KAJIAN MODEL PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TERPADU Oleh : Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air E-mail : [email protected] atau [email protected] ABSTRAK Kajian ini bermaksud menganalisis sistem pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) dengan menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan sektor yang ada di dalam DAS. Ada tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor yang ada terhadap kinerja DAS. Studi ini juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS. Terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jratunseluna di Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut mewakili 3 kondisi pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja mereka hamper sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup. Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Di sisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan- kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut, kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor- sektor tergantung pada kinerja DAS. 1. PENDAHULUAN Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu dengan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di - - 1 - - 12 DAS prioritas (Brantas, Solo, Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, Asahan, Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang). Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti : (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS; dan (3) perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir. 2. TUJUAN Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan alternatif model kebijakan pengelolaan DAS terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun yang bersifat khusus atas dasar kelompok kriteria kekritisannya. Adapun sasaran kajian ini adalah untuk: (1) menganalisa DAS yang dalam kondisi kritis agar dapat dijadikan model pengelolaannya secara terpadu; (2) melakukan kaji ulang terhadap kebijakan pengelolaan DAS antara lain dalam pengendalian bencana banjir dan kekeringan; dan (3) menyusun kerangka kerja (frame work) untuk perumusan model kebijakan. 3. METODOLOGI Kajian ini dilakukan melalui pengumpulan, pengolahan dan analisis data secara primer dan sekunder, kaji literatur pada universitas, lembaga penelitian, lembaga pemerintah/non pemerintah yang terkait, untuk mendapatkan referensi dan data maupun survei. Pada kajian ini, data dan informasi bersumber dari data dan kajian primer dan sekunder yang selanjutnya dianalisa dengan menggunakan pendekatan konsep pengelolaan DAS terpadu berdasarkan sumber daya pada masing-masing wilayah yang dilalui oleh DAS bersangkutan. 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Definisi DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographic - - 2 - - area that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”. Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Gambar 1. Daur Hidrologi DAS Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 2002). Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. - - 3 - - 3.1.2 Definisi DAS Berdasarkan Fungsi Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik. 3.2 Kerangka Analisis 3.2.1 Konsepsi Pengelolaan DAS Terpadu Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Seperti sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, suatu DAS dapat dimanfaatkan bagi berbagai kepentingan pembangunan misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman, pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat produksi, baik produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Karena itu upaya untuk mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk kepentingan menjaga kemapuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain-lain. Mengingat akan hal-hal tersebut di atas, dalam menganalisa kinerja suatu DAS, kita tidak hanya melihat kinerja masing-masing komponen/aktifitas pembangunan yang ada di dalam DAS, misalnya mengukur produksi/produktifitas sektor pertanian saja atau produksi hasil hutan kayu saja. Kita harus melihat keseluruhan komponen yang ada, baik output yang bersifat positif (produksi) maupun dampak negatif. Karena itu dalam kajian pengelolaan DAS Terpadu ini selain dilakukan analisis yang bersifat kuantitatif, juga dilakukan analisis yang - - 4 - - bersifat kualitatif. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya didasarkan kepada adanya keterkaitan antara suatu sektor/kegiatan pembangunan dengan kegiatan pembangunan lain, sehingga apa yang dilakukan pada satu sektor/komponen akan mempengaruhi kinerja sektor lain. Untuk menggambarkan hubungan keterkaitan antara berbagai aktifitas/komponen pembangunan yang ada di dalam DAS digunakan model seperti dalam gambar 2. Dalam diagram tersebut digambarkan keterkaitan antara berbagai komponen yang dalam analisis kuantitatif akan digunakan sebagai variabel untuk mengukur kinerja DAS secara keseluruhan. Gambar 2 : Model Keterkaitan Berbagai Aktifitas dalam DAS DDaannaa AAPPBBNN DDaannaa PPeennggeelloollaaaann AAPPBBNN RReebbooiissaassii KKeehhuuttaannaann SSuummbbeerr DDaayyaa AAiirr SSuummbbeerr DDaayyaa PPeerrttaanniiaann AAiirr RReebbooiissaassii KKoonnsseerrvvaassii SSaarraannaa PPeennggaaiirraann// IIrriiggaassii PPeenneebbaannggaann KKoonnddiissii HHuuttaann ((TTNN,, HHuuttaann AAllaamm,, SSaarraannaa PPeennggeelloollaaaann PPrroodduukkssii HHuuttaann HHTTII,, LLaahhaann KKrriittiiss,, KKoonnsseerrvvaassii SSuummbbeerr DDaayyaa ••BBaannjjiirr PPeerrttaanniiaann PPeerrttaanniiaann SSuummbbeerr DDaayyaa AAiirr)) AAiirr ••KKeekkeerriinnggaann PPeenniinnggkkaattaann IInndduussttrrii PPeennddaappaattaann PPeerrkkaayyuuaann// TTaattaa RRuuaanngg TTiinnggkkaatt FFlluukkttuuaassii PPrroodduukkssii KKaayyuu MMaassyyaarraakkaatt PPeerrmmuukkiimmaann AAiirr PPeerrmmuukkaaaann 3.2.2 Analisa Kuantitatif 3.2.2.1 Pemilihan Metode Regresi Analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis regresi. Analisis regresi membedakan dua jenis varibel yaitu variabel bebas atau variabel prediktor dan variabel tak bebas atau variabel respon. Variabel yang keberadaannya tidak tergantung kepada variabel- variabel lain di dalam sistem yang dinilai sering dapat digolongkan ke dalam variabel bebas, sedangkan variabel yang terjadi karena variabel bebas merupakan variabel tak bebas. Variabel bebas dinyatakan dengan X1, X2, X3, …, Xk (k >= 1) dan varibel tak bebas dinyatakan dengan Y. Melalui regresi akan ditentukan hubungan fungsional yang diharapkan berlaku untuk populasi berdasarkan data sampel yang diambil dari populasi yang bersangkutan, yang selanjutnya hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan regresi. Selanjutnya digunakan analisis regresi dengan variabel bebas bersifat multivariabel, sehingga digunakan analisis regresi ganda dengan metode kuadrat terkecil. Metode ini berpangkal pada kenyataan bahwa jumlah pangkat dua (kuadrat) daripada jarak antara titik-titik dengan garis regresi yang sedang dicari harus sekecil mungkin. 3.2.2.2 Pemilihan Populasi Data Mengingat terbatasnya data yang ada untuk digunakan dalam analisis ini, maka data time series yang digunakan hanya terbatas 10 tahun yaitu 1989-1998. Lingkup wilayah data yang digunakan dalam analisis adalah wilayah propinsi di mana wilayah kajian berada. Adapun - - 5 - - wilayah kajian terpilih adalah Jawa Barat, mengingat data yang tersedia dalam kurun waktu tersebut hanya Jawa Barat. Data yang tersedia dan dipilih sebagai variabel tak bebas dalam analisis adalah data nisbah. Nilai nisbah menggambarkan kondisi sungai sekaligus mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan air. Semakin tinggi nilai nisbah, kondisi sungai semakin buruk. Nilai nisbah yang tinggi menunjukkan bahwa nilai debit maksimum besar dan debit minimum kecil. Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan ini sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dan lain-lain. Kondisi DAS dikatakan baik jika memenuhi beberapa kriteria : a. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun b. Kualitas air baik dari tahun ke tahun c. Fluktuasi debit antara debit maksimum dan minimum kecil. Hal ini digambarkan dengan nisbah. d. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun Nilai nisbah yang digunakan adalah nilai nisbah Sungai Ciliwung berdasarkan debit bulanan terukur setiap tahunnya di Bendung Katulampa. Sebagai variabel bebas dipilih data APBN. Pemilihan data APBN dilakukan untuk menilai sejauh apa pengaruh kebijakan alokasi APBN sektor terkait yang bersifat makro dapat mempengaruhi nilai nisbah Sungai Ciliwung yang sifatnya mikro atau spesifik. Berdasarkan pengertian mengenai DAS, dimana DAS dapat dibagi menjadi sub-DAS Hulu, sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir. Sektor kehutanan dipilih mewakili sub-DAS Hulu. Alokasi APBN pada sektor ini berkaitan dengan seluruh alokasi dana sektor/program/proyek yang ada pada Departemen Kehutanan. Selanjutnya dana reboisasi (DR) sebagai variable tambahan karena dana DR merupakan sumber pembiayaan pembangunan kehutanan yang jumlahnya cukup dominan. Dana DR ini berasal dari setoran perusahaan HPH untuk reboisasi. Variabel ini diharapkan mampu mendukung variabel dana APBN pada sektor kehutanan. Mewakili sub-DAS Tengah dan sub-DAS Hilir adalah sektor pertanian dan sumberdaya Air. APBN sektor pertanian mencakup sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura, litbang pertanian, diklat pertanian dan bimas, dimana alokasi APBN untuk sub-sektor ini diarahkan untuk peningkatan produksi tanaman pangan. Sedangkan APBN di bidang sumberdaya Air meliputi sektor/program/proyek berkaitan dengan pengairan dan irigasi, dan penyelamatan hutan, tanah dan air. Variabel bebas lainnya adalah produksi kayu dan jumlah penduduk. Produksi kayu dipakai sebagai proxy dari kondisi tutupan lahan. 3.2.2.3 Hipotesa Berdasarkan pemilihan variabel tak bebas (nisbah) dengan variabel bebas (APBN Kehutanan, DR, APBN Pertanian, APBN Sumberdaya Air, Produksi Kayu dan Jumlah Penduduk), dilakukan hipotesa awal terhadap hubungan variabel bebas dan variabel tak bebas. Berdasarkan metode regresi yang dipilih, maka hubungan fungsional variabel tak bebas terhadap variabel bebas dirumuskan sebagai berikut : Nisbah = A1.Hutan(-1) + A2.DR(-1) + A3.SP(-1) + A4.SDAIR(-1) + A5.Prodkayu + A6.Pnddk + C dimana, Hutan (-1) = APBN di bidang kehutanan (juta rupiah) dengan A1 sebagai koefisien - - 6 - - DR (-1) = Dana Reboisasi (juta rupiah) dengan A2 sebagai koefisien SP (-1) = APBN di bidang pertanian (juta rupiah) dengan A3 sebagai koefisien SDAIR (-1) = APBN di bidang sumber daya air (juta rupiah) dengan A4 sebagai koefisien Prodkayu = Produksi kayu tebangan (m3) dengan A5 sebagai koefisien Pnddk = Jumlah penduduk (jiwa) dengan A6 sebagai koefisien C = Konstan (-1) = Lag time Alokasi APBN di bidang kehutanan diharapkan dapat menurunkan nilai nisbah, dengan asumsi bahwa jika investasi di bidang ini dialokasikan secara tepat, kondisi tutupan hutan akan menjadi lebih baik. Jika hutan dalam kondisi yang baik, kemampuannya untuk menyerap air hujan akan besar. Hutan memberikan kemungkinan terbaik bagi pemulihan dan perbaikan sifat lahan. Hutan tropis mempunyai koefisien limpasan 0.03, artinya air hujan yang mampu diserap oleh hutan adalah sebesar 97%. Penyerapan air hujan akan mengurangi limpasan langsung di permukaan yang akhirnya mengurangi nilai nisbah. Adanya dana reboisasi (DR) diharapkan dapat menjadi tambahan sumber pembiayaan pembangunan di bidang kehutanan, khususnya untuk program reboisasi karena nilainya yang dominan. Program reboisasi diharapkan dapat memperbaiki kondisi tutupan hutan yang telah gundul sebagai akibat penebangan yang dilakukan oleh perusahaan HPH. Pemanfaatan dana DR untuk reboisasi diharapkan berkorelasi negatif terhadap nisbah mengingat reboisasi akan memperbaiki kondisi tutupan lahan. Alokasi APBN di bidang pertanian berkaitan dengan peningkatan produksi tanaman pangan, diperkirakan berkorelasi positif terhadap nisbah. Upaya peningkatan produksi pertanian akan meningkatkan aktifitas pertanian baik dalam bentuk perluasan lahan pertanian, maupun intensitas pengelolaan lahan yang akan mempengaruhi kebutuhan akan debit air irigasi pada satu sisi, pada sisi lain pemilihan tipe irigasi, pola tanam dan jenis tanaman juga mempengaruhi nisbah karena berkaitan dengan tutupan lahan. Alokasi APBN di bidang sumberdaya Air sektor pengairan dan irigasi melalui sub sektor/program/proyek berkaitan pengairan dan irigasi, penyelamatan hutan, tanah dan air diharapkan dapat memperbaiki kondisi sungai yang ada, sehingga kondisi aliran baik pada debit maksimum maupun minimum dapat terkendali. Pada kondisi debit maksimum diharapkan tidak menimbulkan bencana banjir maupun longsor melalui pembangunan waduk, normalisasi sungai, perencanaan sistim irigasi dan drainasi yang baik. Pada kondisi debit minimum diharapkan tidak terjadi bencana kekeringan karena adanya cadangan air melalui pembangunan waduk, bendung maupun bendungan beserta struktur pendukungnya. Jumlah produksi kayu diperkirakan berkorelasi positif terhadap peningkatan nilai nisbah karena terjadi pengurangan tutupan hutan. Jika luasan hutan berkurang karena penebangan maka limpasan langsung air hujan di permukaan akan menjadi lebih besar dibanding air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Jumlah limpasan langsung akan meningkatkan nilai nisbah karena meningkatnya nilai debit maksimum. Demikian pula dengan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan nilai nisbah, hal ini berkaitan dengan berbagai aktifitas kependudukan seperti permukiman, pembuangan sampah, industri, budidaya pertanian dan penanaman tanaman bukan tegakan. - - 7 - - 4. HASIL KAJIAN 4.1 Hasil Studi Literatur Model Pengelolaan DAS Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan DAS dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah, yang dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Chay Asdak, 2002), seperti yang tertera pada Gambar 3. Gambar 3. Hubungan Biofisik antara DAS bagian hulu dan hilir Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Chay Asdak, 2002). Dalam menjabarkan model pengelolaan DAS maka setiap unit DAS, secara substansi dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan DAS merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS. DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek- aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi. - - 8 - - Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen- komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah- daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut : (1) Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan. (2) Eksternalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktifitas/program dan atau kebijakan yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (a) masyarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan (sectoral externalities). (3) Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumberdaya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor (organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut. Pada penanganan DAS bagian hulu diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian) karena secara potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar proses terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan, yang dapat dijabarkan oleh Gambar 4 berikut. - - 9 - - Gambar 4. Model Pengelolaan DAS PPeennggeelloollaaaann EEkkoossiisstteemm DDAASS HHuulluu ––HHiilliirr EEkkoonnoommii,, SSoossiiaall,, BBaattaass EEkkoollooggii// DDAASS BBuuddaayyaa AAddmmiinniissttrraassii LLaahhaann//AAiirr KKeelleemmbbaaggaaaann TTeekknnoollooggii PPeennddaannaaaann Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan aspek- aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya antara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri, kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak terdapat aliran air. Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework). - - 10 - -
Description: