ORASI ILMIAH DALAM RANGKA DIES NATALIS KE-57 UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR TRANSFORMASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI ERA INDUSTRI 4.0 Dr. Arif Budimanta Ballroom Theater Lantai 3, Gedung Menara Pinisi Universitas Negeri Makassar Makassar, 1 Agustus 2018 Transformasi Sistem Pendidikan Nasional di Era Industri 4.0 Yth. Rektor Universitas Negeri Makassar, Prof Dr. H. Husain Syam, M.Tp Yth. Senat Universitas Negeri Makassar Yth. Gubernur Sulawesi Selatan Civitas Akademika Universitas Negeri Makassar yang saya hormati dan saya banggakan, serta hadirin sekalian yang berbahagia. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua, Presiden Joko Widodo dalam Forum Rektor Indonesia 15 Februari 2018 mengatakan digitalisasi, computing power dan data analytic telah melahirkan terobosan-terobosan yang mengejutkan di berbagai bidang, yang mendisrupsi kehidupan kita. Bahkan mendisrupsi peradaban kita. Semuanya akan berubah. Bagi dunia akademik, perubahan selalu melahirkan paradigma ilmu pengetahuan baru yang berimplikasi pada tatanan kehidupan manusia. Seperti halnya proses industrialisasi yang mengubah cara pandang, cara kerja dan cara hidup manusia. Mulai dari proses revolusi industri tahap satu pada abad ke-18 hingga di awal abad 21 kita memasuki revolusi industri tahap keempat. Revolusi industri jilid pertama ditandai dengan munculnya mesin bertenaga uap dan air untuk memekanisasi berbagai tahapan produksi di sektor industri untuk membantu memudahkan aktivitas manusia. Revolusi industri jilid kedua melahirkan sumber tenaga listrik yang digunakan untuk proses produksi secara massal dan berkembangnya lini-lini produksi di berbagai bidang industri. Revolusi industri jilid ketiga diawali dengan lahirnya elektronik dan Teknologi Informasi (TI) untuk mengotomatisasi proses produksi atau sering disebut sebagai revolusi digital. Revolusi Industri tahap empat menurut Klaus Schwab dalam bukunya “The Fourth Industrial Revolution” (2016) ditandai dengan berbagai teknologi yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologis yang mempengaruhi semua disiplin ilmu, kehidupan perekonomian, aktifitas industri dan kapasitas tenaga kerja. Basis orientasi industri tahap empat ada pada otomasi, digitalisasi, peningkatan produktivitas dan daya saing. Pada saat bersamaan perubahan tersebut berpeluang memperlebar ketimpangan. Untuk itu, kesiapan sumberdaya manusia menjadi tumpuan harapan. Page 1 of 15 Bapak-Ibu yang Berbahagia, Ada tiga komponen penting dalam setiap tahapan perubahan industri, yaitu dunia usaha, pendidikan dan pemerintah. Ketiganya berjalan secara berkelindan, tidak dapat dipisahkan. Siapa pun yang menghindar dari perubahan tersebut, maka “keterasingan” baginya menjadi kenyataan yang tak dapat dihindari. Thomas Piketty, ekonom asal Perancis, dalam bukunya “Capital in the Twenty-First Century” (2014), telah mengingatkan pentingnya ketiga aktor: pengusaha/industri, civitas akademika/perguruan tinggi dan pemerintah bekerja sama dalam merespons perubahan. Kebijakan sistem pendidikan, akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan (untuk memperoleh keterampilan-keterampilan khusus), serta sistem kelembagaan di bidang pendidikan menjadi kunci bagaimana suatu negara mampu beradaptasi dengan transformasi industri yang sangat cepat. Piketty juga menyebutkan bahwa difusi pengetahuan bergantung pada kemampuan suatu negara memobilisasi pembiayaan untuk mendorong investasi skala besar di sektor pendidikan, penelitian dan pelatihan serta menjamin kerangka hukum yang stabil. Perkembangan dinamika industri dari 1.0 hingga 4.0 merupakan kehendak zaman yang kita hadapi saat ini. Sesungguhnya sistem pendidikan memiliki peran penting agar civitas akademika, terutama bagi para dosen dan mahasiswa agar tidak hanya mampu beradaptasi, tetapi juga berkompetisi, bekerjasama dan harus menjadi bagian penting dalam memanfaatkan setiap perubahan yang terjadi baik dalam industri tahap ke empat maupun tahapan-tahapan berikutnya. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika sosial, akan muncul kembali revolusi industri kelima, keenam, ketujuh dan revolusi-revolusi industri lainnya. Untuk itu, perguruan tinggi memiliki peran yang sangat besar dalam mentransformasikan perubahan. Perguruan tinggi harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia yang bisa menjawab tantangan lima, sepuluh, dua puluh bahkan seratus tahun kedepan, seiring dengan dinamika perubahan teknologi dan kondisi sosial yang dihadapi. Untuk menghadapi industri 4.0, menurut Xing & Marwala (2017) sistem pendidikan (termasuk perguruan tinggi) harus mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terampil dan berkemampuan. Hal itu ditandai antara lain dengan kemampuan untuk: berpikir kritis, kreatif dan kompleks serta terbuka terhadap setiap perubahan; memimpin dan bekerjasama; mengelola emosi; bertindak dengan pemikiran yang matang; serta, memutuskan yang terbaik dalam perspektif kepentingan publik. Dengan keterampilan dan kemampuan tersebut maka kita akan dapat memperkokoh kedaulatan bangsa, kemandirian ekonomi dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di era revolusi industri tahap keempat. Page 2 of 15 Bapak-Ibu yang Berbahagia, Awal tahun 2018, World Economic Forum (WEF) mengeluarkan laporan bertema “Readiness for the Future of Production Report 2018” yang melakukan pemeringkatan terhadap siap atau tidaknya suatu negara dalam menghadapi perubahan sistem dan mekanisme produksi yang terjadi di masa depan. Kesiapan ini dilihat dari aspek struktur produksi (Structure of Production) serta aspek pendorong produksi (Drivers of Production). Indikator struktur produksi yang dinilai diantaranya adalah masalah kompleksitas produksi dan skala ekonomi yang terjadi. Adapun faktor pendorong produksi dilihat dari aspek teknologi dan inovasi, sumber daya manusia, investasi dan perdagangan global, aspek kelembagaan, sumberdaya terbarukan serta kondisi permintaan pasar. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WEF terhadap 100 negara, kesiapan Indonesia dalam menghadapi transformasi aktivitas produksi dianggap masih rendah. WEF menempatkan Indonesia pada urutan 38 dalam hal struktur produksi dan urutan ke-59 dalam hal faktor pendorong kegiatan produksi. Kita harus berakselerasi dalam melakukan berbagai pembenahan supaya bisa siap dalam menyongsong paradigma produksi dimasa yang akan datang. Kualitas sumber daya manusia, infrastruktur teknologi, kemampuan untuk berinovasi serta posisi Indonesia dalam perdagangan global saat ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi. Pertama, kondisi tenaga kerja yang belum memadai. Saat ini kita menghadapi situasi di mana angkatan kerja didominasi oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018 menyebutkan, angkatan kerja lulusan sekolah dasar (SD) mencapai 40.74 persen dari total angkatan kerja. Adapun lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) mencapai 18.01 persen. Sementara itu, angkatan kerja lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) memiliki porsi sebesar 17.15 persen dan Sekolah Kejuruan sekitar 11.92 persen. Sedangkan, angkatan kerja lulusan akademi dan universitas, masing-masing hanya sekitar 2.84 persen dan 9.33 persen. Secara khusus, menilik lebih jauh pada sektor industri, 34.66 persen para pekerja di sektor tersebut memiliki tingkat pendidikan SD kebawah, diikuti SLTP 22.63 persen, SLTA 18.91 persen dan Sekolah Kejuruan 18.46 persen. Sisanya adalah mereka yang berpendidikan tinggi (BPS, 2018). Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dominasi angkatan kerja dengan kategori low skill labour masih sangat besar. Munculnya revolusi industri jilid keempat ini dapat menyebabkan disrupsi dalam dunia ketenagakerjaan, karena revolusi industri 4.0 menghajatkan keahlian khusus dari sumber daya manusianya. Page 3 of 15 Revolusi Industri 4.0 akan memberikan manfaat terutama bagi mereka yang memiliki keterampilan tinggi khususnya terkait penguasaan teknologi. Yang menjadi korban terbanyak adalah pada kelompok level menengah. Hal ini disebabkan karena pekerjaan-pekerjaan pada level menengah ini setahap demi setahap akan tergantikan dengan teknologi otomatisasi. Terutama untuk pekerjaan yang bersifat pengulangan serta pekerjaan yang membutuhkan ketepatan dan ketelitian tinggi (Schwab, 2016). Mengutip Klaus Schwab, akan ada beberapa pekerjaan yang hilang akibat transformasi ini. Pekerjaan-pekerjaan yang kemungkinan akan disubstitusi oleh teknologi yang terotomasi di antaranya, telemarketers (pemasaran via media dan alat komunikasi), tax preparers (penyiapan dokumen pajak), umpires referees and other sport officials (pekerja dibidang olahraga), legal secretaries (sekretaris yang menangani urusan peraturan), real estate brokers (perantara untuk pembelian tanah dan bangunan), farm labour contractors (kontraktor buruh tani), serta couriers- messengers (pengirim barang) (Schwab, 2016). Di sisi lain, perkembangan Industri 4.0 juga akan menciptakan berbagai jenis pekerjaan baru. Namun, pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian dan kualifikasi SDM yang tinggi. Saat ini, kondisi ketenagakerjaan kita belum mendukung hal tersebut. Oleh karena itu, pendidikan dan peningkatan keterampilan menjadi sangat krusial. Hal ini akan menentukan sejauh mana ia mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Pentingnya kualitas pendidikan dan keterampilan ini juga disinggung oleh Thomas Piketty dalam bukunya yang berjudul “Capital in the 21st Century” sebagai cara bagaimana seseorang mampu menghadapi perubahan zaman yang berkembang sangat dinamis. Piketty menyebutkan bahwa ada dua kekuatan sosial dan ekonomi yang memang berkontribusi terhadap lahirnya disrupsi akibat perubahan zaman, yakni teori supply and demand of skills. Dalam praktiknya, supply of skills bergantung pada: (1) berapa banyak orang yang memiliki akses terhadap pendidikan dan pengembangan IPTEK, (2) seberapa berkualitas sistem pengajaran dan pelatihannya serta (3) seberapa banyak pengajar di kelas yang berkualitas dan memiliki kompetensi tinggi. Sedangkan demand of skills bergantung pada seberapa canggih teknologi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Kedua faktor ini akan mempengaruhi apakah seseorang mampu melawan disrupsi tersebut dan memiliki daya tahan terhadap transformasi yang terjadi (Piketty, 2014). Bapak-ibu yang saya hormati, Permasalahan yang kedua adalah kualitas pendidikan tinggi yang masih rendah. Berdasarkan publikasi tahunan peringkat universitas oleh Quacquarelli Symonds, QS Ranking, perguruan tinggi terbaik di Indonesia hanya mampu menempati posisi ke-277 pada tingkat global. Peringkat ini ditentukan oleh enam indikator utama, di antaranya Academic Reputation, Employer Reputation, Faculty/Student Ratio, Citations per faculty, International Faculty Ratio serta Page 4 of 15 International Student Ratio. Bila dibandingkan dengan Malaysia, perguruan tinggi di negara melayu tersebut ada yang mampu mencapai peringkat 114 terbaik di dunia. Bahkan, Singapura memiliki dua universitas yang masuk ke dalam 15 universitas terbaik di dunia (Symonds, 2018). Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih tertinggal di belakang dan belum mampu bersaing bahkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, terlebih Singapura. Selain itu, kualitas pendidikan juga bisa dilihat dari seberapa banyak jumlah publikasi yang dirilis. World Economic Forum (WEF) dalam laporannya yang berjudul “Readiness for the Future of Production Report 2018” menyatakan bahwa berdasarkan jumlah publikasi penelitiannya, Indonesia menempati posisi yang masih rendah (97), jauh di bawah Thailand yang berada di posisi 67. Malaysia berhasil menduduki peringkat 50, sedangkan China berada empat tingkat diatasnya. Bahkan Singapura bisa mencapai posisi 27 dalam hal publikasinya (WEF, 2018). Selain kuantitas publikasinya, kuantitas paten pun menjadi salah satu poin yang dinilai. Berdasarkan banyaknya paten, Indonesia lagi-lagi berada pada peringkat yang rendah, yakni berada di posisi 83. Padahal negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Singapura dan China mampu memiliki paten lebih banyak dibandingkan Indonesia sehingga mengangkat posisi negara-negara itu di atas Indonesia (WEF, 2018). Kuantitas publikasi dan paten bisa dikatakan sebagai salah satu outcome dari hasil pendidikan itu sendiri. Di sini, peran dunia pendidikan Indonesia secara umum belum mampu membawa Indonesia berada pada posisi di atas negara-negara ASEAN. Hal ini menjadi tantangan bagaimana dunia pendidikan, baik melalui pengajaran, penelitian maupun pemberdayaan, dapat mendorong kualitas pendidikan Indonesia agar menjadi lebih baik dan berdaya saing tinggi. Ketiga, kita memiliki kendala akan rendahnya infrastruktur teknologi dan kemampuan berinovasi. Ketersediaan infrastruktur teknologi yang memadai serta tingginya kemampuan dalam berinovasi menjadi bagian penting dalam mendorong kemampuan produksi. Kedua indikator ini sudah diukur oleh WEF. Tingkat ketersediaan infrastruktur teknologi dilihat berdasarkan jumlah pengguna telepon seluler, cakupan jaringan long term evolution (LTE), jumlah pengguna internet, foreign direct investment (FDI) dan transfer teknologi, penggunaan teknologi pada perusahaan, penggunaan sistem informasi dan teknologi komunikasi untuk kegiatan marketing serta jaminan keamanan siber. Adapun, kemampuan berinovasi dinilai, di antaranya, berdasarkan jumlah kolaborasi antar pemangku kepentingan (Multi-stakeholder Collaboration) dalam menghasilkan inovasi serta besarnya pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Secara keseluruhan, teknologi dan inovasi di Indonesia hanya mampu memperoleh nilai 4 dari 10. Nilai ini menempatkan Indonesia pada peringkat 61 dari 100 negara yang disurvei. Kelemahan terutama terletak pada komponen inovasi. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing Page 5 of 15 inovasi Indonesia saat ini belum siap mengantarkan Indonesia menghadapi transformasi yang terjadi. Posisi Indonesia bisa dikatakan seperti seorang bayi yang baru bisa meraba-raba seperti apa dunia Industri 4.0 tersebut. Padahal sesungguhnya negara-negara serumpun, Singapura dan Malaysia, mampu masuk ke dalam 25 negara yang siap menghadapi segala bentuk produksi dan industri di masa depan (the future of production) dan mampu memperolah manfaat dengan kehadiran Industri 4.0. Keempat, rendahnya partisipasi Indonesia dalam perdagangan global. Dalam laporannya, WEF juga menyinggung soal perdagangan global sebagai salah satu faktor kesiapan suatu negara terhadap transformasi industri yang berkembang secara dinamis. Apabila dilihat dari aspek perdagangan globalnya, Indonesia dapat dikatakan belum begitu terbuka. Hal ini dapat dilihat dari komposisi perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni hanya 37 persen (WEF, 2018). Faktanya, berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh BPS, pada tahun 2017, 56 persen PDB Indonesia merupakan komponen konsumsi rumah tangga (BPS, 2018). Padahal, dalam menghadapi Revolusi Indonesia 4.0, setiap negara perlu membuka diri dalam kancah perdagangan internasional untuk menciptakan efisiensi. Sejatinya, Indonesia harus mampu menjadi pemain aktif di pasar global, bukan hanya menjadi penonton. Namun, dengan kondisi sekarang saja, Indonesia mengalami tren neraca perdagangan yang fluktuatif. Berdasarkan data yang dirilis BPS pada Juni 2018, Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar US$1.742,6 juta, setelah mengalami defisit pada dua bulan sebelumnya. Selama periode Januari-Juni 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar US$1.021,7 juta. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang kuat untuk mendorong ekspor Indonesia ke depannya. Dunia pendidikan sebagai pencetak SDM berkualitas serta tempat lahirnya inovasi haruslah menjadi key driver dalam menolong industri untuk meningkatkan produksi secara efisien dan berkelanjutan. Bapak-ibu sekalian, Tantangan-tantangan yang kita hadapi tidak boleh mematahkan semangat kita. Kita mesti bertekad kuat untuk mengatasi permasalahan yang ada. Andreas Schleicher dari OECD Education Directorate menyatakan bahwa: “Hari ini, karena perubahan ekonomi dan sosial yang cepat, sekolah harus mempersiapkan siswa untuk: - pekerjaan yang belum diciptakan, - teknologi yang belum ditemukan dan - masalah yang belum kita ketahui.” Artinya, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam mempersiapkan sumber daya manusia di masa yang akan datang. Page 6 of 15 Dalam menjawab tantangan yang ada, kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain. Contoh yang pertama adalah bagaimana Amerika Serikat berkembang dengan memajukan pendidikan dan teknologinya seperti yang diceritakan oleh Robert Gordon dalam The Rise and Fall of American Growth (2016). Perkembangan teknologi yang sangat pesat di Amerika antara tahun 1928 dan 1950 memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomiannya, tidak hanya di perkotaan melainkan juga di perdesaan. Saat itu, petani sudah banyak menikmati hasil penemuan kendaraan bermotor untuk menyokong aktivitas pertaniannya. Pada 1950, pertumbuhan produktivitas meningkat di atas tren pertumbuhan sebelumnya. Hal inilah yang berdampak pada kenaikan PDB per kapita di Amerika Serikat pada masa itu. Kenaikan produktivitas ini tidak terlepas dari peran sektor pendidikan. Buktinya, lulusan setingkat SMA ke atas meningkat secara drastis dari 6% pada tahun 1900 menjadi 80% pada tahun 1970. Di sisi lain, berkat Revolusi Industri kedua dan ketiga, produktivitas meningkat secara signifikan akibat besarnya pengaruh teknologi yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan lapisan masyarakat, dari industri hingga rumah tangga. Pada saat itu, inovasi dan pengembangan usaha benar-benar didorong, dilihat dari banyaknya paten yang mereka hasilkan serta banyaknya usaha-usaha baru yang tumbuh. Beranjak dari pengalaman Amerika Serikat, kita perlu lihat bagaimana Singapura, Korea Selatan dan Jerman menghadapi perkembangan dan kemajuan teknologi atas lahirnya industri 4.0. Komponen-komponen yang dipersipakan oleh ketiga negara tersebut bisa kita kelompokkan menjadi tiga hal yaitu pendidikan, riset dan pengabdian. Poin pertama adalah pendidikan. Dalam menghadapi revolusi industri keempat, beberapa negara melakukan penyesuaian terkait sistem pendidikannya. Di Singapura, sebagian besar universitas melakukan perubahan kurikulum yaitu dengan membuat pelajaran wajib atas penalaran kuantitatif dan pemikiran komputasi bagi seluruh pelajar (Ministry of Education Singapore, 2018). Mahasiswa diharapkan mengenal bahasa pemrograman dan mampu mengaplikasikan bahasa pemrograman tersebut pada bidang ilmu masing-masing. Tidak sampai di situ, pemerintah Singapura juga mengubah peran universitas sebagai institusi yang tidak sebatas memberikan pendidikan dan mengubah kehidupan siswa, tetapi juga mendorong inovasi dan berbisnis dengan menyediakan landasan berbisnis. Sehingga, universitas membekali mahasiswa mereka dengan suatu softskill sekaligus lapangan usaha yang diharapkan mampu membantu mereka menghadapi kondisi nyata di dunia pekerjaan. Penyediaan lapangan pekerjaan juga dilakukan pemerintah Jerman sebagai bentuk hasil kerja sama antara universitas Page 7 of 15 dan perusahaan melalui pengintegrasian lulusan universitas terhadap lingkungan perusahaan (Ministry of Education Singapore, 2018; Caccavello, 2017). Pemerintah Korea Selatan juga melakukan penguatan pendidikan vokasi untuk mendorong dan merangsang inisiatif para siswa sekolah kejuruan serta memperkenalkan program “job-first, degree-later” bagi lulusan sekolah vokasi. Pada program ini siswa diberikan peluang untuk memperoleh gelar universitas setelah mendapatkan pekerjaan. Mereka juga melakukan kerja sama antara universitas dan industri dalam merestrukturisasi kurikulum yang diarahkan agar pelajar dapat mengerti bagaimana teori yang mereka pelajari dapat diterapkan di industri serta apa saja pengembangan skill dan penguasaan teknologi yang dibutuhkan di area industri (Lee, 2017). Jerman sebagai negara yang sukses dalam melaksanakan skema pendidikan vokasi dan pelatihan melakukan desentralisasi pada sistem edukasi dan regulasi pasar tenaga kerja. Kedua hal ini dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam meningkatkan produktivitas, mengurangi pengangguran dan menjadikan ekonomi mereka lebih kompetitif . Di sini juga ada interaksi yang kuat antara pekerja, pengusaha, sektor publik dan mitra sosial lainnya (Caccavello, 2017). Poin kedua adalah riset. Terkait pengembangan penelitian, Jerman melakukan kolaborasi dan pertukaran personel antara industri dengan perguruan tinggi, serta penyediaan fasilitas pendidikan. Sebagai contoh, Jerman mengembangkan penelitian yang relevan dengan melakukan kolaborasi dengan institusi penelitian lain dan merekrut dosen luar. Sedangkan, Korea Selatan memberikan wadah untuk menghubungkan universitas dan perusahaan, melalui program-program seperti Industry- University Cooperation dan 2.000 Industry-University Partnership Professors (Koschatzky, 2010; Lee, 2017). Poin yang terakhir adalah pengabdian. Jerman, Korea Selatan dan Singapura melakukan hal yang identik dengan mendorong kolaborasi antara perguruan tinggi dengan dunia industri. Di Jerman, sebagian besar universitas melakukan kerja sama regional dalam bentuk internship bagi pelajar di suatu perusahaan. Di Korea Selatan, kerja sama dilakukan melalui program peningkatan kapasitas pendidikan perguruan tinggi serta program pengembangan keterampilan (Advancement for College Education/ACE). Sedangkan di Singapura, keterikatan mahasiswa dengan industri sudah menjadi norma sehingga mereka dapat mengaplikasikan ilmu sekaligus merasakan kehidupan nyata di dunia industri/perusahaan yang mana skill akan terbentuk dari pengalaman dan pelatihan tersebut. Dengan proses ini universitas menyadari bahwa ada nilai tersendiri dari pogram kerja sama dengan membawa industri/perusahaan ke dalam kampus, ataupun sebaliknya (Koschatzky, 2010; Lee, 2017; Ministry of Education Singapore, 2018). Page 8 of 15 Setelah memahami bagaimana negara-negara lain mempersiapkan diri dalam menghadapi transformasi industri yang ada, mari kita kembali melihat apa yang bisa kita lakukan untuk menjawab tantangan di Indonesia. Hal yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mendorong dunia pendidikan dalam rangka mewujudkan kedaulatan bangsa, kemandirian ekonomi dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hadirin sekalian, Saat ini kita dihadapkan pada sebuah realitas kebangsaan dengan segala karakteristik dan dinamika sosialnya. Revolusi Industri 4.0 saat ini hendaknya menjadi momentum bagi kita untuk mempersiapkan sumber daya manusia dan teknologi yang kuat, tidak hanya untuk mengukuhkan posisi dalam revolusi industri saat ini, tetapi dalam revolusi-revolusi selanjutnya, seperti apa pun bentuknya nanti. Tantangan Revolusi Industri 4.0 hanyalah bagian dalam dinamika dan kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberhasilan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 bukan menjadi satu-satunya tujuan kita. Kita perlu melihatnya sebagai satu di antara sekian banyak cara (means) untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yakni memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah mengapa saat menjawab tantangan-tantangan Revolusi Industri 4.0, kita tidak hanya berbicara bagaimana dunia pendidikan dapat mempersiapkan Indonesia dalam menjadikan revolusi industri ini sebuah kesuksesan. Justru, kita harus melihat bagaimana segala bentuk perkembangan zaman akan memiliki konsekuensinya masing-masing, ada keuntungan yang dapat diraih, namun ada pula risiko-risiko yang harus diantisipasi. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya kesiapan sumber daya manusia dan pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam menghadapi perubahan-perubahan yang progresif agar dapat bertahan dan bersaing di tingkat global. Di sinilah dunia pendidikan memiliki peran yang paling krusial. Dunia pendidikan hendaknya menciptakan manusia-manusia pembelajar dengan ketangkasan dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Dengan demikian, dalam perkembangan apa pun, kita tidak hanya menjadi pengikut, tetapi mampu berdiri sendiri dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Pendidikan harus dapat memperkokoh kedaulatan bangsa, kemandirian ekonomi, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kini dan nanti. Bagaimana hal tersebut dapat terwujud? Page 9 of 15
Description: