ebook img

Kerling : antologi kritik/esai bahasa dan sastra. PDF

394 Pages·2016·36.665 MB·Indonesian
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Kerling : antologi kritik/esai bahasa dan sastra.

MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2016 Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra i KERLING Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra Penyunting: Dessy Wahyuni Medri Oesnoe Agus Sri Danardana Tirto Suwondo Pracetak: Dessy Wahyuni Medri Oesnoe Gambar Sampul: Candra Penerbit: KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224 Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274) 580667 Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kerling: Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra. Dessy Wahyuni, Medri Oesnoe, Agus Sri Danardana, Tirto Suwondo. Yogyakarta: Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016. xviii + 374 hlm., 14,5 x 21 cm Cetakan Pertama, November 2016 ISBN: 978-602-6284-55-6 Hak cipta dilindungi undang-undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. ii Kerling PENGANTAR KEPALA BALAI BAHASA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sebagai instansi pemerintah yang bertugas melaksanakan pembangunan nasional di bidang kebahasaan dan kesastraan, baik Indonesia maupun daerah, pada tahun ini (2016) Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kembali menyusun, menerbitkan, dan memublikasikan buku-buku karya kebahasaan dan kesastraan. Buku-buku yang diterbitkan dan dipublikasikan itu tidak hanya berupa karya ilmiah hasil penelitian dan atau pengembangan, tetapi juga karya hasil pelatih- an proses kreatif sebagai realisasi program pembinaan dan atau pemasyarakatan kebahasaan dan kesastraan kepada para peng- guna bahasa dan apresiator sastra. Hal ini dilakukan bukan se- mata untuk mewujudkan visi dan misi Balai Bahasa sebagai pusat kajian, dokumentasi, dan informasi yang unggul di bidang keba- hasaan dan kesastraan, melainkan juga —yang lebih penting lagi—untuk mendukung program besar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang pada tahapan RPJM 2015—2019 sedang menggalakkan program literasi yang sebagian ketentuannya telah dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015. Dukungan program literasi yang berupa penyediaan buku- buku kebahasaan dan kesastraan itu penting artinya karena me- lalui buku-buku semacam itu masyarakat (pembaca) diharapkan mampu dan terlatih untuk membangun sikap, tindakan, dan pola berpikir yang dinamis, kritis, dan kreatif. Hal ini dilandasi suatu keyakinan bahwa sejak awal mula masalah bahasa dan sastra bukan sekedar berkaitan dengan masalah komunikasi dan seni, Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra iii melainkan lebih jauh dari itu, yaitu berkaitan dengan masalah mengapa dan bagaimana menyikapi hidup ini dengan cara dan logika berpikir yang jernih. Karena itu, sudah sepantasnya jika penerbitan dan pemasyarakatan buku-buku kebahasaan dan ke- sastraan sebagai upaya pembangunan karakter yang humanis mendapat dukungan dari semua pihak, tidak hanya oleh lem- baga yang bertugas di bidang pendidikan dan kebudayaan, tetapi juga yang lain. Buku berjudul Kerling: Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra ini adalah salah satu dari sekian banyak buku yang di- maksudkan sebagai pendukung program di atas. Buku ini berisi 21 tulisan berupa kritik/esai kebahasaan dan 38 tulisan berupa kritik/esai kesastraan yang ditulis oleh para peminat (peneliti, kritikus, esais) bahasa dan sastra baik dari lingkungan maupun dari luar Badan, Balai, dan Kantor Bahasa, Kementerian Pen- didikan dan Kebudayaan. Diharapkan buku ini bermanfaat bagi siswa, mahasiswa, guru, dosen, peneliti, dan siapa pun yang menaruh perhatian pada bidang kebahasaan dan kesastraan di Indonesia. Atas nama Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para penulis, penyunting, dan pihak-pihak lain yang memberikan dukungan kerja sama sehingga buku ini dapat tersaji ke hadapan pembaca. Kami yakin bahwa di balik kebermanfaatannya, buku ini masih ada kekurangannya. Oleh karena itu, buku ini terbuka bagi siapa saja untuk memberikan kritik dan saran. Yogyakarta, November 2016 Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. iv Kerling CATATAN PENYUNTING Globalisasi ternyata tidak hanya membuat masyarakat menjadi semakin homogen, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat Indonesia terhadap dunia (terhadap identitas, citra diri, dan nilai-nilai hidup) berubah. Sekarang ini ukuran ideal menurut nilai-nilai lokal atas segala hal di hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara telah terpinggirkan oleh pencitraan yang dilakukan secara masif oleh negara-negara maju, pengusung arus globalisasi itu. Sebagai akibatnya, meskipun mungkin tidak menyadari, masyarakat telah digiring pada ukuran ideal yang dicitrakannya: citra Indo-Eropa atau Amerika. Globalisasi, dengan demikian, telah menggusur kebudayaan lokal dan menggantinya dengan bentuk-bentuk peradaban modern yang pada akhirnya mereduksi dan menafikan fakta- fakta partikular sehingga kebudayaan tidak lagi bersifat plural dan multikultural, tetapi singular dan monokultural.1 Semua nilai, pola pikir, dan gaya hidup distandarkan: diseragamkan, dihomo- genisasi, dan disingularisasikan ke dalam satu bentuk nilai dan budaya. Bahkan, diam-diam politik budaya masyarakat pun ber- geser mengarah ke kapitalisme dan feodalisme global, menjauhi gerakan demokratisasi yang semula diperjuangkan. Pola semacam itu akhirnya menggilas dan menenggelamkan budaya-budaya lokal yang justru merupakan basis eksistensi bangsa Indonesia. Ketika masyarakat dipaksa keluar dari tatanan budayanya yang lokal dan khas tersebut, konsekuensinya adalah terjadinya keterasingan. 1 Dalam hal ini, Budianta (2007) membuat batasan standar tentang lokalitas: bahwa yang lokal bersifat partular (“yang tertentu”), berkebalikan dengan global/universal yang bersifat “umum” dan menyeluruh. Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra v Itulah sebabnya, belakang ini ramai dibicarakan munculnya kesadaran baru: kembali kepada lokalitas. Kembali kepada loka- litas, secara fungsional, dimaknai sebagai upaya untuk melakukan resistensi dan menghentikan proses dominasi penyeragaman dan homogenisasi yang menjadi proyek peradaban global tersebut.2 Kesadaran lokalitas ini diwujudkan dengan cara merevitalisasi budaya-budaya lokal yang sebelumnya telah terkubur dan bah- kan hilang musnah ditelan oleh monster globalisasi. Revitalisasi budaya lokal, menurut Pilliang (2004), adalah pembaruan dan/atau penyesuaian prinsip atau sistem-sistem lokal dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat masa kini. Arti- nya, sistem-sistem lokal harus diberi nafas baru. Dengan pema- haman semacam ini, merevitalisasi budaya lokal, bukan sekadar mereproduksi bentuk-bentuk budaya secara apa adanya, tetapi harus tetap diberi makna dan roh baru sehingga bisa tampil lebih segar dan up to date untuk kondisi sekarang. Meskipun demikian, kebangkitan kesadaran baru akan lokalitas itu, disadari atau tidak, telah pula menimbulkan ke- gamangan banyak orang. Kesadaran baru: yang antara lain me- lahirkan keyakinan bahwa kearifan lokal mampu menjadi penapis efek negatif globalisasi itu belum teraplikasi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Contoh efek negatif globalisasi di bidang bahasa adalah menipisnya nilai kesantunan dalam berkomunikasi. Menipisnya nilai kesantunan berkomunikasi itu tidak hanya terlihat pada pilihan bahasa yang digunakan, tetapi juga terlihat pada sikap dan perilaku berbahasanya. Umumnya, karena tidak memiliki sikap dan perilaku berbahasa yang baik, mereka abai terhadap kaidah dan sering memaksakan kehendak agar orang lain me- mahami (bentuk) bahasa yang kadang kala justru bertentangan 2 John Naisbitt melalui bukunya, Global Paradox, menggambarkan betapa ketika dunia sedang terobsesi gerakan pengaburan batas-batas negara dan berupaya menjadi “satu”, ketika itu pula tengah terjadi gerakan pembentukan “negara baru”. Terbentuknya Uni Eropa, misalnya, ditengarai Naisbitt sebagai indikator gerakan yang kemudian melahirkan konsep globalisasi itu. vi Kerling dengan keinginannya. Program pengentasan kemiskinan, misalnya, pada awalnya tentu dimaksudkan sebagai program untuk me- ngurangi atau bahkan menghilangkan kemiskinan di negeri ini. Namun, karena kata pengentasan berarti ‘proses mengentas; mengangkat’, program itu benar-benar paradoks: berhasil meng- angkat (jika tidak boleh dikatakan memamerkan) kemiskinan, tetapi gagal membasminya. Sebagai alat komunikasi (fungsi informatif dan ekspresif), bahasa juga memiliki fungsi direktif, estetik, dan fatik. Ketiga fungsi bahasa yang akhir-akhir ini mulai terabaikan itu sangat menentukan keberhasilan sebuah komunikasi. Itulah sebabnya orang yang tidak mempunyai pekerjaan, rumah, dan pendengar- an diperhalus menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunarungu; tem- pat sidang di pengadilan, penjara, dan mati (agar tidak menim- bulkan kesan menakutkan) disebut meja hijau, terali besi, dan meninggal dunia; serta agar terkesan hormat, kata kamu tidak digunakan untuk menyapa, tetapi Saudara, Anda, Bapak, Tuan, dsb. Berbahasa ternyata juga membutuhkan kecermatan. Sekali- pun terkesan santun, kata mengamankan (alih-alih menangkap) dalam kalimat Polisi telah mengamankannya perlu dicermati sungguh-sungguh. Dalam proses penangkapan pesakitan, pada kenyataannya polisi sering kali melakukannya dengan kekerasan sehingga rasa aman itu belum tentu diperoleh pesakitan. Sikap kurang terpuji lainnya adalah “pemerkosaan” bahasa. Kata di mana, misalnya, diperkosa sebagai bukan kata tanya (mungkin agar terkesan beridentitas global). Perhatikan, lalu bayangkan, apa yang tergambar dalam angan ketika mendengar pernyataan seseorang seperti ini, “Pekanbaru, di mana kita di- lahirkan, sungguh mengasyikkan.” Bagi orang yang merdeka (terbebas dari paksaan pembuat pernyataan), kalimat Pekanbaru, di mana kita dilahirkan, sungguh mengasyikkan itu tentu sangat menggelikan. Mengapa? Karena kalimat itu tidak hanya memperlihatkan kekerdilan pengetahuan Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra vii bahasa pembuatnya, tetapi juga memperlihatkan kelinglung- annya: sudah tahu tempat kelahirannya: Pekanbaru, tetapi masih bertanya, “Di mana kita dilahirkan.” Pemerkosaan juga terjadi pada kita. Kata ganti itu telah di- perkosa untuk menggantikan kata saya atau kami. Lebih celaka lagi, kita sering digunakan untuk tujuan manipulasi. Dalam kon- ferensi pers, misalnya, ada politisi yang berucap, “Mohon doa restu, pimpinan sedang membenahi kader-kader kita yang di- duga terlibat korupsi.” Mengapa kader-kader kita yang disebut, bukan kader-kader kami? Sungguh, jika terjadi terus-menerus, gejala ini mengindikasikan adanya krisis identitas. Identitas diri (personal) yang dilambangkan oleh kata ganti saya (tunggal) dan kami (jamak) itu kini telah diperkosa menjadi identitas bersama (komunal) yang dilambangkan oleh kata kita. Dulu, nenek moyang kita juga gemar menyembunyikan identitasnya. Akan tetapi, penyembunyian itu dilakukan untuk tujuan mulia: agar tidak ada kesan menyombongkan diri. Itulah sebabnya, dulu, banyak karya yang anonim. Karya-karya itu tidak diketahui secara pasti siapa penciptanya sehingga dianggap karya bersama. Kesantunan berbahasa juga diperlihatkan oleh nenek moyang kita melalui pantun. Sebagaimana lazimnya jenis sastra dan bentuk seni lainnya, pantun mengemban tugas yang dirumuskan Horace: dulce et utile ‘indah dan berguna’. Di samping secara bentuk telah terpolakan (bersajak a/b/a/b setiap baitnya) se- hingga indah jika didendangkan, pantun juga mengandung pem- belajaran berlogika yang sangat bermanfaat bagi pengembangan olah-pikir (imajinasi) manusia. Simaklah pantun lama berikut ini. Jika ada sumur di ladang Bolehlah kita menumpang mandi Jika ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi Hubungan antara sampiran dan isi pada pantun di atas tidak hanya terletak pada kesamaan sajak: ng/i/ng/i, tetapi juga ter- viii Kerling letak pada kandungan maknanya. Kemungkinan seseorang dapat menumpang mandi (baris kedua) dan dapat berjumpa lagi (baris keempat) ditentukan oleh dua hal yang memiliki kadar ketermungkinannya sama: keberadaan sumur di ladang (baris pertama) dan keberadaan umur yang panjang (baris ketiga). Padahal, semua orang tahu bahwa tidak semua ladang memiliki sumur dan tidak semua orang memiliki umur (yang panjang). Keberadaan sumur di ladang yang memungkinkan orang dapat menumpang mandi (sampiran), dengan demikian, sangat ber- kolerasi dengan keberadaan umur panjang yang memungkin- kan orang dapat berjumpa lagi (isi). Artinya, jika tidak ada sumur di ladang dan tidak ada umur yang panjang, harapan (orang) untuk dapat menumpang mandi dan dapat berjumpa lagi itu pun akan sirna. Bukankah ini sebuah pembelajaran berlogika tingkat tinggi? Begitulah, di samping dapat berperan sebagai alat pemeli- hara bahasa (yang santun dan indah), pantun juga dapat berperan sebagai penjaga alur berpikir manusia. Pantun tidak hanya me- latih seseorang berpikir secara logis tentang makna kata, tetapi juga melatih seseorang berpikir secara asosiatif tentang kaitan kata yang satu dengan kata yang lain. Pertanyaannya sekarang adalah sudahkan kita memelajari kearifan lokal (seperti pantun dan bentuk ungkapan lain) secara sungguh-sungguh? Wallahualam bissawab. Yang pasti, kita tidak dapat membendung bentuk-bentuk ungkapan (pantun) seperti berikut ini. Anak Pak Dolah makan lepat makan lepat sambil melompat nak hantar kad raya dah tak sempat pakai sms pun ok wat? Harus diakui, belakangan ini dunia tulis-menulis di Indonesia berkembang dengan pesat. Hadirnya media-media sosial, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan Line benar-benar telah membuat banyak orang enggan bercakap-cakap (secara lisan) lagi. Komu- Antologi Kritik/Esai Bahasa dan Sastra ix

See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.