ebook img

EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII PDF

127 Pages·2012·0.55 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII

1 EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII Muhammad Saleh Madjid Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Abstrak: Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima pada abad ke-XVII bermula dari upaya perluasan wilayah kekuasaan dalam rangkaian kegiatan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara. Dalam perkembangannya, upaya itu disertai juga dengan penyebaran syiar Islam. Ekspansi tersebut bertepatan pula dengan terjadinya konflik internal di Kerajaan Bima. Pada abad ini pula, upaya progresif VOC semakin meluas dan meliputi juga daerah Bima. Hal itu berimplikasi terhadap konstelasi politik maritim di Kerajaan Bima dan kawasan timur Nusantara pada umumnya. Kata Kunci: Ekspansi Politik dan Islamisasi PENDAHULUAN Sejarah ekspansi kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima yang diuraikan dalam tulisan ini mencoba mengungkapkan pelbagai hal yang terjadi pada abad ke-17, kaitannya dengan ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima. Dalam proses ini termasuk pula rangkaian pengislaman (Islamisasi). Oleh sebab itu, kedua aspek tersebut (ekspansi politik dan islamisasi) dapat dijumpai ketika hendak mengkaji sejarah Bima. Kendatipun demikian, secara khusus fokus tulisan ini pada aspek ekspansi politik, namun kehadiran islamisasi sebagai bagian integral tetap mendapat perhatian pada tahap tertentu di mana keduanya memiliki korelasi dalam ruang sejarah Bima. Sejarah Gowa-Tallo pada abad ke-17, sebagaimana dikemukakan Anthony Reid (1999), telah mencapai kemajuan yang sangat gemilang dalam sejarah Indonesia, khususnya jaringan perdagangan maritim. Aspek kemaritiman dalam konteks ini sangat penting, tidak hanya dalam lingkup perkembangan sejarah Gowa-Tallo, tetapi juga pengaruhnya terhadap daerah lain, antara lain Bima, berkaitan dengan perkembangan sosial dan politik pada abad ini. Masuknya Islam di kerajaan Gowa pada abad ke-17 mempengaruhi pula jalannya ekspansi politiknya ke daerah lain. Di bawah kuasa politik Sultan Alauddin (raja Gowa yang pertama memeluk Islam) upaya ekspansi politik berjalan seirama dengan pengislaman, sebagaimana ditegaskan Leodard Andaya (2004), terdapat sebuah keyakinan bahwa menyebarkan Islam merupakan suatu kewajiban. Menurutnya, penaklukan wilayah (daerah lain) dilakukan untuk mewujudkan komitmen terhadap keyakinan itu. Dalam kerangka ini, kerajaan Bima termasuk daerah yang terintegrasi dalam wilayah ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo. Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________ 2 _ ________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid PEMBAHASAN 1. Keadaan Politik Bima Masa Pra-Islam. Pada akhir abad XVI, setelah Raja Ma Wa’a Ndapa mangkat, terjadi konflik berkerpanjangan di kalangan keluarga istana. Konflik ini berlanjut hingga awal abad XVII. Ketika masa pemerintahan Raja Ma Wa’a Ndapa, Kerajaan Bima berhasil mencapai puncak kejayaan serta mampu menjadikannya sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi oleh para sudagar, baik dari dalam maupun dari luar Bima. Kejayaan Kerajaan Bima berlanjut sampai pada masa pemerintahan Raja Ma Ntau Asi Sawo. Pada masa ini hubungan dengan daerah-daerah luar diperluas. Pada masa ini juga diadakan hubungan kerja sama Kerajaan Gowa-Tallo serta Kerajaan-kerajaan lainnya di bagian barat Nusantara. Setelah wafatnya Raja Ma Wa’a Ndapa, terjadi konflik politik dalam Kerajaan Bima. Raja Salisi (Ma Ntau Asi Peka) bersama saudaranya, Rato Bumi Jara Sanggar (putra dari Ruma Ma Wa’a Ndapa dari selirnya), berambisi untuk menjadi raja. Dalam konteks itu, Salisi melakukan teror terhadap kedua putra mahkota dari Raja Ruma Ta Ma Ntau Asi Sawo. Berhubung mereka belum memasuki usia dewasa, maka Tureli Nggampo Manuru Salisi mengangkat dirinya menjadi Raja Bima. Meskipun langkahnya jelas melanggar ketentuan adat, Raja Salisi tidak menghiraukannya. Bahkan, secara diam-diam Salisi mengatur siasat untuk melenyapkan keponakannya (putra mahkota). Ia memerintahkan kepada Bumi Luma Rasa Na’e untuk menyiapkan acara perburuan di Padang Rumput Mpori Wera. Dalam kegiatan itu, Salisi bersama keponakannya serta diiringi pejabat Hadat dan Hulu Balang akan melakukan perburuan. Ketika kegiatan perburuhan berlangsung, Salisi memerintahkan membakar sekeliling padang rumput Mpori Wera. Kedua putera mahkota beserta pengawalnya tidak sempat untuk menyelamatkan diri dan akhirnya meninggal dunia (Tayeb,1995:107-108). Salisi juga menyiasati masyarakat dan tokoh Ncuhi yaitu Ncuhi Dara dan Ncuhi Padolo. Di hadapan rakyat, Salisi menyampaikan berita bahwa kedua Ncuhi tersebut mendukungnya untuk menjadi raja menggantikan Raja Ruma Ta Mantau Asi Sawo. Meskipun demikian upaya itu tidak berhasil menarik simpati dan dukungan rakyat. Upaya selanjutnya ialah Salisi mencoba memalingkan perhatiannya untuk bekerjasama dengan Belanda, yang dikukuhkan dalam suatu kontrak politik secara lisan pada tahun 1605 di Ncake (Desa Cenggu). Dalam kontrak itu, pihak Belanda diwakili oleh Stephen Van Hegen (Ismail,2004:56-57). Upaya sistematis terus dilakukan oleh Salisi. Kali ini, ia memulai upayanya untuk menyingkirkan Jena Teke La Kai dari istana. Ada alasan penting sehingga La Kai menjadi sasaran pengingkirannya. Menurut ketentuan Hadat, setelah meninggalnya Jena Teke Ma Mbora di Mpori Wera, maka yang berhak menggantikannya ialah La Kai. Akan tetapi usahanya gagal karena La Kai meninggalkan istana bersama La Mbila, Bumi Jara Mbojo, dan Manuru Bata atas nasihat dari Rato Waro Bewi. La Kai menyelamatkan diri menuju ke Desa Teke, kemudian ke Desa Kalodu (Loir, 1999:65- 66). 3 Bersama dengan ketiga pengikutnya, La Kai kemudian menuju Pelabuhan Sape, mendatangi pedagang dari Luwu dan menyatakan diri untuk masuk Islam. Pada saat itu di Pelabuhan Sape sudah berdatangan para padagang dari Luwu, Tallo, Bone untuk berdagang beserta dengan saudara dari Daeng Mangali di Bugis Sape (Ismail,2004:51). Dalam perjalanan inilah, La Kai akhirnya memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir, diikuti para pengikutnya yakni: Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin, Manuru Bata menjadi Sirajuddin, dan La Mbila menjadi Jalaluddin (Tayeb,1995:111). Ketika La Kai bersama pengikutnya masih di Pelabuhan Sape, para pejabat hadat terutama Bumi Jara Sape bersama Bumi Paroko serta kelompok lainnya yang menentang usaha Raja Salisi, berencana hendak menobatkan La Kai sebagai Jena Teke. Rencana tersebut akhirnya dapat dilaksakan, antara lain berkat bantuan militer dari raja Gowa. Sejak saat itu rangkaian usaha yang telah dilakukan Raja Salisi terputus (gagal), dan kerja sama (hubungan diplomatik) antara Bima dengan Gowa pun tercapai yang selanjutnya banyak mewarnai dinamika internal kerajaan Bima. 2. Ekspansi dan Islamisasi Persoalan Islamisasi di Bima tidak dapat dipahami secara parsial dengan daerah lainnya di Nusantara. Sebab peristiwa itu sudah merupakan fenomena global yang berlangsung pada abad XVII. Hal ini menurut Azra (2002) hendaknya dipahami dalam kerangkal lokal dan global Islamisasi, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh dan koneksi yang terbangun dalam kerangka itu. Pada tataran ini penting dikemukakan konteks dan dinamika politik yang terjadi, dalam hal ini berkaitan dengan upaya ekspansi politik kerajaan kembar, Gowa Tallo, pada abad XVII. Pada masa pemerintahan Karaeng Matoayya dan Daeng Manrabia, Kerajaan kembar Gowa-Tallo menerapkan kebijakan mare’ liberium dan dicetuskannya semangat Bundu’ Kassallanga (semangat perang Islam). Kebijakan mare liberium erat kaitannya dengan perluasan wilayah niaga dan menciptakan daya tarik bagi para saudagar untuk melakukan kegiatan perdagangan maritim di wilayah kuasa Kerajaan Gowa-Tallo. Awal abad XVII merupakan momen paling penting dalam perkembangan hubungan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan Kerajaan Bima. Pada saat itu Kerajaan Gowa-Tallo mengambil peran sebagai pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara. Posisi Makassar dalam hal ini tampil sebagai Pelabuhan transito (Poelinggomang, 2004) terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Perubahan tersebut dijelaskan pula oleh Sartono Kartodirjo, bahwa perkembangan Makassar sangat ditentukan oleh dua faktor. Pertama, perdamaian dan keamanan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Gowa-Tallo, sehingga memungkinkan aktivitas perdagangan di Makassar dan sebaliknya, para pedagang Internasional tertarik ke sana membawa banyak kekayaan. Kedua, kedudukannya sebagai pelabuhan transito sangat tergantung pada aliran rempah-rempah dari Maluku, Seram, Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan lainnya yang dibutuhkan sebagai bekal dalam pelayaran (Kartodirjo, 1993:88). Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________ 4 ___ ______Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid Kerajaan Gowa-Tallo dibawah pemerintahan Raja Gowa-Tallo XIV, Karaeng Matoaya, atau lebih dikenal dengan Sultan Alauddin, yang memerintah pada tahun 1593-1639, dan kemudian digantikan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), mencapai zaman keemasan. Kekuasaanya hampir meliputi seluruh kawasan timur Nusantara. Pada masa itu juga, agama Islam telah menjadi agama resmi kerajaan. Dengan demikian hubungan antara ekspansi politik dengan Islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika yang berangsung di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad XVII. Peranan Makassar sebagai pusat perdagangan dan bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makassar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa. Sejalan dengan itu, abad ke 17 merupakan saat di mana Kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Utara Pulau Jawa mengalami keruntuhan satu persatu. Keadaan itu merupakan kesempatan dan peluang yang besar bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara. Seiring dengan perkembangan Makassar sebagai pusat perdagangan, maka upaya ekspansi pun semakin berkembang dalam rangka perluasan daerah penghasil bahan pangan dalam aktivitas niaga. Menurut Tayeb (1982:23), setelah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional di kawasan timur Nusantara, Makassar tidak dapat memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat dalam perdagangan. Oleh sebab itu, maka Kerajaan Gowa mulai mengadakan pengangkutan beras dari Jawa yakni dari Tuban, Jepara, dan Gresik. Pembelian beras dari Jawa juga belum mencukupi permintaan dan pula tergantung pada musim dan pelayaran juga. Oleh sebab itu, Makassar mulai mencari daerah beras yang dekat dan mudah dikuasai. Hal tersebut di atas adalah salah satu bagi Kerajaan Gowa-Tallo memperluas daerah kekuasaannya menuju ke selatan yang akan dijadikan sebagai gudang cadangan beras bagi Makassar. Kegiatan penyiaran Agama Islam juga dilakukan seiring dengan perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo (dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Makassar). Penyiaran Islam tidak hanya dilakukan di wilayah Sulawesi, tetapi juga kegiatannya diarahkan ke daerah yang dikuasainya, termasuk dalam hal ini Kerajaan Bima. Ketika Kerajaan Bima pada permulan abad XVII menerima pengaruh Islam dari Kerajaan Gowa-Tallo, keadaan politik dalam kerajaan sedang dilanda kemelut berupa perebutan kekuasaan antara Raja Salisi dengan La Kai. Kondisi ini menyebabkan perkembangan politik tidak menentu. Selama berlangsungnya kemelut itu, La Kai bersama para pengikutnya kemudian memeluk agama Islam. Mereka inilah yang kemudian melakukan usaha penyebaran Islam di Bima (Madjid, 2006) Perebutan kekuasaan yang terjadi dalam Kerajaan Bima terdengar oleh Raja Gowa yang merupakan kerajaan sekutu yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Bima, sejak sebelum keduanya memeluk agama Islam. Dalam konteks hubungan diplomatik, maka kerajaan Gowa-Tallo merasa perlu membantu dalam mengatasi kemelut yang melanda kerajaan sekutunya. Raja Salisi yang dianggap 5 tidak sejalan dengan sistem pergantian kekuasaan di Kerajaan Bima dan kurang mendapat dukungan dari rakyat, menjadi lawan politik La Kai yang ketika itu telah menjalin hubungan langsung (melalui pengislamannya) dan mendapat dukungan dari Kerajaan Gowa-Tallo. Dengan demikian Kerajaan Gowa-Tallo terlibat lagsung dalam kemelut politik dan pergantian kekuasaan. a. Ekspansi I (1616) Ekspansi Kerajaan Gowa terhadap Kerajaan Bima terkait dengan perluasan syiar Islam. Dalam BO peristiwa ini disebut ekpedisi yang pertama tahun 1616. Pembesar Kerajaan Gowa mengirimkan utusannya melalui jalur perdagangan untuk menyebarkan agama Islam di Bima. Pasukan yang dikirm merupakan orang-orang Islam yang menyertai Lo’mo Mandalle di dalam menyampaikan agama Islam pada Raja Bima, yang pada saat itu dibawah pemerintahan Raja Salisi Ma Ntau Asi Peka. Atas permintaan putra mahkota, La Kai mengajukan permohonan bantuan militer kepada Raja Gowa untuk menumbangkan Raja Salisi, melalui perantaraan pedagang- pedagang dari luwu, Gowa, Bone, dan Tallo. Misi pertama ini tidak berhasil oleh karena ketika pasukan Kerajaan Gowa berada di perairan bandar Bima maka segenap rakyat Bima lari masuk ke hutan dan bersembunyi, kemudian pasukan berangkat menuju ke Sape dan mengislamkan La Kai beserta dengan tiga orang pengikutnya serta orang-orang tua di pesisir Sape kemudian mereka kembali ke Gowa. Di dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo disebutkan, bahwa penyerbuan pasukan Gowa adalah untuk memperkuat kedudukan pengaruh Kerajaan Gowa ke bagian timur Nusantara. Atas dasar itu, kemudian Kerajaan Bima dikuasai pada tahun 1616 oleh Lo’mo Mandalle seorang panglima armada perang Kerajaan Gowa (Mattulada,1982:52). Hal ini adalah dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Gowa yang mulai mendapat pengaruh dan campur tangan dari pihak VOC. Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa di dalam bulan April 1616, Hulubalang Kerajaan Gowa, Lomo Mandalle mengepalai sebuah angkatan perang menyeberang ke Bima dan selanjutnya menaklukkan negeri itu. Dalam penyerbuan ini Lo’mo Mandalle dikawal oleh sembilan kapal perang (Rasyid,1991:43). b. Ekspansi II (1618) Berbeda dengan perkembangan agama Hindu yang membutuhkan waktu yang lama dalam proses perkembangannya, perkembangan syiar Islam di Kerajaan Bima berlangsung dengan cepat, intensif, dan menjadi faktor penentu terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Kerajaan Bima. Termasuk sistem/struktur pemerintahan. Kekuatan adat yang kukuh membentengi diri dan pengaruh Hindu yang terlalu jauh, justru lunak dan cocok menerima Islam dengan konsekwensi terjadinya perubahan-perubahan serta penyesuaian secara fundamental sesuai dengan tuntutan atau prinsip Islam. Dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo, Lontarak Bilang, disebutkan bahwa pada 18 Agustus 1618 M bertepatan dengan 26 Zulkaidah 1037 H, Karaeng Marowangin yang menjabat Tumailalang Kerajaan Gowa berangkat ke Bima. Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________ 6 _ ________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid Sebelumnya, Kerajaan Gowa mengadakan konsolidasi kekuatan, sehingga pada tahun 1618 berhasil menduduki Kerajaan Bima. Kemudian pada tahun 1619 Raja Gowa XIV menjadikan kerajaan Bima sebagai bagian dari Kerajaan Gowa, bersama dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Sumbawa seperti Tambora, Dompu, Sanggar (Patunru,1969:24). Dengan demikian, ekspansi (dalam BO disebut ekspedisi) yang yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan sekaligus menyebarluaskan Islam. Dengan berhasilnya ekpedisi itu, maka kerajaan Bima secara institusi (politik) menjadi salah satu kerajaan bercorak Islam di Kepulauan Nusa Tenggara. Pada tahun 1621, La Kai bersama para pejabat kerajaan Bima memeluk agama Islam (Loir, 1999: xvii). Integritas kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa-Tallo dalam hal proses Islamisasi merupakan awal bagi kerajaan Bima dalam proses modernisasi di bawah naungan Islam, karena seluruh aspek kehidupan dalam kerajan di transformasikan ke dalam tata laksana kehidupan internal kerajaan Bima. Pada ekspansi yang ke-2 ini Karaeng Marowangin didampingi langsung Karaeng Tu Mamaliyang Ri Timoro dan Sultan Alauddin. Setelah berhasil ditaklukan, kerajaan Bima dijadikan sebagai “budak“ Makassar dengan kewajiban membayar upeti setiap tahun (Toda,1986:102). Di dalam naskah Makassar hubungan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima dicatat sebagai hubungan antara tuan dan hamba. Hubungan tersebut memperoleh warna dan fase baru, takkala turun perintah raja Gowa-Tallo yaitu Sultan Alauddin (Daeng Manrabia) kepada Sultan Abdul Kahir (La Kai) untuk mengawini ipar raja yaitu puteri dari Daeng Mellu bernama Daeng Sikontu, seorang karaeng dari Kassuarang yang terletak di dekat Sanrobone. Perintah kawin itu disambut oleh Sultan Abdul Kahir dengan jawaban merendah dan rasa hormat kepada Sultan Alauddin dengan mengatakan makkala basung ( saya tidak pantas, takut mendapat kualat sakit bussung) karena berani menikahi ipar sang raja, pernyataan Sultan Abdul Kahir itu kemudian dijawab oleh Sultan Alauddin dengan jawaban Inakke assuroko ( sayalah yang memerintah kamu) (Toda,1986:86). Dimensi psikologis tersebut menyiratkan ritus promosi penyamaan tingkat raja di atas diri Abdul Kahir, ditinggikan statusnya dari hubungan antara tuan dan hamba menjadi setingkat saudara dengan raja Gowa-Tallo. Hal itu dibuktikan dengan adanya kepercayaan yang diberikan oleh Sultan Alauddin kepada Sultan Abdul Kahir menjadi panglima perang membantu ekspansi kerajaan Gowa dalam melawan VOC di perairan Buton sehingga setelah meninggal Sultan Abdul Kahir di berikan gelar Mambora Di Buton (Loir, 1999: xviii). Serta membendung Kolonialisme dan Imperialisme yang sedang mengarah kepada monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC. Jiwa merdeka, persaman dan persaudaran yang d miliki oleh kerajaan Gowa- Tallo dijadikan sebagai sendi pengembangan masyarakat dan penyusunan serta pengaturan kehidupan politik, sehingga pada saat penyebaran dan pengembangan agama Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo maka pengaruh kekuasaan Bangsa Portugis mulai melemah dan kemudian pada akhirnya digantikan oleh Belanda (Mattulada,1982:52). Dengan demikian, usaha yang diambil oleh Kerajaan Gowa-Tallo 7 yaitu penaklukan Kerajaan Bima merupakan usaha untuk menghadapi perang hebat dengan VOC, dengan cara memperkokoh pengaruh dan kekuasaan keluar Sulawesi sekaligus juga untuk mengembangkan dan menyebarluaskan agama Islam (Ilham,2001:42). Bersamaan dengan usaha Belanda untuk menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, Kerajaan Gowa-Tallo pun berupaya mempertahankan mata rantai kehormatan, kemerdekaan, persamaan, dan persaudaran di atas perairan Nusantara. Gelombang penolakan dan pertikaian antara kerajaan-kerajaan Islam di kawasan timur Nusantara tidak terlepas dari gelombang penolakan yang terjadi pada kerajaan Gowa- Tallo yang merupakan kunci dan pintu perdagangan di kawasan timur Nusantara (Poelinggomang,2004). Ketika terjadi konflik antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC, sebagai akibat dari pertentangan itu, maka timbul peperangan di wilayah perdagangan dan pelayaran yang berbeda dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Posisi dan peranan dari Kerajaan Gowa-Tallo dengan bandar niaga Makassar tidak hanya berperan dari aspek ekonomi, tetapi juga meliputi aspek politik, sosial, dan budaya. Dari aspek politik, menunjukkan kemampuan pemerintahan Kerajaan Gowa dengan segala taktiknya serta berwibawa dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayahnya, serta mampu membuat perkembangan dari berbagai sektor kehidupan, pembuatan perahu, dan perdagangan (Abduh,1982:27). Meskipun Kerajaan Gowa-Tallo secara prinsip bukanlah organisasi ekonomi, namun dengan menguasai seluruh kegiatan ekonomi yang berpusat pada sektor maritim merupakan bagian dari usaha untuk meraih kekuasaan yang lebih penting dari ekonomi yaitu kekuatan politik yang tangguh, jika pengaturan politik telah tercapai yaitu menyangkut kedudukan sebuah kerajaan besar terhadap kerajaan kecil lainnya, maka segala sesuatu hal termasuk seluruh pengaturan ekonomi akan disesuaikan dengan kedudukan politik yang dianut oleh Kerajaan Gowa-Tallo (Andaya,2004:58- 59). Hal inilah yang melahirkan pemikiran merkantilisme di Makassar (Poelinggomang, 2004). Motivasi ekonomi dan kekuasaan dalam aktivitas niaga inilah yang menyebabkan bangsa-bangsa di Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, berkeinginan untuk memperluas daerah kekuasaannya di seberang lautan. Dalam konteks itu, maka penguasaan atas Kerajaan Gowa-Tallo yang menjadi pengendali politik perdagangan maritim di kawasan timur menjadi sasaran utama dan strategis untuk dikuasai, termasuk pula dalam hal ini Kerajaan Bima oleh Kerajaan Gowa-Tallo guna memenuhi permintaan komoditi dalam aktivitas niaga (Abduh,1982:27). Posisi strategis dan perannya dalam mempertahan eksistensi politik di tengah ancaman kekuatan lain yang hendak menguasai jaringan dan wilayah perdagangan di kawasan timur, menyebabkan Kerajaan Gowa-Tallo menata diri dan juga melakukan bebagai upaya untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Ekspansi politik ke daerah seberang, khsusunya ke Kerajaan Bima merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensinya sebagai kekuatan politik yang banyak mengendalikan aktivitas niaga yang pada saat itu tengah diincar oleh kekuatan asing, yakni VOC yang memaksakan diri untuk memonopoli kegiatan niaga di kawasan timur Nusantara. Rivalitas dalam Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________ 8 _ ________Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII, Muhammad Saleh Madjid perebutan wilayah antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC mengakibatkan terjadinya konflik politik berkepanjangan sejak tahun 1607 hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (Mattulada,1982:73). Mengacu pada penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ekspansi politik Kerajaan Gowa-Tallo yang kedua ini adalah bentuk upaya konsolidasi kekuatan untuk membendung gerak Kolonialisme (VOC) yang tengah melanda kawasan timur Nusantara. Upaya konsolidasi ini mendapat sambutan yang baik dari kerajaan-kerajaan lain yang berada dibawah kekuasaannya. c. Ekspansi III (1625) Abad ke XVI-XVII, situasi politik Nusantara menjadi panas, sehingga dapat dikatakan bahwa abad tersebut merupakan pertarungan antara kekuatan jiwa merdeka yang dipancarkan oleh ajaran Islam melawan kebangkitan raja-raja mutlak menuju kepada kebinasaan (Mattulada,1982:45). Hal itu tampak dalam hubungan antara VOC dengan Kerajaan Bima yang berada dalam wilayah konsolidasi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo setelah ekspansi (ekpedisi dalam BO) yang ketiga dalam tahun 1625. Dalam rangka monopoli kekuasan di kawasan timur Nusantara yang penting bagi kegiatan perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana serta produk-produk lainnya di Kepulauan Nusa Tenggara, maka Belanda membutuhkan teman koalisi dari kerajaan pribumi yang terletak pada jalur lalu lintas laut yang bebas dari halangan akan persaingan dengan Portugis dan kontrol dari kerajaan Gowa. Posisi dan kedudukan Kerajaan Bima yang strategis itu makin berarti. Setelah benteng Panakkukang dikuasai, Belanda semakin tegang dalam menghadapi setiap kemungkinan pukulan balasan dan konsolidasi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih besar. Karena itu, VOC kemudian mengambil tindakan terhadap kerajaan-kerajaan bawahan Kerajaan Gowa-Tallo yakni dengan menjadikannya menjadi sekutu atau langsung dikuasai (Toda,1999:89). Sebagai sebuah kekuatan politik besar di kawasan timur, Kerajaan Gowa-Tallo berupaya mempertahankan eksistensinya. Pada bagian lain, VOC tetap pada pendirianya untuk melakukan monopoli dagang. Akibtanya, terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut dan mewarnai dinamika kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara pada abad XVII. PENUTUP Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima dan kerajaan-kerajaan lainnya di Kepulauan Nusa Tenggara terkait dengan konsep perluasan wilayah kekuasaan yang dianut. Pada awalnya Kerajaan Gowa-Tallo menganut prinsip mare liberium dalam rangka upaya mencari nafkah melalui laut, yakni aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim. Usaha itu kemudian mengalami perluasan orientasi seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah berhasil mengislamkan kerajaan-kerajaan di jazirah selatan pulau Sulawesi, maka selanjutnya upaya penyebaran syiar Islam ditujukan kepada daerah seberang lautan ke arah selatan yakni Kerajaan Bima. Dengan demikian tampak 9 adanya korelasi antara perluasan ruang usaha (perdagangan) dengan perluasan syiar Islam. Namun, usaha itu berbenturan dengan kepentingan ekonomi VOC yang pada masa itu sangat ekspansif di kawasan timur dalam rangka monopoli perdagangan rempah-rempah, yang menjadi ciri khas perdagangan maritim terutama pada abad XVII. Hal itu menyebabkan kompetisi antara Kerajaan Gowa dengan VOC. Kompetisi dan konflik tersebut berimplikasi pada eksistensi Kerajaan Bima yang mana termasuk salah satu daerah penghasil komoditi perdagangan dan posisinya yang strategis dalam lalu lintas pelayaran Nusantara. Akhir dari kompetisi itu maka tampil sebagai pemenangnya ialah Kerajaan Gowa, dan sejak itu pula Bima mejadi daerah kekuasaanya. DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad. 1982, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan Kolonialisme Di Sulawesi Selatan, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Jakarta. Andaya Y. Leonard. 2004, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII, Makassar: Ininnawa. Azra, Azyumardi. 2002, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan. Ilham, Muhammad. 2001, Islam dan Perubahan Sosial di Gowa pada abad XVII (Studi Tentang Perkembangan Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial). Thesis program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Makassar. Ismail, M. Hilir, 2004, Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, Mataram: Lengge. Kartodirdjo, Sartono. 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia. Loir, Henri Chambert, St Maryam R. Salahuddin. 1999. BO Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima (Naskah Dan Dokumen Nusantara Seri XVIII). Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme Orient dan Yayasan Obor Indonesia. Mattulada. 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang: Berita Utama-Bhakti Baru. Patunru, Daeng Abdul Razak.1989, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Dan Tenggara:Ujung Pandang. Poelinggomang L. Edward. 2004, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Rasyid, Darwas.1991, Peristiwa Tahun-Tahun Bersejarah Daerah Sulawesi Selatan Dari Abad Ke XIV-XIX, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional: Ujung Pandang. Tayeb, Abdullah.1995, Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: Harapan Nusa PGRI. Toda, N Dami. 1999, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Ende: Nusa Indah. Humanis, Volume IX Nomor 2, Juli 2008__________________________________________ 10 _ __Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno PENDIDIKAN SEBAGAI LOKOMOTIF UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING SUMBER DAYA MANUSIA DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH IMAM SUYITNO Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Abstrak: Dewasa ini tantangan yang dihadapi bangsa indonesia semakin kompleks dan global, mencakup seluruh aspek kehidupan. Tofler (1999) mensinyalir bahwa manusia kini sedang hidup dalam alam kehidupan komunikasi dan informasi. Transparansi kehidupan global seolah mengisyaratkan bahwa, kini dunia seakan mengecil bagaikan desa dunia yang nyaris tanpa batas, ini bisa terjadi karena derasnya arus informasi yang menyebar ke setiap denyut nadi kehidupan manusia. Di bidang pendidikan tugas berat yang harus dilakukan adalah mempersiapkan anak didik untuk dapat dan siap hidup dalam lingkungan yang serba dinamis dan penuh kompetitif sebagai konsekuensi logis tindakan komunikasi dan informasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Tugas berat yang harus dilakukan pemerintah, sekolah, guru, orang tua, maupun siswa adalah membebaskan diri dari belenggu kemiskinan ilmu pengetahuan, baik yang bersinggungan dengan intelektualitas, emosionalitas, kreativitas, yang kemudian dapat beradaptasi dengan lingkungan baik lokal, regional, nasional, maupun global. PENDAHULUAN Pendidikan di Indonesia kini menghadapi dua masalah besar sekaligus, Rosyada 2004: 8) yakni persoalan internal dan eksternal. Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan dan resrtukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat, dan akselaratif, secara aksternal berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan tersebut agar mereka kompetitif karena pasar negara-negara utara akan diserbu ramai-ramai oleh tenaga muda energik dan berbakat dari belahan selatan, Amerika Latin, Afrika yang sudah menunjukkan global world-viewnya secara agresif dan efektif, begitu juga dengan tenaga muda dan beberapa negara di timur jauh. Skill dan keterampilan hakekatnya merupakan hak semua anak didik, artinya semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill guna memasuki pasar tenaga kerja, seperti halnya mereka juga berhak memasuki perguruan tinggi. Sehingga, paradigma yang pemisahan program pendidikan menengah sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, sebagai pendidikan akademik, serta pendidikan keterampilan guna memasuki pasar tenaga kerja abad 21 sudah tidak relevan lagi,mengingat semua outcome pendidikan akan memasuki pasar tenaga kerja, dan menuntut skill serta keterampilan yang memadai (Haas, 1994:21). Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau keterampilannya, agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan

Description:
perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Kerajaan Bima. Termasuk .. Pendidikan Pancasila (Untuk Mahasiswa), Jakarta. _________2002, Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan(Untuk Mahasiswa), . Laporan hasil belajar yang disampaikan pada orang tua siswa (buku rapor).
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.