BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARI`AH, MUDHARABAH DAN AGUNAN A. Ketentuan Umum Tentang Perbankan Syari`ah 1. Pengertian Perbankan Syari`ah Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).29) Perbankan Syari`ah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking atau juga disebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan kata Islamic tidak dapat dilepaskan dari asal mula sistem perbankan syariah itu sendiri. Bank Syari`ah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonomi dan praktisi perbankan muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip Syari`ah Islam. Utamanya adalah berkaitan dengan pelanggaran praktik kegiatan maisir (spekulasi), gharar (ketidak jelasan), dan riba. 29) Tim Pengembangan Perbankan Syariah Istitut Bankir Indonesia, Bank Syariah : Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 17. repository.unisba.ac.id Istilah Syari`ah berasal dari bahasa Arab yang berarti “Jalan menuju sumber kehidupan”, yang secara hukum Islam diartikan sebagai hukum atau peraturan yang ditentukan Allah SWT untuk hamba-Nya sebagaimana yang terkandung didalam Al-Qur’an dan diterangkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam bentuk sunnah (hadis).30) Secara teknis yuridis, harus dibedakan antara istilah Perbankan Syari`ah dengan Bank Syari`ah. Bank Syari`ah adalah bagian dari Perbankan Syari`ah selain dari Unit Usaha Syariah (UUS), sedangkan Bank Syari`ah terdiri atas Bank Umum Syari`ah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari`ah (BPRS). Dalam Undang- Undang Perbankan Indonesia (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998) membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.31) Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah, Bank Syari`ah itu adalah : “Bank Syari`ah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syari`ah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari`ah dan Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari`ah, menyatakan: 30) Widya Ningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007, hlm. 4. 31) Abdul Gofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm.5. repository.unisba.ac.id “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Prinsip Syari`ah, adalah prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang perbankan syariah. Lembaga yang dimaksud, yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang Perbankan Syari`ah adalah Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).32) Secara umum, pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip Syari`ah Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut identitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest-free bank), bank tanpa riba (lariba bank), dan bank syariah (Shari‟a Bank). Indonesia sendiri secara teknis yuridis, penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syari`ah” atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syari`ah”.33) Pengertian Bank Syari`ah dapat ditinjau dari pendapat para ahli, yaitu sebagai berikut: Warkum Sumitro:34) “Bank Islam berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah secara Islam, yakni dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di dalam operasionalisasinya Bank Islam harus mengikuti dan atau berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasululloh, bentuk- bentuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh 32) Ibid, hlm.7. 33) Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, hlm.35. 34) Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan di Indonesia dan Lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.5. repository.unisba.ac.id Rasululloh atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari ketentuan Al- Qur’an dan Al-Hadits”. Muhamad: 35) “Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syari`ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW”. Karnaen A. Perwataatmadja dan H.M. Syafii Antonio: 36) Bank Islam atau Bank Syari`ah adalah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari`ah dan tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan Al-Qur’an dan Hadits. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, bank yang operasinya berdasarkan prinsip syariah tersebut secara teknis yuridis disebut “bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil”. Dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan terbaru, yaitu Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, istilah yang dipakai adalah “Bank Berdasarkan Prinsip Syari`ah”, karena operasinya berpedoman pada ketentuan- ketentuan syariah Islam, maka bank Islam disebut pula “Bank Syariah”. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1angka 3 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998: “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” 35) Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari‟ah, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm.13. 36) Karnaen Perwaatmadja dan M. Syafii Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, PT. Dana Bhakta Wakaf, Yogyakarta, 1997. hlm. 14. repository.unisba.ac.id Pengertian dari prinsip syariah sendiri termuat dalam Pasal 1 angka 13, yaitu : “Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari`ah.” Berdasarkan pengertian Bank Islam yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Bank Islam atau Bank Syari`ah adalah badan usaha yang fungsinya sebagai penghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana kepada masyarakat, yang sistem dan mekanisme kegiatan usahanya berdasarkan hukum Islam sebagaimana yang diatur di dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits. Bank Islam diperkenankan untuk mengeluarkan produk, jasa dan kegiatan usaha perbankan yang baru, dimana sebelumnya belum ada atau tidak dikenal pada zaman Rasululloh, asalkan hal itu tidak bertentangan atau selaras dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pada Bank Islam umumnya dibentuk suatu lembaga pengawas yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa, dan kegiatan usaha Bank Islam tersebut, agar tidak berlawanan dengan Al-Qur’an dan Al- Hadits. Lembaga pengawas inilah yang akan memberikan fatwa kepada bank yang bersangkutan. Prinsip syariah yang dimaksud adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Menurut Pasal 2 Undang- repository.unisba.ac.id Undang Nomor 21 Tahun 2008 dinyatakan bahwa kegiatan bank syariah harus berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Dalam Penjelasan Pasal 2 tersebut dikemukakan: “Kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur :37) a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan pada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. Gharar, yitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainya.” Mengenai transaksi dibidang muamalah yang sesuai dengan prinsip hukum Islam diatas, pada dasarnya setiap kegiatan transaksi diperbolehkan, kecuali terdapat dalil Al-Qur’an ataupun sunnah Rasulullah SAW yang melarangnya (baik secara eksplisit maupun implisit). Ini berarti apabila dalam perkembangan kegiatan muamalah ditemukan suatu transaksi baru yang belum dikenal 37) Adiwarman Karim, Op. Cit., hlm. 30-49 repository.unisba.ac.id sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali bila ada sebagian atau keseluruhan unsurnya yang dinyatakan terlarang oleh syariah. Bank syariah memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan bank konvensional, salah satunya dengan adanya akad. Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarka hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.38) Ketentuan rukun akad dari transaksi bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Rukun akad dalam bank syariah adalah : 1) Penjual; 2) Pembeli; 3) Barang; 4) Harga; 5) Akad/ ijab qabul. Syarat dari pelaksanaan transaksi bank syariah juga berbeda dari bank konvensional. Syarat pelaksanaan transaksi dalam perbankan syariah yaitu: 1) Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah; 2) Harga barang dan jasa harus jelas (telah ditetapkan); 38) Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hlm.29. repository.unisba.ac.id 3) Tempat penyerahan (delivery) harus jelas, karena berdampak pada biaya transportasi; 4) Barang objek transaksi harus sepenuhnya berada dalam objek kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi short sale yang terjadi dalam pasar modal 2. Dasar Hukum Perbankan Syari`ah Bank syariah didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam. Filosofi dan dasar Perbankan Syari`ah meliputi tiga aspek, yaitu produktif, adil, dan memiliki akhlak atau moralitas usaha. Produktif berarti harta yang dipergunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan, karenanya harta juga tidak boleh menganggur dan diperkenankan memperoleh laba. Sedangkan adil berarti dilarangnya riba dan diharuskan melakukan pembagian hasil dan risiko. Akhlak dan moralitas usaha meliputi larangan investasi pada usaha maksiat dan merusak lingkungan serta larangan berspekulasi.39) Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam tiga tahap, antara lain : a. Tahap Pertama Surat Ar Ruum ayat 39:40) “Dan apa yang kamu berikan sebagai tambahan (riba) untuk menambah harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan yang 39) Mewujudkan Kesetaraan dan Keaadilan Perbankan, Peluang Bank Syariah. “Media Indonesia” 28 Mei 2001. 40) Departemen Agama Republik Indonesia, Al – Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta, 2008. repository.unisba.ac.id kamu berikan zakat karena mengharap keridhaan Allah, maka mereka (yang memberikan zakat itu) melipatgandakan pahalanya. b. Tahap Kedua Surat An Nisa ayat 161: “Dan karena mengambil (memakan hasil) riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang (melakukan) dan karena mereka memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang – orang yang kafir diantara mereka azab yang berat sekali”. c. Tahap Ketiga Surat Al – Baqarah ayat 275: “Orang – orang yang memakan harta riba, tidaklah sanggup berdiri melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syaitan. Demikian itu karena mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari`ah (selanjutnya ditulis dengan Undang-Undang Perbankan Syari`ah), maka landasan hukum Bank Syari`ah telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaan maupun lembaga operasionalnya. Bank Syari`ah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk nol persen (peniadaan bunga sekaligus). Walaupun demikian kesempatan ini belum termanfaatkan karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor bank baru. Hal ini berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi Perbankan Syari`ah semakin pasti setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Nomor 7 repository.unisba.ac.id Tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil. Terbitnya Peraturan Pemeritntah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, maka jalan bagi operasional perbankkan syariah semakin luas. Kini titik kulminasi telah tercapai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan Bank Syari`ah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi sistem syari`ah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini sekaligus menghapus Pasal 6 pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 yang melarang dual system bank. Dengan tegas Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syari`ah melalui:41) a. Pendirian kantor cabang atau dibawah kantor cabang baru; atau b. Pengubahan kantor cabang atau dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari`ah. 41) Rachmadi Usman, Aspek – Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.15. repository.unisba.ac.id
Description: