ebook img

Laporan Kunjungan ke Ahmadiyah_Edited PDF

19 Pages·2015·0.39 MB·Indonesian
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Laporan Kunjungan ke Ahmadiyah_Edited

MENELISIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERLATAR BELAKANG AGAMA Catatan Hasil Kunjungan ke Kampus Mubarok, Jemaat Ahmadiyah Indonesia Parung, Bogor, 21 November 2015 LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam” Oleh: Ahmad Hamdani (PP. Ma‟had Aly UIN Jakarta) Ahmad Avif Okjilshipia (PP. Tahfidz Daarul Quran) Fajar Syahrullah (PP. An-Najah) Nurizka Awalia (PP. Daar El-Qolam) Nisa Alfiatin Najah (PP. An-Nuqtah) Editor: Ahmad Gaus AF Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution A. Pendahuluan Kontroversi menyangkut aliran Ahmadiyah di Indonesia dalam 10 tahun terakhir telah berubah menjadi kekerasan massa yang menelan korban jiwa dan harta benda. Kekerasan ini ditengarai bersumber dari perbedaan doktrin Sunni atau Ahli Sunnah wal- Jamaah yang dianut oleh mayoritas kaum Muslim Indonesia dengan doktrin Ahmadiyah mengenai status atau kedudukan Nabi Muhammad vis a vis Mirza Ghulam Ahmad. Bagi kaum muslim Sunni, Nabi Muhammad ialah nabi terakhir yang diutus Tuhan, dan tidak ada nabi lagi setelahnya. Sementara bagi penganut aliran Ahmadiyah, yang biasa disebut Ahmadi, Mirza Ghulam Ahmad adalah juga seorang nabi utusan Tuhan, walaupun tidak membawa syariat baru. Pengikut Sunni tidak dapat menerima doktrin kenabian Mirza Ghulam Ahmad, bagaimanapun penjelasannya. Pengakuan adanya nabi setelah Muhammad itulah yang menjadi sumber kontroversi di kalangan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dan belakangan merebak menjadi kekerasan berdarah dan menjurus pada pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Sebelum memasuki pembahasan ini lebih jauh, ada baiknya kita melihat aspek historis kemunculan aliran Ahmadiyah dan kehadirannya di Indonesia. Ahmadiyah didirikan pada 1889 di kota kecil Qadian, di negara bagian Punjab, India, oleh Mirza Ghulam Ahmad. Sejak pendiriannya, aliran ini berkembang menjadi organisasi keagamaan yang perlahan tapi pasti menyebar ke berbagai negara dan telah memiliki cabang di 174 negara mencakup kawasan Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, Eropa, dan termasuk Indonesia. Sebagai organisasi internasional, Ahmadiyah telah menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia, sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa. Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia berawal pada tahun 1922, ketika tiga orang pemuda Indonesia bernama Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan menimba ilmu di India, tepatnya di kota Lahore. Karena tertarik dengan ajaran Ahmadiyah, mereka memutuskan untuk ziarah ke makam pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza Ghulam Ahmad di Qadian. Selain itu tujuan mereka ke Qadian adalah untuk mempelajari dan mendalami ajaran Ahmadiyah. Tidak lama berselang, ketiganya secara resmi dibaiat menjadi anggota Ahmadiyah. 1 Dalam perkembangannya, mereka ingin menyebarkan Ahmadiyah di Indonesia, dan meminta Khalifah Ahmadiyah kedua yang bernama Mirza Basyiruddin Mahmud untuk berkunjung ke Indonesia. Namun, rupanya Khalifah tidak bisa memenuhi permintaan mereka, dan ia mengganti dengan mengirim Maulana Rahmat Ali pada tahun 1925, yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah perkembangan Ahmadiyah di Indonesia.1 Sejak tahun 1925, Ahmadiyah tumbuh dan berkembang di Sumatera. Pertama- tama Maulana Rahmat Ali masuk dari Aceh ke Tapaktuan. Tahun 1926 beliau menuju Padang. Dan tahun 1929 Jemaat Ahmadiyah sudah berdiri di Padang. Walaupun pada awalnya kedatangan para penyebar Ahmadiyah ini banyak mendapat tanggapan kurang kooperatif karena perbedaan-perbedaan yang mereka bawa, namun secara perlahan tidak sedikit masyarakat Sumatera yang akhirnya menganut ajaran Ahmadiyah. Penyebaran Ahmadiyah di Sumatera meliputi wilayah Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Selatan.2 Setelah merasa cukup dalam mendakwahkan Ahmadiyah di Sumatera, Maulana Rahmat Ali memutuskan untuk pergi ke Jawa, tepatnya Jakarta. Keputusan ini merupakan sejarah penting dalam perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Dan sejak tahun 1931 Ahmadiyah berkembang pesat di pulau Jawa, cabang-cabang Ahmadiyah tersebar di beberapa wilayah di daerah Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Singaparna, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Manislor, Cimahi, dan Ciamis), Jawa Tengah (Purwokerto, Yogyakarta, Kebumen, Banjarnegara, Semarang, Salatiga, Magelang) dan Jawa Timur (Surabaya). Pada tahun 1952, Ahmadiyah mulai melakukan dakwah di Indonesia bagian timur. Namun, wilayah-wilayah yang disentuh oleh mubalig Ahmadiyah tidak terlalu luas, hanya mencakup Ujung Padang, Lombok, dan Sulawesi Utara.3 Para pengikut Ahmadiyah sendiri terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah “Ahmadiyya Muslim Jama‟at” atau Ahmadiyah Qadian. Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI 1Murtolo, “Sejarah Singkat Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia selama 50 Tahun, Majalah Sinar Islam, Januari 1976, hal.11-12 2Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2005) hal. 316 3Ibid., hal. 17-25 2 No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia sejak tahun 1935 berada di Jakarta. Dan pada tahun 1987 pindah ke Parung, Bogor. Kelompok kedua ialah “Ahmadiyya Anjuman Isha‟at-e-Islam Lahore” atau Ahmadiyah Lahore. Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia atau GAI, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35. Dua aliran Ahmadiyah ini memiliki perbedaan pandangan tentang kenabian. Aliran Lahore berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir atau penutup para nabi (khatam an-Nabiyyin), artinya sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.4 Dasarnya adalah al-Quran surat al-Ahzab ayat 40: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”. Sedangkan aliran Qadian berpandangan bahwa kata khatam dalam ayat tersebut di atas tidak sama artinya dengan kata khatim. Kata khatim berarti penghabisan, sedang kata khatam berarti stempel, bukan berarti menutup. Dan stempel tersebut dipergunakan untuk mensyahkan sesuatu.5 Menurut arti kata khatam dalam ungkapan khatam an-Nabiyyin, terdapat empat macam pengertian: 1) Rasulullah SAW adalah cap (materai) para nabi, yakni tidak bisa dianggap benar kalau kenabian tidak dimateraikan Rasul; 2) beliau adalah yang terbaik, termulia yang paling sempurna diantara para nabi, dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi malaikat; 3) Rasulullah SAW adalah rasul yang terakhir di antara para nabi pembawa syariat; 4) Rasulullah SAW adalah yang terakhir hanya dalam arti bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sempurna-sempurnanya.6 Kedua aliran Ahmadiyah tersebut juga berbeda pandangan menyangkut status kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Aliran Lahore memandang bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, melainkan seorang Mujaddid yang mempunyai banyak persamaan dengan nabi dalam hal menerima wahyu. Oleh sebab itu, dalam akidah secara tegas mereka menyatakan bahwa percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad sebagai 4S. Ali Yasir, Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Jilid II (Yogyakarta: PP Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia, 1978), hal. 148 5Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir (Jakarta: Ahmadiyah Indonesia, 1989), hal. 47 6 Bashiruddin Mahmud Ahmad, The Holy Quran with English Translation and Commentary, Vol. IV (Pakistan: Islam International Publication LTD, 1988), hal. 21-26 3 al-Masih dan al-Mahdi bukanlah termasuk rukun iman, maka orang yang mengingkarinya tidak dapat dikatakan kafir.7 Sementara itu, aliran Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan rasul yang lain. Kendati demikian, Ahmadiyah aliran Qadian yang dimotori oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad tetap berpandangan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi pembawa syariat terakhir. Tapi, setelah Nabi Muhammad masih ada nabi lagi yang tidak membawa syariat baru. Dia itulah Mirza Ghulam Ahmad, yang diyakini mendapat anugrah Allah karena kepatuhannya kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariat Nabi Muhammad. Titik tengkar kaum Muslim Sunni Indonesia lebih banyak terjadi dengan Ahmadiyah Qadian, khususnya terkait kedudukan Mirza Ghulam Ahmad yang disandingkan dengan status kenabian terakhir yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, jemaat Ahmadiyah Qadian sendiri berpandangan sebagai berikut:8 “Jemaah Ahmadiyah menjunjung tinggi Sayyidina Muhammad Mustafa Rasulullah shallallahu alaihi wa'aalihi wassallam sebagai Khataman-nabiyyin yang merupakan penghulu dari sekalian nabi dan nabi yang paling mulia. Beliau adalah nabi pembawa syariat terakhir. Penutup pintu kenabian tasyri'i. Tidak ada lagi nabi pembawa syariat baru sesudah Rasulullah saw. Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad (yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan. Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.” Sementara itu mengenai nabi akhir zaman dinyatakan sebagai berikut: “Kami percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan-Nya kepada umat manusia melalui semua agama besar mengenai turunnya seorang nabi di akhir zaman telah menjadi kenyataan di dalam diri Hz.Mirza Ghulam Ahmad as., pendiri Jemaat Ahmadiyah. Beliau adalah Almasih yang ditunggu-tunggu oleh umat Kristen; Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam; dan Krishna yang dinanti-nantikan oleh umat Hindu.”9 7Team Dakwah PB GAI; Aqidah Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (t.t,: Team Dakwah PB GAI Bagian Dakwah dan Tarbiyah, 1984), hal. 9 8M.Bashiruddin Mahmud Ahmad, Da'watul Amir, edisi terjemahan Bahasa Indonesia, 1989, hal. 2 9Dikutip dari:Akidah Dan Tujuan Jemaat Ahmadiyah; Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari 1894-1994, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1994, hal.46-47. 4 B. Akar Konflik Ahmadiyah dan Kasus Kekerasannya Silang sengketa dan konflik kaum Muslim Indonesia secara khusus berkaitan dengan Ahmadiyah Qadian di bawah organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Beruntung kami, para penulis, berkesempatan mengunjungi kantor pusat JAI di kampus Mubarak, Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 21 November 2015 lalu. Kunjungan kami ini merupakan rangkaian kegiatan Pelatihan (Training) Peningkatan Pemahaman Perdamaian di Pesantren Berperspektif HAM dan Islam selama empat hari (19- 22/11/2015), yang diadakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Konrad- Adenauer-Stiftung (KAS) dan Uni Eropa. Kegiatan ini diikuti oleh tiga puluh santri dari 30 pesantren di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kemudian, kegiatan training ini diakhiri dengan kunjungan atau field trip ke kampus Mubarok (pusat kegiatan Ahmadiyah di Parung, Bogor) untuk berdialog seputar konflik, kekerasan, perdamaian, dan persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) yang menimpa jemaat Ahmadiyah. Berdasarkan dialog yang kami lakukan dengan pihak Ahmadiyah, terungkap bahwa awalnya organisasi keagaman ini tidak mengalami masalah dengan masyarakat dari tahun berdirinya 1953 sampai tahun 1980. Masalah baru muncul setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Tahun 1980 mengeluarkan fatwa bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq, yang sejalan dengan al-Quran dan Hadis. Pemerintah melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Menurut pihak Ahmadiyah, selain fatwa MUI tersebut juga ada pendekatan-pendekatan dari luar negeri, terutama Saudi Arabia, ke Indonesia mengenai kesesatan Ahmadiyah. Pada tahun 1981 beberapa orang dari kedutaan Arab datang menemui mentri agama Indonesia. Mereka menyatakan bahwa Ahmadiyah itu berbahaya, sesat dan menyesatkan. Informasi itu disebarkan melalui selebaran, booklet, dan beberapa media massa sehingga tersebar ke masyarakat. Sejak itulah kasus-kasus kekerasan menimpa jemaat Ahmadiyah. Pada tahun 1993 jemaat Ahmadiyah terpukul dengan pembumi-rataan sebuah masjid milik jemaatnya di Garut, Jawa Barat. Pada tahun 2001 jemaat Ahmadiyah di 5 kampung Sambielen Lombok diusir secara paksa oleh warga. Pada tahun 2004, terjadi penganiayaan jemaat Ahmadiyah di Kuningan dan Pangandaran. Pada tahun 2005, kampus Mubarak yang merupakan kantor pusat Ahmadiyah di Parung, Bogor, diserbu massa yang merusak beberapa bangunan dan fasilitas serta menjarah sebagian barang. Dengan alasan bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman yang berbahaya bagi Islam, para penyerang menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan. Mereka mengekspresikan kemarahan atas penodaan yang dilakukan oleh para penganut Ahmadiyah, yakni penodaan terhadap Allah, Rasul, dan kemurnian akidah Islam. Islam yang suci harus dibela dari tangan- tangan kotor yang bermaksud jahat ingin menghancurkan Islam dari dalam. Jadi, bentuk-bentuk kekerasan massa itu merupakan suatu ekspresi kekhawatiran dan pembelaan pada agama yang dianutnya; masyarakat tidak menginginkan adanya penyebaran-penyebaran faham-faham yang sesat atau menyimpang, serta merasa berkewajiban melindungi masyarakat lainnya. Kekerasan yang paling banyak mendapat perhatian media massa dan masyarakat, termasuk dunia internasional, adalah penyerangan dan penganiayaan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada tahun 2011 yang menyebabkan tewasnya tiga orang dari jemaat Ahmadiyah. Para penyerang jemaat Ahmadiyah, baik di Parung maupun di Cikeusik, pada umumnya menggunakan senjata- senjata seperti golok, parang, kayu, bambu, dan batu-batu. Warga Ahmadiyah yang melarikan diripun menerima penganiayaan berupa pemukulan oleh benda tumpul seperti kayu, bacokan senjata tajam, dan tusukan golok. Para penganut Ahmadiyah mengharapkan adanya perlindungan dari pihak pemerintah karena mereka juga merupakan warga negara. Secara kemanusiaan, mereka menuntut kembali hak-hak asasi mereka yang dilindungi oleh Konstitusi. Namun dalam prakteknya, sejauh ini tampaknya tidak mudah mewujudkan hal itu karena masyarakat pada umumnya telah menganggap mereka sesat, dan atas dasar itu tidak menginginkan keberadaan mereka. Selain penyerangan fisik, upaya penolakan terhadap keberadaan jemaat Ahmadiyah juga diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti mengirim surat pernyataan menolak keberadaan Ahmadiyah ditengah-tengah masyarakat, mempublikasikan segala bentuk kesesatannya melalui berbagai macam media massa, dan desakan kepada pemerintah agar Ahmadiyah dibubarkan karena dianggap membahayakan akidah Islam. 6 Intimidasi dan kekerasan yang terus terjadi menyebabkan jemaat Ahmadiyah mengalami trauma. Banyak dampak atau akibat yang timbul pasca kasus kericuhan dan penyerangan besar-besaran tersebut, misalnya hilangnya sumber penghidupan mereka dan tempat tinggal karena rumah-rumah mereka dihancurkan. Tuduhan bahwa Ahmadiyah sesat juga membuat kegiatan sosialisasi mereka terganggu. Anak-anak mereka sulit bersekolah karena terjadinya pem-bully-an bagi anak-anak Ahmadiyah. Status sebagai pengikut Ahmadiyah juga menyulitkan mereka dalam mendapatkan pekerjaan. Dampak yang sangat terasa oleh jemaat Ahmadiyah khususnya kaum wanita dan anak-anak adalah luka fisik dan beban mental. Walaupun dalam dialog dikatakan bahwa anak-anak dan wanita-wanita Ahmadiyah jauh lebih tegar dibandingkan kaum prianya, mereka tetaplah merasakan perubahan kepribadian jika dibiarkan berlarut-larut. Untuk mengobati rasa takut dan kekhawatiran para korban, Ahmadiyah membentuk sebuah tim yang menangani center yang disebut dengan “trauma healing”. Tim itulah yang mengatasi problem psikologis para jemaat Ahmadiyah melalui terapi spiritual dan kajian-kajian rohani. Para mubaligh dan tokoh Ahmadiyah serta kaum perempuan Ahmadiyah banyak terlibat dalam kegiatan ini. Mereka berusaha mengembalikan atau memulihkan rasa takut para korban dengan cara menanamkan kepercayaan, keyakinan, dan keikhlasan serta memberi pengarahan bahwa akan ada pertolongan dari Allah. Jemaat diberi keyakinan bahwa segala penderitaan itu akan segera berakhir. Analisis Kasus Kekerasan Kekerasan yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau JAI secara mendasar mengarah pada dua persepsi. Pertama, bagi kelompok yang ingin JAI dibatasi gerakannya atau bahkan dibubarkan, melihat JAI sebagai sebuah urusan kesesatan agama. Kedua, bagi mereka yang tidak setuju JAI dibubarkan, melihat isu ini sebagai urusan hukum, baik itu menyangkut keberadaan JAI maupun pelanggaran hukum yang tampak dalam konflik JAI. Permasalahan yang kemudian juga muncul adalah, ketika kita masih berkutat pada pernyataan bahwa ini merupakan isu penodaan atau penyimpangan agama atau ini adalah isu civic (hak dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara), tentu kekerasan ini tidak akan pernah usai. Karena secara 7 mendasar kedua aspek tersebut dimungkinkan memang turut serta dalam kekerasan yang terjadi. Jika dilihat, kekerasan yang beberapa kali diarahkan terhadap para pengikut JAI sebenarnya merupakan fenomena hate crime. Hal ini terjadi karena kekerasan tersebut tidak bersifat sporadis, melainkan berjalan secara sistematis. Secara harfiah, hate crime berarti kejahatan sebagai akibat rasa kebencian. Namun, secara konseptual, hate crime bukan tindakan kriminalitas yang dilandaskan pada kebencian atau ketidaksukaan yang bersifat spontan belaka. Hate crime adalah aksi kriminal yang dijalankan segolongan orang dengan dalih menegakkan kebenaran. Oleh karenanya hate crime dikatakan sebagai sebuah pelanggaran HAM. Hate crime, sebagaimana diuraikan oleh Eugene Mc Laughlin,10 adalah tindak kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian, bias maupun prasangka terhadap seseorang atau properti yang didasarkan pada ras, etnisitas, jender, agama, atau orientasi seksual dari pihak korbannya. Kebencian itu bisa jadi bersifat aktual maupun dipersepsikan belaka. Para pelaku hate crime selalu melandaskan pada identitas yang terdapat pada korban-korbannya. Terdapat proses seleksi yang dijalankan secara intensional (penuh kesengajaan) kepada para korban dengan alasan perbedaan yang tidak bisa ditoleransi. Jadi, hate crime memang kejahatan yang lahir dari watak tidak mengenal toleransi. Hate crime sangat mudah menghantam masyarakat yang plural (majemuk) karena para pelakunya selalu berupaya mencari-cari perbedaan identitas. Masalahnya bukan hanya perbedaan identitas itu sendiri yang kemudian meluapkan aksi-aksi hate ``crime, namun melainkan perbedaan itu dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang. Sumber yang menyuburkan hate crime pada JAI dimulai dari fatwa MUI pada tahun 1980 yang kemudian dikuatkan lagi melalui fatwa MUI tahun 2005, yang menyatakan bahwa JAI sesat dan menyesatkan. Kemudian juga muncul melalui surat keputusan bersama (SKB) dari tiga institusi, yakni Kementrian Agama, Kementian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung tentang JAI pada 9 Juni 2008. Fatwa MUI dan SKB inilah yang kemudian memicu munculnya peraturan daerah (Perda) yang melarang aktivitas Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia. 10 Lihat, Eugene McLaughlin dan John Muncie (eds.), The Sage Dictionary of Criminology (New Delhi: Sage Publications, 2001), hal. 136. 8 SKB dirasa cukup memiliki dampak yang sangat luas dalam menyuburkan hate crime terhadap JAI. Sebagai prinsip awal, dalam buku sosialisasi SKB secara jelas dikatakan bahwa “pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat”. Pernyataan ini penting untuk digarisbawahi untuk mencari titik temu sesungguhnya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimanakah penerjemahan prinsip tersebut? Pemerintah mempersepsi perannya sebagai “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang”. Posisi warga JAI sendiri dalam persepsi tersebut adalah 1). Penyebab lahirnya pertentangan sebagaimana tersebut; 2). Korban tindakan kekerasan sebagai masyarakat. Keduanya harus ditangani pemerintah, sebagaimana tercermin pada SKB yang terdiri dari dua bagian, yaitu: 1. Peringatan pada Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajarannya yang dianggap menyimpang. 2. Peringatan pada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan melanggar hukum pada warga JAI. Pertanyaan yang kemudian juga muncul adalah, jika persepsi pemerintah seperti di atas, dapatkah prinsip “pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat” dipertahankan? Dampak nyata dari SKB ini kemudian terdeskripsikan dalam bentuk intimidasi yang terjadi pada JAI. Intimidasi muncul dari dua pihak, pertama adalah aparat atau pemerintah dimana bentuk peraturan dan atau keputusan yang dikeluarkan memicu reaksi yang sangat sensitif terhadap perpecahan di kalangan masyarakat. Intimidasi kedua muncul dari masyarakat dalam bentuk provokasi dan penyerangan secara anarkis kepada JAI. Kondisi diatas seolah dilegitimasi dengan kenyataan adanya hubungan yang kurang harmonis antara JAI dengan masyarakat sekitar. Intensitas keberbauran JAI yang belum begitu „mesra‟ atau cenderung ada hanya pada momen-momen tertentu memunculkan stigma bahwa JAI adalah kelompok yang eksklusif. Bahkan pernah muncul tudingan bahwa kelompok Ahmadiyah menganggap hanya diri mereka yang benar dan suci, karena itu jika ada orang lain (kaum Muslim non-Ahmadi) yang memasuki masjid Ahmadiyah, apalagi melakukan shalat di dalamnya, maka segera 9

Description:
Kelompok kedua ialah “Ahmadiyya Anjuman Isha‟at-e-Islam Lahore” atau. Ahmadiyah . Islam yang suci harus dibela dari tangan- tangan kotor
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.