SAWERIGADING Volume 20 No. 2, Agustus 2014 Halaman 183—193 ORIENTAL: BUDAYA INDIS DALAM TETRALOGI PULAU BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Oriental: Indis Culture in the Study of Buru Tetralogy by Pramoedya Ananta Toer) Puji Retno Hardiningtyas Balai Bahasa Provinsi Bali Jalan Trengguli I No. 34 Denpasar Timur 80238 Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463656 Pos-el:[email protected], [email protected] Diterima: 6 Februari 2014; Direvisi: 8 Mei 2014; Disetujui: 8 Juli 2014 Abstract The Buru tetralogy consists of Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, and Rumah Kaca. The fourth novel has coherence and similarity of themes, namely the domination of indigenous resistance Java feudalism (priyayi) and Dutch colonial, indigenous colonial antiracism culture and the birth of Indies culture (East and West). The objective of this research is to describe 1) the discourse of the blending of Eastern and Western cultures orientalism; 2) representation of Indigenous and Colonial as a consequence of the relationship between the colonized and the colonizers by using the post-colonial theory. The method of this research is the qualitative-interpretation-understanding (verstehen-hermeneutic-qualitative). The Cue of the power relations between East and West is characterized by the interaction of Western and Eastern cultures, known as the seven cultural universal. Meanwhile, repression between colonized and colonizer is revealed on exclusion and racial disparities felt by Natives in European society. Therefore, Orientalism as a reference to identify on the East, as the Indonesian identity has weaknesses, advantages, strangeness, and exotic causing the East is unmatched. Keywords: Indis culture, Native-Colonial, oriental,orientalism Abstrak Roman tetralogi Pulau Buru terdiri atas Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat roman tersebut memiliki pautan cerita dan kesamaan tema, yaitu perlawanan pribumi atas dominasi kekuasaan feodalisme Jawa (priayi) dan kolonial Belanda, kolonial antirasialisme pribumi, dan lahirnya kebudayaan Indis (Timur dan Barat). Tujuan penelitian ini untuk mendekripsikan 1) wacana orientalisme pembauran budaya Timur dan Barat; 2) representasi Pribumi dan Kolonial sebagai konsekuensi hubungan antara terjajah dan penjajah dengan menggunakan teori poskolonial. Penelitian ini menggunakan metode interpretasi-pemahaman-kualitatif (hermeneutik-verstehen-kualitatif). Isyarat relasi kekuatan antara Timur dan Barat ditandai dengan adanya interaksi kebudayaan Barat dan Timur atau dikenal dengan seven cultural universal. Sementara itu, penindasan antara terjajah dan penjajah terungkap pada pengucilan dan perbedaan rasial yang dirasakan oleh Pribumi dalam lingkungan masyarakat Eropa. Oleh karena itu, orientalisme sebagai referensi mengidentifikasi tentang Timur, sebagai identitas Indonesia memiliki kelemahan, kelebihan, keanehan, dan keeksotisan yang menjadikan Timur tidak tertandingi. Kata kunci: budaya Indis, Pribumi-Kolonial, oriental, orientalisme 14 183 Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 183—193 PENDAHULUAN dipertimbangkan, juga isu yang lebih spesifik, seperti ras, gender, dan kelas sosial. Kajian Tetralogi Pulau Buru merupakan contoh poskolonial difokuskan pada bahasa, mata roman yang menunjukkan persepsi poskolonial pencaharian, sistem kemasyarakatan, dan tentang hubungan pribumi dan kolonial, budaya kesenian. Selain itu, sorotan tentang gender pribumi dan kolonial, dan identitas kultural. dan feminis tokoh Nyai Ontosoroh, kebangsaan Roman ini memberi gambaran yang menarik tokoh Minke mewakili manusia modern di abad tentang interaksi antara budaya Barat dan ke-20, dan situasi kolonialisme kaitannya dengan Timur (Pribumi) dengan perkembangan historis ras, gender, dan kelas sosial. kebudayaan Indonesia pada masa pengaruh Penelitian lain tentang roman tetralogi Barat. Lebih khusus interaksi seorang priayi Pulau Buru pernah dilakukan pula oleh Adhi pribumi dengan orang Belanda, yang notabene Asmara (Bumi Manusia, sebagai editor, 1981); penjajah di Hindia Belanda. Meskipun roman ini Draminto Moehayat (2001); D.A. Arimbi (2002); tergolong dalam wacana resistansi dan abrogasi, Maemunah (2002); Apsati Djokosujato (2004); tetapi memberikan gambaran yang tepat tentang Siti Subariyah(2005);Puji Retno Hardiningtyas ekspresi kekuasaan, politik kolonial, kehidupan (2011, 2012); dan Ignas Kleden (2011). sosial, ekonomi, budaya, dan kesenian di Hindia Penelitian tersebut juga belum menyentuh secara Belanda. Keterpurukan masyarakat sebenarnya mendalam interaksi budaya Timur dan Barat diarahkan, baik oleh kondisi kultural Indonesia dengan dasar seven cultural universal dan teori maupun hadirnya golongan masyarakat di poskolonial, khususnya orientalisme Edwar Indonesia, dengan gambaran waktu tahun Said. Perbedaan yang mencolok dari makalah ini 1898—1918. dengan penelitian sebelumnya adalah keterkaitan Paradigma tentang masa kolonial wacana hubungan priayi dengan kaum kolonial sebagai Barat yang dominan memberikan identitas- pendukung kebudayaan Barat dan Timur, bukan identitas hibrida. Hibrida merupakan produk pencarian pribumi akibat hegemoni kolonial kontruksi kolonial yang membagi strata identitas Belanda, melainkan dampak hegemoni yang murni penjajah dengan ketinggian kultur yang memengaruhi kebudayaan Timur dan Barat. dideskriminasikan (Bhabha dalam Sutrisno, Terlepas dari pemikiran tersebut, makalah ini 2003: 28); hibriditas dalam pandangan kolonial memberikan pandangan baru tentang oriental. menurut Foultcher (1999: 15) adalah proses Oriental, berarti mengenai dunia timur atau identitas tertentu berdasarkan kemurnian negara-negara Timur (dilihat dari Eropa), kultural dalam rangka memantapkan status (lihat KBBI, 2008, hlm. 989) Budaya Indis kekuasan kolonial lahir tanpa terkendali, tetapi masyarakat Pribumi dan Kolonial sehingga dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial. memberikan pengetahuan tambahan khazanah Hibridasi kekuasaan kolonial dengan peradaban ilmu kesusastraaan Indonesia. Barat barangkali secara ideologis memberi Senyampang dengan pandangan tersebut, pengaruh dan pengalaman unik untuk Hindia secara orientalisme, penerapan dan kontak Timur. Sebagai dasar penulisan makalah ini, budaya Timur dan Barat Tujuh unsur universal Keeler (2008: 450) berpendapat bahwa tetralogi budaya yang merupakan campuran unsur Pramoedya membuktikan bahwa masyarakat kebudayaan Belanda dan budaya Pribumi Pribumi tidak perlu menjadi seorang intelektual dikenal dengan kebudayaan Indis (berasal dari Barat untuk bereaksi seperti orang Barat terhadap Nederlandsch Indië) (lihat Soekiman, 2010:. kekuasaan dan hierarki. 1—2), diwujudkan nyata oleh anak bangsa, Menurut Bahari (2007) tetralogi Pulau melalui tokoh Pulau Buru, ditandai dengan Buru menghadirkan konstruksi bangsa, sejarah, stratifikasi sosial masyarakat Jawa—priayi— gender, dan identitas nasional—seperti situasi melawan dominasi dan kepemimpinan moral kolonial dan semiosis kolonial yang sedang 184 185 Puji Retno Hardiningtyas: Oriental: Budaya Indis dalam Tetralogi ... intelektual kekuasaan kolonialisme. Dengan Kebudayaan Indis menurut Soekiman (2010: pemikiran Said tentang orientalisme, kajian 2) tersebut hadir dari sekelompok masyarakat terhadap tetralogi Pulau Buru perlu diteliti penghuni kepulauan Indonesia, khususnya dengan melihat pengaruh orientalisme sebagai keluarga keturunan Eropa dan Pribumi. sumber acuan mengidentifikasi tentang Timur, Interaksi budaya Indis ini meliputi bahasa, alat khususnya pribumi, kekuatan politik, dan dan kelengkapan, mata pencaharian, sistem kebudayaan yang menjadi identitas Indonesia kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, kesenian, dan disandingkan dengan budaya Barat dan dan religi. Dalam membicarakan kebudayaan pelaku kolonial. Indis, penelaahan hubungan antara bangsa Masalah pokok dari makalah ini adalah Belanda dan Indonesis—Jawa—secara lebih pertama, wacana orientalisme roman tetralogi mendalam sangat diperlukan, mengingat Pulau Buru merepresentasikan pembauran kedua budaya tersebut saling bergantung dan kebudayaan Timur dan Barat. Kedua, representasi menghidupi (symbiotic relation). Pribumi dan Kolonial sebagai konsekuensi hubungan antara terjajah dan penjajah dalam KERANGKA TEORI tetralogi Pulau Buru.Tujuan penelitian ini Menurut Budiman (2008: x) kritik menelusuri orientalisme hibriditas di lingkungan poskolonial lahir, berkembang, dan memiliki kolonial dalam pembauran budaya Indis, daya tarik besar karena kesadarannya akan bentuk pembauran budaya, relasi terjajah dan ketimpangan hubungan antara penguasa koloni penjajah, dan perlawanan terjajah dan penjajah dan subjek kolonial yang diperintahnya. Dengan sebagai kontradiksi ideologi kolonialisme. kata lain, kritik poskolonial berhadapan dengan Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan masalah objektivitas dalam cara pandang bermanfaat untuk rujukan penelitian sastra ataupun operasionalnya sebagai alat bedah; Indonesia selanjutnya dari sudut pandang lain. membongkar pola hubungan kuasa superior Selain itu, penelitian ini, dari kegunaan praktis Barat atas Timur untuk menguak ketimpangan diharapkan dapat menumbuhkan semangat yang melandasinya. kepada masyarakat untuk mencintai dan Loomba (2003: 92—93) mengemukakan melestarikan budaya pribumi, jiwa patriotisme, pemikiran Said tentang orientalisme berkiblat dan membela nusa bangsa serta menambah dari pemikiran Foucault yang diadopsi dan wawasan mengenai kesusastraan Indonesia. dikembangkan menjadi jenis studi baru, yaitu Berkaitan dengan topik penelitian ini, kolonialisme. Sementara itu, Barry (2010: 224) beberapa konsep yang perlu dibicarakan adalah berpendapat bahwa pandangan Said dalam tentang poskolonialisme, orieantalisme, dan bukunya Orientalism (1978) menyatakan kritik budaya Indis. Day dan Foulcher (2008: 2—3) poskolonial merupakan pendedahan spesifik berpendapat bahwa pendekatan poskolonial universalisme erosentris yang membenarkan, terhadap kajian sastra membahas teks sastra baik superioritas Eropa maupun Barat dan dengan berbagai caranya untuk mengungkapkan inferioritas non-Eropa dan non-Barat. jejak pertemuan kolonial, yaitu konfrontasi Menurut Said (2010: 49—51) orientalisme antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam adalah konstruksi historis terhadap masyarakat kondisi hubungan kekuasaan tidak setara, dan budaya Timur sebagai “sesuatu yang yang telah membentuk sebagian signifikan asing”, sering kali dilihat sebagai sejenis objek dan pengalaman manusia sejak awal zaman yang indah dan eksotis. Bahkan, Timur juga imperalisme Eropa.Orientalisme menurut Said sering dianggap sebagai kasar, bodoh, barbaris, (2010:51) dapat dipahami sebagai wacana yang irasional, bejat moral, kekanak-kanakan, dan memperlihatkan perbedaan yang fundamental berbeda. Orang Timur ditampilkan sebagai antara “orang Barat” dan “orang Timur”. makhluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai 184 185 Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 183—193 energi dan inisiatif, suka menjilat, berpura- data berupa sumber tertulis lebih dominan. pura, dan licik. Orang Timur adalah pembohong Teknik pengumpulan data yang digunakan karatan, mereka malas, dan mencurigakan. dalam penelitian ini adalah teknik catat, yaitu Dengan sendirinya, Barat menganggap dirinya mencatat hal atau temuan data yang dijadikan rasional dan berbudi luhur, serta normal. Orang model analisis data. Barat diidentikkan sebagai penalar yang cermat; Data yang terkumpul dianalisis dengan semua pernyataannya mengenai fakta, bebas dari metode deskriptif analitik. Metode ini digunakan semua bentuk kekaburan. Orang Barat adalah untuk menguraikanobjek kajian tetralogi Pulau logikawan alami sekalipun mungkin ia tidak Buru, berupa data temuan kemudian dianalisis mempelajari logika; memiliki pembawaan yang menggunakan teori yang ditentukan, yaitu teori skeptis dan menuntut bukti sebelum menerima poskolonial. Sementara itu, teknik analisis data kebenaran dari sesuatu; serta intelejensinya yang yang digunakan penelitian ini adalah teknik terlatih bekerja laksana sebuah mesin. analisis konten (content analysis). Teknik ini digunakan peneliti untuk mengungkap, METODE memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Aspek penting dari teknik analisis konten adalah Rancangan penelitian yang digunakan peran penting peneliti sebagai penafsir sastra adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun ini merupakan penelitian pustaka dengan konsep sebagai dasar untuk menafsirkan memusatkan pengumpulan data yang dilakukan karya sastra. Hasil analisis penelitian ini dapat melalui perpustakaan sebagai alat atau instrumen diimplikasikan secara utuh dan menyeluruh pelengkap dalam sarana teknis penelitian yang dalam tetralogi Pulau Buru. berfungsi sebagai pendukung kerja penelitian digunakan kartu data sebagai pencatat data. Jenis PEMBAHASAN data penelitian ini adalah kualitatif. Sumber data primer penelitian ini adalah tetralogi Pulau Orientalisme Pembauran Kebudayaan Indis: Buru terdiri atas Bumi Manusia, Anak Semua Roman Tetralogi Pulau Buru Interaksi Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca karya Kebudayaan Indis: Roman Tetralogi Pulau Pramoedya Ananta Toer tahun 2010 dan penerbit Buru Lentera Dipantara. Menurut pandangan Soekiman (2011: Pengumpulan data dalam penelitian ini 1—2; 11; 20) kebudayaan Indis (Barat dan Timur), menggunakan metode interpretasi-pemahaman- kehadirannya didukung oleh etnis berbeda dan kualitatif (hermeneutik-verstehen-kualitatif). memiliki struktur sosial yang berbeda pula, Metode tersebut menekankan pada keterlibatan kemudian kedua kebudayaan tersebut bercampur seorang peneliti terhadap objek yang diteliti. baur. Akibatnya, kebudayaan Timur diperkaya Metode ini digunakan untuk mencari makna kebudayaan Barat. Pengaruh kebudayan Eropa yang optimal dalam tetralogi Pulau Buru dengan terhadap kebudayaan Jawa yang dimiliki suku melakukan tafsiran, interpretasi, pemahaman, Jawa dikenal dengan seven cultural universal, dan pendeskripsian, secara gerak spiral. Artinya, antara lain 1) bahasa (lisan ataupun tulis), 2) peneliti harus berulang-ulang melakukan peralatan dan perlengkapan hidup manusia interpretasi dari bagian ke keseluruhan, dari ke (pakaian, rumah, senjata, alat transportasi, dan keseluruhan ke bagian, kemudian dari unsur alat produksi), 3) mata pencaharian hidup dan intrinsik ke ekstrinsik dan dari ekstrinsik ke sistem ekonomi (pertanian, peternakan, dan intrinsik sehingga menghasilkan inti analisis sistem produksi), 4) sistem kemasyarakatan penelitian. Sementara itu, teknik pengumpulan (organisasi politik, sistem kekerabatan, sistem data digunakan teknik studi pustaka (library hukum, dan sistem perkawinan), 5) kesenian research). Teknik ini dilakukan karena sumber (seni rupa, seni sastra, seni suara, dan seni gerak), 186 187 Puji Retno Hardiningtyas: Oriental: Budaya Indis dalam Tetralogi ... 6) ilmu pengetahuan, dan 7) religi. dapat diterapkan sebagai mekanisme kontrol Bentuk proses akulturasi kebudayaan bagi tingkah laku dan tindakan sosial manusia Barat dan Timur (Jawa), tidak terlepas dari peran sebagai pola tindakan manusia. Salah satunya penguasa kolonial di Hindia Belanda. Sementara bentuk produk penjajahan atas Dunia Ketiga itu, bangsa pribumi menerima nasib sebagai secara budaya, yaitu mentalitas bangsa jajahan bangsa terjajah dan menyesuaikan diri dengan yang tertindas tanpa kemerdekaan politik. Dengan penguasa kolonial Belanda. Kebudayaan yang sendirinya terlahir kebudayaan bangsa Pribumi diwujudkan bersama itu menunjukkan bahwa ciri yang jauh dari kekuatan budaya tradisional sendiri. Barat lebih dominan daripada ciri khas budaya Produk kebudayaan Barat, terjadi secara Jawa. Perhatikan contoh budaya dalam bentuk langsung karena ada kontak pribumi dan orang peralatan dan perlengkapan hidup manusia— Belanda. Menurut Hellwig (2007: 28—29) pada rumah—pada kutipan berikut ini. akhir abad ke-19 penduduk Hindia Belanda secara sosial dan budaya dieropanisasi, salah Juga di sini dinding seluruhnya terbuat dari satunya alat transportasi menjadi penghubung kayu jati yang dipolitur coklat muda. Di pojokan berdiri seperangkat meja makan yang baik dan cepat. Alat transporasi seperti dengan enam kursi, di dekatnya terdapat bendi, dokar, sepeda, trem, kapal, kereta api, dan tangga naik ke loteng. Kenap bertugur di tiga otomobil merupakan hasil dari budaya Barat. pojok lainnya. Di atasnya berdiri jambang Tatanan kolonial lama makin lama menghilang bunga dari tembikar bikinan Eropa. Bunga- berganti dengan cara kehidupan yang lebih bunga bersembulan dari dalamnya dalam modern atau Barat. Bahkan, penggunaan alat dan karangan yang serasi (Bumi Manusia, 2010: perabotan rumah tangga sampai produk makanan 30—31). Eropa menjadi suguhan interaksi budaya Barat Kutipan tersebut menggambarkan (lihat Anak Semua Bangsa, hlm. 399). Dengan pemberdayaan dua kebudayaan Barat dan menyatunya dua budaya tersebut menandai kebudayaan Timur, bentuk tujuh unsur budaya bahwa sejak kehadiran Belanda sampai abad ke- menjadi bukti hasil karya orang Belanda dan 20 hingga runtuhnya Hindia Belanda tahun1942, orang Jawa. Salah satunya, pertemuan budaya kebudayaan Barat dan Timur memberikan peran pada peralatan dan perlengkapan manusia penting dalam perkembangan kebudayaan yang digunakan di rumah Nyai Ontosoroh dan Indonesia modern. Herman Mallema. Budaya Jawa terwakili dari Wujud Pembauran Budaya Indis: Roman pemakaian kayu jati, sedangkan budaya Barat Tetralogi Pulau Buru ditunjukan pada loteng dan jambang bunga dari tembikar Eropa. Salah satu usaha pemerintah kolonial Menurut Rangkuti-Hasibuan (2002: 147— Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya 149) interaksi budaya Barat dan Timur terjadi sejak di Indonesia, yaitu dengan cara mendekati sejarah bangsa dengan kekuatan kolonialisme tokoh bangsawan kaum Pribumi. Kaum kolonial Barat, khususnya pemerintah Belanda. Pada berusaha berkuasa di Indonesia melalui elite-elite zaman Belanda, bangsa Indonesia di-‘ekspos’ yang ada, baik secara politik maupun ekonomi. atau diperkenalkan dengan kebudayaan Barat Para tokoh pribumi ini diberikan beberapa sehingga terjadi gesekan negatif dan positif fasilitas kekuasaan dan dijadikan sebagai mitra dalam proses tersebut (lihat Bumi Manusia, dalam kehidupan sosial dan budaya. Dari para hlm. 13). Kekaguman Minke atas peradaban birokrat pemerintahan kolonial, berkembang Barat membuatnya haus untuk menimba ilmu kebudayaan Indis yang merupakan kebudayaan tentang pengetahuan Barat. Penemuan mesin hasil perpaduan antara dua budaya, yaitu budaya uap, kereta listrik, dan listrik merupakan bentuk Jawa dan Belanda. dan hasil kreativitas budaya Barat. Kebudayaan Kebudayan dan gaya hidup Indis ini 186 187 Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 183—193 merupakan suatu fenomena historis, sebagai bentuk bahasa sebagai unsur kebudayaan yang bukti hasil kreativitas golongan masyarakat pada digunakan tokohnya untuk menyampaikan masa kekuasaan Hindia Belanda, baik dalam bahwa bahasa Minke dalam komunikasi menghadapi hidup tradisional Jawa maupun dan menyampaikan pendapat melalui media gaya hidup Belanda. Tetralogi Pulau Buru massa adalah bahasa Belanda dan Melayu. memperlihatkan gambaran nyata tentang orang Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh Pribumi, kaum priayi, dan subjek Jawa yang tokohnya dengan dominasi konflik batin tentang hibrid yang mengalami modernisasi di bidang keberadaan bahasa Jawa yang dianggap untuk pendidikan dan organisasi pemerintahan dengan priayi feodal. gaya Barat. Di samping itu, Pulau Buru pada Dalam kaitannya dengan peralatan dan dasarnya mengkritik kaum Pribumi yang selalu kelengkapan hidup, masyarakat pendukung berada di bawah orang Barat. Pribumi dihadirkan budaya Indis memiliki alat, cara, dan proses sebagai manusia biasa yang memiliki pandangan pembuatannya yang khas dari simbolik dari dan sikap yang kompleks dan ambivalensi dua budaya. Peralatan hidup yang dimaksudkan terhadap lingkungan di sekitarnya. Kaum adalah perkakas atau perabot rumah tangga priayi menjadi sorotan karena dalam praktiknya yang digunakan oleh masyarakat, baik Pribumi melakukan peniruan dan ejekan terhadap pola maupun Eropa. dan gaya hidup penjajah Belanda. Salah satunya ... Mataku mulai menggerayangi ruang tamu adalah penggunaan bahasa Belanda. yang luas itu: perabot, langit-langit, kandil- Menurut Djokosujatno (2004: 111) kandil kristal yang bergelantungan, lampu- bahasa yang “sesungguhnya” secara penuh lampu gas gantung dengan kawat penyalur digunakan dalam catatan Minke adalah bahasa dari tembaga—entah di mana sentralnya— Belanda. Namun, pengalaman Minke yang potret Sri Ratu Emma yang telah turun tahta terpasang pada pigura kayu berat ... Sebagai kecewa terhadap koran Belanda juga mengubah penjual perabot rumah tangga, barang- pandangannya untuk menulis dalam bahasa barang itu mahal belaka, dikerjakan oleh para Melayu. tukang yang mahir. Permadani di bawah sitje “Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh bergambarkan motif yang tak pernah kutemui. Melayu?” Mungkin pesanan khusus. Lantainya terbuat “Diambil praktisnya, Mas. Sekarang, yang dari parket, tegel kayu, yang mengkilat oleh tidak praktis akan tersingkir. Bahasa Jawa semir kayu (Bumi Manusia, 2010: 27). tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya Data tersebut adalah wujud kebudayaan adalah bahasa pretensi untuk menyatakan Barat yang sudah bercampur dengan kebudayaan kedudukan diri, Melayu lebih sederhana ...” Timur, khususnya budaya Jawa. Perlengkapan (Jejak Langkah, 2010: 582). rumah yang ditempati Nyai Ontosoroh adalah Pandangan Minke ini akhirnya melahirkan model bangunan rumah Belanda yang dibawa majalah Medan yang isinya menggunakan Herman Mallema yang notabene orang Belanda. bahasa Melayu, yang berkedudukan di Betawi. Percampuran budaya tersebut menghasilkan tipe Dengan berbagai pertimbangan, bahasa Melayu rumah Belanda dengan rumah Pribumi Jawa dipilih sebagai media yang paling umum untuk sehingga terbentuk rumah gaya Indis mulai abad menjembatani masyarakat luas. Menurut Maier ke-18. Pada masa kompeni dan pemerintah Hindia (2008: 78) dalam interaksi di antara rakyat Belanda, orang Belanda totok mendapatkan Betawi, bahasa Melayu menduduki tempat perhatian istimewa (lihat ASB, hlm. 369—370) yang dominan. Menjelang akhir abad ke-19, dan (lihat Rumah Kaca, hlm. 323). bahasa Melayu telah memperoleh otoritas yang Interaksi budaya Timur dan Barat yang tidak tergoyahkan oleh masyarakat setempat. berkaitan mata pencaharian, meliputi babu, Penelitian ini mengemukakan perbedaan dalam budak, prajurit, dan pejabat di pemerintahan 188 189 Puji Retno Hardiningtyas: Oriental: Budaya Indis dalam Tetralogi ... Hindia Belanda. Menurut Baay (2010: 2) Manusia, 2010: 470—471). perempuan yang dijadikan gundik adalah para Dalam kutipan tersebut dapat dipahami budak perempuan di rumah tangga Eropa yang bahwa seni tayub diyakini sebagai inti dari kebanyakan melakukannya dengan terpaksa. kesenian Jawa, dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Sebagai contoh adalah Nyai Ontosoroh yang ataupun Jawa Timur. Secara musikal, tayub terhina menjadi gundik laki-laki Belanda, dihasilkan dari perpaduan permainan alat yang Herman Mallema (lihat Bumi Manusia, hlm. musiknya dimainkan secara tradisional Jawa. 128). Alat musik gamelan dimainkan untuk mengiringi Sistem kemasyarakatan juga membawa penari tayub dan diiringi dengan lantunan tembang pengaruh positif, dari politik etis terlihat semakin oleh sinden. Untuk menemani para penayubnya banyaknya rakyat Pribumi yang berpendidikan yang sebagaian besar laki-laki, biasanya tuan Eropa. Masalah lain tentang kemayarakatan rumah yang mengadakan hajatan menyediakan di Hindia Belanda melahirkan sistem hukum tuak sebagai penambah semarak suasana pesta. yang diskriminatif bagi peranakan Eropa Kesenian Jawa ini adalah murni, tradisional, dan Pribumi. Misalnya, sidang pengadilan halus, agung, mistis, dan mengutamakan batiniah kolonial yang menangani kasus kematian yang filosofis (lihat Bumi Manusia, hlm. 195).Alat Herman Mellema. Dalam kehidupan hukum musik gamelan (asli Jawa) seperti saron, kendang, pemerintah kolonial pun bertindak tidak sportif gender, dan gong dimainkan bersamaan dengan untuk mencari kebenaran, penyerangan kepada tarian para penari sambutan untuk para pejabat Pribumi, Nyai Ontosoroh, juga dilakukan kolonial Belanda. kelompok pers kolonial. Pengadilan kolonial Kondisi zaman yang melingkupi menghilangkan persamaan hukum bagi Pribumi. masyarakat Hindia pada dekade peralihan Badan atau institusi hukum yang seharusnya abad ke-19 menuju abad ke-20 diwarnai pola mengutamakan asas keadilan justru menerapkan kehidupan liberal. Liberalisme merupakan nilai sistem antirasialisme kepada Pribumi di Hindia ataupun gagasan yang menyertai peradaban Eropa Belanda. Bahkan, untuk golongan Tionghoa (Belanda) hadir di Nusantara. Ilmu pengetahuan yang memiliki forum privilegiattum tidak dapat modern merupakan unsur peradaban Barat yang menghadapi Pengadilan Putih, Pengadilan Eropa hegemonik sehingga diterima Pribumi. Berikut (lihat pula Bumi Manusia hlm. 417—418; 426). data yang menunjukkan perkembangan ilmu Seiring dengan perkembangan zaman, pengetahuan yang memicu terjadinya benturan terjadi perubahan dalam budaya Jawa setelah tradisi Barat dan Timur. datangnya bangsa Eropa. Kehidupan seni Salah satu hasil ilmu pengetahuan yang tak pertunjukan tayub masih berlangsung dalam habis habis kukagumi adalah percetakan, acara resmi ataupun upacara pernikahan. Pada terutama zincografi. Coba orang sudah dapat awal kiprahnya seorang penari tayub menjadi memperbanyak potret berpuluh ribu lembar idaman setiap gadis Jawa. Para penari diiringi dalam sehari. Gambar pemandangan, orang musik gamelan untuk mendukung pertunjukan besar dan penting, mesin baru, gedung-gedung dan melayani permintaan peminatnya untuk pencakar langit Amerika, semua dan dari diajak menari. seluruh dunia—kini dapat aku saksikan sendiri dari lembaran-lembaran kertas cetak … (Bumi Pada jam sembilan malam pesta untuk Manusia, 2010: 12). penduduk kampung dimulai dengan terdengarnya gamelan Jawa-Timuran: tayub. Kepercayaan Minke terhadap Antara sebentar terdengar derai sorak- ilmu pengetahuan Eropa adalah wujud sorai. Para pendekar anak buah Darsam pengorganisasian untuk merebut kekuasaan telah diperintahkan menjaga agar tak ada melalui pengarahan pikiran terhadap kemampuan terjadi kerusuhan atau perkelahian. Dan tuak rasionalitas manusia. Kepercayaan rasional disediakan, mengalir tiada putusnya (Bumi 188 189 Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 183—193 sebenarnya kandungan isi dan visi runtutan Bunda Minke pun mengingatkannya untuk perubahan pencerahan di Hindia Belanda. berpegang teguh pada bangsa sendiri, menjaga Namun, semangat meyakini kebangkitan filsafat keislamannya, dan melaksanakan ibadah pencerahan (aufklarung), mengalami benturan dengan baik: “… kau seorang Jawa yang patut dengan tradisi pribumi Hindia yang masih dan baik. Leluhurmu Islam …”. Orang Eropa mengukuhi kekuatan di luar akal sehat manusia. sebenarnya juga mengakui adanya takhayul ilmu Keyakinan dan pandangan hidup Pribumi Jawa pengetahuan yang ditemukan dengan menutupi di akhir abad ke-19 hanya direfleksikan melalui kelemahan wajah bangsa Eropa itu sendiri cerita-cerita pewayangan yang secara faktual (lihat Anak Semua Bangsa, hlm. 102). Sebagai tidak sanggup mengimbangi perkembangan objek orientalisme pandangan Islam menjadi ilmu pengetahuan Barat. Sikap Minke selalu kajian yang mewakili objek Timur sesuai yang membangkitkan diri untuk mengagumi revolusi dimaksud Edward Said. dan gagasan demokrasi Prancis (lihat Bumi Representasi Pribumi dan Kolonial sebagai Manusia, hlm. 13—14).Kehadiran kolonial Konsekuensi Hubungan Terjajah dan Belanda di Hindia membawa peradaban Penjajah: Roman Tetralogi Pulau Buru Barat dalam bentuk ilmu pengetahuan yang Relasi penjajah dan terjajah dalam menjunjung tinggi rasionalitas manusia. pembahasan ini difokuskan pada Minke dengan Dalam kajian religi, bentuk enkulturasi Masyarakat Jawa dan Minke dengan masyarakat roman tetralogi Pulau Buru mengemukakan Eropa. Pengelompokan ini berdasarkan pada Islam sebagai agama yang dipeluk tokoh Minke keunikan budaya yang diungkapan dalam dan keluarganya dan Nyai Ontosoroh. Wacana tetralogi Pulau Buru, bukan pada tokoh keagamaan bagi orang Jawa bukan suatu utama Minke semata-mata. Untuk itu, Minke ortodoksi yang eksklusif. Orang Jawa biasa merepresentasikan sisi yang ganda, yakni Sang menerima berbagai penetrasi agama dari luar. Diri sekaligus “Sang Lain”. Artinya, relasi yang Hal ini yang menyebabkan orang Jawa terbiasa terbangun adalah relasi antara Minke-Bunda, untuk bersikap toleran dengan berbagai ajaran Minke-Trunodongso, dan Minke-masyarakat atau doktrin. Secara komprehensif, Islam tetap Jawa. Di pihak lain, Minke adalah objek, “Sang membawa ajarannya lengkap yang meliputi Lain”, orang yang ditata dan dipandang oleh syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Dengan Barat yang bertindak sebagai subjek, yang berbagai cara agama Islam dapat diterima oleh menata, mengkaji dan memandang. Relasi masyarakat Jawa. penjajah-terjajah, Barat-Timur tampak jelas “…Kau akan pergi ke kota besar, bercampur dalam relasi antara Annelies-Minke, masyarakat dengan segala bangsa. Kau punya bangsa Eropa (Belanda)-Minke, Gubernur Jenderal sendiri. Perlihatkan pada mereka kau seorang Van Heutsz-masyarakat pribumi, dan Herman Jawa yang patut dan baik. Leluhurmu Islam, juga Ayahanda dan Bunda. Jangan sekali-kali Mallema-Nyai Ontosoroh. kau mencoba makan daging babi. Itu larangan Pencitraan sosok Minke (tokoh sentral, paling ringan, Nak …” (Anak Semua Bangsa, roman tetralogi Pulau Buru) tidak lepas dari 2010: 126). Indonesia masa kolonial dan termanifetasi dalam menampilkan Minke sebagai hasil didikan Dengan penyebaran Islam yang sangat Belanda. Pemerintah Belanda—sebagai pihak efektif, banyak orang Jawa, khususnya di daerah koloni atau penjajah—merasa telah mengajarkan jalur pantai utara Jawa, memeluk agama Islam. kebaikan kepada Pribumi dan memosisikan Seperti orang tua Minke yang berasal dari daerah diri sebagai pembawa peradaban bagi bangsa pantai utara Jawa, daerah Blora dan Rembang. jajahan Hindia Belanda. Pada saat bersamaan, Leluhur Minke juga beragama Islam yang pihak Pribumi menerima Minke dengan sikap diyakini pula oleh keluarga secara turun-temurun. ambivalen. Di satu sisi, masyarakat Pribumi 190 191 Puji Retno Hardiningtyas: Oriental: Budaya Indis dalam Tetralogi ... memandang Minke sebagai orang Belanda. Di kesadaran sebagai bangsa terjajah. Menurut sisi lain, masyarakat menerima Minke secara Chisaan (2010: 40—41) kondisi ambang batas taken for granted sebagai pahlawan bangsa (lihat umumnya dialami oleh kalangan terpelajar dan Bumi Manusia, hlm. 184—185). priayi dari bangsa terjajah. Keambangbatasan Relasi hubungan Minke dengan dengan sendirinya memunculkan sikap masyarakat Jawa terbentuk yang termanifestasi kompromi-kritis (ekstrem-frontal). Sikap seperti dalam ambang batas. Kondisi ini juga terjadi itu akan berakibat—di satu sisi—dianggap pada Minke—sebagai priayi dan terpelajar sebagai musuh kolonial, tetapi berpihak pada dari bangsa yang terjajah oleh budayanya dan pribumi. Di pihak lain, Minke dapat dianggap peradaban Eropa. Di satu sisi, Minke dipandang berpihak pada kolonial, tetapi memusuhi sebagai musuh kolonial sekaligus media kolonial. pribumi, bisa juga sebaliknya. Konflik Minke berada pada persimpangan antara Bentuk perlawanan itu, salah satunya jati diri sebagai manusia Jawa dan berambisi dilakukan melalui pendidikan, termasuk Minke yang berorientasi pengetahuan Barat. Dengan yang mengubah dirinya, dengan menghancurkan demikian, di pihak Pribumi, Minke dipandang esensialisme. Minke mencoba menggali tradisi, sebagai “Sang Lain” dan “Sang Diri”. bahasa, sejarah, agama, dan membangun Penjajahan kolonial Belanda datang ulang “sifat otentik” tentang perlawanannya ke Indonesia tidak hanya berhubungan dengan terhada budaya dan pengetahuan Barat. Minke eksploitasi sumber daya manusia dan alam, melakukan ini karena tidak mau mengukur diri tetapi juga konstruksi budaya dan identitas. terhadap norma-norma sebagai the big other, yang Orang Eropa selalu menganggap Timur sebagai menguasai wacana atau membentuk identitas daerah jajahan—Timur dianggap sebagai sumber “aku”. Akan tetapi, dengan menandaskan peradaban Barat dan Timur adalah “yang lain” “keauotentikan” yang notabene artifisial, pada bagi Eropa. Penciptaan stereotipe ini adalah dasarnya kaum yang dijajah tetap berpikir dalam bagian dari proses pengategorisasian “Sang cengkeraman Barat. Lain” yang dibinarioposisikan dengan “Sang Diri” para penjajah yang berupaya membangun PENUTUP citra superior mereka. Perbedaan identitas yang Wacana kolonial menjadi wilayah praktis dicitrakan tidak hanya menyangkut warna kulit, untuk mengkaji masalah pribumi dan kolonial tetapi juga budaya pembentuk identitas tersebut. serta kebudayaan yang melatarbelakanginya. Melalui konstruksi identitas yang distortif dan Hal ini tentu gambaran kolonialisme dalam politis, penjajah berusaha mencapai legitimasi mengontruksi masyarakat pribumi untuk untuk menguasai dan mendominasi koloni. Pada mengikuti kehendak kaum Kolonial dan konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh Said, menciptakan tatanan masyarakat penjajah relasi antara orang Timur—Pribumi—dan orang dengan bertemunya kebudayaan Indis. Bentuk Barat adalah hubungan kekuasaan, dominasi budaya Indis tersebut, diantaranya penggunaan dan kompleksitashegemoni (2010: 2—6). bahasa, alat dan kelengkapan hidup, mata Relasi antara Minke dengan masyarakat Eropa pencaharian, sistem kemasyarakatan, kesenian, tidak begitu kentara menunjukkan oposisi biner ilmu pengetahuan/pendidikan, dan religi yang penjajah-terjajah. bersama-sama diterapkan dalam kehidupan Minke merupakan perwujudan “Sang sehari-hari oleh pribumi dan kaum kolonial Diri” dan “Sang Lain” berpusat pada tiga roman di Hindia Belanda. Dalam kancah stereotip (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak masyarakat pribumi dan bangsa Eropa, tidak Langkah) dan bentuk simbolisme poskolonial. lepas dari subjek terjajah. Wacana kolonial Minke adalah tokoh yang mengalami kondisi menarasikan masyarakat pribumi dan ambang batas dalam proses transformasi kolonialsehingga mereka dapat menjadi “Sang 190 191 Sawerigading, Vol. 20, No. 2, Agustus 2014: 183—193 Lain” dan “Sang Diri” yang terwujud melalui Bhabha, Homi. K. l994. The Location of Culture. aplikasi budaya Indis. Bahkan, adanya relasi London: Routledge. penjajah dan terjajah sebagai bentuk identitas Budiman, Manneke. 2008. “Masalah Sudut hibrida bangsa terjajah. Penjajah memiliki konsep Pandang dan Dilema Kritik Poskolonial”. identitas diri yang berhak menyubjektivasi dan Dalam Sastra Indonesia Modern Kritik memberadabkan terjajah. Sebaliknya, terjajah Postkolonial (Penyunting Keith Foulcher harus melawan karena adanya naluri alami untuk dan Tony Day). Jakarta: Yayasan Obor mempertahankan identitasnya. Indonesia dan KITLV. Sebagai objek kajian, karya sastra tetralogi Chisaan, Choirotun. 2010. “Dalam Himpitan Pulau Buru tidak menutup kemungkinan Feodalisme dan Kolonialisme: Membaca penafsiran dan pemerian makna lain pada Ulang Kartini Melalui Lensa Pramoedya penelitian ini, dengan sudut pandang yang Ananta Toer”. Dalam Ambivalensi Post- berbeda, baik teori maupun metode. Kajian Kolonialisme Membedah Musik sampai terhadap budaya masyarakat Indonesia dapat Agama di Indonesia. Editor Budiawan. dilakukan peneliti lain sehingga pengetahuan Yogyakarta: Jalasutra. dan pemahaman unsur kebudayaan Indonesia Day, Tony dan Keith Foulcher. 2008. “Bahasan memberi wawasan bagi masyarakat Indonesia. Poskolonial dalam Sastra Indonesia Modern”. Dalam Sastra Indonesia Modern DAFTAR PUSTAKA Kritik Postkolonial (Penyunting Keith Foulcher dan Tony Day). Jakarta: Yayasan Arimbi, D.A. 2002. “Mimikri: Dialektika dalam Obor Indonesia dan KITLV. Tetralogi Pulau Buru Ditinjau dari Studi Djokosujatno, Aspanti. 2004. Membaca Wacana Poskolonial”. Laporan Penelitian, Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Universitas Airlangga. Surabaya: Ananta Toer. Magelang: Indonesiatera. Departemen Pendidikan Nasional. Foulcher, Keith. 1999. “Mimikri Sitti Nurbaya: Asmara, Adhy. 1981. “Analisa Ringan Kemelut Catatan untuk Faruk”. Kalam, Edisi 14, Roman Karya Buru BumiManusia Karya hlm. 15. Pramoedya Ananta Toer”. Dalam Analisa Hardiningtyas, Puji Retno. 2011. “Resistansi Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Budaya Jawa dalam Roman Tetralogi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Yogyakarta: Nur Cahaya. Toer”. Dalam Prosiding Kekayaan Budaya Baay, Reggie. 2010. Nyai & Pergundikan di dalam Bahasa Ibu. Editor Muh. Abdul Hindia Belanda. Terjemahan Siti Hertini Khak, dkk. Bandung: Balai Bahasa Adiwoso. De Njai: Het Concubinaat in Bandung dan Penerbit ITB. Nederlands-Indië. Jakarta: Komunitas __________. 2012. “Wacana Pribumi dan Bambu. Kaum Kolonial dalam Roman Tetralogi Bahari, Razif. 2007. Pramoedya Poscolonially: Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta (Re-) Viewing History, Gender and Identity Toer”. Tesis, S-2, Konsentrasi Wacana in The Buru Tetralogy. Denpasar: Pustaka Sastra, Jurusan Linguistik, Pascasarjana Larasan. Universitas Udayana. Denpasar: Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Universitas Udayana. Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan Terjemahaan Harviyah Widiawati dan di Hindia Belanda. Terjemahan Mien Evi Setyarini. Beginning Theory: An Joebhaar. Adjustment and Discontent. Introduction to Literary and Cultural Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Theory. Yogyakarta: Jalasutra. Keeler, Ward. 2008. “Durga Umayi dan Dilema 192 193
Description: