ebook img

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII PDF

30 Pages·2017·0.71 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII

Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII – XX Tawalinuddin Haris [email protected] Abstrak Kasultanan Samawa adalah salah satu di antara kerajaan Islam di pulau Sumbawa. Wilayahnya meliputi Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat serta pulau-pulau kecil disekitarnya. Kasultanan Samawa berdiri sekitar pertengahan abad ke-17 hingga tahun 1958. Selama keberadaannya, Kasultanan Samawa telah dipimpin dan diperintah oleh 18 atau 19 raja/sultan. Sultan yang pertama adalah Mas Pamayaan, sedangkan Muhammad Kaharuddin adalah sultan yang terakhir. Kata Kunci: Kasultanan, Sultan, Samawa. Abstract Kasultanan Samawa is one of Islamic Kingdoms in Sumbawa Island. This Kingdom involves Sumbawa Besar and West Sumbawa regencies. Samawa Kingdom was established in the mid of17th Centuryup to 1958. This Kongdom has been led by 18 or 19 kings or sultans. The first sultan was Mas Pamajaan, and the last Sultan was Muhammad Kaharuddin. This article a Sumawalive work of the research on Kesultanan Sumawa in the XVII-XX century, which was conducted in 2015. Keywords: Kasultanan, Sultan, Samawa. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30 Pendahuluan Kasultanan Samawa adalah salah satu diantara 6 kerajaaan yang pernah ada di pulau Sumbawa yaitu: Kerajaan Bima, Dompu, Papekat, Sanggar, Tambora dan Samawa. Dalam sumber Cina, Chu-fan-chi yang ditulis oleh Chou-ju-kua pada tahun 1225 di- sebutkan bahwa diantara 15 daerah yang menjadi kekuasaan Cho- po disebutkan nama Ta-kang, yang diduga berlokasi di pulau Sumbawa, Flores atau Sumba. Disebutkan pula sejumlah pulau yang ditaklukkan oleh Jawa (Cho-po), yaitu Bali, Gurun, Tanjung- pura, Timor, Maluku dan Bonggai.1 Jika Cho-po identik dengan Jawa maka kerajaan yang berkuasa di Cho-po pada waktu itu adalah kerajaan Kadiri. Menurut van Naerssen, Kadiri merupakan kerajaan maritim karena di dalam salah satu prasastinya (Prasasti Jaring) yang berangka tahun 1103 Saka (1181 AD.) disebut nama Senapati Sarwwajala, seorang pejabat (panglima) yang berhu- bungan dengan tugas-tugas kelautan. Seperti halnya Sriwijaya di Sumatera, Kadiri adalah kerajaan Jawa yang mengembangkan kekuatan maritim, yang mengontrol Bali, kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan bagian tenggara.2 Jika tafsiran itu dapat diterima maka ada kemungkinan pulau Sumbawa termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kadiri, atau setidak-tidaknya ada dibawah pengaruhnya.3 Dalam sejumlah naskah Jawa kuno seperti Nagarakertagama, Pararaton, Kidung Pamancangah, Kidung Ranggalawe dan Serat Kanda disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang menjadi bukti bahwa tempat-tempat tersebut sudah dikenal oleh kerajaan Majapahit. Dalam kitab Nagarakertagama, pupuh 14: 3 yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 disebutkan se- bagai berikut: 4 1 N.J. Krom, Zaman Hindu, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1954), h.160-163. 2 G.R.Tibbetts, M.A., A.L.A. 1957. ” Early Muslim Traders in Southeast Asia,” Journal Royal Asiatic Society, h. 5. 3 F.H. van Naerssen, ”Hindoejavaansche Overblijfselen op Soembawa”, Tijdschrift van het (Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap, deel LV, 1938), h. 91-92. 4 Th, Pigeaud, Java in The Fourteenth Century Vol. I: Javanese Texs in Transcription. (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde, The Hague Martinus Nijhoff, 1960), h. 17. 2 Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris “sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnananenri bali makamulya tan badahulu mwan i lwagajah gurun makamulya sukun ri taliwang ri dompo sape ri sanghyang apibhima ceran i hutan kadaly apupul” Dari kutipan di atas disebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit, yaitu: Taliwang, Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seran dan Hutan Kadaly, tiga di antara nama-nama tempat itu sekarang berlokasi di Sumbawa bagian barat, yaitu:Utan Kadaly (di Kabupaten Sumbawa Besar), kemudian Taliwang dan Seran (di Kabupaten Sumbawa Barat). Apakah nama-nama tempat yang disebutkan dalam Nagara- kertagama itu sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri atau bagian dari suatu sistem pemerintahan (kerajaan) yang lebih besar, belum diketahui secara pasti. Tetapi pada masa kasultanan Sum- bawa, ketiga nama atau tempat yang disebutkan dalam kitab Nagarakertagama itu yakni Utan Kadaly, Taliwang dan Seran termasuk dalam wilayah kasultanan Sumbawa. Selain dengan pulau Jawa, Sumbawa memiliki hubungan politik dan sosial budaya dengan Bali. Dalam Kidung Pamancangah misalnya, disebutkan bahwa Pasung Rigih (Pasung Girih), raja Bedahulu (Bedulu) mengirim ekspedisi ke Sambhawa yang pada waktu itu diperintah oleh Dedelanatha. Bahkan di bagian lain dari kidung itu menyebutkan bahwa cucu perempuan Mpu Kapakisan, seorang Brahmana dari Jawa kawin dengan seseorang dari Sambhawa.5 Ketika raja Batu Renggong memerintah di Kerajaan Gelgel dengan ibukotanya Samprangan (Gianyar), pulau Bali merupakan kerajaan yang berdiri sendiri, lepas dari kerajaan Majapahit. Batu Renggong tidak hanya memerintah seluruh Bali, tetapi sampai di Sasak (Lombok), Sumbawa serta seluruh Balambangan sampai Puger (Lumajang).6 Apakah Sambhawa (Sumbawa) identik dengan pulau Sumbawa yang tentunya termasuk di dalamnya Sumbawa Timur (Bima dan Dompu), ataukah yang dimaksudkan hanya Sumbawa Barat yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Sumbawa Besar dan Kabupaten Sumbawa Barat dapat didiskusikan lebih jauh. Namun dari 5 F.H.van Naerssen, op.cit.h. 92. 6 H.J.de Graaf, “Lombok In De 17e Eeuw”,(Djawa,Tijdschrift van het Java- Instituut, XXI, 1941), h. 357 3 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30 penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaruh budaya Hindu di Sumbawa bagian barat datang atau dibawa dari Jawa dan Bali. Kalau kita merujuk pada berita Cina,Chu-fan-chi, sebagaimana telah dipaparkan di atas, mungkin pengaruh budaya Hindu sudah hadir di Tanah Samawa sejak masa Kadiri sekitar abad ke-11, kemudian dilanjutkan pada masa berikutnya oleh Kerajaan Singha- sari dan Kerajaan Majapahit. Setelah kekuasaan Majapahit surut dilanjutkan oleh Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Bedahulu. Dari sumber sastra Jawa kuno seperti telah dipaparkan di atas tersirat bahwa budaya Hindu dibawa ke Sumbawa melalui kekuatan senjata (perang) atau dengan cara damai, melalui perkawinan dan kontak dagang. Dalam cacatan perjalan jarak jauh, Shun Feng Hsiang Sung yang ditulis sekitar 1430 M. diperoleh informasi berkenaan dengan rute pelayaran-perdagangan melalui pulau-pulau Sunda Kecil, termasuk pulau Sumbawa. Pertama adalah rute pelayaran-perda- gangan dari Banten ke Timor. Mulai dari Wan-tan (Banten) ke arah timur menyusuri pantai utara Jawa melewati Chiao-lu-pa (Kalapa), Chiao-ch’iang-wan (mungkin Tanjung Indramayu) Che-li-wen (Ci- rebon), Pa-na ta-shan (Gunung Muria), sampai ke Hu-chiao shan (Gunung Gunuk), dari sini ke Shuang-yin hsu (mungkin Tanjung Awar-Awar) sebelah barat Tuban. Dari sini ke Wu-liu-na shan (pulau Madura), melalui Selat Madura terus ke selatan menuju Jaratan dan Gresik, ke timur sampai ke ujung pulau Madura, terus ke selatan mencapai Pen-tzu-nu-kan (Panarukan) di pantai utara Jawa Timur, kemudian dari sana terus ke Ma-li ta-shan (Bali), Lang-mu (Lombok) dan San-pa-wa ta-shan (Sumbawa), Gunung Kadiendinae, melintasi Selat Sangheang, Selat Sape, pelabuhan P’ai (Labuan Jati), kemudian sampai ke ujung gunung Tan-yung (pulau Komodo barat daya). Dari sini terus ke Chi-tzu Shan (Toro Kerita di pulau Flores), terus ke Hsun-pa (Sumba), Su-lu (Solor) dan akhirnya sampai di Chu-pang (Kupang) di Ch’ih-wen (Timor). Kedua rute pelayaran-perdagangan dari Patani ke Timor. Dari Ta- ni (Patani) berlayar menuju ke pantai timur Semenanjung Malaya yang dikenal dengan Pulau Tioman (Ti-p’an), dari sini menuju Ch’i- hsu (pulau Badas), terus ke Ching-ning-ma-ta (Karimata), Chi-li-wen (Karimunjawa), dan ke pantai utara Jawa, menyusuri 4 Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris Pa-na-ta-shan (Gunung Muria) dekat Japara, terus ke timur sampai Chi-li-shih (Gresik) menuju ke Shuang-ken-t’a/Shuang-yen t’a (pulau Raas), berbelok ke selatan menuju Mao-li (Bali), membelok ke timur ke Lang-mu (Lombok) terus ke San-po-wa (Sumbawa), Gunung Kadiendinae, melintasi Selat Sangheang, Selat Sape dan akhirnya ke Sumba dan Timor. Publikasi mengenai kasultanan Sumbawa masih sedikit, seba- gian diantaranya dapat ditemukan dalam arsip-arsip VOC atau dalam laporan perjalanan para musafir (travel account) yang pernah datang ke Sumbawa seperti H. Zollinger (1847) dan J. Elbert (1909). Buku-buku yang ditulis para musafir itu saat ini tergolong buku langka, bahkan sudah menghilang dari berbagai perpustakaan, karena disengaja maupun tidak disengaja. Mungkin buku-buku tua seperti itu dianggap tidak bermanfaat sehingga tidak layak disimpan di perpustakaan. Kendala lain yang menghantui para peneliti ialah bahasa yang digunakan (bahasa Belanda) dalam buku-buku tua itu sulit dipahami karena tidak diajarkan di Perguruan Tingggi. Melihat pada kenyataan tersebut di atas, melalui artikel ini penulis mencoba mengungkapkan beberapa aspek Kasultanan Samawa, sebagian besar di antara sumber yang digunakan diambil dari orang asing, para plancong, pegawai VOC atau Hindia Belanda. Semoga tulisan ini menjadi langkah awal dalam upaya kita merekonstruksi sejarah kerajaan-kerajaan tradisonal di seluruh nusantara yang selama ini luput dari perhatian kita. G.J. Resink mengatakan bahwa penjajahan Indonesia tidak berlangsung 3,5 abad, sebab penjajahan oleh bangsa asing sampai tahun 1910 belum meliputi seluruh kepulauan Indonesia, tetapi terbatas pada daerah-daerah tertentu saja. Sebelum tahun 1910 di kepulauan Indonesai terdapat beberapa kerajaan besar-kecil yang berkedudukan sebagai negara merdeka bertaraf internasional.7 Jika teori G.J. Resink itu benar, maka masih banyak di antara kerajaan kecil itu yang belum kita ketahui karena belum diteliti. Pokok persoalan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah corak dan struktur serta proses berkembangnya kasultanan 7 G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), h. 95-135; 249-285. 5 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30 Sumbawa dalam kurun waktu abad ke-17 sampai abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memaparkan berbagai aspek dan perkembangan kasultanan Sumbawa, dalam rangka melengkapi atau mengisi bagian-bagian yang belum terungkap dalam Sejarah Nasional Indoonesia.8 Kehadiran Islam dan Berdirinya Kasultanan Samawa Kehadiran Islam Dalam bukunya, Livro yang ditulis sekitar tahun 1518, Duarte Barbarosa seorang pegawai pos dagang Portugis di Cannanor di pantai Malabar, menyebutkan sebuah pulau yang lebih kecil dari pulau Jawa. Pulau itu diberi nama Cinboaba, tanahnya subur dan kaya dengan berbagai jenis bahan makanan tetapi penduduk maupun rajanya menyembah berhala. Barbosa mengatakan“Beyond this Island Greater Java there is another Island which also very large and fertile and well-furnished with victuals of all kinds. It is peopled with Heathen and the King also is Heathen. The Island among them is called Cinboaba but the Moors, Arabs and Persians it Lesser Java. Beyond this is yet another small Island called Oçape the midst where of fire is ever burning. Its people are Heathens who travel on horseback and are good riders. The women wear Suruces, they are great cattlebreeders.”9 Menurut Kuperus, pulau Cinboaba yang dimaksud oleh Duarte Barbarosa itu sangat mungkin adalah pulau Sumbawa sedangkan pulau Ocape identik dengan pulau Sangeang.10 Duarte Barbosa mengatakan bahwa penduduk dan raja pulau Cinboaba itu masih menyembah berhala (Its people with Heathen and the King also is Heathen). Kata “heathen” (Inggris) atau “heiden“ (Belanda) bisa diterjemahkan dengan “penyembah berhala.” Berdasarkan laporan Duarte Barbarosa di atas, Kuperus berkesimpulan bahwa pada awal abad ke-16 agama Islam belum mendapatkan tempat berpijak di Sumbawa.11 Dalam sumber tertulis yang berasal dari masa 8 J.V. Mills, “Chinese Navigators in Insulinde about A.D. 1500” (Archipel 18, 1979), h. 81-84. 9 G. Kuperus,Het Cultuurlandschap van West-Soembawa, (Bij.J.B. Wolters Uitgevers Maatschappijn, N.V, Groningen-Batavia, 1936), h. 132-133. 10 Loc.cit. 11 Ibid. h. 134. 6 Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris kemudian diperoleh data bahwa selain menghasilkan berbagai jenis padi seperti campa, dara gisti, dara sasak, samba, tonjo, kalo, mayang pili, baliketujur, baso, legisama, legipunti, dan legipili, di pulau Sumbawa ditanam juga bawang merah, kacangijo, jagung, kemiri, labu, ubi, tembakau, katun, indigo, bahkan pada tahun 1880 mulai ditanam kopi. Dengan demikian, kalau Duarte Barbarosa menyebutkan bahwa Cinboaba (Sumbawa) sebagai “……..another Island which also very large and fertile and well-furnished with victuals of all kinds”, mungkin mengandung kebenaran. Lalu Manca mengatakan bahwa agama Islam dibawa ke Sumbawa oleh para mubalig Arab dari Gresik sambil berniaga. Salah seorang diantaranya adalah Syekh Zainul Abidin, salah seorang murid Sunan Giri.12 Kalau benar, maka nama Sykeh Zainul Abidin mengingatkan kita pada Sultan Zainal Abidin (1486-1500), raja Ternate yang dianggap benar-benar memeluk agama Islam dan pernah belajar agama di pesantren Giri. Di Jawa Zainul Abidin dikenal dengan Raja Bulawa (raja cengkeh) karena ia membawa cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Sekembalinya dari Jawa, Zainal Abidin membawa seorang mubalig bernama Tuhu- bahalul.13 Tidak tertutup kemungkinan dalam perjalannya pulang ke negerinya (Ternate) mereka (Zaenal Abidin) singgah di Sumbawa untuk menyebarkan agama Islam. Di dalam Babad Lombok disebutkan bahwa pembawa agama Islam ke pulau Lombok adalah Sunan Prapen putra Susuhunan Ratu dari Giri, Gresik. Sunan Prapen mengislamkam penduduk pulau Lombok dengan suatu ekspedisi militer dan setelah berhasil mengislamkan Lombok, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke pulau Sumbawa mengislamkan Taliwang, Seran, dan Bima.14 12 Lalu Manca,Sumbawa Pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah), (Surabaya: PT. Rinta, 1984), h. 50. 13 Uka Tjandrasasmita (editor), Sejarah Nasional Indonesia III. Jaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia. (Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka, 1984), h. 22. 14 P.de Roo de la Faille, “Studie over Lomboksch Adatrecht, Bali en Lombok”, dalam : Adatrecht Bundels, XV, (s-Gravenhage Martnis Nijhoff, 1918), h. 135-140. Salah satu versi Babad Lombok selesai ditulis pada tahun 1301 H (1883 M). Lihat Lalu Wacana, Babad Lombok. (Jakarta: Departemen 7 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30 Menurut H.J, de Graaf,15 jika informasi dalam Babad Lombok itu dapat dibenarkan maka peristiwa itu berlangsung pada masa pemerintahan Sunan Dalem di Giri, Gresik, yaitu antara tahun 1506 sampai 1545. Jika mengacu pada Babad Lombok dan berita Duarte Barbarosa di atas, maka agama Islam di Tana Samawa datang atau dibawa dari Jawa (Gresik) sekitar antara tahun 1518 sampai tahun 1545. Selain dari Jawa, agama Islam dibawa ke Tana Samawa dari Sulawesi Selatan oleh orang-orang Bugis dan Makasar, baik dengan pedang (perang) maupun dengan cara damai melalui perkawinan antara elit politik (penguasa) di pulau Sumbawa, baik di kasultanan Bima maupun di kasultanan Sumbawa. Dalam kronik Goa disebutkan bahwa Bima, Dompu dan Sumbawa ditaklukkan oleh Karaeng Matoaya, raja Tallo yang juga perdana menteri kerajaan Goa.Goa empat kali mengirim ekspedisi militernya ke Bima, dua kali ke Sumbawa dan masing-masing satu kali ke Dompu, Kengkelu (Tambora) dan Papekat.16 Pengiriman ekspedisi kerajaan Goa ke Sumbawa berlangsung pada tahun 1619 menurut cacatan harian kerajaan Goa dan tahun 1626 menurut catatan Speelman.17 Dalam sumber lokal (Buku Kerajaan) berangka tahun 1032 H/(1623 M), disebutkan perjanjian Tanah Goa dan Tanah Sumbawa dalam perang Sariyu. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Raja Sumbawa dengan suka rela mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan raja Goa, Tuminang Riagamana dengan syarat adat dan rapangnya tidak diganggu atau dirusak. Peristiwa tersebut disaksikan oleh Menteri Tetelu, Ranga Kiku, Nene Kalibelah, Nene Juru Pasalan, Mamanca Lelima, Lelurah Pepitu dan semua orang-orang besar kerajaan Sumbawa.18 Disisi lain kehadiran Islam di Sumbawa berhubung kait dengan posisi dan letak geografis pulau Sumbawa pada jalur pelayaran- perdagangan rempah-rempah dari Malaka dan Maluku, melalui Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan Dan Sastra Indonesia Dan Daerah, 1979), h. 18-19. 15 H.J.de Graaf, op. cit: h. 356. 16 J. Noorduyn, “Makasar and The Islamization of Bima”, (Bijdragen van het Koninklijk Instituut., deel 142, 1987), h. 327-328. 17 Loc. cit. 18 Lalu Manca, op.,cit: h. 55. 8 Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa — Tawalinuddin Haris pesisir utara Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa yang sudah terbina sejak awal abad ke-16 sebagaimana dilaporkan oleh Tome Pires, seorang musafir Portugis. Tome Pires mengatakan bahwa pulau- pulau yang dilalui setelah Jawa adalah Baly (Bali) Bombo (Lombok), Cimbava (Sumbawa), Byma (Bima), Foguo (Pulau Sangeng), Saloro (Solor), Malua (Alor), Lucucambay (Pulau Kambing), Citar, Batojmbey dan pulau-pulau lainnya sambung me- nyambung tak terputus.19 Pulau-pulau Sunda Kecil dengan air minum yang baik dan berlimpahnya suplay makanan merupakan tempat istirahat para pedagang Malaka dan Jawa dalam perjalanan ke Maluku atau sebaliknya. Di dalam aktivitas perdagangan itu terlibat para pedagang muslim, sehingga kontak dagang antara penduduk setempat dengan pedagang muslim diduga sudah lama berlangsung. Tidak tertutup kemungkinan sebagian diantara peda- gang-pedagang muslim itu singgah dan menetap di Sumbawa se- lama beberapa waktu, kemudian menyebarkan agamanya. Ada juga kemungkinan bahwa aktivitas pedagang-pedagang muslim Nusantara sepanjang jalur rempah-rempah menyebabkan agama Islam tersebar luas, sehingga dalam hubungan ini perdagangan menjadi faktor penting dalam Islamisasi di pulau di Sumbawa. Berdirinya Kasultanan Samawa Kapan proses Islamisasi mencapai puncaknya di Tana Samawa (Sumbawa Barat) dan munculnya pusat kekuasaan Islam (kasul- tanan Samawa) belum diketahui secara pasti. Lalu Manca berpendapat Sultan Harunnurrasyid I yang memerintah 1674-1702 adalah raja/sultan pertama dari Dinasti Dewa Dalam Bawa. Dinasti ini muncul setelah Dinasti Awan Kuning dengan rajanya yang terakhir Dewa Maya Paruwa. Selama keberadaan Kasultanan Sa- mawa sempat memerintah (berkuasa) 15 sultan, mulai dari sultan pertama, Harunurrasyid I (1674-1702) sampai sultan ke-15, Mu- 19 Armando Cortesao,The Suma Oriental of Tome Pires : An Account of the East from Read Sea to Japan , Written in Malacca and India in 1511-1644. Translated from Portuguese MS in the Bibliothique de la chamber des Deputes, Foris and Edited by Armando Cortesao, (London : The Hakluyt Society, 1944), h. 200-202. 9 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015: 1 – 30 hammad Kaharudin III (1931-1958 ).20 Kalau kita mengacu pada pendapat J. Noorduyn, kasultanan Samawa sudah berdiri sebelum tahun 1648, meskipun tidak diketahui siapa nama rajanya. Menurut Noorduyn selama keberadaannya di kasultanan Sumbawa sempat memerintah 18/19 raja atau sultan, dimulai dari Mas Pamayan atau Mas Cini (1648-1668) sebagai raja yang kedua dan Sultan Mu- hammad Kaharuddin (1931-1958) sebagai sultan yang ke-19.21 Sultan yang paling lama berkuasa/memerintah adalah Sultan Amrullah (1837-1883), beliau adalah sultan yang ke-13 menurut versi Lalu Manca dan sultan yang ke-17, menurut versi Noorduyn. Secara astronomis letak kasultanan Sumbawa antara B.T.116035’ dan B.T.1180 15’ dan antara L.S. 805’ dan 905’ menit. Luasnya sekitar 844 km persegi dengan wilayah hukum menurut Lange Politik Contrak (1938) sebagai berikut. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan di sebelah timur dengan Kerajaan Dompu. Terdiri atas tanah (pulau) sebagai berikut. Pertama, sebagian dari pulau Sumbawa, yaitu tanah di sebelah barat kabupaten (landschap) Dompu, Garis batas antara kasultanan Sumbawa dengan Dompu dimulai dari Ujung Pekat di pesisir utara pulau Sumbawa, dari sana ditarik garis lurus ke arah Ayer (Air) Lampa di sungai Kowangko dan dari sana kemudian ditarik garis lurus ke arah Ujung Batu Kerbo di pesisir selatan pulau Sumbawa. Kedua, pulau-pulau kecil lainnya yaitu pulau- pulau Dewa, Buraang, Rakit, Defi, Tai Kebo, Lipan, Santigi, Natu, Dempu, Tangar, Papan, Ngali, Batu, dua pulau kecil dekat Pulau (pulu) Ngali, Liang, Dengar, Mayo, Medang, Kramat, Kamudu, dua pulau kecil ber-nama Pulau Panjang, Ranga, Kaung, Bungin, Kalong, Lawang, Bilang, Kili, Pasaran, Ular, Batu, Nyamuk, Puyin, Raja Kepeng dan Kuwu.22 Wilayah kasultanan Sumbawa menurut Lange Politiek Contract 1938 sebagaimana dikutip Lalu Manca sama seperti yang disebutkan oleh J.E. Jasper dalam 20 Lalu Manca, op.cit., h. 93-166. 21 J. Noorduyn,Bima en Sumbawa, Bijdrage tot de Geschiedenis van de Sultanaten Bima en Seombawa door a. Ligtvoet en G.P. Rouffaer.”,VKI. 129 (Foris Publications Dordrecht-Holland/Providence-USA, 1987), Bijalage I. 22 Lalu Manca, op.cit. : 86-87. 10

Description:
Kasultanan Samawa adalah salah satu di antara kerajaan Islam di pulau Kasultanan Samawa is one of Islamic Kingdoms in Sumbawa Island. This.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.