ISSN 1410-1939 J URNAL A GRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian Volume 8, Nomor 1, Januari – Juni 2004 Diterbitkan sejak tahun 1996 oleh Fakultas Pertanian Universitas Jambi J A URNAL GRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember, berisi tulisan yang diangkat dari hasilhasil penelitian dan kajian analisis-kritis di bidang ilmu budidaya pertanian (teknologi benih, perbanyakan tanaman, pemu-liaan tanaman, perlindungan tanaman, produksi tanaman, panen dan pasca panen, bioteknologi tanaman, dan ilmu tanah). ISSN 1410-1939. Ketua Penyunting Zulkarnain Wakil Ketua Penyunting Sarman S. Penyunting Pelaksana Bambang Irawan Nerty Soverda Wilma Yunita Henny H. Eliyanti Pelaksana Tata Usaha Husda Marwan Gusniwati M. Zuhdi Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361. Telpon/Faksimil (0741) 583051 atau (0741) 582781. Email: [email protected] JURNAL AGRONOMI diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Dekan: Zulkifli, Pemban-tu Dekan I: A. Rahman, Pembantu Dekan II: Sarman S., Pembantu Dekan III: Y.M.S. Rambe. Terbit pertama kali pada tahun 1996 dengan nama Buletin Agronomi Universitas Jambi. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan pada media lain, baik cetak mau- pun elektronik. Naskah tulisan diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda, panjang tulisan 10 – 20 halaman dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalam-belakang (“Pedoman Penulisan”). Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lain- nya tanpa mengubah isi tulisan. Kontribusi penulisan sebesar Rp100.000,00 bagi pelanggan dan Rp150.000,00 bagi bukan pelanggan untuk setiap artikel yang dimuat, dan dapat dibayar setelah ada pem- beritahuan pemuatan tulisan. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapatkan lima eksemplar cetak lepas dan satu eksemplar nomor bukti pemuatan. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Harga berlanganan (sudah termasuk ongkos kirim): Rp30.000,00 per tahun, Rp55.000,00 per dua tahun atau Rp80.000,00 per tiga tahun untuk dua nomor penerbitan setiap tahun. J A URNAL GRONOMI Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2004 Daftar Isi Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Zulkarnain 1 - 10 Kajian Berbagai Kombinasi Pengapuran dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) di Lahan Pasang Suru Jumakir, Waluyo dan Suparwoto 11 - 15 Pengaruh Konsentrasi Pupuk Pelengkap Cair Plant Catalyst 2006 terhadap Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Hanibal dan Sosiawan Nusifera 17 - 19 Pengaruh Varietas dan Metoda Pemupukan terhadap Hasil Padi di Rawa Lebak Suparwoto, Waluyo dan Jumakir 21 - 25 Respon Tanaman Sawi (Bras-sica juncea L.) terhadap Pupuk Daun Nutra-Phos N dengan Konsentrasi Bervariasi Sosiawan Nusifera 27 - 29 Karakterisasi Tapak Tanaman Acacia mangium pada Tanah Spodosol di P.T. Wira Karya Sakti, Provinsi Jambi Nursanti 31 - 42 Pengaruh Sludge Pabrik Bubur Kertas pada Erodibilitas Ultisol Sunarti dan Wiskandar 43 - 45 Korelasi Uji Fosfor Tanah Ultisol untuk Tanaman Jagung (Zea mays L.) Ermadani 47 - 52 Pengujian Dosis Kompos Trichoderma untuk Pengendalian Jamur Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) Husda Marwan 53 - 57 Kajian kualitas spora Beauveria bassiana pada berbagai jenis media dan lama penyimpanan Yuni Ratna 59 - 62 Masa Inkubasi Bakteri Patogenik Ralstonia solanacearum RAS 3 pada Beberapa Klon Kentang Dodo Rusnanda Sastra 63 - 68 Kebutuhan Pupuk Fosfor Berdasarkan Status Hara Fosfat Lahan Sawah di Provinsi Jambi Busyra, B. S. 69 - 74 Pedoman Penulisan ISSN 1410 - 1939 PEMANFAATAN METODE KULTUR ANTERA DALAM PEMULIAAN TANAMAN [THE USE OF ANTHER CULTURE METHOD IN PLANT BREEDING] Zulkarnain1 Abstract One of impediments in breeding programme of cross-pollinated species has been the high level of heterozygous plants within population. This results in longer period of the breeding process in order to produce homozygous plants using conventional techniques. This problem can be overcome by the use of haploid and doubled-haploid technology via aseptic anther or microspore culture. This review discuss the principles of plant regeneration mechanism through androgenesis and the factors playing key role in the success of the induction of microspore embryogenesis within an in vitro system. The success of plant regeneration via anther or microspore culture was influenced by factors such as plant genotype, factors associated with donor plants, cytological status of microspores, anther pre-treatment, the properties of medium used, and the environmental conditions where cultures were incubated. A number studies revealed that the response of anthers or microspore on these factors was specific, depending on plant species investigated. For this reason, there is no general procedure that can be universally applied on all plant species. Key words: androgenesis, microspore embryogenesis, anther culture, plant breeding. Kata kunci: androgenesis, embryogenesis mikrospora, kultur antera, pemuliaan tanaman. PENDAHULUAN resesif dan eksploitasi tanaman gametoklonal (Christou, 1992). Beberapa sifat resesif yang Upaya mendapatkan galur-galur homozigot dapat dideteksi secara dini pada tanaman haploid dari spesies tanaman yang menyerbuk silang yang berkembang dari embriogenesis mikrospora dapat memakan waktu yang cukup lama. antara lain adalah toleransi terhadap kondisi Prosesnya dimulai dari persilangan untuk lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti mengkombinasikan sifat-sifat yang diinginkan kekeringan, suhu rendah, hara rendah atau pun dari tetuanya, dan menghasilkan zuriat yang kandungan logam berat yang tinggi di dalam heterozigot namun seragam secara genetik. tanah (Taji et al., 2002). Lebih penting lagi, Perbanyakan zuriat ini seringkali disertai dengan teknik ini menawar-kan peluang untuk pemisahan kromosom yang homolog dan mendapatkan galur-galur ho-mozigot lebih cepat pemisahan gen-gen induk pada saat meiosis, dan lebih efisien dibanding-kan cara-cara sehingga menimbulkan keragaman genetik antar konvensional (Tomasi et al., 1999). Taji et al. individu di dalam populasi pada generasi (2002) mengemukakan, bahwa dengan teknologi berikutnya (Croughan, 1995). Oleh karenanya haploid galur-galur homozigot dapat diperoleh keseluruhan proses produksi galur homozigot hanya dalam satu generasi, sementara dengan sebagaimana diprediksikan oleh Ferrie dan teknologi konvensional diperlukan waktu 5 Keller (1995) dapat memakan waktu hingga 10 hingga 6 generasi untuk mendapatkan galur tahun atau bahkan lebih, bergantung pada spesies homozigot. Dengan penggandaan kromosom tanaman. menggunakan kolkisin (Zulkarnain, 2003) atau Penggunaan embriogenesis mikrospora oryzalin (Zulkarnain, 2004) tanaman haploid melalui kultur antera atau kultur mikrospora juga dapat diinduksi menjadi tanaman doubled- sangat bermanfaat untuk mendeteksi sifat-sifat haploid yang fertil. 1 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 1 Jurnal Agronomi 8(1): 1–10 Tulisan ini bertujuan untuk membahas mikrospora muda, yang jumlah kromosomnya pemanfaatan teknologi haploid melalui kultur dapat digandakan guna mendapatkan individu antera di dalam pemuliaan tanaman. Beberapa doubled-haploid yang fertil dan memiliki sifat aspek yang berkaitan dengan mekanisme yang sama dengan induknya. Kultur antera telah regenerasi tanaman melalui embriogenesis berhasil diterapkan pada tanaman-tanaman mikrospora serta faktor-faktor yang monokotil seperti Oryza sativa (Lentini et al., mempengaruhinya dibahas secara ringkas guna 1995; Aryan, 2002) dan Triticum aestivum memberikan gambaran bagaimana teknik ini (Touraev et al., 1996). Teknologi ini juga telah dapat berjalan dengan sukses. berhasil diterapkan pada tanaman-tanaman dikotil seperti Brassica napus (Lichter, 1982), Populus sp. (Hyun et al., 1986), Malus MEKANISME REGENERASI TANAMAN domestica (Höfer et al., 1999), dan Anemone MELALUI ADROGENESIS sp., Zantedeschia sp. and Delphinium sp. (Custers et al., 2001). Juga ditemukan adanya Istilah androgenesis ditujukan pada laporan tentang regenerasi tanaman haploid dari regenerasi tanaman secara langsung dari kultur antera maupun kultur mikrospora pada mikrospora di dalam sistem kultur antera tanaman legum seperti Medicago sativa maupun kultur mikrospora. Prinsip yang (Zagorska et al., 1997), Cajanus cajun (Kaur dan mendasari androgenesis adalah menghentikan Bhalla, 1998), Lupinus spp. (Bayliss et al., 2002) perkembangan sel-sel mikrospora, yang pada dan sejumlah tanaman legum pohon seperti keadaan normal menjadi sel-sel gamet, dan Albizzia lebbeck (Gharyal et al., 1983) and memaksa perkembangannya langsung menjadi Peltophorum pterocarpum (Rao dan De, 1987). tanaman lengkap (Nitsch, 1981). Proses ini Namun demikian, pada tanaman lain belum menghambat diferensiasi gametofitik, namun ditemui keberhasilan yang memuaskan, dan justru memungkinkan terjadinya pembelahan dan bahkan di antara tanaman-tanaman yang respon regenerasi sel (Dunwell, 1986). terhadap kultur antera terdapat keragaman Begitu gametogenesis (perkembangan embriogenesis yang cukup besar (Zhong et al., mikrospora) berlangsung, serbuk sari matang 1995; Zhao et al., 1996; Saïdi et al., 1998). akan terbentuk melalui mitosis. Oleh karena Keberhasilan kultur antera berkaitan dengan lintasan perkembangan belum ditentukan selama sejumlah faktor (Sunderland, 1974; Dodds dan proses gametogenesis, ada peluang untuk Roberts, 1985), sebagaimana diuraikan berikut menginterupsi lintasan gametofitik normal dan ini. menginduksi perkembangan sporofitik. Vicente et al. (1992) dan Mitykó et al. (1996) Genotipe tanaman menyatakan bahwa mikrospora dengan kisaran Sudah jelas bahwa respons antera selama tahap perkembangan uninukleat hingga kultur in vitro sangat tergantung pada genotipe pertengahan binukleat adalah bahan tanaman tanaman donor. Palmer dan Keller (1997) yang sesuai untuk induksi perkembangan menambahkan bahwa genotipe tanaman donor sporofitik haploid pada berbagai spesies tidak hanya mempengaruhi frekuensi tanaman. Namun harus diingat bahwa hal ini embriogenesis tetapi juga mempengaruhi kualitas sangat beragam tergantung pada spesies tanaman embrio yang dihasilkan. (lihat uraian di bawah ini). Sebagai hasil Sifat ketergantungan pada genotipe yang perkembangan sporofitik, mikrospora nyata terhadap respons androgenik dilaporkan multiseluler berkembang di dalam antera. oleh Mitykó et al. (1996) pada kultur antera Diferensiasi unit-unit multiseluler ini tanaman cabai (C. annuum). Mereka menghasilkan embrio, yang kemudian menemukan bahwa genotipe berbuah besar berkembang menjadi tanaman lengkap dengan memproduksi plantlet dalam jumlah paling jumlah kromosom haploid (2n = x). banyak untuk setiap antera yang dikulturkan, bila dibandingkan dengan genotipe berbuah kecil dan berbuah sedang, yang terbukti kurang atau tidak responsif terhadap kondisi in vitro. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Ketergantungan pada genotipe juga ditemukan INDUKSI EMBRIOGENESIS pada tanaman timothy (Guo et al., 1999). MIKROSPORA Walaupun dasar kontrol genetiknya masih belum diketahui, jelas bahwa faktor-faktor genetik Kultur antera sangat potensial dalam pemu- berinteraksi dengan faktor-faktor lain untuk liaan tanaman dikarenakan kemampuannya untuk mengontrol embriogenesis mikrospora (Palmer menghasilkan tanaman-tanaman haploid dari dan Keller, 1997). 2 Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Umur tanaman donor penting bagi keberhasilan embriogenesis Umur tanaman donor merupakan faktor kun- mikrospora. Suatu perbedaan kecil dalam tahap ci lain yang mempengaruhi embriogenesis mi- perkembangan mikrospora dapat menyebabkan krospora. Hal ini dapat dikaitkan dengan kera- perbedaan hasil yang besar. gaman kandungan zat pengatur tumbuh endogen Palmer and Keller (1997) menyatakan serta proses-proses biokimia di dalam antera se- bahwa uni-nukleat akhir hingga awal binukleat lama perkembangan tunas bunga. Namun, pe- merupakan tahap perkembangan mikrospora ngaruh tanaman donor tergantung pada spesies. yang optimum untuk induksi pembentukan Pada Aesculus carnea, Marinkovic dan Radoje- embrio. Akan tetapi, tahap perkembangan vic (1992) melaporkan bahwa frekuensi embrio- mikrospora yang tepat, yang lebih siap untuk genesis yang tinggi di-peroleh pada mikrospora diarahkan pada lintasan sporofitik, nampaknya yang berasal dari tanaman berumur lebih tua. berbeda tergantung pada spesies tanaman. Pada Sementara pada Casicum annuum, Kristiansen N. tabacum, Sunderland (1974) melaporkan dan Andersen (1993) menemukan bahwa tanam- bahwa respon antera meningkat dengan tajam an berumur lebih muda menghasilkan mikro- selama fase mikrospora dan mencapai puncaknya spora yang lebih responsif daripada tanaman pada tahap mitosis serbuk sari yang pertama. berumur lebih tua. Oleh karenanya, tingkat umur Tahap uninukleat akhir dilaporkan memproduksi yang berbeda mempengaruhi respon mikrospora, paling banyak plantlet untuk setiap antera yang tergantung pada spesies tanaman. dikulturkan. Mikrospora dengan tahap perkembangan uninukleat akhir juga digunakan Kondisi lingkungan tanaman donor oleh Nichterlein and Friedt (1993) pada Walaupun tidak mungkin untuk membuat penelitian mereka terhadap kultur mikrospora L. suatu rekomendasi umum mengenai kondisi usitatissimum. Akan tetapi, pada P. pratense, pertumbuhan yang optimal, jelas bahwa faktor- Guo et al. (1999) menemukan bahwa tahap faktor lingkungan di mana tanaman donor perkembangan mikrospora yang optimum adalah ditumbuhkan mempengaruhi respon antera di di antara uninukleat akhir dan binukleat. dalam kultur in vitro. Faktor-faktor seperti suhu Meskipun banyak peneliti yang membuat dan fotoperiodisitas (Dunwell, 1986) dapat generalisasi bahwa periode optimum bagi respon berinteraksi dengan genotipe dan mem- serbuk sari berada di antara tahap perkembangan pengaruhi frekuensi embriogenesis mikrospora. tetrad dan binukleat, penentuan tahap Kristiansen dan Andersen (1993) menemu- perkembangan mikrospora yang tepat sebelum kan bahwa pada C. annuum suhu lingkungan diintroduksikan pada kultur membutuhkan suatu tumbuh yang optimum bagi tanaman induk ada- analisis sitologi. Oleh karenanya, untuk tujuan lah 26oC. Pada kebanyakan spesies, tanaman praktis kebanyakan peneliti mengandalkan yang ditumbuhkan pada kisaran suhu rendah parameter morfologi seperti ukuran tunas dan menghasilkan lebih banyak mikrospora yang mahkota bunga (Mitykó et al., 1996; Takahata et responsif (Palmer dan Keller, 1997). Guo et al. al., 1996; Tomasi et al., 1999). Walaupun (1999) melaporkan bahwa produksi embrio pada ukuran tunas bunga yang optimum bervariasi P. pratense meningkat apabila tanaman induk di- antar genotipe, populasi mikrospora yang tumbuhkan pada lingkungan dengan suhu ren- terdapat di dalam tunas-tunas tersebut sebagian dah. Pra-perlakuan suhu rendah terhadap tanam- besar berada pada kisaran tahap pertumbuhan an donor nampaknya penting untuk menahan uninukleat dan binukleat. perkembangan gametofitik mikrospora karena Dalam kaitannya dengan respon yang paling pada mikrospora embriogenik yang berasal dari baik di dalam kultur, Dodds and Roberts (1985) tanaman yang diperlihara pada suhu rendah di- menganjurkan tiga kategori tahap perkembangan temukan bukti adanya modifikasi sitologi. mikrospora, yakni premitosis, mitosis dan Pada Nicotiana tabacum cv. White Burley, postmitosis. Tanaman-tanaman yang tergolong antera yang paling produktif berasal dari ke dalam kategori premitosis memperlihatkan tanaman yang ditumbuhkan pada suhu 20oC dan pembentukan embrioid terbaik bilamana fotoperiodesitas 8 jam per hari (Dunwell, 1974). mikrospora telah menyelesaikan meiosis namun Namun demikian, fotoperiodesitas nampaknya masih belum memulai pembelahan polen yang tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada pertama (misalnya Hyoscyamus niger dan pembentukan embrio dari kultur antera C. Hordeum vulgare). Tanaman-tanaman yang annuum (Kristiansen dan Andersen, 1993). termasuk ke dalam kelompok mitosis memperlihatkan respon terbaik apabila Tahap perkembangan mikrospora mikrospora berada pada tahap perkembangan Tahap perkembangan mikrospora pada saat pembelahan polen pertama (misalnya N. inisiasi kultur dilakukan memainkan peranan tabacum, Datura innoxia dan Paeonia spp.). 3 Jurnal Agronomi 8(1): 1–10 Sementara itu, tanaman-tanaman yang tergolong memacu jaringan tersebut untuk memulai ke dalam postmitosis memperlihatkan respon metabolisme dengan lintasan yang baru. Nitsch terbaik bilamana mikrospora berada dalam tahan (1974) menyatakan bahwa pra-perlakuan suhu perkembangan binukleat awal (misalnya Atropa rendah mempengaruhi pembelahan pertama pada belladonna). mikrospora, dan oleh karenanya terbentuk dua inti yang identik, bukan satu inti vegetatif dan Pra-perlakuan terhadap antera satu inti generatif. Berbagai macam tindakan pra-perlakuan Kadang-kadang memberi pra-perlakuan terhadap antera terbukti dapat meningkatkan pada antera dengan suhu tinggi sebelum inisiasi embriogenesis mikrospora pada sejumlah besar kultur dapat pula meningkatkan androgenesis. spesies tanaman. Pra-perlakuan ini termasuk Misalnya memperlakukan antera B. compestris suhu rendah (Cistué et al., 1995; Kiviharju dan (Keller dan Armstrong, 1979) dan B. oleracea Pehu, 1998; Immonen dan Anttila, 1999; Bishnoi var. italica (Arnison et al., 1990) dengan suhu et al., 2000), suhu tinggi (Kiviharju dan Pehu, 35oC selama 24 jam sebelum dikulturkan pada 1998) dan starvasi manitol (Cistué et al., 1995; suhu 25oC dapat meningkatkan embriogenesis Hoekstra et al., 1997) atau kombinasi antara mikrospora. Selanjutnya, pra-perlakuan suhu ketiga faktor tersebut. 32oC selama 5 hari yang diberikan pada antera Suatu pra-perlakuan suhu rendah terhadap Avena sativa dan A. sterilis merupakan pra- tunas bunga atau antera yang diisolasi dari perlakuan yang paling baik untuk induksi tanaman induk dapat meningkatkan pembentukan embrio (Kiviharju dan Pehu, embriogenesis, sekali pun jika tanaman induk 1998). Pra-perlakuan stres terhadap antera ini pada awalnya tidak ditumbuhkan pada suhu merupakan faktor penting untuk memblokir rendah (Palmer dan Keller, 1997). Sebagai perkembangan gametofitik dan untuk memicu contoh pada N. tabacum Nitsch (1974) embriogenesis pada mikrospora yang kompeten melaporkan 58% pembentukan embrioid apabila (Touraev et al., 1997). tunas bunga diberi pra-perlakuan suhu rendah pada 5oC selama 72 jam. Sebaliknya, hanya Media cair vs. media padat 21% antera memproduksi embrioid apabila tunas Selain komposisi hara, sifat-sifat fisik bunga diberi pra-perlakuan 21oC untuk periode medium hendaknya juga dipertimbangkan dalam waktu yang sama. Suatu peningkatan regenerasi kultur jaringan. Media yang dipadatkan dengan tanaman hijau yang signifikan dicapai pada agar telah digunakan secara luas pada berbagai kultur antera Secale cereale kultivar spring dan sistem kultur jaringan, namun pemanfaatan winter apabila antera terlebih dahulu diberi pra- media cair kini juga makin populer. perlakuan suhu rendah 4oC selama 2 - 4 minggu Androgenesis pada T. aestivum (Trottier et al., sebelum inisiasi kultur (Immonen dan Anttila, 1993) dan H. vulgare (Trottier et al., 1993; 1999). Pada kultur antera O. sativa var. indica Cistué et al., 1995) terjadi pada media cair. Bishnoi et al. (2000) menemukan bahwa pra- Sementara itu embriogenesis mikrospora pada perlakuan suhu rendah (10oC) selama 10 hari kultur antera O. sativa (Bishnoi et al., 2000; terbukti efektif untuk induksi embriogenesis Aryan, 2002) berhasil diinduksi pada media mikrospora. Pra-perlakuan antera dengan suhu padat. Namun demikian, baik media cair rendah pada 4oC juga terbukti bermanfaat pada maupun media padat terbukti tidak berhasil kultur antera Vitis vinifera (Bensaad dan menginduksi androgenesis pada kultur antera S. Hennerty, 1996), Secale sereale (Immonen dan formosa (Tade, 1992). Anttila, 1999) dan triticale (× Triticosecale) Suatu cara lain untuk meningkatkan (Immonen dan Robinson, 2000). Akan tepai regenerasi tanaman dari mikrospora adalah pada H. vulgare hasil yang lebih baik diperoleh dengan menambahkan Ficoll-400, suatu dengan starvasi manitol sebagai ganti pra- kopolimer sukrosa dan epychlorohydrin non- perlakuan suhu rendah (Cistué et al., 1995). Pra- ionik, ke dalam medium cair. Senyawa ini perlakuan antera pada medium starvasi yang berfungsi sebagai pengapung yang dilengkapi dengan manitol juga terbukti efektif memungkinkan antera dan kalus mengambang untuk androgenesis pada T. aestivum (Indrianto pada permukaan kultur. Kondisi anaerobik yang et al., 1999). kurang baik pada media cair diyakini Peranan pra-perlakuan suhu rendah menyebabkan terjadinya penurunan regenerasi merupakan refleksi dari pengaruh suhu terhadap tanaman karena antera dan kalus berkembang di metabolisme jaringan. Pada suhu rendah laju bawah permukaan medium. Akan tetapi hasil metabolisme mengalami penurunan dikarenakan yang diperoleh dari sejumlah penelitian terhadap berkurangnya aktifitas enzim. Penempatan berbagai spesies tanaman tidak memperlihatkan jaringan pada kondidi in vitro yang normal dapat adanya kecenderungan yang konsisten. 4 Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Penambahan Ficoll-400 ke dalam medium cair disebabkan oleh perubahan pada kadar hormon meningkatkan jumlah embrio dan tanaman hijau endogen, terutama auksin, sebagai refleksi atas yang diregenerasikan pada kultur antera H. responnya terhadap cahaya. vulgare (Cistué et al., 1995). Pada T. aestivum Zhou (1992) menemukan bahwa Ficoll-400 Suhu nyata menurunkan produksi kalus namun Secara umum, suhu untuk kultur in vitro di meningkatkan persentase kalus yang dapat tetapkan antara 25 hingga 30oC, tergantung pada beregenerasi serta meningkatkan rasio tanaman tipe kultur dan tujuan penelitian. Suhu awal hijau:albino. Immonen dan Robinson (2000) berperan penting bagi embriogenesis mikrospora melaporkan bahwa Ficoll-400 meningkatkan meskipun nampaknya tergantung pada spesies induksi androgenesis pada triticale (× tanaman. Pada gandum musim semi (McGregor Triticosecale) kultivar Bor 96151 sebesar tiga dan McHughen, 1990) perlakuan suhu hingga empat kali lipat, tetapi pada kultivar menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap Modul dan Wintri induksi androgenesis tetap androgenesis. Induksi kalus dan regenerasi sama atau bahkan merosot. Pengaruh positif dati tanaman yang maksimum dicapai pada antera yang dikulturkan selama 14 atau 28 hari pada Ficoll-400 adalah dikarenakan kemampuannya suhu 30oC sebelum dipindahkan ke suhu to 28oC. untuk memperbaiki kerapatan, viskositas dan Pada kultur antera C. annuum, dibutuhkan osmolalitas medium (Zhou et al., 1992). inkubasi awal di dalam kondisi gelap selama 8 Suatu pendekatan baru pada kultur antera hari pada suhu 35oC sebelum kultur tersebut adalah penggunaan medium fase ganda (double- dihadapkan pada fotoperiodesitas 12 jam per hari phase). Antera dikulturkan pada satu lapisan dengan suhu 25oC (Mitykó et al., 1996). Hal tipis medium cair, yang berada di atas agar padat yang sama juga dijumpai pada tanaman flax (L. di dalam wadah kultur. Metode ini terbukti usitatissimum), di mana kultur antera selama berhasil pada kultur antera triticale (× sehari pada suhu 35oC sebelum dipindahkan ke Triticosecale) (Immonen dan Robinson, 2000). suhu 25oC secara kontinyu di dalam keadaan gelap nyata meningkatkan efisiensi regenerasi Kondisi lingkungan kultur tanaman (Chen et al., 1998b). Sebagaimana Selain persyaratan bahan tanaman sebagai- diketahui bahwa naiknya suhu dapat mana dikemukan di atas, faktor-faktor lingkung- menghambat sintesis protein, yang mengarah an di mana kultur ditempatkan juga memainkan pada induksi sporofitik. Selain itu, sentakan peranan penting bagi keberhasilan embriogenesis suhu tinggi (heat shock) dapat menyebabkan mikrospora. Beberapa faktor kunci untuk induksi rusaknya organ pengendali post-transcriptional androgenesis dibahas berikut ini. yang telah ada di dalam mikrospora. Bate, Spurr, Foster dan Twell. (1996) menyatakan Cahaya bahwa dalam beberapa hal tertentu translasi Cahaya memainkan peranan penting dalam transkrip gen spesifik polen meningkat, induksi endrogenesis, namun respon yang sedangkan transkrip gen-gen lain kemungkinan diperlihatkan oleh antera atau pun mikrospora terhambat yntuk sementara hingga tahap yang dikulturkan berbeda antara spesies. Sopory perkembangan kemudian (Curie dan and Maheshwari (1976) melaporkan bahwa MacCormick, 1997). Rusaknya mekanisme pengaruh adanya pengaruh positif dari cahaya kontrol post-transcriptional ini kemungkinan terhadap kultur antera D. innoxia. Sopory, menyebabkan terjadinya pemrograman ulang di Jacobsen dan Wenzel (1978) juga melaporkan dalam mikrospora, yang secara seharusnya hal yang sama pada Solanum tuberosum. Pada berkembang menjadi sel-sel seksual, namun sejumlah spesies, frekuensi pembentukan justru menjadi tanaman lengkap. individu haploid dan pertumbuhan plantlet lebih baik pada kondisi terang dari pada kondisi gelap Nutrisi mineral (Nitsch, 1977). Misalnya pada tanaman cabe Pentingnya peranan nutrisi mineral tertentu (Mitykó et al., 1996), fotoperiodesitas 12 jam per di dalam embriogensis mikrospora sudah jelas hari dengan intensitas cahaya kira-kira 37 µmol m-2 s-1 sangat efektif untuk embriogenesis karena keberhasilan memproduksi embrioid pada berbagai spesies yang berbeda dicapai pada mikrospora. Akan tetapi pada kultur antera N. media dengan komposisi yang berbeda. Medium tabacum, inkubasi awal pada kondisi gelap perlu yang umum digunakan pada teknik kultur dilakukan untuk pembentukan embrioid jaringan termasuk kultur antera dan mikrospora (Sunderland dan Roberts, 1977). Perbedaan adalah medium MS (Murashige dan Skoog, kebutuhan akan cahaya yang terdapat pada 1962). Akan tetapi, beberapa komposisi media spesies yang berbeda ini kemungkinan lain juga banyak digunakan, seperti WH (White, 5 Jurnal Agronomi 8(1): 1–10 1962), LS (Linsmaier dan Skoog, 1965), B5 yang berasal dari kultur antera Oryza sativa (Gamborg et al., 1968), Nitsch (Nitsch, 1969), (Bishnoi et al., 2000). Jenis sitokinin yang lain, WPM (Lloyd dan McCown, 1980), R2M (Wang zeatin, diketahui lebih efektif dibandingkan dan Hu, 1984) dan FHG (Cistué et al., 1995). dengan thidiazuron (TDZ) dalam meningkatkan Kebutuhan akan nutrisi bagi kultur perkembangan pucuk dari dalam kalus L. mikrospora lebih kompleks dari pada kultur usitatissimum yang berasal dari kultur antera antera. Pada kultur mikrospora, beberapa faktor (Chen et al., 1998a). tertentu yang berperanan di dalam induksi Meskipun pemberian zat pengatur tumbuh androgenesis yang selama ini disediakan oleh terbukti meningkatkan embriogenesis antera, bisa jadi tidak ada; dan faktor tersebut mikrospora pada sebagian besar spesies, apabila harus tersedia melalui medium kultur (Reinert kehadirannya di dalam medium kultur dan Bajaj, 1977). Misalnya antera N. tabacum dihilangkan bersamaan dengan diturunkannya berhasil dikulturkan dengan baik pada medium konsentrasi sukrosa secara simultan akan dasar yang sederhana, sedangkan kultur berdampak pada terjadinya inisiasi mikrosporanya membutuhkan nitrogen dalam embriogenesis atau organogenesis pucuk pada jumlah yang lebih besar dalam bentuk asam- kultur antera S. columbaria (Romeijn dan asam amino (Reinert et al., 1975). Lammeren, 1999). Hal ini mendukung asumsi Kehadiran unsur-unsur mikro, terutama bahwa kebutuhan akan auksin dan sitokinin sekali besi dalam dalam bentuk Fe-EDTA, eksogen tergantung pada kadar auksin dan diketahui penting bagi embriogenesis sitokinin endogen di dalam antera (Reinert dan mikrospora. Pada penelitian kultur mikrospora Bajaj, 1977). N. tabacum (Kyo, 1990) dan kultur anther Anemone canadensis (Johansson et al., 1990) Sumber karbon penambahan Fe-EDTA terbukti meningkatkan Sukrosa adalah polisakarida yang paling embriogenesis mikrospora. Ethylenediamine banyak digunakan di dalam kultur jaringan, tetraacetic acid (EDTA) adalah suatu senyawa meskipun sumber karbon yang lain seperti kelat, di mana besi diikat tetapi masih tetap glukosa, maltosa dan fruktosa adakalanya tersedia pada pH hingga 8.0 selama pertumbuhan digunakan tergantung pada macam dan tujuan kultur. Ketersediaan besi dapat berkurang secara penelitian (Trottier et al., 1993; Coumans dan tajam apabila di dalam medium kultur tidak Zhong, 1995; Kiviharju dan Pehu, 1998). ditambahkan senyawa kelat (Dixon, 1985). Reinert and Bajaj (1977) menyatakan bahwa kadar normal sukrosa di dalam kebanyakan Zat pengatur tumbuh sistem kultur antera adalah 2 – 4%. Akan tetapi Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam Metwally et al. (1998) melaporkan bahwa medium kultur perlu dilakukan untuk sukrosa konsentrasi tinggi (15%) menghasilkan mendukung keberhasilan induksi embriogenesis lebih banyak plantlet pada kultur antera C. pepo mikrospora. Auksin dan sitokinin adalah dua zat dibandingkan dengan konsentrasi lebih rendah. pengatur tumbuh yang paling banyak digunakan Sebaliknya, Zhong et al. (1995) melaporkan di dalam kultur antera maupun kultur mikrospora adanya peningkatan perkecambahan embrio pada berbagai spesies tanaman. Pada kultur antera antera H. annuus bila dikulturkan pada media tanaman-tanaman dari famili Poaceae and dengan konsentrasi sukrosa yang dikurangi Brassicaceae biasanya ditambahkan 2,4- secara terus-menerus. dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Bishnoi et Pada kultur mikrospora, Coumans and al., 2000). Mitykó et al. (1996) menggunakan Zhong (1995) menemukan bahwa maltosa 2,4-D dan kinetin untuk menginduksi memperlihatkan pengaruh yang lebih baik pembentukan embrio haploid pada kultur antera dibandingkan sukrosa ataupun kombinasi antara C. annuum, dan zat pengatur tumbuh yang sama glukosa dan fruktosa. Maltosa terbukti juga digunakan oleh Metwally, Moustafa, El- merupakan sumber karbon yang lebih baik Sawy dan Shalaby (1998) untuk mendapatkan dibandingkan dengan sukrosa pada kultur antera plantlet haploid dari kultur antera Cucurbita Avena sativa and A. sterilis (Kiviharju dan Pehu, pepo. Plantlet hijau yang sehat berhasil 1998). Penggunaan 3% maltosa di dalam diregenerasikan dari kultur mikrospora H. medium kultur menghasilkan plantlet yang lebih vulgare berkat adanya auksin seperti indoleacetic sehat pada kultur mikrospora H. vulgare acid (IAA) atau naphthaleneacetic acid (NAA) (Castillo et al., 2000). Bishnoi et al. (2000) juga (Castillo et al., 2000). berhasil mendapatkan regenerasi pucuk dalam Kinetin dan benzylamino purine (BAP) frekuensi yang besar dari dalam kalus yang adalah dua jenis sitokinin yang dapat berasal dari kultur antera O. sativa dengan meningkatkan regenerasi pucuk dari dalam kalus penambahan 3% maltosa ke dalam medium MS 6 Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman yang dipadatkan dengan agarose. Namun late pollen transcript. Plant Journal 10: 613- demikian, pada kultur antera H. vulgare 623. pengaruh maltosa sebagai pengganti sukrosa Bayliss, K. L., Wroth, J. M. dan Cowling, W. A. nampaknya tergantung pada genotipe The effect 2002. Production of multicellular of maltose as a sucrose substitute, however, microspores of Lupinus species: first step seems to be genotype dependent in H. vulgare toward haploid lupin embryos. In 'The anther culture (Trottier et al., 1993). Hal ini Importance of Plant Tissue Culture and menunjukkan bahwa pengaruh sumber karbon Biotechnology in Plant Sciences'. Armidale. lebih bersifat osmotik dari pada sebagai respon (Ed. R Williams) pp. 145-157. (University terhadap sumber karbohidrat. Telah diketahui of New England Press) bahwa sumber karbon yang berbeda Bensaad, Z. M. dan Hennerty, M. J. 1996. menghasilkan potensi osmotik yang berbeda pula Effects of cold pretreatment, carbohydrate di dalam medium dikarenakan perbedaan berat source and gelling agents on somatic molekulnya. Potensi osmotik medium embryogenesis from anthers of Vitis vinifera merupakan faktor kunci untuk penyerapan air L. cvs. "Regina" and "Reichensteiner". In dan konstituen lain oleh antera atau pun 'International Symposium on Plant mikrospora yang dikulturkan, sehingga Production in Closed Ecosystems: mempengaruhi keberhasilan androgenesis. Automation, Culture, and Environment'. Narita, Japan. (Ed. S Sase) pp. 504-509. PENUTUP (International Society for Horticultural Science) Pemanfaatan teknologi haploid dan doubled- Bishnoi, U., Jain, R. K., Rohilla, J. S., haploid masih memerlukan eksploitasi lebih jauh Chowdhury, V. K., Gupta, K. R. dan untuk sejumlah spesies tanaman. Keberhasilan Chowdury, J. B. 2000. Anther culture of pada suatu kultivar atau galur belum tentu dapat recalcitrant indica x Basmati rice hybrids. diadopsi secara menyeluruh untuk kultivar atau Euphytica 114: 93-101. galur-galur lain. Bukti dari sejumlah penelitian Castillo, A. M., Vallés, M. P. dan Cistué, L. memperlihatkan bahwa sekalipun spesies dari 2000. Comparison of anther and isolated genus yang sama atau bahkan dari genotipe dari microspore cultures in barley. Effects of spesies yang sama dapat memperlihatkan respon culture density and regeneration medium. yang berbeda terhadap perlakuan yang sama. Euphytica 113: 1-8. Oleh karenanya, pemanfaatan teknologi ini untuk program pemuliaan tanaman masih harus Chen, Y., Hausner, G., Kenaschuk, E., menempuh perjalanan panjang, sekalipun dalam Procunier, D. J., Dribnenki, P. dan Penner, skala penelitian telah memperlihatkan prospek G. 1998a. High frequency of plant yang sangat baik. regeneration from anther culture in flax (Linum usitatissimum L.). Plant Breeding 117: 463-467. DAFTAR PUSTAKA Chen, Y., Kenaschuk, E. O. dan Procunier, D. J. 1998b. Plant regeneration from anther Arnison, G. P., Donaldson, A., Jackson, A., culture in Canadian cultivars of flax (Linum Semple, C. dan Keller, W. 1990. Genotypic- usitatissimum L.). Euphytica 102. specific response of cultured broccoli Christou, P. 1992. 'Genetic Engineering and In (Brassica oleracea var. italica) anther to Vitro Culture of Crop Legumes.' cytokinin. Plant Cell, Tissue and Organ (Technomic Publishing Co. Inc.: Lancaster, Culture 20: 217-222. Pennsylvania) Aryan, A. P. 2002. Production of double Cistué, L., Ziauddin, A., Simion, E. dan Kasha, haploids in rice: anther vs. microspore K. J. 1995. Effects of culture conditions on culture. In 'The Importance of Plant Tissue isolated microspore response of barley Culture and Biotechnology in Plant cultivar Igri. Plant Cell, Tissue and Organ Sciences'. Armidale. (Ed. R Williams) pp. Culture 42: 163-169. 201-208. (University of New England Press) Coumans, M. dan Zhong, D. 1995. Doubled Bate, N., Spurr, C., Foster, G. D. dan Twell, D. haploid sunflower (Helianthus annuus) plant 1996. Maturation-specific translational production by androgenesis: fact or artifact? enhancement mediated by the 5'-UTR of a Part 2. In vitro isolated microspore culture. 7
Description: