ISLAMISASI SUNAN PANDANARAN DI BAYAT, KLATEN, JAWA TENGAH ABAD XV JURNAL Oleh: Rizal Adi Pratama 12406244001 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017 131 ISLAMISASI SUNAN PANDANARAN DI BAYAT, KLATEN, JAWA TENGAH ABAD XV Penulis 1 : Rizal Adi Pratama Penulis 2 : M. Nur Rokhman M. Pd Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] ABSTRAK Islamisasi di Bayat, Klaten dimulai sejak Sunan Pandanaran murid dari Sunan Kalijaga mengislamkan tokoh masyarakat tradisional di sekitar Bayat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui sekilas tentang Sunan Pandanaran. (2) mengetahui metode dakwah Sunan Pandanaran. (3) mengetahui pengaruh dakwah Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis menurut Kuntowijoyo yang terdiri atas 5 tahap. Tahapan pertama adalah menentukan topik penelitian. Tahap kedua adalah heuristik atau pengumpulan sumber. Tahap ketiga adalah verifikasi atau kritik sumber. Tahap keempat adalah interpretasi atau proses menafsirkan fakta-fakta sejarah yang ditemukan. Tahap terakhir adalah historiografi atau penulisan sejarah. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Ada dua versi mengenai asal keturunan Sunan Pandanaran. Versi pertama menurut babad dan versi kedua menurut cerita rakyat. Menurut sumber babad yang disadur oleh Darusuprapto diceritakan bahwa Sunan Pandanaran adalah adipati Semarang, sedangkan menurut sumber cerita rakyat dijelaskan bahwa Sunan Pandanaran adalah Brawijaya V yang dahulunya beragama Hindu. Sunan Pandanaran mulai meninggalkan kehidupan bergegas menemui gurunya Sunan Kalijaga di Jabalakat, perjalanan beliau menuju bukit Jabalakat atas perintah gurunya bernama Sunan Kalijaga yang sebelumnya melewati kota Salatiga dan Boyolali serta desa Wedi dan Jiwo. (2) Sunan Pandanaran menggunakan metode dakwah Patembayatan (Bermusyawarah) dalam menyebarkan agama Islam di Bayat. Adapun kelebihan dakwah Patembayatan yang penyampaiannya secara bermusyawarah sehingga masyarakat dapat menerima kehadiran Islam sebagai pembawa kedamaian, ketentraman hidup. Adapun tantangan dalam proses persebaran agama Islam di Bayat yaitu terlebih dahulu mengislamkan para tokoh masyarakat tradisional. Selanjutnya diikuti oleh pengikut tokoh masyarakat tradisional dan penduduk lainnya. (3) Pengaruh dakwah Sunan Pandanaran di Bayat yaitu dapat mengislamkannya para tokoh masyarakat tradisional setempat dan menjadi murid dari Sunan Pandanaran, serta disusul pengikut dari tokoh masyarakat tradisional yang ikut menjadi Islam. Masjid Golo merupakan salah satu peninggalan dari Sunan Pandanaran. Wilayah makam Sunan Pandanaran sekarang menjadi tempat ziarah masyarakat dari berbagai tempat. Kata kunci: Islamisasi, Sunan Pandanaran, Bayat-Klaten 132 ISLAMIZATION BY SUNAN PANDANARAN IN BAYAT, KLATEN, CENTRAL JAVA, IN THE 15TH CENTURY Rizal Adi Pratama 12106214001 ABSTRACT Islamization in Bayat, Klaten, started when Sunan Pandanaran, a student of Sunan Kalijaga, converted the traditional community leaders around Bayat into Islam. This study aimed to investigate: (1) Sunan Pandanaran at a glance, (2) his preaching methods, and (3) the effect of his preaching in Bayat, Klaten. This study used Kuntowijoyo’s critical historical method consisting of 5 steps. The first was research topic selection. The second was heuristics or source collection. The third was verification or source criticism. The fourth was interpretation, a process of interpreting historical facts that were found. The final step was historiography or history writing. The results of the study were as follows. (1) There were two versions of the origin of Sunan Pandanaran descent. The first version was based on the chronicle and the second one was based on the folklore. According to the chronicle source adapted by Darusuprapto, Sunan Pandanaran was a ruler of Semarang, while according to the folklore source, he was Brawijaya V who was formerly a Hindu. Sunan Pandanaran started to leave worldly life and rushed to meet his teacher, Sunan Kalijaga, in Jabalakat. His journey to the Jabalakat hill at the behest of his teacher, Sunan Kalijaga, previously passed through the towns of Salatiga and Boyolali and the villages of Wedi and Jiwo. (2) Sunan Pandanaran used preaching methods of Patembayatan (deliberation) in spreading Islam in Bayat. The advantage of Patembayatan preaching of which the delivery was negotiated was that the public could accept the presence of Islam as a bearer of peace and tranquility in life. The challenge in the process of spreading Islam in Bayat was first to convert the traditional community leaders into Islam and this was then followed by followers of the traditional community leaders and other residents. (3) The effect of Sunan Pandanaran’s preaching in Bayat was that it could convert the local traditional community leaders into Islam and they became his students and this was followed by followers of the traditional community leaders who became Muslims. Golo Mosque is one of the relics of Sunan Pandanaran. The area of his graveyard now becomes a pilgrimage place for people from different places. Keywords: Islamization, Sunan Pandanaran, Bayat-Klaten I. Pendahuluan Sejak abad ke-7 M (abad 1 Hijriyah) para pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke pulauan Indonesia untuk berdagang, ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah.1 Hubungan perdagangan ini juga menjadi hubungan penyebaran agama Islam yang semakin lama semakin intensif. Sejak abad pertama Nusantara yang menghasilkan komoditi rempah-rempah dan banyak disukai Eropa (Romawi) masa itu. Hal itu menyebabkan pedagang- pedagang Arab singgah di pantai barat Sumatra dan selat Malaka, yang 1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 191-192. 133 menghubungkan imperium Timur (kekaisaran Cina). Pedagang Arab sudah berperan sebagai pengatur jalur Barat-Timur. Dengan demikian, Indonesia telah dikenal sejak zaman dahulu oleh bangsa- bangsa baik di timur maupun barat, karena menjadi jalur lalu lintas perjalanan. Sebagai wilayah yang mudah dijangkau dan menghasilkan banyak hasil bumi, maka sangatlah logis jika Indonesia menjadi wilayah untuk memperoleh pengaruh, dan tidak terkecuali untuk penyebaran agama Islam. Mengenai awal masuknya Islam ke Nusantara, terdapat banyak pendapat yang berbeda. Sebuah sumber menyebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia sudah cukup lama, sekitar 14 abad yang lalu. Seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 menegaskan bahwa “Islam untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (abad ke-7), dan langsung dari Arab”. Teori inilah yang disebut dengan teori Makkah. Jika pendapat ini diterima, maka bangsa Indonesia telah mengenal Islam sejak 14 abad yang lalu.2 Inilah salah satu pendapat mengenai awal masuknya Islam ke Nusantara. Pendapat tersebut berdasarkan bukti pada abad itu telah terdapat perkampungan orang Islam di sekitar Selat Malaka. Selain pendapat tersebut, terdapat beberapa pendapat lain yang berbeda mengenai tahun masuknya Islam ke Indonesia. Pendapat lain menyatakan bahwa proses pengenalan Islam itu diperkirakan berlangsung mulai abad ke-11 sampai abad ke-17 Masehi. Abad-abad setelahnya merupakan masa pengembangan agama Islam di Indonesia. Sejarah masuknya agama islam di Indonesia menurut pendapat ini dapat diketaui dari bukti-bukti sejarah berikut: a. Sejarah Dinasti Yuan (1280-1376) melaporkan pertemuan duta Cina dengan dua orang menteri dari Kerajaan Samudra Pasai. Pertemuan ini terjadi di Quilon. b. Laporan Marco Polo, seorang perantau dari Venesia (Italia) pada tahun 1292 Masehi. Marco Polo tertahan selama lima bulan di Samudra Pasai yang penduduknya sudah beragama Islam. c. Ying Yai Sheng Lana atau laporan umum tentang pantai-pantai lautan, merupakan laporan yang ditulis oleh seorang Cina Muslim bernama Ma Huan dan diterbitkan pada 1416. Bukti-bukti sejarah itu memperkuat dugaan bahwa agama Islam memang masuk ke Indonesia pada abad ke-11.3 Selain dua pendapat tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa pengaruh Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Pendapat ini berdasarkan bukti- bukti sebagai berikut: Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2007, hlm. 2. 3 Y. Sri Pujiastuti dkk, IPS Terpadu 1B untuk SMP dan MTs kelas VII Semester 2 Standar Isi 2006, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2007), hlm. 77. 134 a. Batu nisan Sultan Malik as-Saleh berangka tahun 1297 Masehi. Ia adalah Raja Samudra Pasai pertama yang masuk Islam. Kerajaan ini adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. b. Catatan Perjalanan Marco Polo yang pernah singgah di Kerajaan Perlak (1292). Dalam catatannya, ia menceritakan penduduk kota Perlak telah menganut Islam. Sedangkan, di luar kota belum memeluk Islam, tetapi animism dan dinamisme. c. Catatan Ibnu Battuta (1345-1346) yang menyatakan bahwa Samudra Pasai menganut paham Syafi’i. hal ini membuktuikan bahwa Islam sudah berkembang di kerajaan tersebut. d. Catatan Ma-Huan, musafir Cina memberitakan bahwa pada awal abad ke-15 Masehi, sebagian besar masyarakat di pantai utara Jawa Timur telah memeluk agama Islam. e. Suma Oriental dari Tome Pires, musafir Portugis memberitakan tentang penyebaran Islam antara tahun 1512 sampai tahun 1515 Masehi, yang meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan kepulauan Maluku.4 Dengan demikian, dari tiga pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tentang tahun awal masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia ada tiga. Pertama, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Kedua, Islam masuk pada abad ke-11. Ketiga, Islam berkembang pada abad ke-13. Menurut tradisi rakyat ada sembilan Wali yang dikenal sebagai Wali Songo. Nama-nama Wali yang dikenal oleh masyarakat Jawa sampai sekarang adalah Sunan Ngampel atau Raden Rahmat, Malik Ibrahim atau Maulana magribi, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Bonang atau Makdum Ibrahim, Sunan Kudus atau Ja’far Shodiq, Sunan Muria, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati.5 Di samping wali tersebut ada juga wali lokal yang dikenal di daerah. Salah satu wali lokal ini Ki Ageng Pandanaran.6 Beliau merupakan seorang bupati Semarang. Sunan Pandanaran merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Sunan Pandanaran meninggalkan Semarang dan meninggalkan jabatannya kemudian menuju daerah Bayat. Setelah mendapat wejangan dari Sunan Kalijaga, maka Sunan Pandanaran menyebarkan agama Islam di daerah Bayat dan sekitarnya. Setelah meninggal dunia Sunan Pandaraan dimakamkan di puncak gunung Jabalkat. Komplek makam yang luasnya sekitar setengah hektar ini berisikan bangunan makam dan gapura yang bercorak Hindu. Dari bangunan Gapura Bentar dan Gapura Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, (Yogyakarta: Diva Press, 2014), hlm. 145. 5 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, (Jakarta: PT: Gramedi Pustaka Utama, 1993), hlm. 23- 24. 6 Ibid., hlm. 25. 135 Paduraksa yang bercorak Hindu, serta bangunan Masjid Gala yang mirip Masjid Demak yang bercorak Hindu. Makam Sunan Pandanaran sampai sekarang semakin ramai untuk tempat ziarah. A. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah telaah pustaka atau literature yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian7. Kajian pustaka diperlukan untuk memberikan gambaran mengenai jawaban sementara dari sebuah penelitian. Pertama penulis membahas mengenai sekilas tentang Sunan Pandanaran yang terdiri dari asal keturunan sampai menjadi murid Sunan Kalijaga, Sunan Pandanaran meninggalkan kehidupan, sera perjalanan dari Semarang menuju bukit Jabalakat. Terdapat dua versi mengenai asal keturunan Sunan Pandanaran. Versi pertama berasal dari Babad sedangkan versi kedua menurut cerita masyarakat. Sunan Pandanaran meninggalkan hal-hal keduniawian yang berupa harta kekayaan, jabatan, istri, dan anak. Setelah itu Sunan Pandanaran melakukan perjalanan dari Semarang ke bukit Jabalakat melewati kota Salatiga, Kota Boyolali, desa Jiwo, dan desa Wedi. Permasalahan tersebut dibahas dengan menggunakan rujukan buku Babad Sunan Pandanaran (Susuhunan Ing Tembayat), ditulis oleh MSH Sudarminto terbitan Cempaka Mandiri Offset, Semarang, 2016. Buku tersebut membahas penjelasan sekilas tentang Sunan Pandanaran dan bagaimanakah proses beliau dalam perjalanan dari Semarang menuju Bukit Jabalakat setelah bertemu dengan sang guru Sunan Kalijaga. Selain itu juga digunakan buku yang berjudul Kyai Ageng Pandhanarang, di tulis oleh Soewignja terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1978. Dalam buku ini mengulas siapakah Sunan Pandanaran, bagaimana perjalanan beliau menuju Bukit Jabalakat, dan menyebarkan agama Islam di Bayat. Rumusan masalah kedua yaitu mengenai metode dakwah Sunan Pandanaran dengan Patembayatan yang terdiri dari pengertian metode dakwah Patembayatan, serta kelebihan dan tantangan dakwah Patembayatan. Metode dakwah patembayatan merupakan metode dakwah dengan cara bermusyawarah. Metode tersebut memiliki kelebihan dan tantangan. Kelebihannya adalah menciptakan ukhuwah Islamiah sedangkan tantangannya adalah tidak jarang terjadi perbedaan pendapat yang berakhir dengan adu kesaktian. Permasalahan tersebut dikaji dengan menggunakan buku Babad Sunan Pandanaran (Susuhunan Ing Tembayat), ditulis oleh MSH Sudarminto terbitan Cempaka Mandiri Offset, Semarang, 2016. Buku tersebut menjelaskan juga tentang Patembayatan sebagai media dakwah Sunan Pandaran. Dalam buku ini membahas tentang Patembayatan. Mengenai Patembayatan juga ada tambahan wawancara dengan beberapa tokoh diantaranya Bapak Saryono dan Bapak Wawan selaku juru 7 Jurusan Pendidikan Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, 2006), hlm. 3. 136 kunci makam Sunan Pandanaran dan Bapak Hairi Mustofa selaku keturunan ke-7 Sunan Pandanaran. Menurut pemaparan dari sumber wawancara dapat disimpulkan bahwa melalui metode Patembayatan atau dapat dikenal dengan musyawarah secara kekeluargaan ini Sunan Pandanaran seacara perlahan dapat menyampaikan ajaran Islam secara menyeluruh kepada masyarakat Bayat, Klaten. Rumusan masalah ketiga yaitu mengenai pengaruh dakwah Sunan Pandanaran di Bayat Klaten yang terdiri dari berkembangnya Islam dan Masjid Gala di Bayat serta pengaruh dalam bidang kehidupan masyarakat. Berkembangnya Islam di Bayat tidak terlepas dari peran serta masjid Gala. Adapun pengaruhnya dalam bidang masyarakat dapat dilihat dari makam Sunan Pandanaran yang semakin ramai untuk tempat ziarah dari berbagai kota. Permasalahan tersebut dikaji dengan buku yang berjudul Masjid Gala Peninggalan Sunan Bayat, Keadaan dan Peranannya ditulis oleh Nawawi Ramli terbitan Masyarakat Sejarah Indonesia, Yogyakarta, 2004. Buku tersebut membahasa Masjid Gala sebagai bentuk peninggalan dari Sunan Pandanaran. Selain buku tersebut juga digunakan buku yang berjudul Kekunaan di Bayat Klaten ditulis oleh Darusuprapta terbitan Fakultas Sastra kebudayaan UGM, Yogyakarta, 1974. Buku ini membahas tentang kekunaan yang ada di Bayat Klaten, serta menyinggung tentang asal Sunan Pandanaran, dan petilasan Sunan Pandanaran. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan tahap-tahap metode sejarah yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yang terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sumber), (4) interpretasi (analisis sumber) dan (5) penulisan.8 1. Pemilihan Topik Pemilihan topik harus dipilih berdasarkan kedekatan intelektual dan kedekatan emosional.9 Dua hal tersebut sangatlah penting karena akan berpengaruh kepada aspek subjektif dan objektif penulis. Seorang peneliti apabila menyukai topik penelitian yang dipilihnya maka akan bekerja dan mampu menyelesaikan penelitian dengan baik. Topik yang dipilihnya harus dapat dikerjakan dalam waktu yang tersedia dan temanya tidak terlalu luas. Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang Islamisasi Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten, Jawa Tengah Abad XV. 2. Heuristik (Pengumpulan Sumber) Heuristik merupakan proses yang dilakukan oleh peneliti sejarah untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Pengumpulan sumber dalam penelitian ini antara lain di perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, Laboratorium Sejarah 8Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 69. 9 Ibid., hlm.90. 137 Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY, Perpustakaan FIS UNY, dan Perpustakaan FIB UGM, dan lain-lain. Sumber-sumber sejarah menurut sifatnya dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis dan sumber tidak tertulis.10 Dalam penulisan skripsi Islamisasi Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten, Jawa Tengah Abad XV. Penulis lebih mengutamakan sumber tertulis. Penulis mengumpulkan sumber tertulis baik itu buku, jurnal maupun arsip berkaitan dengan permasalahan yang ada. 3. Kritik Sumber (Verifikasi) Kritik sumber adalah kegiatan meneliti untuk menentukan validitas dan reabilitas sumber sejarah melalui kritik ekstern dan kritik intern.11 Mencari kelemahan dan kelebihan dari data yang telah didapat dan memberikan solusi dalam penulisan sejarah. Kritik ekstern merupakan kritik yang dilakukan untuk menguji keaslian sumber. Kritik ekstern dilakukan dengan melihat aspek-aspek ekstrinsik dari sumber. Kritik ekstern mengarah pada pengujian terhadap aspek luar dari sumber. Aspek12 luar tersebut berkaitan dengan keaslian, tanggal, bahasa, bahan dan hal-hal yang berkaitan dengan fisik sumber tersebut. Kritik Intern adalah kritik yang dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan persoalan apakah isi sumber dapat dipercaya atau tidak. 4. Interpretasi (Analisis Sumber) Interpretasi adalah suatu langkah dalam menetapkan makna yang saling berkaitan dengan fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh. Langkah ini dilakukan setelah diterapkannya kritik ekstern dan kritik intern dari data-data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan. Dalam interpretasi dibagi menjadi dua tahap yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan data yang telah diperoleh dengan berdasarkan fakta yang ada. Sintesis adalah menyatukan data-data hasil interpretasi kita sehingga dapat dibaca. 5. Historiografi (Penulisan Sejarah) Penulisan sejarah adalah akhir dari kegiatan penelitian sejarah yang disampaikan secara analisis dan sintesis dari penelitian yang akan dikaji kronologis. Aspek kronologis sangat penting dalam penulisan sejarah karena dapat mengetahui perubahan dan perkemabangan yang terjadi dalam perisitiwa sejarah. Dalam tahap ini diperlukan suatu imajinasi secara historis sehingga fakta-fakta sejarah yang ada dapat dikaji secara utuh dan komunikatif. Penulis dituntut untuk dapat 10 Ibid., hlm.95. 11 Kuntowidjoyo, op.cit., hlm. 100-101. 12 Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, (Graha Ilmu. 2010). hlm. 36. 138 mengembangkan ide-ide hubungan antara fakta sehingga tulisan yang ditulis dapat bersifat objektif sesuai fakta yang ada. II. Pembahasan A. Sekilas tentang Sunan Pandanaran 1. Asal Keturunan Sampai Menjadi Murid Sunan Kalijaga Mengenai tokoh Sunan Pandanaran ini ada dua versi, versi pertama menurut babad dan versi kedua menurut cerita rakyat. Menurut sumber babad yang disadur oleh Darusuprapto diceritakan bahwa Sunan Pandanaran adalah adipati Semarang II yang telah memperoleh ajaran Islam dari Sunan Kalijaga, kemudian menjadi penyebar Islam di daerah Bayat.13 Terdapat beberapa pendapat mengenai siapakah Sunan Pandanaran. Menurut sumber cerita rakyat dijelaskan bahwa Sunan Pandanaran adalah Brawijaya V yang dahulunya beragama Hindu. Brawijaya V mempunyai putra yang bernama Raden Patah yang beragama Islam dan berkuasa di Demak. Karena terdapat perbedaan pandangan maka terjadilah perselisihan antara ayah dan anak. Pada akhirnya Brawijaya V meninggalkan istana mengembara dan akhirnya sampai di desa Gubug Gede di daerah Nglipar, Gunung Kidul, Yogyakarta. Brawijaya V kemudian dikenal sebagai seorang ahli pengobatan segala penyakit. Suasana di kadipaten Semarang sedang diselimuti rasa kesedihan, karena putri Pandanaran I sedang menderita sakit, berbagai upaya telah ditempuh namun belum berhasil disembuhkan.14 Menurut Babad Tembayat diceritakan bahwa Sunan Pandanaran adalah seorang Bupati kaya raya yang bertempat tinggal di Semarang, setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga beliau menjadi penyebar agama Islam di Bayat.15 Hal tersebut dikarenakan Ketertarikannya dengan kelebihan yang dimiliki Sunan Kalijaga yang bertempat tinggal di gunung Jabalakat, Bayat, Klaten. Setelah mendapat wejangan dari Sunan Kalijaga beliau di beri nama Sunan Bayat atau Sunan Tembayat. Beliau ditugaskan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama islam di daerah Bayat, Klaten dan sekitarnya.16 Menurut penulis Sunan Bayat ini adalah Brawijaya V yang diangkat menjadi menantu Pandanaran I, setelah beliau berhasil menyembuhkan putri Pandanaran I yang sakit lumpuh. Kyai Jamus nama samaran dari Brawijaya V kemudian dinikahkan 13 Darusuprapta dkk, Kekunaan di Bayat Klaten, (Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada), hlm. 45. 14 Ibid., hlm. 46. 15 Moelyono Sastronaryatmo, Serat Babad Tembayat 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1974).hlm. 17. 16 Darusuprapta dkk, op.cit., hlm. 55. 139 dengan anak dari Pandanaran I dan diangkat menjadi Pandanaran II. Semenjak itu beliau menjadi Adipati Pandanaran II yang berkedudukan di Semarang. 2. Kyai Ageng Pandanaran Meninggalkan Kehidupan Setelah sebagian besar daerah pantai utara pulau jawa telah terjangkau oleh penyebar Islam, maka perhatian penyebar Islam beralih menuju pedalaman pulau Jawa. Abad ke-16 M sebagai saat perluasan unsur-unsur kebudayaan Islam khususnya daerah pedalaman. Demak yang dahulunya merupakan pusat kerajaan Islam di Jawa peranannya mulai ditinggalkan. Kerajaan Pajang melanjutkan peran dalam perluasan unsur-unsur kebudayaan Islam. Pergeseran dari daerah pesisir menuju daerah pedalaman diperjelas dengan perpindahan kerajaan dari Pajang ke Mataram, perpindahan dari Pajang ke Kotagede, Pleret/Kerto, dan Kartasura, akan tetapi ini tidak berarti bahwa daerah pesisir telah ditinggalkan sama sekali.17 Penyebaran unsur-unsur kebudayaan Islam dapat dengan cepat merata di dalam masyarakat. Keberhasilan ini disebabkan karena agama Islam tidak mengenal kasta seperti dalam agama Hindu, sehingga agama Islam bersifat lebih demokratis. Unsur-unsur kebudayaan Islam dapat dengan cepat diterima golongan atas dan golongan bawah/rakyat. Sifat dari islam sendiri yang tanpa ada sistem kasta dapat menjadi salah satu faktor yang memudahkan Islam diterima masyarakat. Seorang tokoh bernama Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat, memiliki peran penting dalam Islamisasi di Bayat, Klaten. Menurut sumber Babad Sunan Pandanaran hidup semasa dengan Sunan Kalijaga, seorang wali yang termasuk dalam Wali Sanga. 3. Perjalanan dari Semarang ke Bukit Jabalakat Kyai Ageng Pandanaran bersiap-siap untuk menyusul ke Jabalkat. Sebelum berangkat ia masih menyelesaikan segala urusan bersangkutan dengan persyaratan yang harus dipenuhinya. Kyai Ageng Pandanaran menjelaskan segala pengalamannya kepada istri dan seluruh keluarganya. Ia pun berunding tentang rencananya akan memenuhi Syeh Malaya. Ia bermaksud untuk menyuruh semua istrinya untuk tinggal dirumah, mengurusi rumah tangga dan keluarga yang akan ditinggalkannya. Istri tertua Kyai Ageng Pandanaran yang bernama Nyai Ageng Kaliwungu tidak ingin ditinggalkan dirumah, karena ingin mentaati sumpah setianya sebagai seorang istri. Kyai Ageng Pandanaran tidak keberatan, asalkan sang istri mau berjanji tidak akan membawa harta benda berupa apa pun juga. Hal ini sesuai dengan perjanjian dengan persyaratan yang diberikan kepada Kyai Ageng Pandanaran oleh gurunya.18 Setelah siap semuanya mereka berangkat. Kyai Ageng Pandanaran berjalan didepan. Nyai Ageng Kaliwungu menggendong anaknya yang masih kecil yang di kemudian hari dikenal dengan nama Pangeran Jiwa. Mereka dalam perjalanannya dicegat oleh penyamun yang meminta harta benda bekal perjalanan. Kyai Ageng 17 Darusuprapta dkk, op.cit., hlm. 24. 18 Ibid., hlm. 13. 140
Description: