BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG 3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar, guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM sampai abad 3 M1 (Setiono, 2002:17). Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa 1 Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17. 36 pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse. Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara (pedagang) dari daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan yang berkepanjangan. Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya. Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan hidup berdampingan dengan damai2. Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu, kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki 2 Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakkiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Hlm. 206-211. 37 bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas (sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah banyak yang bermukim di sana. Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten, dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalah- masalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa Lang3. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk 3 Hidayatullah, A.F. 2005. Kelenteng Sam Po Kong (Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa Islam di Kota Semarang. Semarang. Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo. Hlm. 35. 38 mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405 sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 14064 (Kasmadi dan Wiyono, 1985:77). Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam (Banten). Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak, Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang. Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal, mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih dahulu datang ke Semarang. Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping untuk "ngalap berkah" dari Sam Po Kong. 4 Kasmadi, Hartono. dan Wiyono. 1985. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950). Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hlm. 77. 39 Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiat- kiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata Pan- Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang5 (Liem Thian Joe, 1933). Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci sebagai alat pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai) uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang Gobok. Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing. Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok 5 Joe, Liem Thian. 1933. Riwayat Semarang: Dari Djamanja Sam Po Sampe Terhapoesnja Kongkoan. Tjitakan Pertama. Semarang-Batavia: Boekhandel-Ho Kim Yoe. 40 dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok. Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja, artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia. Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto6. Orang-orang Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok. Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan 6 Vasanty, Puspa. 2002. Kebudayaan Orang-Orang Cina di Indonesia. dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-19. Jakarta: Djambatan. Hlm. 353-357. 41 berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina7 Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy Quarter- Master General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa8. Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9 dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam. Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko (2000), pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh yang mempersoalkanya........”. 7 Rustopo. 2007. Menjadi Jawa.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 62-68. 8 Setiono, Op.cit. 53-54. 42 Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab, India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar “kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda masuk Semarang mulai awal abad ke-17. Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II, Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu silat, berada di pihak Trunojoyo. Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie), yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli) perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge9. VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam 9 Hidayatullah. Op.cit. 53. 43 Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J. Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 173110. Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15 Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis diterapkan pemerintahan kolonial Belanda. Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya 10.000 orang etnik Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat ditumpas oleh Belanda. Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang memaksa pindah orang-orang etnik Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di Semarang yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Daerah-daerah itu meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi 10 Ibid. Hlm.52 44 militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan “De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan, menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza. Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam wilayah yang ditetapkan oleh penguasa. Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King, Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan Beteng11. Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya, jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara sangat sempit. Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya 11 Joe.Op.cit. Hlm. 6. 45
Description: