HADITS-HADITS POLITIK ABAD PERTENGAHAN ISLAM (Suatu Kajian Sosiologis) Oleh: Makrum Abstrak: Hadits memiliki peranan penting dalam ajaran Islam. Karena itu, sekelompok umat Islam, pada abad pertengahan Islam, berusaha menjadikan hadits untuk menjustifikasi keberadaan kelompok dan kepentingan mereka. Sekalipun untuk kepentingan ini, mereka harus memalsukan hadits. Pemalsuan-pemalsuan hadits pada mulanya terjadi akibat persoalan-perosalan politik ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Namun, dalam perkembangannya, kemunculan hadits-hadits politik dimaksudkan untuk memberikan jalan tengah terhadap kelompok-kelompok yang secara politis-teologis memiliki pandangan-pandangan ekstrim. ﻦﻣ ﺔﻗﺮﻔﻓ ﻚﻟاﺬﻟ .مﻼﺳﻹا ﻢﻴﻟﺎﻌﺗ ﰱ مﺎﻫ رود يﻮﺒﻨﻟا ﺚﻳﺪﺤﻠﻟ نﺎﻛ ﻢﻬﺘﻗﺮﻓ ﻒﻗﻮﻣ ﺔﻳﻮﻘﺘﻟ ﺚﻳﺪﳊا اوﺬﲣا ﻰﻄﺳﻮﻟا رﻮﺼﻌﻟا ﰱ ﲔﻤﻠﺴﳌا .يﻮﺒﻨﻟا ﺚﻳﺪﳊا ﺐﻳﺬﻜﺘﺑ ﻚﻟاﺬﻟ لﻮﺻﻮﻟا ﺖﻧﺎﻛ ﻮﻟو ،ﺔﻴﺳﺎﻴﺴﻟا ﻢﻫﺪﺻﺎﻘﻣو ﻦﺑا ﻰﻠﻋ رﺎﺻ ﺎﻣﺪﻨﻋ ﺔﺳﺎﻴﺴﻟا بﺎﺒﺳأ ﻦﻣ ثﺪﺣ عﻮﺿﻮﳌا ﺚﻳﺪﳊا لوأو ﻻإ ﺲﻴﻟ ﺔﻳﺎﻴﺴﻟا ﺚﻳدﺎﺣأ روﻮﻬﻈﻓ نﺎﻣﺰﻟا روﺮﻣ ﺪﻌﺑو .ﺔﻔﻴﻠﺧ ﺐﻟﺎﻃ ﰉأ تﺎﻳﺮﻈﻧ ﱃإ نﻮﻠﻴﳝ ﻦﻳﺬﻟا ﲔﻤﻠﺴﳌا تﺎﻋﺎﲨ ﱃإ ﻂﺳوﻷا ﻖﻳﺮﻄﻟا ءﺎﻄﻋﻹ .ةﺪﻴﻘﻌﻟاو ﺔﺳﺎﻴﺴﻟا ﰱ فﺮﻄﺘﻟا Prophet’s hadith has an important role in Islamic teaching. Therefore, a Muslim community, in Islamic medieval century, tried to use hadith to legitimize their group existence and interest, even though they had to fabricate hadith for it. Hadith fabrication, at the beginning, happened because of political problems during Ali bin Abi Thalid order era. In its progression, the appearance of those political hadiths is to give one thing with another to the groups that politically and theologically have extreme opinions. Kata Kunci: hadits, politik, palsu PENDAHULUAN Hadits mempunyai signifikansi yang fundamental dalam ajaran Islam. Sebab, dalam sumber ajaran Islam, hadits menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, hadits kemudian dijadikan sebagai salah satu perangkat oleh sekelompok Jurusan Syari’ah, STAIN Pekalongan, Jl. Kusuma Bangsa No. 9 Pekalongan. ١ umat Islam untuk menjustifikasi keberadaan dan kepentingan mereka, sekalipun untuk kepentingan itu, mereka harus memalsukan hadits dengan menyandarkannya kepada Nabi SAW. Menurut catatan sejarah, pemalsuan-pemalsuan hadits pada mulanya terjadi akibat persoalan-perosalan politik ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah (Musthafa al-Shiba’i, 1966: 76). Pada masa Ali, telah terjadi pertentangan sengit dalam masalah jabatan khalifah antara kelompok yang mendukung Ali dengan yang mendukung Mu’awiyah. Perang yang mereka lakukan di Shiffin pada tahun 657 M telah memakan banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Amr bin ‘Ash dari pihak Mu’awiyah dan diterima Ali, mengakibatkan sebagian pendukung Ali marah. Mereka kemudian menyatakan keluar (kharaja) dari kubu Ali dan membentuk kelompok independen, yang dikenal dengan nama Khawârij. Sempalan dari pendukung Ali ini pada kenyataannya tidak hanya memusuhi Mu’awiyah, tetapi juga Ali (Muhammad Abu Zahrah, 1971: 68-9). Dalam pada itu, peristiwa tahkîm (arbitrase) antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah telah membuahkan kekalahan di pihak Ali dan mengabsahkan Mu’awiyah sebagai satu-satunya khalifah. Hal ini mengakibatkan permusuhan antara pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah, semakin mendalam dan tajam. Kedua kelompok berusaha saling mengalahkan, dan salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat berbagai hadits palsu (Muhammad Abu Zahu, tt.: 86-7). Dari uraian tersebut terlihat bahwa kemunculan hadits-hadits politik berhubungan erat dengan interes-interes politik yang menjadi salah satu sebab munculnya hadits palsu. Namun, kajian ini tidak dimaksudkan untuk membahas hadits palsu, sekalipun pembahasan hadits politik sangat berhubungan erat dan tidak bisa dielakkan dari hadits palsu. Hal ini karena hadits-hadits yang bernuansa politik juga diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadits kenamaan, yang validitas haditsnya tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, fokus kajian ini lebih diarahkan pada upaya untuk mengungkap apa sebenanya latar belakang timbulnya hadits-hadits politik, bagaimana perkembangannya, dan bagaimana pula dampak yang ditimbulkannya bagi dunia Islam, walaupun hadits-hadits palsu, dipandang penting untuk dikemukakan, terutama dari segi sebab-sebab kemunculan dan ciri-cirinya. PEMBAHASAN A. Latar Belakang Timbulnya Hadits-hadits Politik ٢ Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa hadits-hadits palsu, terutama yang berkenaan dengan masalah politik, baru berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Walaupun demikian, harus pula diakui bahwa pemalsuan hadits yang berkenaan dengan politik tidak mustahil telah terjadi pada masa sebelumnya, karena pertentangan politik antar sesama muslim tidak dimulai pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib saja, melainkan telah terjadi ketika Nabi baru saja wafat (Khatib, 1963: 198-9). Ketika Nabi wafat, perselisihan pendapat terjadi antara kelompok Anshar dengan kelompok Muhajirin tentang siapa yang berhak menjadi khalifah, menggantikan Nabi. Kelompok Anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj menginginkan khalifah dari pihak mereka. Mereka memilih Sa’ad bin Ubadah yang berasal dari suku Khazraj. Sebaliknya, kelompok Muhajirin juga demikian, menginginkan khalifah dari pihak mereka. Perdebatan sengit antara dua kelompok tersebut mereda setelah Abu Bakar menyampaikan peringatan Nabi SAW bahwa kepemimpinan umat di tangan suku Quraisy-lah akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. ﺶﯾﺮﻗ ﻦﻣ ﺔﻤﺋﻷا Dalam hal ini, Abu Bakar mengemukakan sabda Nabi, (pemimpin “harus” berasal dari suku Quraisy). Menurut Abu Zahrah, Abu Bakar tidak mengemukakan hadits ini. Ia hanya mengemukakan keutamaan kaum Muhajirin dan kedudukan suku Quraisy sebelum Islam. Hadits yang maknanya mengutamakan kepemimpinan suku Quraisy adalah hadits Bukhari dari Mu’awiyah, yaitu: ﺎﻣ ﮫﮭﺟو ﻲﻠﻋ ﷲ ﮫّﺒﻛ ﻻإ ﺪﺣأ ﻢﮭﯾدﺎﻌﯾ ﻻ ﺶﯾﺮﻗ ﻲﻓ ﺮﻣﻷااﺬھ نإ ﻦﯾﺪﻟااﻮﻣﺎﻗأ Artinya: “Sesungguhnya persoalan (khilafah) ini adalah hak suku Quraisy, yang (apabila) seseorang tidak mengembalikannya kepada mereka, Allah pasti menjatuhkannya, selama mereka (suku Quraisy)menegakkan agama.” Kalau hadits tersebut memang dikemukakan oleh Abu Bakar, maka ia bisa dianggap sebagai hadits yang bernuansa politis pertama yang dipopulerkan oleh peristiwa politik yang terjadi pada saat itu. Selanjutnya, pada masa khalifah Ali bin Abu Thalib, sebagaimana dikemukakan di atas, konflik yang terjadi antara kelompok- kelompok yang bertikai semakin tajam. Masing-masing berusaha untuk saling mengalahkan, dan salah satu cara yang mereka tempuh untuk menjustifikasi keberadaan mereka adalah dengan membuat hadits. Kelompok Ali membuat hadits yang memuliakan dan mengagungkan Ali (Khatib, 1963: 199), di antaranya: ٣ ﻚﺘﻌﯿﺷ ﻲﺒﺤﻤﻟو ﻚﺘﻌﯿﺸﻟو ﻚﻠھﻷو ﻚﯾﺪﻟاﻮﻟو ﻚﺘﯾرﺬﻟو ﻚﻟ ﺮﻔﻏ ﷲ نإ ﻲﻠﻋ ﺎﯾ Artinya: “Hai Ali, Allah sungguh mengampuni kamu, anak-anakmu, kedua orang tuamu, keluargamu, pengikutmu, dan orang-orang yang mencintai pengikutmu.” Kemudian ada juga hadits-hadits yang menceritakan bahwa hak kekhalifahan setelah Rasulullah adalah milik Ali bin Abi Thalib. Hadits tersebut dikenal dengan nama Ghadir Kham (Salim, tt.: 112-3). Jelas sekali bahwa hadits di atas adalah pernyataan politik yang dibuat oleh kelompok Syi’ah untuk memuliakan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dinyatakan sebagai berasal dari Nabi (Khatib, 1963: 197). Isi pernyataan tersebut memberi petunjuk bahwa Allah mengampuni Ali, keturunannya, kedua orang tuanya, keluarganya, pendukungnya (orang-orang Syi’ah) dan orang-orang yang mencintai pendukung Ali. Kelompok Mu’awiyah pun tidak mau kalah. Mereka membuat pernyataan yang menempatkan Mu’awiyah pada tempat yang tinggi (Muhammad Ajjaj al-Khatib, 1963: 201), di antaranya: ﺔﯾوﺎﻌﻣو ﻞﯾﺮﺒﺟو ﺎﻧأ ﺔﺛﻼﺛ ﷲ ﺪﻨﻋ ءﺎﻨﻣﻷا “Orang-orang yang dapat dipercaya menurut Allah ada tiga: saya, Jibril, dan Mu’awiyah.” Hadits tersebut sarat dengan muatan politik, yang mengisyaratkan bahwa yang terpercaya di hadirat Allah adalah Nabi Muhammad, Jibril, dan Mu’awiyah. Sebagaimana dua kelompok di atas, kelompok Khawarij pun memiliki hadits yang mendukung kepentingan politik mereka (Abdul Ghaffar Aziz, 1989: 126), di antaranya: ﻲﺸﺒﺣ ﺪﺒﻋ ﻢﻛﻻّ وﻮﻟو ﺔﻋﺎﻄﻟاو ﻊﻤﺴﻟﺎﺑ ﻢﻜﯿﺻوأ Artinya: “Nasihatku (yang terakhir) kepadamu adalah dengarkan dan ta’ati penguasamu, sekalipun ia adalah seorang budak berkulit hitam legam.” Dalam hadits tersebut, seruan untuk menaati pemimpin politik secara mutlak tampak bersifat kontra-Khawarij, tetapi pernyataan mengenai pemimpin berkulit hitam jelas sekali bersifat mendukung kepentingan politik kelompok Khawarij. Perlu diketahui bahwa kelompok Khawarij umumnya berasal dari orang-orang Arab pegunungan (Baduwi) yang nomaden, pemberani dan berkulit hitam. Sebagaimana dimaklumi bahwa kelompok Sunni (mayoritas umat Islam) yang pada masa awal diwakili oleh Mu’awiyah menghendaki agar para pemimpin berasal ٤ dari suku Quraisy, sedang kelompok Syi’ah mengendaki agar pemimpin berasal dari keturunan Ali. Hanya orang-orang Khawarij saja-lah yang memberikan kemungkinan untuk menjadi pemimpin bagi setiap muslim walaupun ia adalah seorang budak berkulit hitam. Sebab, satu-satunya syarat yang diperlukan untuk menjadi pemimpin adalah kecakapan menjalankan tugas dan fungsi kepemimpinan. B. Perkembangan Hadits-hadits Politik Sebelum memasuki pembahasan, perlu dikemukakan sebuah ciri terpenting dari sejarah Islam yang, menurut Fazlurrahman, jika dilupakan atau disepelekan, akan menyebabkan kesalahan total bagi sejarah Islam, yaitu adanya kenyataan bahwa begitu terjadi perbedaan dan pertentangan, baik di bidang politik, teologi, maupun hukum, yang mengancam integritas kaum muslimin, maka timbullah ide untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan umat (Rahman, 1984: 79). Dalam hal ini, kemunculan hadits-hadits politik yang bersifat sangat prediktif kelihatannya dimaksudkan untuk memberikan jalan tengah terhadap kelompok-kelompok Khawarij dan Syi’ah yang secara politis dan teologis memiliki pandangan-pandangan ekstrim. Apalagi jika kebijaksanaan tersebut dihubungkan dengan kepentingan penguasa dalam usahanya menciptakan stabilitas politik yang mantap ketika menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok oposan, juga aliran-aliran teologi yang muncul akibat pertentangan-pertentangan politik saat itu (Syahrastani, 1975: 27-33 dan 114- 198). Sebagai contoh, misalnya hadits prediktif versi Ahl al-Sunnah yang bernuansa politik dari Muslim yang diperkirakan diriwayatkan dari Hudzaifah (Goldsack, 1932: 462). لﺎﺟر ﻢﮭﯿﻓ مﻮﻘﯿﺳو ﻲﺘﻨﺴﺑ نﻮﻨﺘﺴﯾﻻو ياﺪﮭﺑ نوﺪﺘﮭﯾﻻ ﺔﻤﺋأ يﺪﻌﺑ نﻮﻜﯾ ... ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ ﻊﻨﺻأ ﻒﯿﻛ ﺔﻔﯾﺬﺣ لﺎﻗ .ﺲﻧإ ﻢﺴﺟ ﻲﻓ ﻦﯿطﺎﯿﺸﻟا بﻮﻠﻗ ﻢﮭﺑﻮﻠﻗ ﻚﻟﺎﻣ ﺬﺧأو كﺮﮭظ بﺮﺿ نإو ﺮﯿﻣﻷا ﻊﯿﻄﺗو ﻊﻤﺴﺗ لﺎﻗ ؟ﻚﻟذ ﺖﻛردأ نإ .ﻊطأو ﻊﻤﺳﺎﻓ Artinya: “Setelah wafatku nanti akan muncul para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak suka sunahku. Di antara mereka ada beberapa orang yang berhati syetan tetapi bertubuh manusia. Hudzaifah bertanya, “Apa yang harus saya lakukan ya Rasulullah jika aku nanti menemui zaman seperti itu?” Beliau menjawab, “Kamu dengar dan patuhi pemimpin politik tersebut. Sekalipun ia meyiksa fisikmu dan merampas harta bendamu, kau harus tetap mendengar dan mematuhi!” ٥ Dalam hadits lain yang termaktub dalam Shahih al-Bukari, Hudzaifah bertanya, ﻢﮭﻣﺎﻣإو ﻦﯿﻤﻠﺴﻤﻟا ﺔﻋﺎﻤﺟ مﺰﻠﺗ لﺎﻗ ؟ﻚﻟذ ﻲﻨﻛردا نإ ﻲﻧﺮﻣﺄﺗ اذﺎﻤﻓ ... ... Artinya: “... Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai situasi seperti itu? Nabi menjawab, “Berpeganglah kamu pada mayoritas kaum muslimin dan pemimpin politik mereka ...” Kedua hadits di atas menurut penulis tidak bisa diterima begitu saja sebagai hadits yang benar-benar bersumber dari Nabi, karena hadist-hadits itu menyuruh kita untuk berpegang teguh pada mayoritas kaum muslimin tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya dan mentaati pemimpin politik mereka dengan segala resiko, sekalipun pemimpin yang bersangkutan boleh jadi bertindak “tidak adil”. Jadi, jelaslah bagi kita bahwa hadits prediktif tersebut berdasarkan kepentingan politik yang “memaksa” pada saat itu. Perlu dicermati pula bahwa walaupun pada mulanya hadits-hadits politik, baik yang bersifat prediktif maupun tidak, berada pada persoalan-persoalan politis, tetapi akhirnya dipergunakan juga pada bidang teologi, karena masing-masing kelompok politik cenderung kepada suatu landasan teologis untuk memantapkan keberadaan dan kepentingan kelompok mereka(Rarahman, 1984: 90-1). Aliran Murji’ah, misalnya, dalam memberikan reaksi terhadap kefanatikan aliran Khawarij yang tidak mengenal kompromi, mengatakan bahwa seorang yang mengaku muslim tidak bisa dinyatakan sebagai non-muslim karena perbuatan- perbuatannya, dan bahwa keyakinan di dalam hatinya terserah kepada Allah untuk menilainya(Goldsack, tt.: 14). Pendapat ini mereka dasarkan pada hadits: ناز نإو ﺖﻠﻗ ﺔﻨﺠﻟا ﻞﺧد ﻻإ ﻚﻟذ ﻲﻠﻋ تﺎﻣ ﻢﺛ ﷲ ﻻإ ﮫﻟا ﻻ لﺎﻗ ﺪﺒﻋ ﻦﻣ ﺎﻣ قﺮﺳ نإو ناز نإو لﺎﻗ ؟قﺮﺳ نإو ﷲ ﻻإ ﮫﻟا ﻻ Artinya: “Setiap orang yang mengucapkan , tiada Tuhan selain Allah, lalu mati dalam keadaan berpegang pada ucapan itu, maka ia pasti masuk surga. Saya (Abu Dzar) bertanya, “sekalipun ia pernah berzina dan mencuri?” Nabi menjawab, “(Ya), sekalipun ia pernah berzina dan mencuri.” Sekalipun hadits di atas merupakan hadits versi Murji’ah yang pada kenyataannya merupakan aliran teologi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hadits tersebut sarat dengan pesan-pesan politik yang menyuarakan kepentingan penguasa pada saat itu. Untuk mengakhiri pembahasan mengenai perkembangan hadits politik, baik yang murni hadits politik maupun hadits teologi yang bernuansa politik, perlu ٦ dikemukakan sebuah tesis bahwa munculnya hadits politik sesuai dengan perkembangan dan tuntutan politik yang mengitarinya. Pada masa khalifah Bani Abbas, misalnya, karena ada keinginan untuk memperkokoh kedudukan Bani Abbas sebagai pewaris sah kekhalifahan, al-Manshur (sebagai khalifah kedua) telah mengumpulkan sejumlah ahli fiqh untuk menyusun satu perangkat Undang-Undang yang diberi nama al-Muassas al-Haqiqiy li al-Daulah al-Abbasiyah yang di dalamnya terdapat beberapa hadits politik (Hasan Ahmad Mahmud, 1977: 144),di antaranya: ضرﻷا ﻲﻓ ﷲ نﺎﻄﻠﺳ ﺎﻧا ﺎﻤﻧإ “Sesungguhnya aku adalah sultan Allah di muka bumi.” Sedangkan dalam aliran teologi, pada saat aliran Mu’tazilah mengalami kekalahan dan Ahl al-Sunnah kembali menjadi teologi pemerintah dimunculkan hadits yang berbunyi (Goldsack, 1932: 22), ﻼﻓ اﻮﺗﺎﻣ نإو ﻢھودﻮﻌﺗ ﻼﻓ اﻮﺿﺮﻣ نإو ﺔﻣﻷا هﺬھ سﻮﺠﻣ ﺔﯾرﺪﻘﻟا ﻢھوﺪﮭﺸﺗ Artinya: “Orang-orang Qadariyah adalah sebagai orang-orang Majusi bagi umat ini. Jika mereka sakit, janganlah kamu mengunjungi mereka; dan jika mereka mati, janganlah kamu ikut menguburkan mereka.” C. Dampak Hadits-hadits Politik Tidak diragukan bahwa hadits-hadits politik menimbulkan banyak implikasi, khususnya di bidang politik, yang berdampak bagi kehidupan kaum muslimin. Kesimpulan ini dapat diperkuat dengan memperhatikan betapa besar perhatian ulama, terutama pada abad pertengahan, terhadap hadits-hadits politik dalam perbedaan pandangan politik mereka. Abu Zahrah mengemukakan bahwa perbedaan pendapat para ulama mengenai persoalan politik meliputi empat masalah: 1) boleh tidaknya mendirikan dua kekhalifahan; 2) boleh tidaknya pemimpin selain Quraisy; 3) boleh tidaknya menjadi pemimpin bagi mereka yang pernah melakukan dosa besar; dan 4) boleh tidaknya mendirikan kekhalifahan di luar wilayah Quraisy (Zahrah, 1971: 23). ﺶﯾﺮﻗ ﻦﻣ ﺔﻤﺋﻷا Al-Mawardi (w. 450 H), misalnya, selain mengutip hadits , juga mengutip hadits yang mengatakan bahwa penguasa yang berdosa harus tetap dipatuhi sepanjang tidak menyuruh kepada perbuatan dosa (Mawardi, tt.: 4 dan 6). Kenyataan ini menjadi lebih menarik dengan adanya data faktual bahwa dinasti- dinasti Islam masa awal sampai pertengahan, menjadikan ke-Quraisy-an sebagai alat justifikasi teologis. Dan data sejarah yang ada menggambarkan bahwa kekuasaan ٧ politik dinasti-dinasti Islam, sebagian besar di bawah Ahl al-Sunnah yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan umat di bawah al- Jamâ’ah, sehingga kehadiran hadits-hadits politik yang menyerukan kepasifan mutlak dan isolasionisme sebagai pengimbang gerakan para oposan, dirasakan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, pengaruh dan dampak hadits-hadits politik, dengan tidak bermaksud membesar-besarkan, telah melahirkan prinsip yang wajar dan bahkan merupakan bagian permanen dari keyakinan Sunni, yakni memiliki pemerintahan yang bagaimana pun bentuknya adalah lebih baik dari pada tidak memiliki pemerintahan sama sekali. Prinsip ini dapat dilihat dari prilaku orang-orang Sunni yang hampir selalu menjadi pendukung setiap pemimpin politik. D. Hadits Palsu: Sebab-sebab Kemunculannya Dalam catatan sejarah, para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang taat kepada Rasulullah. Hanya saja, setelah mereka, muncul orang-orang yang banyak memperturutkan hawa nafsu, terutama didukung oleh suasana politik yang dimulai sejak munculnya fitnah dalam tubuh umat Islam. Mulai dari terbunuhnya Umar bin al- Khathab oleh Abu Lu’lu’ al-Majusi, kematian Utsman bin Affan oleh orang-orang yang kemudian dikenal sebagai Khawarij, kemudian perang saudara dalam perang Jamal dan Shiffin yang akhirnya membuat kaum muslimin terpecah menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing berkeyakinan bahwa kelompoknya berada di atas kebenaran. Fitnah terus bertambah dari waktu ke waktu, dan mencapai klimak pada akhir- akhir zaman tabi’in. Yang lebih ironis adalah bahwa sebagian kaum muslimin yang saling berselisih itu, menguatkan kelompok mereka dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Akhirnya, di antara mereka ada yang membuat hadits untuk mendukung kelompok masing-masing. Inilah awal sejarah timbulnya hadits palsu di kalangan umat Islam. Tentang kapan tepatnya muncul hadits palsu, Umar Falatah menulis bahwa “Buku- buku sejarah yang mencurahkan perhatian kepada setiap peristiwa, baik yang besar maupun kecil, tidak pernah mencatat sebuah peristiwa tertentu yang bisa kita jadikan tolok ukur untuk menentukan awal adanya pemalsuan hadits. Paling banter, buku- buku itu hanya memuat informasi umum bahwa sebagian sahabat yang berumur panjang, juga para tabi’in mulai tidak menerima semua hadits yang mereka dengar” (Falatah, 1401: 180). Di antara data yang menunjukkan hal itu adalah hadits riwayat Imam Muslim dalam Muqaddimah kitabnya dari Imam Muhammad bin Sirin. Ia ٨ menulis, “Kita dulu tidak pernah bertanya tentang sanad, namun tatkala muncul fitnah, maka kita katakan, ‘Sebutkan para perawi kalian.’ Lalu kami lihat, jika ia dari kalangan Ahl al-Sunnah, maka kami ambil haditsnya. Namun jika dari ahli bid’ah, maka kita tidak diambil haditsnya.” Meskipun pemalsuan hadits baru tampak pada masa-masa tabi’in, tetapi awal kemungkinan munculnya pada sekitar sepertiga akhir abad pertama hijriyah (Falatah, 1401: 180 dan 202). Melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa sebab yang secara langsung memunculkan hadits palsu adalah terpecah-belahnya kaum muslimin menjadi banyak kelompok. Kemudian muncul banyak sebab lain yang melatar-belakangi pemalsuan hadits, diantaranya adalah: Pertama, masalah politik. Akibat gejolak politik saat itu, muncul-lah banyak kelompok yang masing-masing ingin menguatkan eksistensinya, meskipun dengan memalsukan hadits. Kelompok yang paling banyak melakukan hal ini adalah Syi’ah. Ketika ditanya tentang Syi’ah, Imam Malik menjawab, “Jangan bicara dengan mereka, juga jangan meriwayatkan hadits dari mereka, karena mereka kaum pendusta” (Taimiyah,1406 H: 16). Mereka banyak membuat hadits palsu seputar keutamaan Ali bin Abi Thalib, diantara adalah hadits : ﻲِﻓ ﻢَ ﯿْ ھِ اﺮَ ﺑْ ِإ ﻰَﻟِإوَ , ﮫِ ﻤِ ﮭْ َﻓ ﻲْ ِﻓ ٍحﻮْ ُﻧ ﻰَﻟِإوَ , ﮫِ ﻤِ ﻠْ ﻋِ ﻲِﻓ مَ َ دَ ا ﻰَﻟِإ ﺮَ ﻈُ ﻨْ َﯾ نْ َأ َدارَ َا ﻦْ ﻣَ , ﮫِ ﺸِ ﻄْ َﺑ ﻰِ ﻓ نَ اﺮَ ﻤْ ﻋِ ﻦِ ﺑْ ﻰﺳَ ﻮْ ﻣُ ﻰَﻟِإوَ , هِ ﺪِ ھْ زُ ﻲِﻓ ﺎﱠﯾﺮِ ﻛَ زَ ﻦِ ﺑْ ﻰَﯿﺤْ َﯾ ﻰَ ﻟِإوَ , ﮫِ ﻤِ ﻠْ ﺣِ ◌ٍ ﺐِ ﻟِ ﺎطَ ﻰِﺑَأ ﻦِ ﺑْ ﻰّ ﻠِ ﻋَ ﻰَ ﻟِإ ﺮْ ﻈُ ﻨْ َﯿﻠْ َﻓ Artinya: “Siapa ingin melihat ilmu Adam, kepahaman Nuh, kelembutan Ibrahim, kezuhudan Yahya bin Zakariya, kekuatan Musa bin Imran, maka lihat-lah Ali bin Abi Thalib” (Syaukani, 1407: 1098). Ketika melihat bahwa Syi’ah membuat hadits palsu yang mengunggulkan Ali semacam itu, dan di hadits lain, mencela Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Mu’awiyah, maka sebagian kelompok lain (baca: Ahl al-Sunnah) membuat hadits palsu tandingan, di antaranyaadalah hadits seperti yang sudah dikemuakan di atas, yaitu : ُﺔَﯾوِ ﺎَﻌﻣُ وَ ﻞُ ﯾْ ﺮِ ﺒْ ﺟِ وَ ﺎَﻧَأ ٌ ﺔَﺛَﻼَﺛ ِﷲ َﺪﻨْ ﻋِ ءُ ﺎَﻨﻣَ ُ ﻻا Artinya: “Orang-orang yang terpercaya menurut Allah ada tiga: saya (Rasulullah), Jibril, dan Mu’awiyah” (Kananiy, 1401: 4 dan Khatib, 1963: 201). Kedua, perbuatan orang-orang zindiq dan ilhad. Orang-orang zindiq dan ilhad adalah sekelompok orang yang menakwilkan makna al-Qur’an dan hadits dengan takwil yang bertentangan dengan pokok dasar akidah Islam, sehingga mereka dituduh sebagai orang munafik, bahkan atheis yang tidak punya agama. Mereka memalsukan ٩ hadits untuk merusak syari’at Islam. Di antara mereka adalah Abdul Karim bin Abi Auja’ yang, sebelum dipenggal kepalanya, mengaku memalsukan 4.000 hadits. Ia berkata, ”Demi Allah, saya telah memalsukan sebanyak 4000 hadits. Saya halalkan yang haram dan saya haramkan yang halal.” Di antara kedustaannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ibn al-Jauzi berikut: َﻻوَ ضِ رْ َﻻا ﻦَ ﻣِ َﻻ رٍ وْ ﺮُ ﻣَ ءِ ﺎﻣَ ﻦْ ﻣِ : لَ ﺎَﻗ ؟ ﺎَﻨﱠﺑرَ ﻢﱠ ﻣِ ِﷲ لَ ﻮْ ﺳُ رَ ﺎَﯾ ﻞَ ﯿْ ِﻗ : لَ ﺎَﻗ َةﺮَ ﯾْ ﺮَ ھُ ﻰِﺑَأ ﻦْ ﻋَ قِ ﺮْ ﻌِ ﻟْا ﻚَ ﻟَِذ ﻦْ ﻣِ ُﮫﺴَ ﻔْ َﻧ ﻖَ َﻠﺨَ َﻓ ﺖْ َﻗﺮَ َﻌَﻓ ﺎھَ اﺮَ ﺟْ َﺄَﻓ ًﻼﯿْ ﺧَ ﻖَ َﻠﺧَ , ءٍ ﺎﻤَ ﺳَ Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah. Ia berkata,”Ada seseorang beratnya, “Wahai Rasulullah, (tercipta) dari apa Tuhan kita?“ Rasulullah menjawab, “Dari air yang mengalir, tidak dari bumi, juga tidak dari langit. Allah menciptakan kuda lalu menyuruhnya berlari hingga berkeringat, kemudian Allah menciptakan dirinya dari keringat kuda tersebut“ (Kanani, 1401: 126). Ketiga, fanatik kepada negara, bahasa, atau imam tertentu. Para khalifah Bani Umayyah hanya menggunakan orang-orang Arab, terutama suku Quraisy, untuk menempati urusan pemerintahan. Oleh karena itu, orang non-Arab merasa dimarginalkan. Maka mereka membuat hadits palsu, antara lain: ُهﺎﺣَ وْ َأ ﻦﯿْ ﻟِ ﮫِ ﯿْ ِﻓ اﺮً ﻣْ َأ ﻰﺣَ وْ َأ اَ ذِإ َ ﷲ نﱠ ِإوَ , ﺔِ ﱠﯿﺳِ رِ ﺎَﻔﻟْﺎِﺑ شِ ﺮَﻌﻟْا لَ ﻮْ ﺣَ ﻦَ ﯾْ ﺬِ ﱠﻟا مَ َﻼﻛَ نﱠ ِإ ﺔِ ﱠﯿِﺑﺮَ َﻌﻟْﺎِﺑ ُهﺎﺣَ وْ َأ ةﱠﺪﺷِ ﮫِ ﯿْ ِﻓ اﺮً ﻣْ َأ ﻰﺣَ وْ َأ اَ ذِإوَ , ﺔِ ﱠﯿﺳِ رِ ﺎَﻔﻟْﺎِﺑ Artinya: “Sungguh, pembicaraan para malaikat di sekitar Arsy adalah dengan bahasa Persia. Apabila Allah mewahyukan sesuatu yang bersifat lembut, maka Dia mewahyukan dengan bahasa Persia. Namun jika wahyu itu bersifat keras maka dengan bahasa Arab” (Kanani, 1401: 136). Demikian juga orang-orang yang fanatik dengan imam tertentu, mereka juga membuat hadits palsu, di antaranya yang terkenal adalah: ﺲَ ﯿْ ﻠِ ﺑْ ِإ ﻦْ ﻣِ ﻲْ ِﺘﻣﱠ ُأ ﻰَﻠﻋَ ﺮﱡ ﺿَ َأ ﺲَ ﯾْ رِ دْ ِإ ﻦِ ﺑْ ٌﺪﻤﱠ ﺤَ ﻣُ ُﮫَﻟ لُ ﺎَﻘُﯾ ﻞٌ ﺟُ رَ ﻲْ ِﺘﻣّ ُأ ﻦْ ﻣِ نُ ﻮْ ﻜُ َﯾ . ﻲْ ِﺘﻣﱠ ُأ جاﺮَ ﺳِ ﻮَ ھُ َﺔَﻔﯿْ ِﻨﺣَ ﻮْ ُﺑَأ ُﮫَﻟ لُ ﺎَﻘُﯾ ﻞٌ ﺟُ رَ ﻲْ ِﺘﻣﱠ ُأ ﻦْ ﻣِ نُ ﻮْ ﻜُ َﯾوَ Artinya: “Akan ada di kalangan umatku seseorang yang bernama Muhammad bin Idris (Imam al-Syafi’i, pen.). Ia lebih berbahaya atas umatku dari pada Iblis. Dan akan ada di kalangan umatku seseorang yang bernama Abu Hanifah. Ia bagaikan lampu penerang bagi umatku” (Jauzi, 1418: 49). Keempat, tukang cerita. Pada akhir masa kekhalifahan Islam, banyak orang yang memiliki hobby bercerita dan memberi nasihat, padahal mereka tidak ditunjang oleh ilmu yang memadai. Dorongan utama mereka adalah agar cerita dan nasihatnya didengar orang, sehingga memperoleh imbalan materi. Akibatnya, mereka membuat ١٠
Description: