ebook img

bab iv asal usul dosa dalam perspektif ajaran hindu dan islam PDF

32 Pages·2008·0.12 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview bab iv asal usul dosa dalam perspektif ajaran hindu dan islam

BAB IV ASAL USUL DOSA DALAM PERSPEKTIF AJARAN HINDU DAN ISLAM A. Asal Usul Dosa dalam Ajaran Islam dan Hindu Agama Hindu mengajarkan, bahwa hakikat manusia adalah sama dengan Brahman, sebab manusia adalah sebagian dari pada Brahman atau Brahman seutuhnya. Brahman ini menjelmakan diri di dalam perorangan atau mengindividualisir dirinya sendiri. Oleh karena itu maka jiwa manusia pada dirinya adalah murni dan bersih, tanpa cacat dan cela. Dosa disebabkan benda, prakrti,1 maka jiwa manusia disilaukan, sehingga tidak tahu bahwa dunia ini adalah maya, semu saja. Prakrti sendiri telah mengandung di dalamnya nafsu- nafsu, yang dihubungkan dengan indera manusia serta dengan unsur yang bermacam-macam dari dunia ini. Karena persekutuannya dengan prakrti itulah maka jiwa dijalinkan ke dalam banyak khayalan. Hal ini mengakibatkan bahwa tiap langkah yang dilakukan adalah salah.2 Menurut ajaran Islam, manusia bukanlah makhluk yang terlahirkan dengan berlumuran dosa waris, melainkan dengan kemampuan-kemampuan fitrah yang suci.3 menurut Agama Islam gagasan yang terkuat ialah, bahwa jiwa manusia, ketika ia dilahirkan, adalah bersih, seperti kertas yang belum ditulisi. Jikalau ada kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat dosa hal itu disebabkan karena nafsunya yang jahat yang menjadikan orang takabur dan sombong. Ada sebagian pendapat menganggap dosa berasal dari nafsu yang jahat, sementara dalam perspektif ajaran Hindu, dosa muncul dan berkembang 1Prakrti = asas badani (materi/jasmani), benda = matter. Djam'annuri (ed), Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, hlm. 56. Syahrin Harahap, Sejarah Agama-Agama, Pustaka Widyasarana, Medan, 1994, hlm. 107. 2Harun Hadiwijono, Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 226-227 3M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Gorlden Trayon Press, Jakarta, 1990, hlm. 211 67 68 bermula dari benda, Prakrti, maka jiwa manusia disilaukan hingga tidak tahu bahwa dunia ini maya, semu saja. Prakrti sendiri telah mengandung di dalamnya nafsu-nafsu yang dihubungkan dengan indra manusia serta dengan unsur-unsur yang bermacam-macam dari dunia ini. Istilah "nafsu" itu agaknya berasal dari perbendaharaan al-Qur'an. la berasal dari kata nafs. Tetapi kata ini, dalam Kitab Suci, mengandung arti berbeda. Hanya saja, ketika telah menjadi kata Indonesia, maknanya berubah dari aslinya. Tetapi kaitan keduanya tetap ada dan pengaitannya tetap berguna dalam analisis. Dalam al-Qur'an, nafs dan jamaknya, anfus dan nufus, diartikan sebagai "jiwa" (soul), "pribadi" (person), "diri" (self atau selves), "hidup" (life), "hati" (heart) atau "pikiran" (mind), di samping dipakai untuk beberapa arti lainnya.4 Dalam literatur tasawuf, nafsu dikenal memiliki delapan kategori, dari kecenderungan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ke tingkat kedekatan kepada kelembutan ilahi: a. An-Nafsu al-'Ammarat bi as-Su', yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan dengan nafsu yang cenderung kepada keburukan. Hal ini ditegaskan surah Yusuf ayat 53: ...ﺀِﻮﺴ ﻟﺎﺑِ ﺓﹲﺭﺎﻣﻷَ ﺲ ﻔﹾﻨﻟﺍ ﱠﻥﺇِ ﻲﺴِ ﻔﹾﻧ ﺉ ﺮﺑﺃﹸ ﺎﻣﻭ Artinya: ("Dan aku [Nabi Yusuf] tidak melepaskan diri dari tanggungjawab [atas kesalahan] karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh [cenderung] kepada keburukan")…(Q.S. Yusuf: 53).5 Nafsu pada kategori ini belum mampu membedakan yang baik dan yang buruk, belum memperoleh tuntutan tentang manfaat dan mafsadat (kerusakan), semua yang bertentangan dengan keinginannya dianggap 4Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep- Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 2002, hlm. 250 5Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara, Surabaya, 1993, hlm. 357 69 musuh, sebaliknya setiap yang sejalan dengan kemauannya adalah karibnya. Dalam tindakan nyata dapat dilihat selalu khianat, enggan menerima nasihat dan saran. Sebaliknya gembira menerima bisikan iblis dan setan yang menunjukkan jalan buruk dan terkutuk. Terhadap nafsu dalam kategori ini Allah SWT memperingatkan agar tidak diikuti, sebab ia akan menyesatkan, dan setiap yang sesat akan mendapat azab yang berat (QS.Shaad 38:26). Bahkan mengikuti nafsu ini digambarkan akan mengakibatkan hancurnya langit dan bumi dengan segala isinya (QS. Al- Mu'minun 23:71). b. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaran. la tidak berani melakukan pelanggaran secara terang-terangan dan tidak pula mencari cara secara gelap untuk melakukan sesuatu karena ia telah menyadari akibat-akibat dari perbuatannya. Namun ia belum mampu mengekang nafsu yang membawa kepada perbuatan buruk itu. Oleh karena itu, ia masih selalu dekat kepada pekerjaan yang mafsadat. Kategori nafsu ini dengan segala sifat-sifatnya oleh para sufi didasarkan pada empat firman Allah SWT, masing-masing: surah al-Qiyamah ayat 1-2: 2 1 { } ﺔِﻣﺍﻮﻠﱠﻟﺍ ﺲِ ﻔﹾﻨﻟﺎﺑِ ﻢﺴِ ﻗﹾﹸﺃ ﺎﻟﹶﻭ { } ﺔِﻣﺎﻴﻘِﻟﹾﺍ ﻡِﻮ ﻴﺑِ ﻢﺴِ ﻗﹾﹸﺃ ﺎﻟﹶ Artinya: Aku (Allah) bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q.S. al-Qiyamah: 1-2).6 demikian juga pada ayat 14-15: 15 14 { } ﻩﺮﻳﺫِﺎﻌﻣ ﻰﻘﹶﻟﹾﺃﹶ ﻮ ﻟﹶﻭ { } ﺓﹲﲑ ﺼِ ﺑ ﻪِﺴِ ﻔﹾﻧ ﻰﻠﹶﻋ ﹸﻥﺎﺴ ﻧﺈِﻟﹾﺍ ﻞِ ﺑ 6Ibid., hlm. 998. 70 Artinya: Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya (Q.S. al- Qiyamah: 14-15)7 Pada tingkat ini seseorang, jika telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan yang buruk, menjadi insyaf dan menyesal, dan seterusnya mengharap agar kejahatannya tidak terulang lagi dan semoga dia memperoleh ampunan. Pada dirinya telah tumbuh bibit pikiran dan kesadaran, bahkan disebut bahwa nafsu inilah yang akan menghadapi perhitungan kelak pada hari kiamat. c. Nafsu al-MusawwaIah, yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun baginya mengerjakan yang baik itu sama halnya dengan melakukan yang buruk. la melakukan perbuatan buruk meskipun tidak dengan terang-terangan tetapi dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi, karena sifat malu telah ada padanya. Namun malu yang muncul itu baru merupakan malu terhadap orang lain, belum atas kesadarannya sendiri. la malu kalau orang lain mengetahui keburukannya atau kejahatan yang dilakukannya. Kategori ini masih berada pada posisi dekat dengan keburukan, sebab Allah SWT secara jelas melarang manusia untuk mencampuradukkan yang hak dengan yang batil (QS. Al-Baqarah 2:42), dan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang dirahasiakan dan apa yang dilahirkan, dan mengetahui pula apa saja yang diusahakan hamba-hambanya (OS. Al-An- Aam 6:3; 2:77). d. Nafsu al-Mutma'innah, yaitu yang telah mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik. la mendatangkan ketenteraman jiwa, melahirkan si kap dan perbuatan yang baik, mampu membentengi serangan kekejian dan kejahatan, dan mampu memukul mundur segala kendala dan godaan yang mengganggu ketenteraman jiwa, bahkan ketenangan jasmaniah terutama dengan zikir kepada Allah. la berfungsi mendorong melakukan kebajikan dan mencegah berbuat kejahatan. 7Ibid., hlm. 999. 71 Posisi nafsu ini secara jelas digambarkan Allah SWT dalam surat ar-Ra'd ayat 28 dan 29: ﻦ ﺌِﻤ ﻄﹾ ﺗ ﻪِﻠﹼﻟﺍ ﺮِﻛﹾ ﺬِ ﺑِ ﻻﹶ ﺃﹶ ﻪِﻠﹼﻟﺍ ﺮِﻛﹾ ﺬِ ﺑِ ﻢﻬﺑﻮﻠﹸﻗﹸ ﻦ ﺌِﻤ ﻄﹾ ﺗﻭ ﺍﹾﻮﻨﻣﺁ ﻦ ﻳﺬِ ﻟﱠﺍ 28 { } ﺏ ﻮﻠﹸﻘﹸﻟﹾﺍ Artinya: orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram" (Q.S. ar-Ra'd: 28).8 29 { } ﺏٍ ﺂﻣ ﻦﺴ ﺣﻭ ﻢ ﻬﻟﹶ ﻰﺑﻮﻃﹸ ﺕِ ﺎﺤ ﻟِﺎﺼ ﻟﺍ ﺍﹾﻮﻠﹸﻤِ ﻋ ﻭ ﺍﹾﻮﻨﻣﺁ ﻦ ﻳﺬِ ﻟﱠﺍ Artinya: Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik" (Q.S ar-Ra'd: 29).9 Nafsu di sini telah mapan dan tidak terganggu lagi oleh gairah, sehingga dapat secara khusyuk memenuhi keyakinannya. d. Nafsu Mulhamah, yaitu nafsu yang memperoleh ilham dari Allah SWT, dikaruniai ilmu pengetahuan. Ia telah dihiasi akhlaq mahmudah (akhlak yang terpuji), dan ia merupakan sumber kesabaran, ketabahan dan keuletan. Pada tingkat nafsu itu telah terbuka kepada berbagai petunjuk (ilham) dari Allah SWT. Dengan itu pula seseorang telah memiliki sifat- sifat yang menunjukkan kepribadian yang kuat, sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dalam surah as-Syams ayat 7-10: 8 7 ﺢ ﻠﹶﻓﹾﺃﹶ ﺪ ﻗﹶ { } ﺎﻫ ﺍﻮﻘﹾﺗﻭ ﺎﻫ ﺭﻮﺠ ﻓﹸ ﺎﻬﻤ ﻬﻟﹾﺄﹶﻓﹶ { } ﺎﻫ ﺍﻮﺳ ﺎﻣﻭ ﺲٍ ﻔﹾﻧﻭ 10 9 { } ﺎﻫ ﺎﺳ ﺩ ﻦﻣ ﺏ ﺎﺧ ﺪ ﻗﹶﻭ { } ﺎﻫ ﺎﻛﱠ ﺯ ﻦﻣ 8Ibid., hlm. 373 9Ibid., 72 Artinya: dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Q.S. as-Syams: 7-10).10 e. Nafsu Radiyah, yaitu nafsu yang rida kepada Allah SWT, yang mempunyai peran yang penting mewujudkan kesejahteraan. Nafsu ini dalam realisasinya sering kali muncul dalam bentuk tindakan-tindakan, misalnya ia selalu mensyukuri nikmat Allah SWT, sebab Allah SWT menjanjikan tambahan nikmat bagi mereka yang bersyukur kepada nikmat-nikmat Allah SWT, dan sebaliknya diberi azab mereka yang tidak mensyukuri nikmat itu (QS. Ibrahim 14:7). ﻲﺑِﺍﺬﹶ ﻋ ﱠﻥﺇِ ﻢ ﺗﺮﻔﹶﻛﹶ ﻦﺌِﻟﹶﻭ ﻢ ﻜﹸ ﻧﺪ ﻳﺯِﻷَ ﻢ ﺗﺮﻜﹶ ﺷ ﻦﺌِﻟﹶ ﻢ ﻜﹸ ﺑﺭ ﻥﹶ ﱠﺫﺄﹶﺗ ﺫﹾﺇِﻭ 7 { } ﺪ ﻳﺪِ ﺸ ﻟﹶ Artinya: Dan tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah kepadamu, dan jika kamu mengingkari , maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (Q.S. Ibrahim: 7).11 Nafsu ini akan menjadikan seseorang rida dalam melaksanakan segala perintah Allah SWT, dan secara ikhlas pula menjauhi larangannya. Senantiasa qanaah atau merasa cukup/memadai pemberian Allah SWT. f. Nafsu Mardiyah, yaitu nafsu yang mencapai rida Allah SWT. Keridaan tersebut terlihat pada anugerah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan, sementara kemuliaan yang diberikan Allah SWT itu bcrsifat universal, artinya jika Tuhan memuliakannya, siapa pun tidak akan bisa menghinakannya, demikian pula sebaliknya orang yang dihinakan oleh 10Ibid., hlm. 1064 11Ibid., hlm. 380 73 Allah SWT, siapa pun tidak bisa memuliakannya. Dua kategori nafsu tersebut terakhir, yakni nafsu radiyah dan mardiyah, oleh para sufi didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Fajr ayat 27-28: 28 27 { } ﺔﹰﻴﺿِ ﺮﻣ ﺔﹰﻴﺿِ ﺍﺭ ﻚِ ﺑﺭ ﻰﻟﹶﺇِ ﻲﻌِﺟِ ﺭ ﺍ { } ﹸﺔﻨﺌِﻤ ﻄﹾ ﻤﻟﹾﺍ ﺲ ﻔﹾﻨﻟﺍ ﺎﻬﺘﻳﺃﹶ ﺎﻳ Artinya: Hai jiwa yang tenang, kembalikan kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya." Hamba yang diridai akan dimasukkan ke dalam surga-Nya (Q.S al-Fajr: 27-28).12 g. Nafsu Kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cakap untuk mengerjakan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT. Orangnya dapat disebut sebagai mursyid dan mukammil (orang yang menyempurnakan) atau insan kamil, yang dalam pengalaman para sufi telah mencapai tajjali (terbuka, tak bertabir), asma' wa as- sift (nama dan sifat), baqa' illah (berada bersama Allah), fana fillah (hancur dalam Allah), ilmunya ilmu ladunni minallah (ilmu anugerah Allah). Dalam taraf ini jiwa orang itu telah demikian dekat dengan Allah SWT, bahkan mereka sudah merasakan diri menyatu dengan Allah SWT, suatu pengalaman luar biasa yang pernah dilalui para sufi, misalnya al- Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami. Dengan demikian nafsu sebagai suatu unsur rohani manusia pada tingkat tertentu dapat diarahkan kepada perbuatan baik dan pada tingkat tertentu pula manusia bisa dirongrong dan digoda hawa nafsu sehingga berbuat dosa. B. Perbedaan Ajaran Dosa dalam Agama Hindu dan Islam Dalam perspektif Islam dan Hindu, bahwa orang yang melakukan perbuatan dosa dapat berpengaruh pada pisik dan psikhis si pelaku, dan pengaruh tersebut bukan hanya terletak pada hubungan vertikal dengan Tuhan melainkan juga berpengaruh dalam hubungan horisontal antara sesama 12 Ibid., hlm. 1059 74 manusia. Dalam hubungan hablum minallah, pengaruhnya yaitu si pelaku pendosa menjadi jauh dengan Tuhan. Sedangkan dari aspek hablum minannas yaitu si pelaku pendosa menjadi kurang peka terhadap fenomena sosial. Persamaan lainnya bahwa kedua agama besar tersebut mengenal istilah dosa besar dan dosa kecil. Adapun persamaan yang lebih prinsip yaitu terletak pada adanya pengakuan yang sama bahwa nafsu bisa menimbulkan dosa tetapi juga bisa menimbulkan pahala. Bila nafsu yang ada dapat dijinakkan maka nafsu mendatangkan pahala, karena jihad yang besar adalah mampunya seseorang menahan nafsu. Sedangkan bila nafsu yang mengendalikan orang itu maka orang tersebut akan terus berada dalam dosa. Adapun perbedaannya bahwa dalam agama Islam, orang yang selalu mengerjakan dosa berakibat mendapat siksa neraka. Perbuatan dosa dapat berakibat kepada diri pribadi pelakunya (QS. Al-Jaatsiyah 45: 15). Artinya seseorang yang melakukan perbuatan dosa atau melanggar hukum syariat, di akhirat akan dijerumuskan dalam api neraka. Apabila yang dilakukan itu perbuatan pidana, maka di dunia orang tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya, seperti hukuman qisas (Pembunuhan), potong tangan, dera, dan lain-lain. Fukaha dan sufi berpendapat bahwa secara psikologis orang yang melakukan dosa tidak merasa aman dan tenteram hidupnya, karena ia berusaha menutup-nutupinya, khawatir dosanya akan diketahui oleh orang lain. Selain itu, perbuatan dosa juga berdampak kepada masyarakat atau lingkungan. Semua bentuk kejahatan atau dosa, baik langsung maupun tidak langsung, akan merusak kemaslahatan masyarakat. seperti pencurian. Pembunuhan, kebohongan, pengumpatan, prasangka. tuduhan menuduh, marah, dengki, ria, tamak, sombong, iri hati, dan sebagainya. Apabila perbuatan dosa telah merajalela, yaitu pelanggaran telah terjadi di segala sektor kehidupan manusia, akibatnya terjadi kekacauan dan kehancuran. Banyak contoh pada masa lain yang menunjukkan bahwa kehancuran sebuah negeri atau kerajaan terjadi karena penyimpangan dan penyelewengan atau perbuatan dosa yang merajalela. Allah SWT bukan hendak menganiaya manusia, melainkan 75 mereka yang menganiaya diri mereka sendiri dengan mengerjakan kejahatan sampai melampaui batas sehingga mereka memikul akibatnya (QS. Al- Baqarah 2:57, al-A'raf 7:160, dan at-Taubah 9:70). Hukuman itu juga untuk menjadi peringatan dan pengajaran bagi yang lain di masanya atau sesudahnya. Kaum Samud (suku bangsa Arab yang sudah punah, yang diperkirakan hidup pada abad ke-8 SM) dan umat Nabi Luth AS diazab karena kedurhakaan atau dosa yang mereka lakukan, begitu juga umat Nabi Nuh AS yang ditenggelamkan. Dalam surah al-An 'am (6) ayat 65 Allah SWT berfirman: "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada (sebagian) kamu keganasan sebagian yang lain..." Di samping itu, masih banyak macam hukuman yang ditimpakan Allah SWT kepada kaum yang mengerjakan dosa, ada yang diserang oleh angin kencang, letusan yang hebat. ada pula yang ditelan bumi dan ditenggelamkan di laut (QS. al-Ankabut 29:40). Di hari kiamat nanti orang yang berdosa dikumpulkan dengan muka yang biru muram (QS. Thaahaa 20:102), di samping itu juga merasa ketakutan melihat isi buku amalannya karena di situ dosa dari perbuatan yang kecil dan yang besar bertemu semua (QS. al-Kahfi 18:49). Adapun dalam ajaran Hindu bahwa manusia ada dalam lingkaran Karma, Samsara dan Moksha.13 Oleh sebab itu dalam pandangan ajaran agama Hindu bahwa akibat dosa maka manusia akan merasakan lingkaran Karma dan Samsara. Sebagaimana diketahui bahwa hidup setiap manusia di dunia menurut ajaran agama Brahma/Hindu dikuasai senantiasa oleh tiga kemestian: (1). Karma, yakni memikul akibat atas setiap sikap dan laku dan perbuatan dalam kehidupan duniawi. Setiap sesuatunya punya karma, yakni akibat. 13Josoef Sou'yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1996), hlm. 79. 76 (2). Samsara, yakni hidup berulang kembali ke dunia disebabkan akibat dari kehidupan duniawi pada masa sebelumnya masih saja belum murni. (3). Moksha, yakni satu-satunya jalan bagi membebaskan diri dari karma dan samsara itu ialah memurnikan kehidupan duniawi dengan mengenali Dia dan menyatukan diri ke dalam Dia.14 Hidup setiap orang senantiasa berada dalam lingkaran karma dan samsara itu. Kelahiran kembali pada masa berikutnya mungkin pada tingkatan makhluk lebih rendah dan mungkin pula pada tingkatan makhluk lebih tinggi. Semuanya itu tergantung pada karma kehidupan duniawi dari seseorang dan merupakan penderitaan yang terus menerus menjelang tercapai kebebasan sepenuhnya dari karma dan samsara itu. Lingkaran kehidupan serupa itu disebabkan purusharta, yakni tujuan- tujuan kehidupan yang dikejar seseorang. Pada garis-besarnya purusharta itu terbagi atas tiga macam : 1. Artha, yakni mengejar kekayaan dan kemakmuran dalam hidupnya bagi kesenangan duniawi. 2. Kama, yakni mengejar kepuasan segala ragam keinginan, kepuasan segala macam kesenangan syahwat. 3. Dharma, yakni mengutamakan din dalam pekerjaan-pekerjaan penuh kebajikan dan kebaktian.15 C. Signifikansi Ajaran Dosa Bagi Umat Hindu dan Islam Dalam perspektif Islam, cara menghapus dosa adalah dengan berbuat kebajikan dan bertobat. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti analisis di bawah ini. Dalam Islam, dosa-dosa kecil itu dapat dihapuskan oleh ibadah-ibadah seperti salat lima waktu, salat Jumat, dan puasa Ramadan. Nabi SAW bersabda: "Antara salat fardu sampai salat fardu lainnya, dan antara salat Jumat sampai salat Jumat lainnya, serta antara puasa Ramadan sampai puasa 14Ibid, hlm. 53 15Ibid, hlm. 53-54

Description:
"Apabila aku melakukan perbuatan maksiat, aku melihat akibatnya pada tingkah laku istriku dan binatang piaraanku yang tidak mau mematuhiku.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.