Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota Tim PUSHAM UII Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT) Bersama Bergerak: Riset Aktivis Islam di Dua Kota -- Tim PUSHAM UII, PUSHAM UII: Yogyakarta, Oktober 2009 120 Halaman, i-xxxiii, 14 x 21 ISBN 978-979-1097-80-1 Cetakan Pertama, Oktober 2009 Tim Riset dan Penulis: Laode Arham, Mohammad Syafi’i, Muhammad Zuhdan, Supriyanto Abdi, Nurdayad, Kelik Sugiharto, Eman Sulaiman. Editor: Dian Yanuardi & Supriyanto Abdi Perancang sampul: Aditya R. (Didit) Layouter: Darmawan Diterbitkan oleh: PUSHAM UII Jeruk Legi RT 13 RW 35 Gang Bakung No. 517A Banguntapan Bantul Yogyakarta Telp. 0274-452032, Faks. 0274-452158 E-mail [email protected], [email protected] Website: www.pushamuii.org Cetak oleh: Nailil Printika Telp. 0274-7422 761 Daftar Isi 1. Pendahuluan 1 2. Konteks Gerakan Islam Radikal 25 3. Wacana dan Persepsi Islam Radikal tentang HAM 45 4. Gerakan Sosial Islam Radikal 77 5. Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi 99 Daftar Pustaka 109 Biodata Para Penulis 117 vi Kata Pengantar Dalam suatu seminar,1 seorang Komisaris Polisi (Kompol) yang berasal dari satuan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (terkenal dengan sebutan Densus 88), sebagai salah satu narasumber, menyatakan bahwa polisi sudah mengantisipasi akan adanya ‘serangan balik balas-dendam dari para teroris’ sebagai balasan terhadap dieksekusi-matinya tiga orang terpidana dalam kasus bom Bali2 – meskipun yang bersangkutan dan intelejen serta polisi pada umumnya 1 Seminar Keamanan & Hak Asasi Manusia itu diselenggarakan oleh PusHAM UII Yogyakarta di Hotel Santika Yogyakarta, 3 Septem- ber 2009. 2 Terpidana mati terkait dengan bom Bali adalah Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra. Hukuman mati akhirnya dilaksanakan setelah ditunda-tunda beberapa waktu. Publik, termasuk para korban yang masih hidup dan keluarga korban cukup puas atas eksekusi mati itu, meskipun ada pembela hak asasi manusia (human rights defender) yang menentang hukuman mati, termasuk hukuman mati terhadap pelaku pemboman. Di pihak lain terdapat sekelompok orang yang justru menganggap dan memperlakukan ketiga terpidana sebagai ‘mujahid’, orang-orang yang mati syahid karena berjihad. vii mengaku tidak tahu kapan tepatnya aksi balas dendam itu terjadi —; dan serangan-balik itu menjadi kenyataan, menurutnya, ketika terjadi ledakan bom di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.3 Kompol Densus 88 itu seolah hendak menegaskan kembali pernyataan Boulding [1994] bahwa ‘tindak kekerasan4 dapat melahirkan kekerasan baru,’5 yakni: 3 Bom meledak di hotel Ritz Carlton dan J.W. Mariot pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 2009. 4 Joan Bondurrant, seorang tokoh utama di dalam non-kekerasan, menakrifkan kekerasan sebagai ‘the willful application of force in such a way that it is intentionally injurious to the person or group against whom it is applied‘ (‘penerapan kekuatan yang sengaja dengan cara sedemikian rupa bahwa kekerasan itu dimaksudkan menciderai seseorang atau kelompok terhadap siapa hal (tindakan) itu dikenakan). Cidera dipahami untuk memasukkan kesakitan psikologis dan juga fisikal’ [Bondurrant, Conquest of Violence, p. 9 ; juga Paul Wehr, Heidi Burgess, Guy Burgess, Justice Without Violence, Boulder & London, Lynne Rienner Publisher, 1994, p. 9]. Doug Bond mendefinisikan kekerasan secara lebih sempit sebagai ‘use of physi- cal force against another’s body, against that person’s will, and that is expected to inflict physical injury or death upon that person’ (‘penggunaan kekuatan fisikal terhadap badan seseorang, berten- tangan dengan keinginan orang itu, dan hal itu diharapkan [ditu- jukan]) untuk menyebabkan penderitaan cidera fisikal atau kematian atas orang itu’). Definisi ini agaknya memasukkan cidera fisikal dan juga penghancuran kepemilikan, yang dimasukkan di dalam definisi lain tentang kekerasan [lihat: Doug Bond, Nonviolent Direct Ac- tion and the Diffusion of Power, dalam Wehr et.al., Justice Without Violence, Boulder & London, Lynne Rienner Publisher, 1994, pp. 59- 79]. Istilah kekerasan itu dekat sekali dengan makna kosakata ‘agresi’, yaitu ‘tindakan/perbuatan permusuhan yang dimaksudkan untuk menyakiti orang atau sasaran, seringkali merupakan hasil dari frustrasi.’ Istilah ini juga mengacu pada nafsu atau kecederungan untuk melakukan tindakan menyakiti [Theodorson & Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology, New York, Thomas Y. Crowell, 1969,8]. 5 Pernyataan ini sayup-sayup mengingatkan kembali pada pernyataan Soebandrio di dalam Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar viii kekerasan bom Bali melahirkan eksekusi mati terpidana pelakunya, yang ditanggapi dengan kekerasan bom J.W. Mariot dan Ritz Carlton yang mengakibatkan 9 orang meninggal dan 53 orang luka, dan pada gilirannya memunculkan penyergapan yang mematikan Ibrohim di Temanggung, yang disangka oleh polisi sebagai salah satu orang yang terlibat di dalam peristiwa bom di kedua hotel itu, meski belum dibuktikan secara sah dan meyakinkan di depan pengadilan. Pelaku tindak kekerasan dalam peristiwa yang dipaparkan itu disatu pihak adalah yang disangka dan/atau dianggap sebagai teroris, yang, masih menurut Kompol Densus 88, digerakkan (atau dimotivasi) oleh ajaran agama yang bersifat radikal dan oleh karena itu dianggapnya sebagai salah (atau sesat), sehingga tindakan teror itu disebutnya sebagai ‘religious terrorism’ – dan oleh karena itu, lanjutnya, Densus 88 (dan polisi) telah menyusun rencana tindakan ‘deradikalisasi (atas agama yang dianggap radikal)’ —. Tindakan teror di dalam terorisme adalah tindakan melawan hukum positif, yakni bertentangan dengan UU No. 15/2003, serta termasuk dalam kategori perbuatan ‘extraordinary crime’ (‘kejahatan luar biasa’). Sedangkan dipihak lain, pelaku tindak kekerasan kedua (eksekusi mati terpidana kasus bom Bali setelah diadili lewat proses pengadilan, penem- bakan dalam penyergapan tersangka teroris bom Mega oleh pihak Orde Baru ketika mengadili yang bersangkutan atas dasar tuduhan terlibat di dalam apa yang disebut Orde Baru sebagai Pemberontakan G.30S/PKI pada tahun 1965. Soebandrio membuat pernyataan terkenal, yakni: ‘Teror dibalas dengan teror.’ ix
Description: