tradisionalisme, seperti dikutip oleh, 14 Ali Yafie melukiskan 5 lapis lingkaran yang Airlangga Pribadi (et.al.), op.cit., hal. 242. masing-masing diisi secara berurutan dari lingkaran 16 Ibid., hal. 240-241. terdalam sampai kepada yang terluar oleh 5 madzhab 17 Ibid., hal. 241-242. fiqh, yakni: madzhab Zhahiri, Hanbali, Maliki, Syafi‟i dan Hanafi. Lihat, ibid., hal. 294. 18 Ibid., hal. 215 5 4 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual Sosio-Kultural (Gus-Dur); Gagasan VARIASI Ilmu Sosial Profetik (Kuntowijoyo); ISU/AGENDA ISLAM ARGUMENTASI YANG LIBERAL DIAJUKAN MUSLIM Teologi Sosial Transformatif (Dawam LIBERAL Rahardjo).19 1) Prinsip “silent syari‟ah”, 2) Prinsip “politic is dirty”, 3. Isu Pokok Islam Liberal Againts Theocracy 3) Prinsip “distorsi isu”, Charles Kurzman mengungkapka,20 Islam dan 4) Prinsip “syari‟ah is path”. Liberal adalah sebuah varian tradisi Islam 1) Prinsip “liberal yang melakukan perlawanan (oposisi) syari‟ah”, 2) Prinsip terhadap teokrasi, dukungan atas demokrasi, “silent- syari‟ah for pembelaan hak-hak wanita, pembelaan hak- Pluralism”, hak minoritas, pembelaan terhadap kebebasan Pro-Democracy 3) Prinsip “silent syari‟ah berfikir dan ide tentang kemajuan (idea of for Pragmatism”, dan progress). Jadi, apa yang disebutkan Kurzman 4) Prinsip “interpreted itu dapat disebut sebagai 6 isu (agenda) pokok syari‟ah”. Islam Liberal. 1) Prinsip “liberal- syari‟ah”, Keenam isu/agenda Islam Liberal itu di- Rights of Women 2) Prinsip “silent syari‟ah”, usung oleh kalangan muslim liberal di ber- 3) Prinsip “interpreted bagai Negara dengan argumentasi yang bera- syari‟ah”. gam. Secara umum, Kurzman mengklasifikan 1) Prinsip “liberal- syari‟ah”, jenis argumentasi yang diajukan kalangan 2) Prinsip “silent syari‟ah”, muslim liberal di berbagai Negara itu menjadi Rights of Minority dan 3 varian: 3) Prinsip “interpreted syari‟ah”. 1. kelompok yang mengajukan Prinsip 1) Prinsip “liberal- “Liberal Syari‟ah”: Syari‟ah bersifat syari‟ah”, liberal pada dirinya sendiri jika dipahami 2) Prinsip “silent syari‟ah”, Freedom of Though dan secara tepat. 3) Prinsip “i nter pret ed 2. kelompok yang mengajukan Prinsip syari‟ah”. “Silent Syari‟ah”: Syari‟ah tidak memberi 1) Prinsip “liberal- Idea of Progress syari‟ah”, jawaban jelas pada sebagian topik/masalah tertentu, sehingga manusia sendirilah yang menentukan aturan main dalam masalah- masalah tertentu. 4. Rangka Fikir dan Metodologi Islam 3. kelompok yang mengajukan Prinsip Liberal “Interpreted-Syari‟ah”: Syari‟ah harus Bagian ini akan memaparkan secara singkat ditengahi oleh penafsiran manusia untuk bagaimana rangka fakir seorang Muslim bisa diimplementasikan dalam kehidupan Liberal dalam memahami Islam. Dalam hal ini manusia.21 Ulil Abshar Abdalla menjadi sampelnya.22 Dengan 3 argumentasi itu kalangan muslim a. Titik Tolak: Islam adalah Agama yang liberal mengkonstruk pemikirannya. Maka 6 Benar agenda Islam Liberal di atas masing-masing Siapapun membutuh waktu beberapa saat dibangun oleh 3 atau lebih argumentasi: hingga akhirnya bisa menerima Islam itu secara sukarela (secara intelektual), bukan secara terpaksa; Islam adalah buku terbuka, setiap orang yang membacanya akan mungkin memahami 19 Ibid. dengan berbagai cara dan akan sampai pada 20 Periksa, Kurzman, Charles, Liberal Islam: A Sourcebook, New York, Oxford University Press, Inc., 1998, Terj. Bahrul Ulum & Heri Junaidi, Jakarta, Paramadina, 2003, hal. xliii-lx 21 Ibid., hal. xxxii - xlii 22 Silahkan periksa, Ulil Abshar Abdalla, op.cit., hal. 163-225 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 55 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual sejumlah pengertian yang berbeda, kadang Karena al-Quran bersifat historis dan untuk saling bertubrukan; sebagian tunduk pada determinasi historis, Kebebasan adalah dasar dan titik tolak maka Islam pun memandang dirinya sebagai agama, termasuk kebebasan dalam cara agama yang terus tumbuh, berubah dan memahami Islam;23 atas landasan itulah dinamis (evolusi). Evolusi pemahaman Islam muslim liberal memberikan tafsiran “lain” itu berlangsung terus menerus dengan dua mengenai Islam. determinasi, yaitu determinasi realitas b. Kesempurnaan Islam dan Isolasionisme (kenyataan sejarah) dan cita-cita (maqashid Teologi al-syari‟ah).24 Menganggap kesempurnaan Islam sebagai e. Kenyataan Tanpa Batas, sementara agama yang mengatasi agama lain, me-naskh Teks Terbatas (membatalkan) agama-agama sebelumnya, dan Untuk menjembatani teks al-Qur‟an yang memisahkan kebenaran Islam dengan terbatas dengan kenyataan historis yang terus kebenaran lainnya, sebenarnya adalah gejala bergulir, diperlukan strategi penafsiran terten- isolasionisme teologis yang dilancarkan oleh tu. Strategi penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd tokoh-tokoh agama. dipandang bisa menjembatani teks yang terba- c. Norma Universalitas Islam dan tas dan kenyataan yang tak terbatas itu. Abu Hegemoni Barat Zayd membuat skema segitiga berikut tentang Norma universalitas Islam seharusnya proses pewahyuan:25 tidak perlu mengalami transformasi radikal ALLAH menjadi sistem yang dipandang lengkap tetapi juga tertutup ketika harus menghadapi hege- Tanzil Kalam wahyu moni “raksasa” Barat. d. Gradualisme dan Historisitas Wahyu Malaikat Rasul serta Evolusi Islam Skema segitiga itu memperlihatkan bahwa Makna dari diturunkannya wahyu secara proses pewahyuan bukan hanya bersifat searah gradual (tanjim), selain berdampak penguatan dari Allah via malaikat menuju kepada Rasul, psikologis bagi nabi dan sesuai pula dengan tetapi melibatkan ketiga pihak sekaligus. Allah tradisi oral (bukan tradisi tulis) masyarakat memang sumber wahyu, tetapi tidak Arab saat itu, adalah dimaksudkan sebagai “independen”, karena melibatkan agen historis respon atas peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berada di luar-Nya. Allah adalah aksis pada masyarakat Arab saat itu. dari cita-cita; Rasul adalah aksis dari kenya- Sebagai respon, jelas sekali bahwa wahyu taan sejarah; dan malaikat adalah agensi yang terkait dengan determinasi sosio-historis; mak- mengantarai dua aksis itu. sudnya, ia dikondisikan, ditentukan, dibentuk, Abu Zayd dengan skema itu ingin menun- dicetak, dipengaruhi oleh kondisi sosio-hisoris jukkan jadaliyyat al-„alaqah bain al-nash wa di sekitarnya. al-waqi‟ (hubungan dialektis antara kenyataan Karena terkait dengan determinasi historis, dan nash); yang dengannya evolusi kebenaran maka al-Qur‟an (meskipun tidak seluruhnya) Islam berlangsung secara dinamis dan terus menjadi bersifat historis. Munculnya ilmu berkembang. asbab al-nuzul menjadi konfirmasi akan gejala Untuk mendukung konsep itu, digunakan tersebut. pula konsep Al-Asymawy tentang “waqtiyyat 23 Dalam hal ini Ulil membantah pendapat ulama klasik yang menyatakan bahwa ayat “laa ikraha fi ad-diin” 24 Pandangan ini disandarkan pada, Seyyed Hossein telah di-naskh (dibatalkan) oleh turunnya ayat-ayat qital Nasr, Ideas and Realities of Islam, London, Unwin (perang). Bantahan Ulil disandarkan pada tafsir Hyman, 1988 Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur‟an, with 25 Ulil mengutip gambaran ini dari, Abu Zayd, Narh English Translation and Commentary, Ohio, USA, Hamid, Mafhum al-Nash: Dirasah fi „Ulum al-Qur‟an, Ahmadiyya Anjuman Isha‟at Islam Lahore Inc., 2002, Tanpa Tempat, Al-Hay‟ah al-Mishriyyah al-„Aammah hal. 116, catatan kaki no. 256a li al-Kitab, 1993, hal. 47. 5 6 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual al-ahkam” (temporalitas hukum-hukum yang Islam dan Wahyu yang Terbuka Wahyu al- t erkandung di dalam nash).26 Qur‟an adalah samudera luas yang menjadi Perubahan ketentuan-ketentuan dan hukum muara dari sejumlah tradisi yang telah ada dalam nash itu bukan sesuatu yang menjadi sebelumnya. Undangan untuk berlayar ke tujuan pada dirinya sendiri, tetapi perubahan tengah samudera dan menyelami kedalamnnya menuju pada suatu cita-cita moral Islam, dipandang sebagai undangan untuk menyelami yakni: the embodiment of the fundamental secara empatik tradisi-tradisi (agama) itu, dan human value of freedom and responsibility tidak dipenjara oleh perbedaan-perbedaan (perwujudan nilai kemanusiaan fundamental lahiriah yang ada di “pantai” permukaannya. mengenai kebebasan dan tanggung jawab).27 h. Menuju kepada Relativisme? f. Cita-Cita Moral, Keterbatasan Historis Agama bukan semata-mata urusan fakta-fakta dan Negosiasi yang bisa diverifikasi secara empirik; tetapi soal makna dan pemaknaan. Jika fakta-fakta Keberhasilan Islam di zaman Rasulullah agama direkam dalam kitab suci, kebenaran saw. Sebagai agama yang efektif tidak bisa bukan terletak pada teks kitab suci itu, tetapi lain kecuali dengan masuk ke dalam tubuh pada pemaknaan atas teks itu. Jadi pemaknaan kebudayaan Arab, memakai kekuatan-ke- a tas agama itu lebih penting.28 kuatan dan materi sejarah yang bekerja dalam Islam Liberal pada akhirnya berkesim- masyarakat Arab saat itu, meskipun resikonya pulan, semua agama benar tapi tidak sama; Islam zaman Rasul juga diwarnai dan semua agama benar bukan dalam pengertian dipengaruhi oleh budaya Arab. eksklusif (menurut pemeluknya masing- Jadi Islam zaman Rasul adalah produk masing), tetapi juga dalam arti lebih luas, negosiasi cita-cita moral Islam dan kenyataan yakni bila pemaknaan atas agama itu tepat sejarah dan budaya Arab saat itu. Sebagai pada situasi dan kondisi tertentu. suatu negosiasi, maka Islam pada zaman Rasul Suatu agama bisa saja mengkritik agama itu dipandang bukan satu-satunya “eksemplar” lain, tetapi bukan dalam rangka verifikasi Islam yang mungkin di muka bumi ini. Itu fakta-fakta; kritik itu diarahkan pada adalah Islam diantara Islam yang lain. pemaknaan yang tidak tepat atas agama dalam situasi dan tempat tertentu. g. Nabi, Sahabat dan “Tajribah” Madinah Otoritas Muhammad sebagai nabi tidak 5. Rethingking Islam Liberal pernah bisa diduplikasi oleh penguasa- Sejak awal, Leonard Binder,29 ilmuwan penguasa sesudahnya, karena otoritas itu politik pertama yang mempopulerkan wacana bukan hanya bersifat keduniawian tetapi juga Islam Liberal lewat buku hasil penelitiannya, keakhiratan. mengungkapkan bahwa proyek penelitiannya Otoritas para sahabat nabi sebagai khalifah ini dilakukan dengan dua tujuan. Pertama, bukan menggantikan Muhammad dalam untuk mengatasi “terisolirnya” penelitian kedudukannya sebagai nabi, tetapi lapangan, maka Ford Foundation memfasi- menggantikan dalam kedudukannya sebagai litasi masing-masing peneliti dari berbagai pimpinan politik. negara (Iran, Mesir, Pakistan Maroko dan Tajribah (mencontoh pengalaman) Madi- Indonesia) untuk datang ke Universitas nah pun tidak dapat dilakukan secara total, Chicago dan turut serta dalam seminar antar karena sebagai hasil negosiasi tentu Islam bidang ilmu. Ke-dua, untuk mengantisipasi Madinah mengandung elemen-elemen yang apa yang sering mengemuka di sepanjang khas Arab. 28 Pada bagian ini Ulil mengutip dari Huston Smith: “religion is not primarily a matter of facts; it is a matter of meannings”. Lihat, Smith, Huston, The 26 Al-Asymawi, Muhammad Said, Al-Islam Al- World‟s Religion, New-York, HarperCollins Publisher, Siyasi, Kairo, Sina li al-Nasyr, 1992, hal. 206. 1991, hal. 9. 27 Rahman, Fazlur, loc.cit. 29 Binder (a), ibid., Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 57 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual jalannya “Kebangkitan Islam”, proyek ini dan teknologi, dari dulu juga mereka yang berupaya menemukan alternatif paradigma, berpikir modern dan mampu mengakses selain dari paradigma yang sudah ada, yakni teknologi tidak kalah komitmen keaga- meningkatnya perubahan sosial dapat maannya. Setidaknya di Indonesia, kita mengendurkan komitmen keagamaan Islam. saksinya. Artinya, proyek ini bermaksud mengajukan Jadi, tidak benar bahwa perubahan sosial itu paradigma: perubahan sosial tidak harus selalu bikin orang jadi sekuler. Lain hal kalau mengendurkan komitmen keagamaan Islam. yang dimaksud Binder dengan perubahan Dari tujuan pertamanya, tampak ada sosial itu adalah liberalisasi moral atau agama! suatu kebutuhan dari Binder dan Ford Foundation untuk tidak membiarkan para a. Meninjau Rangka Fikir Islam Liberal peneliti dunia Islam “terisolir” dari Chicago. Islam Liberal memandang al-Qur‟an Pertama, karena Binder adalah ilmuwan bersifat historis (sebagai respon dari situasi politik; coba tebak apa yang paling memenuhi dan kondisi sejarah saat turunnya dulu) dan fikirannya selain politik? Memang, Fazlur tunduk pada determinasi historis. Bagaimana Rahman yang pemikir Islam itu dilibatkan mungkin dapat dikatakan demikian, sedangkan sejak awal. Tapi mengapa Fazlur Rahman tidak setiap ayat di dalam al-Qur‟an memiliki “ tiba-tiba” hilang catatan asbab an-nuzul-nya. Apakah Islam ketika hasil penelitian itu dibukukan?30 Liberal akan menerima sebagian ayat yang Analisis ini rupanya ada hubungan dengan memiliki catatan asbab al-nuzul-nya saja analisis berikutnya. dengan menolak sebagian yang lain? Katakan- Kedua, Binder sendiri menuliskan, lah seluruh ayat-ayat al-Qur‟an memiliki “Dengan melibatkan diri dalam wacana asbab an-nuzul tetapi tidak seluruhnya rasional bersama mereka yang kesadarannya terekam dalam teks sejarah, seperti yang telah dibentuk oleh budaya Islam, upaya diklaim oleh muslim liberal. Bukankah klaim peningkatan prospek liberalisme politik di yang tidak bersandar pada bukti ilmiah kawasan itu dan kawasan lain yang belum merupakan “pemerkosaan” kebenaran? Inilah akrab dengan wacana ini bukanlah suatu yang kerancuan pertama yang ditemui dari metode mustahil”.31 Jadi jelaslah, Binder ingin penafsiran al-Qur‟an versi Islam Liberal. mengembangkan liberalisme politik di Dunia Cita-cita Sosial Islam yang menjadi acuan Islam dengan cara me-liberasi pemahaman determinasi dari proses evolusi pemahaman umat Islam atas agamanya melalui agama yang berkembang terus menurut Islam “pembangunan opini” dari para peneliti Dunia Liberal adalah: the embodiment of the Islam yang dikumpulkan di Chicago itu, agar fundamental human value of freedom and t idak “terisolir”, katanya. responsibility (perwujudan nilai kemanusiaan Dari tujuannya yang ke-dua, Binder ingin fundamental mengenai kebebasan dan mengembangkan opini bahwa, perubahan tanggung jawab). Masalah yang muncul sosial tidak akan mengendurkan komitmen adalah sampai garis mana ambang batas keagamaan Islam. Kalau yang dimaksud kebebasan dan tanggung jawab itu dapat Binder dengan perubahan sosial itu menjadi acuan cita-cita sosial Islam; dan siapa indikatornya adalah akses atas modernisasi yang berhak mengklaim bahwa pengeta- huannya tentang ambang batas kebebasan dan 30 Maksudnya, buku Binder, “Islamic Liberalism” tanggung jawab itu benar dan sah sebagai hasil penelitian yang dikerjakannya bersama Fazlur acuan hidup bermasyarakat? Jika hanya untuk Rahman, tidak melibatkan nama Fazlur Rahman sebagai acuan hidup seorang diri boleh saja. penulisnya? Ada apa Binder dengan Rahman? Sampai- Masalahnya, manusia hidup bermasyarakat. sampai pada Pengantar buku itu Binder harus terkesan Jika tidak ada ambang batas yang jelas berlaku “menghibur” Rahman dengan kalimat: “Kepada Fazlur Rahman juga kami sampaikan beribu terima kasih atas kolektif untuk suatu masyarakat, maka persahabatan yang tetap utuh”. Baca, ibid., hlm. vi. kebebasan seseorang akan tabrakan dengan “tetap utuh” !? kebebasan orang lain. Di sinilah kiranya 31 Ibid., hal. 2 5 8 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual kalangan Islam Liberal patut menyadari Qur‟an dan gagasan mufassir.32 Ini suatu sikap pentingnya suatu wadah berskala nasional inkonsistensi dari sikap semula yang menga- untuk merumuskan bersama cita-cita sosial takan bahwa, pemahaman agama yang benar itu Islam tersebut. Jika demikian, muslim liberal hanya ditentukan oleh dua determinasi, yakni tidak bisa tidak harus mengakui pentingnya determinasi cita-cita sosial Islam dan kenyataan sejarah saja. Tapi kemudian dimasukkan gaga- kehadiran institusi formal Islam yang memiliki san eksternal mufassir sebagai acuan deter- otoritas nasional. minasi ke-tiga, sehingga timbul kesan pemak- Bagi Islam Liberal, salah/benar dalam saan kehendak mufassir ketika memahami al- agama bukanlah soal teks kitab suci atau fakta Qur’an. empirik, tetapi soal apakah pemaknaan atas agama itu tepat dalam konteks situasi dan 6. Menakar Isu (Agenda) Islam Liberal kondisi historis saat ini. Masalahnya, apa dalam Konteks ke-Indonesiaan Kini ukuran dari tepat atau tidaknya pemaknaan Seperti kata Huston Smith yang di-amini seseorang atas agama pada situasi dan kondisi Ulil Abshar Abdalla, salah/benar dalam agama tertentu? Jawaban dari pertanyaan itu pasti bukanlah soal teks kitab suci atau fakta sulit untuk diterima sebagai pendapat bersama, empiric, tetapi soal apakah pemaknaan atas karena setiap orang punya pemaknaan yang agama itu tepat dalam konteks situasi dan berbeda atas agamanya. Sampailah Islam kondisi historis saat ini. Karena itu, siapa pun Liberal pada pluralisme yang secara individual bisa menguji akurasi kontekstualitas 6 isu tampak mewah, tetapi secara sosial bisa pokok yang diusung oleh Islam Liberal dalam destruktif. merespons tuntutan situasi dan kondisi di Hal lain yang menjadi acuan determinasi Indonesia saat ini. dari proses evolusi pemahaman agama yang 1) Againts Theocracy berkembang terus bagi Islam Liberal adalah Penulis sepakat dengan argumentasi kenyataan sejarah yang kita hadapi. Jadi pertama Islam Liberal, “silent syari‟ah” dalam pemahaman Islam yang benar bagi Islam hal teokrasi. Adalah benar bahwa al-Quran Liberal adalah hasil negosiasi antara cita-cita dan Sunnah tidak mengatur bentuk pemerin- sosial Islam dan kenyataan sejarah saat ini. tahan pada masyarakat muslim harus teokrasi. Masalahnya, siapa orang yang berhak Khusus konteks di Indonesia, setelah refor- mengklaim bahwa pengamatannya akan masi Mei 1998 perubahan iklim sosial dan kenyataan sejarah tentang situasi dan kondisi politik memang sangat cepat. Desakan peru- kekinian itu benar, sehingga dianggap sah bahan yang diteriakan oleh ekstrim kanan sebagai acuan determinasi yang akan maupun ekstrim kiri sama-sama memperoleh dinegosiasikan dengan cita-cita sosial Islam “momentum emas” untuk merubah wajah untuk menghasilkan pemahaman agama yang Indonesia. Ekses negatif sebagai sosial-cost benar? Kekeliruan membaca kenyataan situasi dari proses belajar berdemokrasi selalu saja dan kondisi sejarah kekinian akan membawa ada dalam bentuk konflik baik vertikal orang berpikir salah dan menyikapi situasi maupun horizontal. Untungnya, Pemilu 1999 secara salah. Hal ini akan terbayang jelas bisa terlaksana. ketika kita berani menakar akurasi isu/agenda Desakan reformasi telah mendesak keluarnya Islam Liberal dalam konteks ke-Indonesia-an. berbagai peraturan dan UU baru. Pada tahun Islam Liberal seperti yang dipahami Ulil 1999 telah keluar UU No. 22 /Th. 1999 Abshar Abdalla, mengakui bahwa penafsiran tentang Otonomi Daerah. UU ini membawa al-Qur‟an menurutnya mengandung kecende- angin segar bagi seluruh anak bangsa karena rungan di satu pihak bersikap “selektif” terhadap berimbas pada desentralisasi pemerintahan ayat-ayat al-Qur‟an, dan di pihak lain “tabriri” dari pusat ke daerah, yang artinya orang (melegitimasikan) terhadap gagasan eksternal yang ada pada penafsir. Baginya hal itu wajar, sebagai peleburan cakrawala antara gagasan al- 32 Ulil Abshar Abdalla, op.cit., hal. 179, catatan kaki No. 9. Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62 59 Jejen Kurnia Azri Liberalisasi Islam di Indonesia Perspektif Kontektual daerah kini punya ruang lebih bebas untuk tidak buruk mengamalkan prinsip itu. mengatur “rumah-tangganya” sendiri. Hal ini Setidaknya dibanding orang Amerika. berdampak pada perubahan banyak aspek 4) Freedom of Though kehidupan masyarakat, termasuk pada aspek Kebebasan berpikir di Indonesia sejak agama. Di Jawa Barat saja, sejak tahun 2000 bergulirnya reformasi Mei 1998 sudah bagus. telah ada 3 Kabupaten yang mengeluarkan Dari ekstrem kiri sampai ekstrem kanan bisa Perda yang mengacu Syari‟at Islam, yaitu: teriak dan bikin partai tanpa dicekal oleh Kab. Garut dengan Perda No. 6 / Th. 2000 pemerintah. Kalau ada kasus seperti yang tentang Pelanggaran Kesusilaan; Kab. dialami Partai Pembebasan Nasional bentrok Tasikmalaya dengan Perda No. 1 / Th. 2000 dengan FPI, sekali lagi, itulah social-cost dari tentang Pemberantasan Pelacuran; dan Kab. proses belajar demokrasi yang belum tuntas. Cianjur dengan Perda No. 21 / Th. 2000 Yang jelas, di Indonesia belum ada orang yang tentang Larangan Pelacuran. Selanjutnya, D.I. bernasib seperti Galileo Galilei, yang harus Aceh diberikan Otonomi Khusus dengan dibunuh karena berbeda faham dengan keluarnya UU No. 18 / 2001, sehingga kini penguasa otoritas agama. Ulil Abshar Abdalla bernama Nangroe Aceh Darussalam. Selain dengan JIL-nya yang kontroversial itu masih kasus Aceh yang sejak Orde Baru memang dapat terus menghirup udara bebas di luar sarat konflik, apakah fenomena pemberlakuan sana. Satu indikasi, „umara dan „ulama di syari‟at Islam di Indonesia kini merusak Indonesia terbilang cukup demokratis demokrasi? Rasanya tidak, karena ia tidak mengolah freedom of though di Indonesia. datang secara trickle-down dari pemerintah 5) Idea of Progress pusat, tetapi datang secara bottom-up dari PerkembanganpemikiranIslamdi desakan masyarakat di daerah-daerah. Alih- Indonesia dalam merespon modernisasi alih merusak demokrasi, justru penguatan terbilang sudah cukup progresif. Sejak 1970- resistensi publik dan bargaining position an, Cak-Nur, Gus-Dur, Djohan Effendi dan rakyat daerah di hadapan pemerintah pusat. Ahmad Wahib telah cukup membuat Greg 2) Pro-Democracy Barton bisa “tersenyum” sambil mencatat Penulis setuju sepenuhnya dengan wacana Neo-Modernisme mereka dalam demokrasi. Karena demokrasi adalah satu- bukunya.33 Masalahnya, ketika idea of satunya sistem yang dapat mengoreksi dirinya progress sudah berjalan bagus, mengapa sendiri. Ini penting karena setiap manusia Indonesia sejak 1997 sampai sekarang belum punya “sisi-gelap”. Konteks Indonesia pasca juga mampu bangkit sepenuhnya dari krisis? reformasi 1998, angin demokrasi bertiup Mungkin kita membutuhkan lebih dari sekedar idea of progress. Spirituality and action, cukup kencang, bahkan cendrung menjadi “angin puting-beliung”. Jika orang tidak m isalnya. didukung dengan supra struktur intelektual 6) Rights of Minority Bicara minoritas-mayoritas di Indonesia ini dan kematangan moralitas yang mapan, demokrasi bisa jadi democrazy, Man! unik. Alat ukur apa yang mau kita gunakan? Agama, ekonomi, budaya, atau politik? Yang 3) Rigths of Women mayoritas agama (muslim), justru minoritas Di satu sisi, di Indonesia memang masih ekonomi dan politik. Yang mayoritas ekonomi banyak kekerasan terhadap perempuan. (konglomerat pribumi dan etnis China), justru Namun pada sisi lain, di Indonesia juga kursi minoritas agama, budaya dan politik. Yang presiden sudah bisa diduduki oleh perempuan. mayoritas budaya, justru minoritas ekonomi. AS yang mengaku sebagai “guru”nya demok- Jika yang dimaksud adalah minoritas agama, rasi saja belum punya presiden perempuan. dalam konteks di Indonesia kini mereka adalah Yang jelas perempuan adalah manusia yang mayoritas ekonomi dan politik. Silahkan sama mulianya dengan pria. Perempuan nggak periksa mall-mall di kota-kota besar, tanya boleh jadi warga negara kelas II. Islam sangat memuliakan perempuan (Prinsip “Liberal Syari‟ah”). Dan orang Indonesia ternyata 33Barton, Greg, loc.cit., 6 0 Religious: Jurnal Studi Agama-agama dan Lintas Budaya 2, 1 (September 2017): 51-62
Description: