ebook img

DISKURSUS MUSLIM ABAD PERTENGAHAN TENTANG AGAMA DAN SEKTE Anjar Nugroho PDF

16 Pages·2017·0.43 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview DISKURSUS MUSLIM ABAD PERTENGAHAN TENTANG AGAMA DAN SEKTE Anjar Nugroho

DOI: 10.24014/jush.v25i2.3923 DISKURSUS MUSLIM ABAD PERTENGAHAN TENTANG AGAMA DAN SEKTE Anjar Nugroho Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Indonesia [email protected] Abstract The article observes the features of Medieval Muslims treatises on religions and sects. A number of Muslim scholars penned more than a few works relating to religious and inter- cultural studies. Yet, the majority of scholars had a similar focus: either the “biblical religions” or “Muslim heresies”, while others went further with a deep elaboration about the religious traditions of the Hind. In discussing biblical religions and Muslim heresies, the common trend, technique, and method employed by Muslim writers in medieval era were mostly polemical and apologetic. Moreover, the types of information obtained by medieval Muslim scholars, according to the writer, were typically regional and cross-cultural studies that occasionally cover discussions pertaining to religious ideas or religious communities. In line with Muslim political and cultural expansion, the observations of Muslim travelers and writers at the time were not restricted to societies, religions and cultures of the Arab peninsula and Persia, but also turned upon the Hind and even China. At least, three different categories of information can further be seen within their works: some Muslim scholars emphasized their appreciation of cultural studies, some concentrated on their eyewitness accounts concerning a certain region and its geographical information, and others provided encyclopedic works and digests. Keywords: Religious Studies, Heresy, Heresiography, and Medieval Islam. Abstrak Artikel ini mengkaji ciri-ciri risalah Muslim Abad Pertengahan tentang agama dan sekte. Sejumlah ilmuwan Muslim menulis lebih dari beberapa karya yang berkaitan dengan studi agama dan antar budaya. Namun, sebagian besar ilmuwan memiliki fokus yang sama: baik “agama Al-kitab” atau “ajaran sesat Muslim”, sementara yang lain melangkah lebih jauh dengan penjelasan mendalam tentang tradisi keagamaan Hind. Dalam membahas agama- agama alkitabiah dan ajaran sesat Muslim, kecenderungan umum, teknik, dan metode yang digunakan oleh para penulis Muslim di era abad pertengahan kebanyakan bersifat polemik dan apologetis. Selain itu, jenis informasi yang diperoleh ilmuwan abad pertengahan Muslim, menurut penulis, biasanya merupakan studi regional dan lintas budaya yang kadang-kadang mencakup diskusi mengenai gagasan keagamaan atau komunitas religius. Sejalan dengan ekspansi politik dan budaya Muslim, pengamatan para pengamat Muslim dan penulis pada saat itu tidak terbatas pada masyarakat, agama dan budaya di semenanjung Arab dan Persia, namun juga menghidupkan Hind dan bahkan China. Paling tidak, tiga kategori informasi yang Jurnal ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 137 berbeda dapat dilihat lebih jauh dalam karya mereka: beberapa ilmuwan Muslim menekankan apresiasi mereka terhadap studi budaya, beberapa terkonsentrasi pada laporan saksi mata mereka mengenai wilayah tertentu dan informasi geografinya, dan yang lainnya menyediakan karya ensiklopedi dan intisari. Kata Kunci: Studi Agama, Bid’ah, Heresiografi, dan Islam Abad Pertengahan. Pendahuluan karya besar abad pertengahan Islam. Dinamika Sejarah pemikiran adalah sejarah para relasi Muslim-Kristen di Cordoba yang telah pemikir, begitu tulis Luthfi Assyaukani,1 sejarah mewariskan cara pandang kritisnya terhadap kaum elit yang dengan kepandaiannya mampu tradisi Yahudi dan Kristen merupakan sisi mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lain dari karakteristik karyanya. Sementara lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. itu, al-Syahrastânî, filsuf dan sekaligus Pemikiran Islam dalam sejarahnya terbagi dalam teolog besar ‘Asy’ariyah pasca al-Ghazâlî tiga era, yaitu era klasik, pertengahan, dan adalah orang Syahristân (Persia) yang modern. Masing-masing era membentuk tipologi melengkapi dan “menyempurnakan” tertentu sejalan dengan perkembangan sosial model analisis heresiografi yang telah politik yang melingkupi sejarah itu. ditulis sarjana Muslim sebelumnya. Studi agama-agama dan heresiografi Kajian tentang pemikiran para tokoh dalam sejarah intelektual Muslim menemukan Muslim era pertengahan ini menjadi menarik momentum utamanya pada Abad Pertengahan karena karya-karya mereka telah mendapat Islam ketika karya-karya besar di bidang ini “pengakuan” dan “pengukuhan” dari para mulai dirintis dan dikembangkan oleh sarjana, sarjana dan Islamisis Barat. Terhadap luasnya teolog, dan heresiograp Muslim. Abû Rayhân ruang lingkup agama-agama dan detailnya al-Bîrûnî (w. 1048), Ibn Hazm (w. 1064), dan erudisi yang terdapat dalam beberapa karya al- ‘Abdul Karîm al-Syahrastânî (w. 1153) adalah Bîrûnî, Arthur Jeffery, umpamanya, menyatakan tiga nama yang cukup dikenal di bidang ini. bahwa kontribusi al-Bîrûnî dalam bidang Ketiganya bahkan dianggap sebagai tokoh studi agama dengan meneguhkan prinsip- utama dalam bidang kajian agama-agama dan prinsip ilmiah yang cermat dan teliti, seperti heresiografi yang merepresentasikan tipologi keparipurnaan (completeness), ketepatan generasi sarjana Muslim di tiga wilayah berbeda. (accuracy), dan sikap jujur (unbiased treatment) Al-Bîrûnî merupakan sarjana kenamaan asal adalah sangat langka di zamannya dan dapat Khwarism (Uzbekistan) yang menelurkan banyak dikatakan sangat unik dalam sejarah keyakinan karya di bidang sains, dan pada saat yang sama, keagamaan yang dianutnya. ia tertarik untuk menulis peradaban dunia yang If Comparative Religion means the study of Religion by the same scientific method berkaitan dengan agama dan filsafat. Ibn Hazm, as is used in Comparative Philology, viz. di sisi lain, merepresentasikan satu “generasi the assembling of facts about the beliefs emas” dari geliat Islam di Cordoba (Andalusia), and practices of various religious groups, di mana karya-karyanya dalam bidang hukum, arranging them, classifying them, comparing them with one another and with the beliefs politik, sastra, dan agama ikut mewarnai karya- and practices of one’s own religion, in order to arrive at a better understanding of the significance of religion, then this branch of 1Luthfi Assyaukanie, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina I, study had already had a long history in the no. 1 (1998): 58-59. 138 Anjar Nugroho: Diskursus Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte area of al-Bîrûnî’s life work.2 eksistensi komunitas agama-agama di luar Islam, seperti Shâbiâns (al-shâbiûn), Zoroastrians (al- Theodor Pulcini dalam mendeskripsikan Ibn majûsiyah), maupun mereka yang sebut sebagai Hazm yang didasarkan pada pernyataan Asín “Masyarakat Kitab” (ahl al-kitâb), yang dalam Palacios, Islamisis Spanyol kenamaan di awal kenyataannya telah menarik perhatian sarjana, abad ke-20 yang juga banyak menerjemahkan teolog, dan sejarahwan Muslim generasi awal beberapa karya Ibn Hazm, menyatakan: untuk mengelaborasi eksistensi, status, serta The breadth of the contribution made by Ibn posisi agama-agama “lain” melalui perspektif Hazm to Arabic Islamic culture is indicated by Islam.5 the multiplicity of designations his biographers Sementara di sisi yang lain, ketika ekspedisi use to describe him: historian, poet, littérature, jurisconsult, theologian, moralist, logician, dan ekspansi politik dilakukan oleh penguasa political thinker, psychologist, metaphysician, Islam sudah sampai ke beberapa wilayah exegete, and polemicist. So-wide-ranging was strategis di Asia Selatan, Asia Tengah, Asia his intellectual activity that he managed to Timur, Afrika Utara, serta beberapa wilayah di devote scholarly attention to all the branches of Greek and Islamic learning, with exception Eropa.6 Kebutuhan untuk mengenal agama-agama of Mathematics. 3 lain menjadi sesuatu yang tak terhindari, baik dilatarbelakangi oleh tujuan yang bersifat politik, Dalam telaahnya tentang sejarah studi maupun untuk tujuan yang bersifat ideologis. perbandingan agama di dunia Barat, Eric J. Seiring dengan sifat dasar motivasi politik, dan Sharpe, penulis Comparative Religion: A History, di bawah perlindungan kekuasaan kekaisaran atau memberikan tempat tersendiri untuk menyebut kesultanan tertentu, beberapa sarjana Muslim kebesaran Syahrastânî, tokoh Muslim asal Persia ini: melakukan “studi kawasan” (regional studies) dan The honor of writing the first history of observasi-observasi lapangan tentang agama dan religion in world literature seems in fact to komunitas agama di daerah tersebut. belong to the Muslim Syahrastânî, whose Selain itu, setelah terjadinya interaksi antara Religious Parties and Schools of Philosophy describes and systematizes all religion of the peradaban Muslim dan Yunani,7 komunikasi then known world, as far as the boundaries antarkomunitas agama dan studi tentang agama- of China.4 agama telah menjadi satu konsen akademis dan ideologis tersendiri bagi sebagian sarjana Motif Sarjana Muslim dalam Studi Agama Muslim abad pertengahan. Penerjemahan buku- dan Sekte buku berbahasa Yunani dalam bidang filsafat Upaya sarjana Muslim Abad Pertengahan (philosophy) dan logika (logic) ke dalam Bahasa untuk menulis risalah tentang agama dan Arab maupun Persia pada masa kekuasaan sekte-sekte agama nampaknya dilatarbelakangi ‘Abbasiyah, misalnya, telah menjadi peristiwa oleh berbagai faktor; yang paling essensial di penting yang memberikan kontribusi besar antaranya adalah faktor-faktor ideologis, politis, dan intelektual. Secara ideologis, terdapat sekian banyak ayat-ayat al-Qur´ân yang menyoroti 5Lebih jauh lihat Jaques Waardenburg, Muslim Perception of Other Religions: A Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1999). 2A. Jeffery, “Al-Bîrûnî’s Contribution to Comparative Religion,” 6Buku yang mengulas persebaran Islam di beberapa wilayah dalam Al-Bîrûnî: Commemoration Volume (Calcutta: Iran tersebut antara lain T.W. Arnold, The Preaching of Islam: Society, 1951),125. A History of the Propagation of the Muslim Faith (Lahore: 3Theodore Pulcini, Exegesis as Polemical Discourse: Ibn Hazm Kasymiri Bazar, 1961). on Jewisy and Christian Scriptures (Atlanta, Georgia: Scholars 7Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy (Edinburg: Press, 1998), 1. Edinburg University Press, 1987); Marsyall G. S. Hodgson, The 4Eric J. Syarpe, Comparative Religion: A History, 2nd edition Venture of Islam, Volume 1; The Classical Age of Islam (Chicago (Illinois, La Salle: Open Court, 1991), 11. & London: The University of Chicago Press, 1974), 437. Jurnal ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 139 bagi perkembangan filsafat dan teologi dalam Geneologi Pemikiran khasanah tradisi intelektual Muslim. Fenomena Sebuah adagium dan peribahasa yang sering penerjemahan ini juga secara signifikan ikut dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, “Carilah melambungkan karya-karya Muslim di bidang ilmu kendati sampai ke negeri China (uthlub al- tasawuf (Islamic mysticism), studi budaya, ‘ilm wa law bi al-sîn), menjadi indikasi bahwa maupun studi agama-agama. Periode yang peradaban Islam-Arab sudah memiliki kontak atau disebut sebagai “the Wave of Hellenism” di setidaknya informasi tentang negeri-negeri besar dalam dunia Islam ini ditandai pula dengan lainnya. Tarif Khalidi, misalnya, menuliskan kemunculan penulis-penulis Muslim prolifik yang bahwa sejak abad ke-8 dan 10, para sejarahwan, “dipengaruhi” oleh pemikiran Yunani, budaya ahli geografi maupun petualang Muslim telah Arab dan tradisi intelektual Persia.8 memberikan perhatian kepada tujuh peradaban Tentu tidak sedikit penulis, ahli geografi, besar dunia saat itu (seven great ancient nations), astronomi, pedagang, serta pengembara Muslim yaitu: Peradaban Persia, Kaldea, Yunani, Mesir, yang meninggalkan catatan-catatan berharga Turki, India, and China.9 Tak pelak, para sarjana mereka, yang di dalamnya terdapat banyak Muslim periode ini menjadi begitu familiar informasi tentang budaya dan agama-agama di dengan pandangan dunia (worldviews) yang luar Islam jauh sebelum al-Bîrûnî, Ibn Hazm, berkembang di luar Jazirah Arab-Islam. dan al-Syahrastânî menulis karya-karya mereka Observasi Muslim terhadap wilayah India dan di bidang studi agama-agama. Lingkup kajiannya China dapat dijadikan sebagai contoh. Sebagai tidak terbatas kepada elaborasi tentang Yahudi hasil dari interaksi intensif antara Peradaban atau Kristen di mana generasi Muslim awal sangat Islam dan al-Hind (India) pada Abad Pertengahan, terkonsentrasi pada topik-topik tersebut. Namun, beberapa penulis Muslim telah mengungkap sudah mulai mendeskripsikan agama-agama India pelbagai aspek peradaban al-Hind dalam risalah- dan China, seperti yang saat ini dikenal dengan risalah mereka. Menurut laporan al-Balâdzurî, nama Agama Hindu (Hinduism) maupun Buddha bahwasanya Uthman b. ‘Affan, khalifah Islam (Buddhism). ketiga, telah memerintahkan ‘Abdullâh b. ‘Amr Karakteristik karya-karya Muslim awal pada b. Kurayz untuk mengutus seseorang yang Abad Pertengahan (medieval Muslim literature) berpengetahuan cukup ke daerah perbatasan India dalam mendeskripsikan dan mempersepsikan dan mencari informasi tentang negeri tersebut. agama-agama di luar Islam setidaknya dapat Laporan lainnya menyatakan bahwa gagasan dibagi ke dalam tiga tipe: Pertama, catatan yang untuk melakukan ekspedisi ke daerah al-Hind di bersifat geografis dan ensiklopedis, yang sebagian kalangan Muslim sudah ada sejak masa Khalifah di antaranya ditulis berdasarkan pengalaman Kedua ‘Umar b. al-Khaththâb.10 pribadi sang penulis (eye-witness account); Secara geografis, terminologi Arab untuk India kedua, risalah yang bersifat polemis-teologis; dan adalah al-Hind. Ketika beberapa penulis Muslim ketiga, karya yang bersifat heresiografis dan studi menggunakan istilah tersebut, boleh jadi berarti agama-agama secara khusus. “India” dalam proporsi dan konsepsi orang-orang Arab-Persia. André Wink menjelaskan bahwa 8Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan, House of Wisdom) di Baghdad merupakan satu fakta penting tentang bagaimana sebuah perpustakaan riset telah eksis pada masa ‘Abbâsiah di 9Tarif Khalidi, Classical Arab Islam: The Culture and Heritage mana pemikiran Yunani (Greek thought), kultur Arab (Arab of the Golden Age (New Jersey, Princeton: Darwin Press, 1985), culture), dan tradisi intelektual Persia (Persian intellectual 62. environment) saling mempengaruhi. Lihat Seyyed Hossein 10Abû al-Futûh Muhammad al-Tawânisî. Abû Rayhân Muhammad Nashr, The Islamic Intellectual Tradition in Persia, diedit oleh: b. Ahmad al-Bîrûnî: al-‘Ālim al-Falakî, al-Jiyâlûjî,wa al- Mehdi Amin Razavi (Surrey [England]: Curzon Press, 1996), Riyâdhi al-Mu’arrikh Mutarajim Tsaqâfah al-Hind (Muassasah khususnya bab I, “Islamic Thought and Persian Culture,” 3-58. Dâr al-Tahrîr li Thab’i wa al-Nashr, 1968), 15. 140 Anjar Nugroho: Diskursus Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte kata “al-Hind” sendiri berasal dari istilah yang Jepang, dan Korea dimasukkan ke dalam istilah digunakan orang-orang Persia (a pre-existing al-Sîn (China), sedangkan Tibet dan Mongol pada Persian term), bukan berasal dari bahasa Sanskrit.11 dasarnya sering diklasifikasikan sebagai bagian Pada masa Bani Umayyah dan ‘Abbâsiah, istilah dari al-Hind.15 Arab “al-Hind” telah digunakan untuk merujuk Kendati interaksi antara orang-orang Arab kepada beberapa wilayah di Asia Selatan.12 Istilah dan India boleh jadi memiliki akarnya sebelum geografis lain yang digunakan pada masa-masa peradaban Islam muncul, khususnya melalui tersebut dalam mengidentifikasi wilayah India model interaksi yang bersifat komersial (al- adalah al-Sind. Al-Mas’ûdi (w. 957) dalam ‘alâqât al-tijâriyah),16 pengetahuan Muslim karyanya Murûj al-Dzahab wa Ma’âdin al-Jauhar tentang budaya dan peradaban India berkembang menjelaskan, “Negeri India terbentang mulai pesat sejak abad kesembilan dan kesepuluh dari perbukitan di Kurâsan dan al-Sind sampai Masehi melalui ekspedisi politik di Asia Selatan, ke daerah Tibet”.13 Sejarahwan Maqbul Ahmad dan melalui pengaruh penting yang mereka mencatat bahwa bila istilah al-Hind mencakup miliki dalam menghubungkan dua unit ekonomi beberapa wilayah mulai dari Indus sampai di wilayah Mediterania dan Lautan India. perbatasan Burma, maka istilah al-Sind mencakup Pengenalan Muslim terhadap budaya India beberapa wilayah mulai dari Makran sampai tidak hanya disebabkan oleh adanya hubungan daerah dataran rendah Indus.14 Setelah itu, orang- dagang antara orang-orang Arab dan India, orang Arab memodifikasi cakupan geografis dari tetapi fenomena ini berkembang justru setelah istilah ini dengan memasukkan Kepulauan Laut Muslim Arab menaklukkan beberapa wilayah Tengah (the Central Ocean Archipelagos), berikut Persia di mana orang-orang Persia sudah dataran utama (mainland) dan kepulauan (island) bercampur baur (imtizâj) dan familiar dengan di Asia Tenggara yang memang secara kultural kultur India (al-thaqâfât al-hindiyyah).17 Interaksi telah “ter-india-kan” (culturally indianized) sejak antarperadaban tersebut menjadi satu fondasi abad ke-7. Sementara di sisi yang lain, beberapa yang memungkinkan para sarjana dan penulis wilayah yang dihuni mayoritas penganut Buddha Muslim untuk memberikan perhatian lebih (“Buddhist areas”) seperti Asia Tengah, Cina, jauh terhadap kebudayaan India, yang antara lain mencakup sistem kepercayaan maupun komunitas agamanya. Fenomena ini juga semakin 11Andre Wink, Al-Hind: The Making of the Indo-Islamic World: memperluas wawasan dan pengetahuan sarjana Volume I: Early Medieval India and the Expansion of Islam 7-11 Centuries (Leiden, New York, Köln: Brill, 1997), 190 Muslim terhadap agama-agama lain yang eksis, 12Lihat Mubârakpâri, K.A. al-‘Arab wa al-Hind, 13; tidak hanya di wilayah Arab dan Persia, tetapi dalam karyanya yang lain, al-Mubârakpâri secara singkat menggambarkan kebijakan politik, budaya, dan intelektual terhadap yang dikeluarkan oleh Bani ‘Abbasiyah terhadap al- Hind baik sejak masih dipimpin oleh Abû al-Abbas al-Saffâh (750-754) sampai al-Mu’tadid (892-902). Lihat al-Hind fî ‘Ahd 15Wink, Al-Hind, Volume I, 191-92; Karl Jahn, Rashîd al-Dîn’s al-‘Abbâsiyyîn (al-Qâhirah: Dâr al-Anshar, 1980) History of India: Collected Essays with Facsimiles and Indice 13al-Mas’ûdî, Murûj al-Dzahab wa Ma’âdin al-Jauhar (Beirut: (London & Paris: The Hague, Mouton & CO., 1965) Rashîd Makshûrât al-Jâmi’ah al-Libâniyah, 1966), I, 91; lihat juga al-Dîn dalam karyanya Jâmi’ a-Tavârikh lebih focus kepada Meadows of Gold and Mines of Gems, diterjemahkan oleh Aloys “Buddhisme” daripada “Hinduisme.” Springer (London: Printed oleh the Oriental Translation Fund of 16Mubârakpâri, K.A., al-‘Arab wa al-Hind fî ‘ahd al- Great Britain and Ireland, 1841), I, 177. Risâlah [diterjemahkan oleh Abd al-Aziz ‘Izzat ‘Abd al- 14Untuk diskusi lebih jauh tentang catatan geografis Muslim Jalil] (al-Qahirah: al-Haiah al-Mishriyyah al-‘Ammah li generasi awal tentang India, lihat Maqbul Ahmad, Indo-Arab al-Kitâb, 1973), 10. Relations: An Account of India’s Relations with the Arab World 17Abû al-Futûh Muhammad al-Tawânisî, Abû Rayhân from Ancient up to Modern Times (New Delhi: Indian Council Muhammad b. Ahmad al-Bîrûnî: al-‘Ālim al-Falakî, al- for Cultural Relations; Bombay: Popular Prakashan, 1969), Jiyâlûjî, wa al-Riyâdhi al-Mu’arrikh Mutarajim Thaqâfah 95-106; juga M.A. Saleem Khan, Early Muslim Perception of India and Hinduism (New Delhi: South Asian Publishers, 1997), al-Hind (Muassasah Dâr al-Tahrîr li Thab’i wa al-Nashr, khususnya bab II, “Travelers and Geographers”, 156-230. 1968), 19-20; Wink, Al-Hind: Volume I, 7-9. Jurnal ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 141 juga di negeri India18 dan China.19 al-Thabarî diturunkan di Muzdalifah. Anekdot Sejarahwan besar Muslim di Abad Pertengahan, tersebut juga mengisyaratkan bahwa pemujaan Muhammad b. Jarir al-Thabarî (w. 923) dalam berhala, berdasarkan penjelasan Thabarî, juga Tarîkh al-Rusul wa al-Mulûk (Sejarah Para Nabi berasal dari India.21 dan Raja), misalnya, telah memasukkan materi Di luar karya Thabarî yang banyak mengadopsi tentang al-Hind dan tradisi keagamaan mereka informasi anekdotal dan sulit untuk diverifikasi, serta keterkaitannya dengan “manusia pertama” beberapa eksposisi telah ditulis oleh petualang di muka bumi ini. Thabarî mendeskripsikan Muslim (Muslim travelers) dan ahli geografi, beberapa riwayat yang mengindikasikan bahwa yang secara partial menyediakan informasi Adam diturunkan dari Surga ke bumi, di tanah tentang tradisi agama-agama India. Ahli geografi al-Hind, khususnya di suatu bukit yang disebut Abû al-Qâsim b. ‘Ubaydillâh ‘Abdullâh b. Budh. Adam kemudian meninggalkan India Khurdâdzbih (w. 912) secara singkat melaporkan setelah diperintahkan Tuhan untuk melakukan karakteristik kasta India (ajnâs al-hind) dan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.20 Menurut empat puluh dua aliran kegamaan India (milal riwayat-riwayat yang dipakai oleh Thabarî, ahl al-hind). Tanpa menyajikan elaborasi yang “pemujaan terhadap berhala” (idolatry) dimulai cukup mendalam, dalam karyanya al-Masâlik ketika keturunan Adam, yakni anak keturunan wa al-Mamâlik (Risalah tentang Jalur-jalur dan Syeth dan Cain, memuja tubuh para leluhurnya. Raja-raja) Khurdâdzbih membedakan aliran- Pada masa Nuh, banjir bandang kemudian aliran agama tersebut ke dalam tiga kelompok membawa objek-objek atau patung-patung pujaan utama: (1) mereka yang beriman kepada Sang tersebut ke wilayah Arabia. Pencipta Yang Mahabesar dan Mahakuasa (man Dengan mengutip anekdot dan riwayat yang yuthbitu al-khâliq azza wa jalla); (2) mereka yang terdapat di dalam kitab al-Thabarî tersebut, menolak atau tidak percaya dengan [konsep] ke- penulis bermaksud menjelaskan bahwa narasi- Nabi-an (man yanfâ al-rusul); dan mereka yang narasi tentang India sudah ada dalam literatur tidak beriman kepada Yang Mahakuasa dan tidak Muslim awal. Bahkan, narasi-narasi tersebut percaya dengan konsep kenabian (wa minhum juga menunjukkan bahwa hubungan antara al-nâfî li kulli dzâlik).22 tanah Arab dan India sudah terjadi sejak “masa S. Maqbul Ahmad dalam komentarnya terhadap primordial,” yakni ketika Adam pergi ke “Rumah karya Khurdâdzbih tersebut menjelaskan bahwa Tuhan” untuk melakukan Haji sekaligus mencari persepsi Khurdâdzbih tentang aliran-aliran agama Hawa, yang menurut narasi-narasi dalam Kitab dan tradisi keagamaan India ini kemungkinan besar merujuk kepada karya Gardizî, Akhbâr 18Bahkan jauh sebelum “Gelombang Helenisme” memasuki al-Sîn wa al-Hind (Pembahasan tentang China ranah budaya Arab-Persia Islam pada abad kedelapan dan dan India). Gardizî mengklasifikasikan falsafah kesepuluh, para sarjana Muslim Arab-Persia telah dapat mengakses sumber-sumber dan materi-materi pengetahuan India dan tradisi agama India kepada sembilanpuluh- dalam bidang astronomi, astrologi, matematika, dan kedokteran sembilan bagian yang dapat diringkaskan menjadi yang diterjemahkan dari Bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Arab atau Persia. Lihat Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic empatpuluh-dua aliran utama. Berdasarkan Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbâsid Society [2nd-4th/8th-10th centuries] (London: Routledge, 1998), 24. 19Sulaymân al-Tâjir and Abî Zayd Hasan al-Sirâfî, Akhbâr 21Lihat Yohanan Freidmann, “Medieval Muslim views of Indian Religions,” Journal of the American Oriental Society 95 (1975), al-Sîn wa al-Hind, tahqîq Yûsuf al-Syârûnî (al-Qâhirah: 214. al-Dâr al-Mishriyyah al-Banâniyah, 1999). 22Lihat Abû al-Qasim b. ‘Ubaydillah ‘Abdullâh b. Khurdâdzbih, 20Abû Ja’far Muhammad b. Jarîr al-Thabarî. The History of Al-Masâlik wa al-Mamâlik (Damascus: Manshûrât wa Zârat al-Thabarî (Ta’rîkh al-Rusul wa al-Mulûk [diterjemahkan al-Thaqâfah, 1999), 105. Lihat juga S. Maqbul Ahmad, Arabic and dianotasi oleh Franz Rosenthal], Volume I (Albany: Classical Accounts of India and China, Book I (Calcutta: Indian State University of New York Press, 1989), 291-292, 308. Institute of Advance Studies1989), 7. 142 Anjar Nugroho: Diskursus Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte karya Gardizî tersebut, boleh jadi bahwa yang Risalah yang bersifat Polemis-Teologis dimaksud oleh Khurdâdzbih dengan kelompok Di samping karya-karya deskrisptif- pertama adalah Brahmans, kelompok kedua ensiklopedis yang lebih bernuansa “sosiologis- adalah Srâmanas, dan kelompok ketiga dapat antropologis,” beberapa sarjana Muslim, dihubungkan dengan Hinayana Buddhists.23 khususnya teolog dan heresiograf telah menaruh Karya lain tentang al-Hind yang memiliki minat yang lebih terhadap persoalan dan tema- judul serupa dengan karya Gardizî di atas adalah tema yang bersifat teologis-polemis. Pendekatan risalah yang ditulis pelancong Muslim Sulaymân seperti ini sangat kentara di dalam literatur al-Tâjir (w.?), berjudul Akhbâr al-Sîn wa al-Hind. Muslim dalam bidang studi agama, bukan saja Ia membuat satu perbandingan antara geografi, pada abad pertengahan, melainkan di era modern budaya, dan masyarakat India dan China. sekalipun. Ketegangan politik antara kaum Sayangnya, perhatian al-Tâjir terhadap agama- Muslim dan umat beragama lain, khususnya agama India tidaklah seserius dan se-elaboratif kaum Yahudi dan Kristen, sejak masa awal Islam karyanya Gardizî.24 Al-Tâjir menggarisbawahi sampai beberapa periode kekhalifahan, terutama hubungan kultural antara India dan China dan di masa Ummayyah dan ‘Abbâsiyah, telah menekankan bahwa tradisi agama-agama China, menjadi dasar bagi sarjana dan teolog Muslim khususnya Buddhisme, berakar dari India (wa untuk mengkaji agama Yahudi dan Kristen secara innamâ ashlu diyânatihim min al-hind). Kemudian, lebih serius. Perlu ditambahkan di sini bahwa menurutnya, orang-orang India membawa polemik yang bersifat teologis di kalangan teolog patung-patung pujaan mereka ke China. Ia juga Muslim generasi abad pertengahan bukan saja mencatat bahwa baik orang-orang China (ahl ditujukan kepada penganut agama-agama di luar al-sîn) maupun orang-orang India (ahlal-hind) Islam, namun, seiring dengan perkembangan memiliki sistem kepercayaan hampir sama, yakni corak teologi yang semakin beragam di dunia mereka sama-sama berkeyakinan bahwa mereka Muslim, polemik-polemik teologis tersebut “dapat berkomunikasi dengan berhala-berhala terjadi juga di kalangan Muslim sendiri. Hal ini sesembahannya” (yaz’amûna anna al-bidâdah ditandai dengan berbagai karya yang muncul yang takallamahum). Al-Tâjir selanjutnya memberikan merepresentasikan perkembangan heresiografi perhatian terhadap dimensi mistik dan spiritual dalam literatur Muslim awal. agama-agama India dan China. Menurutnya, Pada bagian ini penulis akan menggambarkan kendati masing-masing tradisi memiliki bentuk secara singkat corak risalah teolog Muslim praktik keagamaan yang berbeda, orang-orang yang bersifat polemis-apologetis. Salah satu India dan China percaya dengan konsep inkarnasi, tema yang senantiasa dijadikan argumen utama perpindahan jiwa (“metempsychosis” atau dan sekaligus menjadi landasan kritik sarjana “transmigration of souls”) atau yang disebut Muslim terhadap tradisi biblikal, agama Yahudi dengan tanâsukh.25 dan Kristen, adalah konsep tahrif. Dalam mendikusikan tradisi biblikal maupun konsep heresi dalam Islam, mayoritas sarjana dan teolog 23Maqbul Ahmad, Arabic Classical Accounts, 9. Muslim memiliki pendekatan, teknik analisis, 24Karena Sulaymân al-Tâjir and Hasan al-Sirâfî menggunakan judul yang sama untuk karya mereka, versi yang saya gunakan dan metode yang hampir sama, yakni polemis dalam tulisan ini diedit oleh Yûsuf al-Syârûnî. Buku ini dibagi dan apologetis sekaligus. Namun demikian, kepada dua bagian: bagian pertama merupakan karya Sulaymân al-Tâjir, sementara bagian berikutnya milik Abî Zayd Hasan al- sesuai dengan corak keilmuan dari generasi Sirâfî, Akhbâr al-Sîn wa al-Hind, tahqiq Yûsuf al-Syârûnî (al- ke generasi yang semakin berkembang, sifat Qâhirah: al-Dâr al-Mishriyyah al-Banâniyah, 1999). 25Al-Tâjir, Akhbâr al-Sîn wa al-Hind, 56; Maqbul Ahmad, polemis dan apolegetis itu bukan berarti tidak Arabic Classical Accounts, 55-56 dan 79; juga lihat al-Mas’ûdi, menunjukkan sofistikasi dan ketajaman tulisan Murûj al-Dzahab, 91. Jurnal ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 143 dari para pengarangnya. Terlihat bahwa antara Allâh kepada mereka sebagai peringatan.29 Selain generasi abad ke-9 dan 10, nomenklatur dan itu, al-Qur´ân menggunakan istilah “distorsi” perspektif yang digunakan menunjukkan beberapa dan “memutarbalik lidah” (yalûna alsinatahum30 perbedaan. Meskipun demikian, pembahasan atau layyan bialsinatihim).31 Pada keterangan mereka pada umumnya berakhir pada muara lain disebutkan bahwa Kaum Yahudi dan Kristen yang sama, yaitu menunjukkan superioritas Islam atau yang disebut dengan Masyarakat Kitab (ahl terhadap agama-agama lainnya. al-kitâb) telah “menyembunyikan Marilah konsep tahrif kita lihat sebagai kebenaran” (layaktumûna al-haqq).32 contoh kasus. Di dalam al-Qur´ân terdapat Beraneka ragamnya terminologi yang beberapa keterangan yang menyinggung masalah digunakan dalam al-Qur´ân untuk mengidentifikasi tahrif. Secara etimologis, istilah tahrif berarti, eksistensi kaum Yahudi dan Kristen, seperti korupsi, falsifikasi, modifikasi, menyimpangkan, istilah “mengubah kitab,” “mengubah perkataan,” misinterpretasi, dan salah paham. Istilah ini “distrosi atau memutarbalik lidah,” “sengaja sering digunakan para teolog Muslim untuk melupakan,” dan “menyembunyikan kebenaran,” “mengkritik” penganut Yahudi dan Kristen berakhir pada konsekuensi bahwa para sarjana bahwa mereka sudah “salah paham” dan “salah dan teolog Muslim memiliki pendapat yang interpretasi” terhadap isi kandungan kitab suci berbeda-beda dalam menilai non-Musim, mereka. Sebagian lain berpendapat bahwa kaum khususnya Yahudi dan Kristen. Tentu saja, Yahudi dan Kristen telah “mengubah” (baddala) perbedaan persepsi Muslim terhadap Yahudi keaslian kitab suci mereka, terutama dengan dan Kristen merupakan buah dari perbedaan “menghilangkan” informasi tentang kabar interpretasi mereka terhadap teks-teks al-Qur´ân. kedatangan dan sifat-sifat Muhammad sebagai Lebih dari itu, fakta teologis ini, selain fakta-fakta Nabi terakhir. sosiologis dan politis hubungan antara Muslim Gagasan seperti di atas bukan tanpa dasar dan non-Muslim pada abad pertengahan, menjadi teologis. Dalam al-Qur´ân disebutkan bahwa satu situasi tersendiri bagi para teolog Muslim Kaum Yahudi telah “mengubah” kitab suci untuk mengelaborasi lebih jauh agama-agama (yuharrifûna) informasi atau ayat-ayat yang telah sebelumnya, khususnya mengenai “otentisitas” mereka terima dari Allâh SWT.26 Mengenai kitab kitab suci mereka. suci Yahudi, al-Qur´ân menyebutkan pula bahwa Observasi Camila Adang33 dan Theodore ada sebagian dari mereka yang menulis kitab Pulcini34 terhadap karya-karya Muslim abad dengan tangan mereka dan kemudian mereka pertengahan menunjukkan bahwa terdapat nuansa mengaku-aku bahwa, “[kitab] ini berasal dari atau perbedaan aksentuasi dari teolog Muslim Tuhan” (hâdzâ min ‘ind-i-llâh).27 Pernyataan dalam menilai “tradisi biblikal”. Theodore senada juga terdapat dalam ayat lainnya yang Pulcini, misalnya membagi dua periode penting menyatakan bahwa kaum Yahudi telah mengubah perkataan dari tempat-tempatnya (yuharrifûna al- 29QS. al-Mâidah [5]: 14. kalima ‘an mawâdhi’ihi).28 Dengan menggunakan 30QS. Āli-‘Imrân [3]: 78 31QS. al-Nisa’ [4]: 46. istilah yang lain, al-Qur´ân menyebutkan bahwa 32QS. al-Baqarah [2]: 146; Āli-‘Imrân [3]: 71. umat Kristiani telah “dengan sengaja melupakan” 33Tentang perbedaan pandang Muslim terhadap konsep tahrîf dan persepsi mereka mengenai agama Kitab agama Yahudi, lihat (fanasû) sebagian dari apa yang telah diberikan Camilla Adang, Muslim Writers on Judaism and The Hebrew Bible: From Ibn Rabban to Ibn Hazm (Leiden, New York, and Koln: E.J. Brill, 1996), khususnya bab V, “The Proofs of Prophethood,” 139-191. 26QS. al-Baqarah [2]: 75. 34Theodore Pulcini, Exegesis as Polemical Discourse, khsusnya 27QS. al-Baqarah [2]: 79. bab II “The Treatise on Contradiction and Lies in Its Socio- 28QS. al-Nisâ’ [4]: 46. Cultural Context,” 13-39. 144 Anjar Nugroho: Diskursus Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte berkembangnya karya-karya sarjana dan teolog terbakar ketika orang-orang Yahudi tertahan Muslim yang mengulas konsep tahrif tersebut, oleh Nebukadnezar saat orang-orang Israel akan yakni karya-karya yang ditulis antara abad ke-8 kembali ke Palestina. dan 9, serta karya-karya yang muncul pada abad Sementara itu, al-Mas’ûdî dalam Murûj kesepuluh dan kesebelas Masehi. Al-Qâsim b. al-Dzahab wa Ma’âdin al-Jawhar (Hamparan Ibrâhim (w. 860) dan Abû ‘Utsmân ‘Amr b. Emas dan Tambang Perhiasan), mengindikasikan Bahr al-Fuqaymî al-Basyri atau dikenal dengan bahwa tahrif terjadi dalam konteks “interpretasi.” al-Jâhiz (w. 869) yang menulis buku dengan judul Sedangkan al-Maqdisî atau Abu Nashr Muthahhar sama, Radd ‘alâ al-Nashâra (Bantahan terhadap Ibn Thâhir dalam Kitâb al-Bad’ wa al-Tarîkh Penganut Agama Kristen) merupakan salah (Risalah tentang Penciptaan dan Sejarah), satu contoh generasi awal “Kristolog” Muslim memahami tahrif dalam konteks “tahrif al-nass” yang mencoba menafsir Bibel dan mencari dan “tahrif al-ma’âni” sekaligus. Beberapa sarjana celah untuk menunjukkan superioritas Islam. dan teolog Muslim lainnya yang memasukkan Begitu pula dengan Kitâb al-Dîn waal-Daulah tema-tema yang bersifat perdebatan teologis ke (Risalah tentang Agama dan Pemerintahan)-nya dalam tulisan mereka antara lain, Abû Tûsuf ‘Ali b. Rabban al-Thabarî atau dikenal dengan Ya’qûb b. Inshâq al-Qirqisânî yang menulis Ibnu Rabban (w. 825[?]) maupun Dalâil al- Kitâb al-Anwar wa al-Marâghib (Risalah tentang Nubuwwah (Bukti-bukti Kenabian) milik Abû Cahaya-cahaya dan Menara Pengawas), termasuk Muhammad ‘Abd Allâh b. Qutayba (w. 889). al-Bîrûnî dalam Kitâbal-Âtsâr, Ibn Hazm dalam Karya-karya yang ditulis abad ke-9 dan 12 Kitâbal-Fishal, serta al-Syahrastâni dalam memang pada umumnya memaknai tahrif sebagai Kitâbal-Milal. “textual misinterpretation” ketimbang “textual Terhadap kecenderungan “teknik corruption.” Kendati sarjana Muslim abad ke-8 pengopinian” (trends in tones) yang berkembang dan ke-9 konsen dengan “textual corruption,” dalam literatur Muslim sebagai respons mereka namun elaborasinya terhadap konsep tahrif tidak terhadap agama Yahudi dan Kristen, Pulcini mendalam. menyimpulkan bahwa selain bersikap kritis, para Hal ini berbeda dengan generasi berikutnya, penulis Muslim juga menunjukkan pengendalian abad ke-10 dan generasi seterusnya, di mana yang luar biasa ketika mengevaluasi orang-orang al-Thabarî dan sarjana yang segenerasi Yahudi dan Kristen; sikap mereka terhadap kitab- dengannya memunculkan argumen secara lebih kitab suci sebelumnya sering terlihat ambivalen, “sophisticated,” meskipun tetap dalam kerangka ditandai dengan “keengganan untuk menolak polemis-apologetis. Jarîr al-Thabarî, misalnya, mentah-mentah” (reluctance to condemn them meskipun disinyalir sering menggunakan riwayat unreservedly). Bahkan dalam konteks tertentu, isrâiliyyat, memiliki konsepsi dan persepsi kritik Muslim terhadap agama lain lebih ditandai tersendiri tentang tahrif. Dengan karakter dengan bentuk toleransi (toleration)35 ketimbang tulisannya yang senantiasa menggunakan isnad polemis.36 (chain of transmission), al-Thabarî menilai Di samping reaksi terhadap Yahudi dan bahwa “orang-orang Yahudi menulis Kitab Suci Kristen yang memang merupakan agama mereka berdasarkan interpretasi mereka sendiri, “serumpun” dengan Islam, agama-agama non- yang itu bertentangan dengan apa yang telah Tuhan turunkan kepada para nabinya.’”elain 35Toleransi dapat diartikan sebagai sikap pengakuan resmi itu, ia melakukan “kritik sanad” terhadap proses (official acceptance) oleh sebuah pemerintahan (dalam kasus penulisan ulang Kitab Suci Yahudi (Jewish ini bisa jadi seseorang) terhadap suatu kepercayaan dan praktik keagamaan yang berbeda dari ajaran [resmi] yang dipeluknya. Scripture) dengan menilai bahwa Taurat sudah 36Pulcini, Exegesis as Polemical Discourse, 42-43. Jurnal ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-Desember 2017 145 biblikal juga tak luput dari telaah sarjana dan menggunakan istilah ini dalam pengertian negatif. teolog Muslim. Bila pada periode Islam awal, Secara semantik, istilah “hairesis” kemudian 610-650 Masehi, lingkup respons Muslim menjadi istilah teknis untuk “heresi” yang berlaku terhadap agama-agama lain masih terbatas pada untuk mengidentifikasi aliran Gnostik maupun Masyarakat Kitab (ahl al-kitâb), yaitu Kristen sekte-sekte agama Yahudi dan tradisi Yunani. dan Yahudi, dan penganut Paganisme Arab Pra- Dewasa ini, makna pejoratif “heresi” adalah Islam, maka pada Abad Pertengahan, 650-1500 “ajaran yang keliru” (erroneous teaching) atau Masehi, lingkup kajian literatur Muslim tentang “keyakinan yang tidak benar” (false belief).37 agama-agama lain sudah lebih luas, antara lain Dengan demikian, dalam terminologi keagamaan, dengan munculnya karya-karya khusus tentang hemat penulis, heresiografi adalah “ilmu yang agama Hindu dan Buddha, Majusi/Mazdaisme/ mempelajari aliran, ajaran atau sekte yang Zoroaster, dan Manikean. Bila dua agama pertama menyimpang dari kebenaran utama.” tersebar luas di daratan Asia Selatan dan Timur, Konsep mayoritas-minoritas dan relasi kuasa- maka dua agama terakhir eksis utamanya di ilmu pengetahuan berlaku dalam konteks ini. daratan Transoxania (Iran). Irânshahrî (hidup Istilah heresi sendiri, yang dalam bahasa Indonesia sekitar akhir abad ke-9), Ibn Nadzim (w. 987), bisa disebut “sempalan” atau “sektarian,” dan Rashîd al-Din (w. 1318) adalah nama-nama senantiasa berdampingan dengan lawan katanya, sarjana Muslim yang memberi perhatian cukup ortodoksi. Di mana terdapat kelompok-kelompok besar terhadap agama Buddha dalam kajian- agama “sempalan” atau “sektarian,” maka di kajian mereka. Sementara al-Bîrûnî, Ibn Hazm, situ ada ortodoksi atau arus utama (mainstream). dan al-Syahrastânî, kendati sempat mengulas Probabilitas sebuah kekuasaan yang mengadopsi Buddha, namun pembahasan mereka lebih satu arus model keagamaan tertentu untuk banyak kepada agama-agama India (Hinduisme). dijadikan sebagai agama resmi (official doctrines) Al-Bîrûnî dalam al-Âtsâr, al-Syahrastânî dalam sangatlah besar untuk memberi cap “heretik” Kitâb al-Milal, al-Khawârizm dalam Mafâtih al- atau “menyimpang” terhadap model keagamaan ’Ulûm juga secara parsial mendiskusikan Majusi lain yang berbeda yang diikuti oleh sekelompok dan Manikean. kecil penganutnya. Dalam sejarah Kristen, umpamanya, paham-paham keagamaan yang Karya yang bersifat Heresiografis tidak sesuai dengan, atau bersikap oposisi Heresiografi adalah ilmu tentang sekte- terhadap Otoritas Gereja, sering mendapat cap sekte atau aliran-aliran. Dalam Encyclopedia of heretik. Demikian pula dalam khazanah tradisi Religion disebutkan bahwa terminologi “heresi,” agama-agama, kelompok-kelompok sempalan akar dari heresiografi, berasal dari bahasa Yunani yang berbeda dari mainstream ini sering juga “hairesis,” yang dapat berarti “perampasan” disebut heterodoksi, lawan dari ortodoksi. atau “perebutan” (seizure), “pilihan” (choice, Konsep ortodoksi dan heresi sesungguhnya election), dan “keputusan atau upaya yang merefleksikan perebutan klaim dan otoritas tentang menentukan” (decision or purposive effort). “kebenaran” atau “otentisitas” sebuah tradisi. Makna yang terakhir disebut menjadi titik pijak Konsep heresi umumnya menemukan tempat tradisi Yunani maupun Kristen dalam memaknai untuk berkembang biak dalam tradisi “agama istilah “heresi” dengan “doktrin,” “aliran,” dan samawi” yang memiliki formula keagamaan “gagasan atau opini yang diterima (received berdasarkan teks-teks yang diatribusikan sebagai opinion).” Pada mulanya, term ini “bebas nilai,” Kitab dari Tuhan. Dengan kata lain, heresi tidak memiliki kesan negatif. Namun demikian, situasi ini bergeser setelah Perjanjian Baru 37Lihat ER, Vol. 6, article “Heresy,” , 269-270. 146 Anjar Nugroho: Diskursus Muslim Abad Pertengahan Tentang Agama dan Sekte

Description:
teolog besar 'Asy'ariyah pasca al-Ghazālī . bahwa sejak abad ke-8 dan 10, para sejarahwan, Asy'arī sendiri merupakan pengikut Ahmad b.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.