Drs. Totok M.A. fumantoro, Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. -Z I lrnu ushul fikih adalah ilmu / / tentans kaidah atau bahasan U sebagal metode untuk mema- hami atau memperoleh hukum Islam yang bersifat praktis dari dalil-dalil vang rinci. Dalam bahasa non-Arab, ushul fikih sering diterjemahkan menjadi teori hukum (legal theoty), kareng memang di dalarnnya berisi tentang teori-teori untuk memahami hukum Islam. fl DrsD.r sS. uTrostuolk l iJuunmirrn Atomrqin ,M i\t..AA-g . I Ushul fikih tidak hanya diperlukan I dalam memaharni teks-teks yang terdapat dalam Alquran maupun hadis, tetapi juga untuk menetapkan hukum mengenai hal atau peristiwa yang belum ada hukumnya dalam kedua teks tersebut. I(arena itu, seseorang tidak mungkin dapat memahami hukum - Islam dengan tepat tanpa memahami ilmu ushul fildh. Buku ini menghimpun seluruh istilah dan konsep yang dikandung oleh ilmu ushul fikih. Dalam penjelasannva penulis mengemukJkan berbagai pendapat yang berbeda dari para ahli ushul fikih. Dengan demikian, pembaca dapat mengetihui dan meinahami sumber perbedaan pendapat tersebut. Diharapkan buku ini dapat membantu para pernbaca vang sedang nrendalami ilmu ushul fildh. Buku ini memberikan kemudahan kepada para pembaca dalam mencari istilah dan konsep yang -fikih. terdapat dalam ilmu ushul ,( | u!,t.1-:L i:i..rH l ;) ill ltrlll1 il 1li1;il-l , 1 j rsBN s79-9392-28-4 .il !l+ . Kala, "enVwlan ftjt.,;itj,l'f, ,F i:lr ;O'o'.-ey!, o-rl t i"i: a 4u..{'* ' r',F'r i L llt *'l'rJ,jJi l)k:',#;;, W;r {\&j {- i:lfuiri.tlsi,t3\s ,i;*t Y1L,*r2 Alquran sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam,r di samping ,n"rrgurrd,rrg hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya tidak berkembangjuga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Ayat hukum yang menyangkut ibadah, pada umumnya disebutkan pokok-pokoknya saja. Akan tetapi, ayat-ayat tentang itua*, ai3"t"stan oleh Rasulullah saw. secara rinci dan lengkap, yang dapat disimak dalam sunahnya. Dalam bidan g mu' amalah, danyatgini terbanyak jumlahnya, hanya sebagian kecil yang hukumnya disebutkan dalam Alquran secara tegas dan terinci' Mayoritas bersiiat ,-rr-, terbuka, dan dapat menerima berbagai penafsiran serta berupa prinsip-prinsip dasar yang dalam bentuk aplikatifrrya memerlukan aturan tambahan' bi.u-pirg itr, d"lu- ayat-ayat hukum di bidang mu'amalah pada umumnya disebutkan atau disyariatkan hilonah atau 'll/al hukumnya, sehingga terbuka peluang pengembangan hukumnya lewat berbagai metode istinbath hukum, seperti qiyas, istihsan, ataupun rnaslahah mursalah' I Secara lebih terinci studi hukum Islam dapat dibedakan atas: (l) Penelitian hukum Islam sebagai ;;kd asas, (2) penetiiian hukum Islam normatif, dan (3) Penelitian hukum,Islam sebagai gejala sosial (lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press' 1986 dan Bambang Sunggono, Metodologi'Penettian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada' 1997) 4- @ KatuPenganrar Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dalam usaha menggali makna Al- quran dan sunah serta rahasia-rahasia hukum yang tersirat di dalamnya -sehingga dengan itu- hukum Islam dapat berkembang dalam sejarah para mujtahid yaig telah merumuskan metodologi ijtihad. Dengan penerapan metodologi ijtihad itulain hukum Islam berkembang dalam sejarah. Metodologi ijtihad indewasa ini dikenal dengan ushul fikih. Ilmu ushul fikih merupakan salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syariat Islam dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan sunah. Melalui ilmu ushul fikih dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syariat Islam2, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia3. Dengan berpegang kepada metode ushul fikih, seorang mujtahid dapat memastikan posisi akal dalam memahami hukum Allah. Dalam ushul frkih dijelaskan batas kewenangan akal dalam memahami wahyu Allah, mana yang harus diterima dan mana yang boleh atau harus melalui proses pemikiran akal. Seseorang yang ingin memah ami dalil syara' ,baikberupa ayat Alquran maupun hadis Rasulullah, haruslah mengetahui secara baik kaidah-kaidah ushul fikih. oleh sebab itu, ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang sangatpentinguntuk diketahui dan dipahami dalam rangka menggali dan menerapkan hukum-hukum syara', sehingga apayang diinginkan dari hukum itu dapat tercapai. pada dasarnya penyusunan buku ini berusaha membantu mensistematisasikan istilah-istilah yang dijumpai dalam ilmu ushul fikih, sehingga dapat dengan mudah dicari dan dipahami. Agar tujuan penyusunan kamus ini dapai tercapai secara maksimal maka dalam setiap istilah yang dibahas, penyusun berusaha mengemukakan berbagai pandangan yang berbeda dari ahli ushul fikih disertai argumentasi yang mereka kemukakan, dengan harapan pembaca dapat mengetahui dan memahami sumber perbedaan pandangan tersebut, serta dapat secara jeli mengambil hikmah dari perbedaan itu, sehingga akan lebih menambah wawasan, betapa dalam perbedaan itu terdapat hikmah yang sangat banyak. Berangkat dari perbedaan-perbedaan itulah, akan terbuka wawasan kita, dalam memahami persoalan dengan objektif. Akhirnya penyusun menyadari bahwa penwsunan Kamus Ilmu Ushul Fikih ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang dapat kami gunakan untuk perbaikan penyempumaan buku ini. Para ulama ushul fikih mengemukakan dua bentuk pendekatan dalam memahami syariat Islam, yaitu melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pendekatan maqhasid asy-syari'ah (ttjuan syara' dalam menetapkan hukum). Pendekatan melalui kaidah kebahasaan untuk mengetahui dalil- dalil yang amm dan khas, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, muhkam, mufassar, mutasyabih, nash, zhahir, nasikh, mansukh, amn nahy, dan sebagainya. Sedang pendekatan maqashid asy syari'ah, penekanannya terletak pada upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan maksud-maksud syara' daiam menetapkan hukum (lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Logos, Jakarta, 1992, hlm. xi) Nasrun Haroen, Ushul Fiqh,Logos, Jakarta, 1997, hlm. xi. Kata Pengantar Terakhir, kepadaAllah SWT penyusun mohon rahmat dan hidayah-Nya serta memanjatkan rasa syukur atas teiah terselesainya penyusunan buku ini, karena dengan petunjuk dan perlindungan-Nya penyusunan buku ini dapat terselesaikan' Sernoga Uutcu ini bermanfaat untuk kita semua' Amin' PenYusun Drs. Totok Jumantoro, M.A. Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Daltan ?u t A ADAT Kata adat berasal dari bahasa Arab 1l'lf;; akar katanya: 'dda, ya'fidu 6:fr- sb)mengandun g arti ilj}j (perulangan). Karena itu, sesuatu yarugbaru dilakukan satu kali, belum dinamakanadat. Adapun secara istilah ada beberapa pengertian, arrtaralain adat adalah 6?i :^ii.'67 ilt') \b').1ii;ilr ;C'+ {o,.i"$t'3;itc Sesuatu yang dikehendaki manusia dan mereka kembali terus-menerus. Atau #Yrbf'u'):#r;'ii Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. i'li *i i rar,J:. {-: g'jt i p'si )i U i:a :.16r'a'ru,sc$ gil. e:6$ e Af#,t'-11,W G't -*Jrt 'Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu. Dan ini juga dinamakan adat. Dan di kalangan ulama syariat tidak ada perbedaan.antara 'urf dan adat. oii6 r itai e*p#diik'Cb$.,.6 r'i'rutu €.v " 'fr'tl"li X 2 I Ahliwah Adat adalah segala apa yang telah dikenal manusia, sehingga hal itu menjadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan atau perbuatan. Dalam Syarah At-Tahrir dinyatakan bahwa adat adalah suatu kebiasaan yang berulang-ulang yang tidak mempunyai hubungan dengan akal. (Lihat 'urJ) AIILIYYAH Dilihat dari sudut etimologi, ahliyyah (4i1i berarti kecakapan menangani sesuatu urusan. Adapun secara terminologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendefinisikan: * f l4.A.Q \,r; tW ue$t ri L1lttt u"'rl#. eb suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari, (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap diienai tuntutan syara'. Artinya, ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinila i oleh syara, . Apabila seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak kepada orang lain. Ahli ushul fikih membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu ahtiyyah al- wujub dan ahliyyah al-ada'. AIILIYYAII AL-ADA' Ahtivvah Al-Ada' lgrili ,X)\ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut sya ra' makaia dianggap telah memenuhi kewajiban dan untuk itu ia diberi pahala. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahriyyah ada',mempunyai tiga keadaan sebagai berikut. 1. Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ada', atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapa pun. 2. Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada'-nya,yaitu orang yang telah AhliyahLYujub pintar tetapi belumbaligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yangcacat akalnya, bukan tidak berakal. Ia hanya lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi, hukumnya sama dengan anak kecil yangmumayyiz. 3. Adakalanya ia mempunyai ahliyyah ada' yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh. Ahliyyah ada' yang sempurna terwujud dengan ke-baligh-at manusia dalam keadaan berakal' Ulama ushul fikih menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah al-ada' adalah akil baligh dan cerdas. Hal ini sesuai dengan firmanAllah SWT: t*6 '}il'-Pr Dan ujilah anak-anak yatirn itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta- hartanya.... (QS. An-Nis6': 6) Kalimat cukup umur dalam ayat di atas menunjukkan seseorang yang telah bermimpi dengan mengeluarkan sperna untuk pria dan haid untuk wanita. Orang seperti ini dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum. AIILIYYAH WUJUB Ahliyyah wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkanpadanya hak dan kewajiban. Atau sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak- hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Asasnya adalah kekhususan yang diciptakanAllah kepada manusia dan Dia khususkan kepada manusia, tidak kepada aneka ragam hewan. Dengan kekhususan tersebut manusia patut memperoleh ketetapan hak dan kewajiban yang wajib atas dirinya. Kekhususan iniolehfuqaftc disebut detgandzimmah (tanggungan). Dzimmah adalah suatu sifat alami kemanusiaan yang menetapkan hak bagi manusia pada orang lain dan mewajibkan berbagai kewajiban padanya untuk orang lain. Manusia ditinjau dari ahliyyah wujub mempunyai dua keadaan sebagai berikut. l. Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila A h liyyah A l-Wuj ub A l- K ami lah ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban atau sebaliknya. 2. Adakalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang baligh-nya(mumayyiz) dan setelah ia baligh. Dalam keadaan apa pun ia berbeda pada periode dari per- kembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyah wujub yang sempurna. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya kepada orang yang memiliki ahliyyah al-wujub maka yang disebut terakhir ini telah cakap menerima hibah tersebut. Apabila harta bendanya dirusak orang lain, maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi. Ahli ushul fikih membagi Ahliyyah Al-Wujub kepada dua bentuk, yaitu Ahliyyah Al-Wujub An-Naqishah dan Ahliyyah Al-Wujub Al-Kamilah. AHLIYYAH AL.WUJUB AL-KAMILAH Ahtiyyah At-wujub At-Kamitah (:.irylgitq4+lt4Fi) adalah kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang ielah lahirke dunia sampai ia dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila. Dalam status Ahliyyah Al-Wujub (sempurna atau tidak) seseorang tidak dibebani tuntutan syera', baik yang bersifat ibadah seperti salat dan puasa (yang bersifat rohani) maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik. AHLIYYAH AL-WUJUB AN-NAQISHAH (;;le$l q !.|ll e}li Ahtiyyah At-wujub An-Naqishah ) adalah ketika seoftrng masih berada dalam kandungan iUunya 6anin;. Janin dianggap memiliki Ahliyyah Al-Wujub yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat walau hanya sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima menjadi miliknya. Ulama ushul fikih menetapkan ada empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu 1. hak keturunan dari ayahnya, 2. hak waris dari ahli warisnya yang meninggal dunia, 3. wasiat yang ditujukan kepadanya, dan 4. harta wakaf yang ditujukan kepadanya.