BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LATIHAN FISIK Saat latihan fisik akan terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu lagi meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang latihan. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh cardiac output, kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), cardiac output adalah faktor yang menentukan VO2 max (Vander et al., 2001). Latihan harus memperhatikan persiapan fisik, teknik, taktik serta psikis. Latihan fisik untuk tujuan kebugaran jasmani harus dilakukan secara teratur (Bompa, 1990). Agar latihan fisik berpengaruh terhadap peningkatan kebugaran jasmani, maka latihan harus memperhatikan takaran latihan. Menurut Giam & The (1992), takaran latihan meliputi frekuensi, intensitas, lama latihan, dan jenis latihan. Latihan fisik aerobik sebaiknya dilakukan dengan frekuensi 3 x per minggu. Intensitas latihan dengan tujuan meningkatkan kebugaran fisik dilakukan 8 Universitas Sumatera Utara pada 60 – 85 % denyut nadi maksimal. Efek latihan fisik terhadap kebugaran jasmani umumnya terlihat setelah 8 sampai 12 minggu (Fox et al., 1993). Olahragawan paling banyak melakukan latihan fisik aerobik intensitas sedang. Latihan fisik aerobik intensitas sedang bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas kardiovaskular dan meminimalkan terjadinya cedera. Latihan fisik aerobik intensitas sedang adalah latihan fisik dengan beban kerja dibawah konsumsi oksigen maksimal subjek. Pada latihan fisik aerobik intensitas sedang, sistem energi aerobik menyediakan hampir seluruh energi yang dibutuhkan untuk kerja otot. Asam laktat dihasilkan dalam kecepatan yang cukup lambat selama latihan dan dioksidasi atau diubah kembali menjadi glikogen di hati (kecepatan pembentukan asam laktat seimbang dengan kecepatan pengubahan asam laktat). Jadi, di bawah kondisi steady-state, akumulasi laktat minimal. Latihan aerobik sangat baik untuk meningkatkan kapasitas sistem kardiovaskular. Latihan ini membutuhkan penggunaan setidaknya 50% massa otot tubuh dalam latihan yang ritmis, selama minimal 15 sampai 20 menit, 3 sampai 5 kali seminggu, dan mencapai 60-70% kapasitas maksimum (Brooks and Fahey, 1995). Latihan secara aerobik dapat meningkatkan volume oksigen maksimum (VO2max). Jika melakukan latihan fisik secara aerobik dengan teratur,maka produksi asam laktat menjadi lebih sedikit sehingga respon fisiologi tubuh mengalami perubahan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida (CO2) menjadi lebih sedikit,sehingga ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi menurun,tekanan karbondioksida (PCO2) dan pH arteri tetap normal pada saat melakukan latiahan fisik maksimal (Casaburi, 1992). 9 Universitas Sumatera Utara Latihan fisik yang teratur akan memberikan efek yang menguntungkan dalam pencegahan dari berbagi penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, kanker, obesitas, osteoporosis dan kematian dini. Selain efek menguntungkan juga selama latihan fisik akan memberikan efek yang merugikan, dimana akan terjadi kerusakan struktural atau reaksi imflamsi pada otot yang bisa terjadi pada beberapa usia dan juga pada atlet yang secara produktif memproduksi radikal bebas (Barbarosa et al., 2009). Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang tidak berpasangan dan sangat reaktif (Clarkson and Thompson, 2000). Radikal bebas juga merupakan produk normal dari proses metabolisme. Selama proses dioksidasi makanan dalam tubuh untuk menghasilkan energi, terbentuk sejumlah radikal bebas juga. Radikal bebas berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap tubuh dari serangan bakteri dan parasit, juga menyerang sasaran yang lebih spesifik pada asam lemak tak jenuh ganda membran sel, struktur sel, dan deoksiribonukleat (DNA). Latihan fisik juga dapat menimbulkan atau memicu ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan system pertahanan anti oksidan yang disebut sebagai stres oksidatif (Leewenburgh dan Heinecke, 2001). Menurut Ji (1999), selama latihan fisik maksimal, dimana konsumsi oksigen didalam tubuh dapat meningkat sampai 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada tingkat serabut otot diperkirakan meningkat sampai 100 kali. Peningkatan oksigen inilah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas yang dapat menimbulkan kerusakan sel. Stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana produksi radikal bebas melebihi antioksidan system pertahan selular (Agarwa et 10 Universitas Sumatera Utara al., 2005, Evan 2000, Helliwell and Whiteman, 2004), sehingga terjadi kerusakan membran sel (Singh, 1992) sel-sel otot (Witt et al.,1992) termasuk sel otak dan hati (Barbosa et al., 2009). Pada laki-laki stres oksidatif merupakan faktor penting yang dapat menimbulkan penurunan produksi testosteron pada saat pematangan testis. Peningkatan Nitric Oxide (NO) yang sering dikaitkan dengan peningkatan Lipid peroksidase pada berbagai jenis stres, juga menyebabkan penurunan sekresi testosteron (Turner et al., 2008 ). Untuk mencegah ataupun memperbaiki kerusakan sel tersebut, maka tubuh mempunyai sistem pertahanan antioksidan. 2.2. LATIHAN FISIK DAN STRES OKSIDATIF Latihan fisik akan berpotensi untuk menimbulkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, yaitu saat antioksidan tidak dapat mengatasi radikal bebas yang terbentuk selama latihan fisik. Situasi ini dikenal sebagai stres oksidatif. Stres okisidatif yang dihasilkan dari latihan fisik dapat menyebabkan kerusakan enzim, reseptor protein, membran lipid, dan DNA. Di dalam otot, mitokondria merupakan salah satu sumber substansi reaktif seperti superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil. Substansi oksigen reaktif merupakan ancaman serius terhadap sistem pertahanan antioksidan seluler dan meningkatkan kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif (Leeuwenburgh & Heinecke, 11 Universitas Sumatera Utara 2001). Ada indikasi yang jelas bahwa latihan fisik berpotensi meningkatkan produksi radikal bebas dan menyebabkan stres oksidatif (Margaritis et al., 2003). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa latihan fisik intensitas sedang dapat meningkatkan produksi radikal bebas melebihi kapasitas pertahanan antioksidan dan menimbulkan stres oksidatif (Alessio, 1993), sedangkan menurut Ji (2002), latihan fisik yang tidak melelahkan (nonexhaustive) dapat menginduksi stres oksidatif ringan yanng menstimulasi ekspresi enzim-enzim antioksidan tertentu. Peningkatan enzim-enzim antioksidan biasanya membutuhkan latihan fisik yang teratur. Leeuwenburgh & Heinecke (2001) menemukan bahwa latihan fisik selama 10 minggu dapat meningkatkan aktivitas glutathion peroxidase dan superoxide dismutase pada otot vastus lateralis. 2.3. RADIKAL BEBAS DAN STRES OKSIDATIF Radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di bagian luar, orbitnya yang memungkinkannya menyerang komponen sel. Radikal bebas terjadi karena sebagaian besar penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan dalam tubuh. Tampaknya, oksigen merupakan sesuatu yang parodoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberikan energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada berbagai penyakit dan kondisi degeneratif, seperti aging, artritis, kanker, dan lain-lain (Marx, 1985). Reaksi oksidatif terjadi setiap saat di dalam tubuh. Reaksi ini mencetuskan terbentuknya 12 Universitas Sumatera Utara radikal bebas yang aktif, yang dapat merusak struktur serta fungsi sel. Namun, reaktifitas radikal bebas itu dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Meningkatnya radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Zakaria et al., 2000; Winarsi et al., 2003). Dengan meningkatnya usia seseorang, sel-sel tubuh mengalami degenerasi, proses metabolisme terganggu, dan respon imun juga menurun. Semua faktor ini dapat memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif. Oleh sebab itu, tubuh kita memerlukan suatu substansi penting, yakni antioksidan yang dapat membantu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dan menekan dampak negatifnya. Sebagian besar radikal bebas yang terbentuk in vivo berasal dari reactive oxygen species (ROS) atau reactive nitrogen species. ROS terdiri atas oksigen berbasis radikal bebas, misalnya superoksida (O2 ⎯ ), hidroksil (OH⎯), alkoksil (RO⎯), peroksil (ROO⎯) dan hidroperoksil (ROOH). Konsekuensi dari radikal bebas berupa kecendrungan memperoleh elektron dari substansi lain menjadikan radikal bebas sangat reaktif. Meski demikian, tidak semua jenis oksigen reaktif merupakan radikal bebas, misal, oksigen singlet (tunggal) dan H O Jika oksigen 2 2. direduksi oleh enzim sitokrom oksidase menjadi air akan diperoleh 4 buah elektron. Meski demikian elektron juga dapat diperoleh secara satu persatu melalui reduksi univalen yang mungkin bertanggung jawab atas 1-5% total konsumsi oksigen. Moleku-molekul molekular di dalam reduksi univalen bersifat sangat reaktif dan berpotensi merusak jaringan. Molekul tersebut adalah radikal bebas super oksida, hidrogen peroksida, dan radikal bebas hidroksil. Unsur yang 13 Universitas Sumatera Utara disebut terakhir ini bersifat sangat toksis tetapi memiliki masa hidup singkat. Oleh karena itu radikal bebas hidroksil akan bekerja didekat tapak asal pembuatannya melalui rekasi penton dan Haber-Weiss yang dikatalisis Fe2+. Sumber spesies reaktif lain adalah xantin oksidase, yang menghasilkan superoksida (misalnya: selama cedera reperfusi pada organ iskemik), dan siklooksigenase serta lipoksigenase yang menghasilkan radikal hidroksil serta peroksil. Superoksida juga dapat dibentuk saat xenobiotik dimetabolisasi oleh sitokrom P450. Karena bersifat sangat reaktif, sebagian besar struktur sel bersifat sangat rentan termasuk membran, protein struktural, enzim serta asam nukleat yang dapat menyebabkan mutasi dan kematian sel. ( Robert K Murray et all., 2003) 2.4. ANTIOKSIDAN DAN STRES OKSIDATIF Tubuh manusia mempunyai beberapa mekanisme untuk bertahan terhadap radikal bebas dan ROS lainnya. Pertahanan yang bervariasi saling melengkapi satu dengan yang lain karena bekerja pada oksidan yang berbeda atau dalam bagian seluler yang berbeda (Tuminah, 2000). Secara umum pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam efek negatif oksidan dalam tubuh, bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktifitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat (Winarsih, 2007). 14 Universitas Sumatera Utara Antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu : 1. Antioksidan enzimatis 2. Antioksidan non enzimatis 2.4.1 Antioksidan Enzimatis Antioksidan enzimatis merupakan antioksidan endogenus, yang termasuk didalamnya adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase (GSH-PX), serta glutation reduktase (GSH-R) (Mates dan Jimenez,1999; Tuminah, 2000,). Sebagai antioksidan, enzim-enzim ini bekerja menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutuskan reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil, sehingga antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking- antioxidant(Winarsih, 2007). Enzim katalase dan glutation peroksidase bekerja dengan cara mengubah H O menjadi H O dan O sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalisis 2 2 2 2 reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H O (Langseth L, 1995; 2 2 Winarsih 2007). 2.4.2 Antioksidan Nonenzimatis Antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan eksogenus, antioksidan ini bekerja secara preventif, dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya 15 Universitas Sumatera Utara (Winarsih, 2007). Antioksidan non-enzimatis bisa didapat dari komponen nutrisi sayuran, buah dan rempah-rempah. Komponen yang bersifat antioksidan dalam sayuran, buah dan rempah-rempah meliputi vitamin C, vitamin E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, flavon, antosianin, katekin dan isokatekin (kahkonen, et al, 1999). Senyawa-senyawa fitokimia ini membantu melindungi sel dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas. Untuk mencegah stres oksidatif akibat latihan fisik, tubuh mempunyai sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan ada yang berupa enzim maupun non enzim. Antioksidan enzim yaitu superoxide dismutase (SOD), glutathion peroksidase, dan katalase. Antioksidan non-enzim yang utama adalah glutathion (GSH), vitamin A, Vitamin C, dan Vitamin E. Cara kerja antioksidan dapat melalui pemecahan reaksi berantai, yang meliputi fase lipid (vitamin E) dan fase air (vitamin C), mengurangi konsentrasi ROS (glutation), menangkap radikal bebas (SOD), dan khelating transition metal (transferin dan seruloplasmin). Antioksidan enzimatik diaktivasi secara selektif selama latihan fisk berat tergantung pada stres oksidatif jaringan dan kapasitas pertahanan antioksidan. Otot skelet mengalami stres oksidatif lebih besar dibandingkan hati atau jantung karena peningkatan produksi ROS. Oleh karena itu, otot membutuhkan perlindungan antioksidan melawan kerusakan oksidatif yang mungkin terjadi selama dan sesudah latihan fisik. SOD, katalase, dan glutation peroksidase merupakan pertahanan primer melawan pembentukan ROS selama latihan fisik, dan aktivitas enzim – enzim ini diketahui meningkat sebagai 16 Universitas Sumatera Utara respons terhadap latihan fisik baik pada penelitian binatang maupun manusia (Ji, 1999). 2.5. Tocopherol Tocopherol adalah bentuk dari α-tokoferol (C29H50O2) termasuk d- atau dL α-tokoferol (C29H50O2). Atau dL α-tokoferol asetat (C31H52O3), atau dL α- tokoferol suksinat (C33H54O5), mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 102,0% masing-masing C29H50O2, C31H52O3, C33H54O5. (Farmakope Indonesia 1998). Tocopherol pertama kali ditemukan tahun 1922 dan merupakan vitamin yang larut dalam lemak (Burton, 1994). Vitamin ini secara alami memiliki 8 isomer yang dikelompokkan dalam 4 tokoferol (α,β,γ,δ) dan 4 tokotrienol (α,β,γ,δ). Bentuk vitamin E ini dibedakan berdasarkan letak berbagai grup metil pada cincin fenil rantai cabang molekul dan ketidakjenuhan rantai cabang (Burton, 1994; Brigelius-Flohe, 1994). α-tokoferol merupakan bentuk tokoferol yang paling aktif dan paling penting untuk aktivitas biologi tubuh, sehingga aktivitas vitamin E diukur sebagai α-tocopherol. Tocopherol merupakan pertahanan baris pertama terhadap proses peroksidasi asam lemak tak jenuh ganda yang terdapat di dalam fosfolipid membran selular dan subselular. Fosfolipid mitokondria, retikulum endoplasma, serta membran plasma memiliki afinitas terhadap α-tocopherol, dan tocopherol 17 Universitas Sumatera Utara
Description: