BAB II RIWAYAT HIDUP KH. NOER ALIE A. Biografi KH. Noer Alie Pada awal abad ke-20 daerah Ujungmalang adalah perkampungan kecil seluas 50 hektare. Secara administratif masuk wilayah Onder-district Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap (kabupaten) Meester Cornelis, Residensi Batavia.1 Pada tahun 1914 di ujungmalang lahir jabang bayi laki-laki dan diberi nama Noer Alie, yang berarti cahaya yang tinggi. Noer Alie lahir dari rahim Maimunah binti Tarbin atas bantuan dukun beranak dari Kampung Asem, Maklimah. Ayahnya bernama Anwar bin Layu adalah seorang petani yang memiliki tanah seluas sekitar 1 hektare. Sebagai seorang bapak, Anwar tidak terlalu banyak bicara, namun giat bekerja. Sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kakek Noer Alie bernama Layu, berasal dari Pondok Ungu. Sedangkan neneknya, Nurhani, berasal dari kampung Sumur, Klender. Berbeda dengan penduduk kampung kebanyakan yang bekerja sebagai buruh tani, kakek-nenek Noer Alie justru sebagai petani meski hanya memiliki beberapa bidang tanah. Rumahnya pun tidak seperti buruh tani yang umumnya terbuat dari bilik, dan tidak juga seperti rumah tuan tanah yang terbuat dari batu bata, melainkan terbuat dari kayu jati. Dari deskripsi ini terlihat bahwa di kampungnya, keluarga Noer Alie berasal dari keturunan 1 Ali Anwar, Kemandirian Ulama Pejuang KH Noer Alie, (Bekasi: Yayasan Attaqwa, 2015), hal.1. yang bersahaja dan sederhana. Penghasilan ayah dan ibunya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari2 Kedua orang tua Noer Alie tidak pernah mengenyam pendidikan barat. Mereka hanya berpendidikan timur di madrasah dengan pelajaran agama Islam yang lebih dominan dan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Meski memiliki keterbatasan ekonomi dan pengetahuan, Anwar amat menyadari betapa pentingnya menuntut ilmu sehingga berupaya mendorong anak laki-lakinya untuk belajar. Sedangkan anak perempuannya, sebagaimana kebiasaan masa itu, tidak terlalu banyak diharapkan menempuh pendidikan tinggi karena bagi mereka perempuan cukup mendapat pengetahuan dasar agama dan keterampilan rumah tangga.3 Noer Alie merupakan putra ke empat dari H. Anwar dan Hj. Maimunah. Ia ditemani ketiga kakaknya yaitu Thayyeb sebagai kakak pertama, Arfah kakak kedua, dan Maani kakak ketiga. Selain mempunyai tiga kakak, Noer Alie juga mempunyai 6 orang adik yaitu Marhamah, Marzuqi, Abdurrasyid, Muhyiddin, Mujtaba, dan hasanah.4 Jika diurutkan dari pernikahan H. Anwar dengan Hj. Maimunah putra-putrinya secara berurutan yaitu H. Thayyeb, H. Arfah, H. Maani, KH. Noer Alie, H. Marhamah, H. Marzuqi, Abdurrasyid, H. Muhyiddin, Mujtaba dan Hasanah.5 Sejak kecil Noer Alie tampak memiliki satu kelebihan yang kelak akan mempengaruhi kepemimpinannya. Ketika bermain, Noer Alie tidak mau 2 Ibid., hal.9-10. 3 Ibid., hal.10. 4 Ben Thayyeb Anwar Layu, Kolonel Noer Alie Sisi Lain Macan Bekasi, (Bekasi: Jawa Press, 2008) hal.33. 5 Tamar Anwar, KH. Noer Alie 71 Tahun, (Bekasi: Attaqwa, 1985), hal.1. 42 tampil dibelakang, tidak mau di iringi, ia selalu ingin tampil di muka sebagai orang pertama meskipun jumlah temannya belasan sampai puluhan. Hampir setiap permainan yang dimainkan bersama teman-temannya Noer Alie selalu menang. Noer Alie memiliki cita-cita yang begitu mulia, ia mengutarakan cita-citanya tersebut kepada adiknya, Marhamah. Noer Alie mengatakan bahwa kelak bila sudah besar ia ingin menjadi pemimpin agama. Semangat cinta tanah air bernuansa keagamaan merasuk dalam dirinya. Hal ini seiring dengan ungkapan yang sering didengar dari gurunya tentang Baldatun thoyyibatun warobbun ghofur (negara sejahtera yang dilindungi Allah Noer Alie adalah seorang anak yang tekun dan berbakti terhadap kedua orang tua. Hal tersebut dibuktikan bahwa Noer Alie giat membantu ayah dan ibunya dirumah, seperti mengisi air ke kolam dan tempayan. Sekalipun kedua orang tuanya mempunyai pembantu ia tetap membantu pekerjaan sewperti menumbuk padi, mencangkul, menanam, dan memanen disawah. Kebiasaan Noer Alie yang sudah tampak sejak kecil adalah bila bekerja tidak mau melakukan pekerjaan yang sedikit dan tanggung-tanggung. Ia hanya mau bekerja kalau pekerjaan itu menyeluruh, dari awal sampai akhir, meskipun sarat dengan beban berat.7 Noer Alie adalah Ulama Tentara yang memiliki pangkat kolonel, lebih tinggi dari pangkat yang disandang oleh Pak Harto ketika itu (Mayor). Ulama tentara yang menjadi simbol perjuangan rakyat Bekasi dalam memberantas kolonialisme Belanda, Jepang hingga pemberontakan PKI. 6 Ali Anwar, Kemandirian Ulama Pejuang,... hal.14-15. 7 Ibid., hal.15. 43 Dalam perjalanan kepemimpinan Noer Alie, beberapa kali menjadi pemimpin di pelbagai organisasi diantaranya menjadi Komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi dan pemimpin markas pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya. Noer Alie juga merupakan politisi santri yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Jatinegara, turut menjadi pelopor yang mendirikan Kabupaten Bekasi sekaligus menjadi Bupati Bekasi di masa awal. Noer Alie juga menjadi Ketua Majlis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) Bekasi dan Tokoh Perhimpunan Pelajar Indonesia-Melayu (Perindom) di Kerajaan Arab Saudi. Noer Alie diberi gelar Kyai Haji oleh Bung Tomo. Selain perjalanannya sebagai seorang pemimpin di berbagai organisasi baik itu ranah politik, kemasyarakatan, ataupun agama, Noer Alie merupakan sosok Ulama pendidik yang menjadi pendiri pesantren Attaqwa. Ia menjadi pendiri sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat sebelum MUI Pusat berdiri. Noer Alie adalah seorang Tokoh Muslim Nasionalis yang mempelopori penyerahan kekuasaan negara federal kepada Republik Indonesia lewat deklarasi yang dihadiri oleh 25-an ribu rakyat Bekasi dan Cikarang. Pelopor pengembalian seluruh wilayah Jawa Barat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1950. Dan hal tersebut yang menjadikan Noer Alie mendapat gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Republik Indonesia pada zaman Presiden SBY.8 8 Ben Thayyeb Anwar Layu, Kolonel Noer Alie,... hal.2-4. 44 Noer Alie menikah pada bulan April tahun 1940 dengan Siti Rahmah. Istrinya adalah putri dari gurunya, yaitu guru Mughni. Beberapa hari setelah pernikahan, Rahmah dibawa ke Ujungmalang. Acara seremonial penyambutan dilakukan berupa syukuran di majelis ta’lim dan masjid Ujungmalang. Sesuai dengan namanya “Rahmah” kehadiran Siti Rahmah dalam keluarga Noer Alie benar-benar membawa rahmat. Murid pengajian yang mendaftar di pengajian Noer Alie semakin banyak, terutama perempuan yang langsung diajar oleh Rahmah. Kali ini, murid yang mendaftar bukan saja dari Ujungmalang, melainkan dari kampung lainnya. Seperti Babelan, Kabelan, Marunda, dan Gabus.9 Dari hasil pernikahaannya bersama Siti Rahmah, Allah menganugerahkan empat orang putra dan delapan orang putri, yaitu Hj. Faridah, Hj. Shalihah BA, Abdullah, H. M. Amin Noer Lc., Hj. Atiqoh Noer MA, Hj. Ulfah Noer, H. Nurul Anwar, Lc., Hj. Wardah Noer, Lc., Dustur, Hj. Abidah Noer, Hikmah, Hj. Mahmudah Noer. Selain dengan Istri pertamanya, KH. Noer Alie menikah dengan Rahmani (Almarhumah) istri keduanya, Beliau berdua di anugerahi seorang putri yang diberi nama Hj. Aisyah Noer. Dengan demikian jumlah putera puteri dari KH. Noer Alie berjumlah 13 orang.10 Ketika sudah berbagai upaya telah dilakukan oleh KH. Noer Alie dalam perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia, mencerdaskan bangsa, membangun negara dan mewujudkan perkampungan surga sehingga 9 Ali Anwar, Kemandirian Ulama Pejuang,... hal.48. 10 Tamar Anwar, KH. Noer Alie 71 Tahun,... hal.10-11. 45 membuahkan hasil yang sepadan dari perjuangannya itu, pada bulan Mei 1991 KH. Noer Alie jatuh sakit. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada hari Rabu, 29 Januari 1992, kurang lebih pukul 19.00 WIB KH. Noer Alie wafat, di panggil oleh Sang Kholiq (Allah SWT) dirumahnya, di tengah- tengah kompleks Pondok Pesantren Attaqwa yang dirintis olehnya sejak masih muda yaitu di Kampung Ujungharapan, Desa Bahagia, Bekasi, Jawa Barat.11 B. Pendidikan dan Karir 1. Pendidikan Dasar Noer Alie tumbuh dan berkembang selayaknya anak-anak lain. Perkembangan Noer Alie dalam ranah pendidikan sudah dimulai sejak dini. Pada usia 3 tahun, ia sudah dapat berbicara dengan bahasa ibu, mencoba mengeja huruf, hitungan dan mengucapkan kata-kata baru, baik dari bahasa Arab maupun bahasa Melayu. Ia diajari oleh orang tuanya dan kakak-kakaknya. Selain itu, wawasan Noer Alie mulai bertambah berkat pergaulan dengan teman-teman sebaya dan alam di luar rumah. Pada usia 8 tahun Noer Alie di khitan dan mengaji khusus untuk murid laki-laki di Kampung Bulak pada guru Maksum. Jaraknya 2 kilometer dari Kampung Ujungmalang. Sedangkan kakak dan adik perempuannya mengaji pada ustadzah Saonah di Kampung Bulak. Pelajaran yang diberikan lebih ditekankan pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menghafal dan membaca juz-amma, kemudian ditambah menghafal 11 Ali Anwar, Kemandirian Ulama Pejuang,... hal. 228-230. 46 dasar-dasar rukun Islam dan rukum iman, tarikh para nabi, akhlak, dan fiqih. Noer Alie, yang sejak kecil sudah terbiasa diajari oleh orangtua dan kakak-kakaknya, tidak begitu kesulitan saat menerima pelajaran dari guru Maksum.12 2. Pendidikan Menengah Awal Setelah tiga tahun mengaji pada guru Maksum, pada tahun 1925 Noer Alie mengaji pada guru Mughni di Ujungmalang. Berbeda dengan saat mengaji di guru Maksum yang muridnya berasal dari sekitar Kampung Bulak, di guru Mughni muridnya tidak hanya berasal dari Ujungmalang, tetapi ada juga yang berasal dari kampung lain. Santri yang berasal dari kampung lain disediakan tempat menginap yang berupa bangunan sederhana oleh guru Mughni. Sedangkan santri yang rumahnya dekat tidak perlu menetap. Pada pengajian guru Mughni ini Noer Alie mendapatkan pelajaran lanjutan dari ilmu dasar yang sudah diberikan oleh guru Maksum. Bersama guru Mughni, Noer Alie mendapat pelajaran Alfiah (tata bahasa Arab), Al-quran, Tajwid, Nahwu, Tauhid, dan Fiqih.13 Di pengajian guru Mughni, Noer Alie dianggap sebagai murid yang pandai, cerdas, dan giat. Semua mata pelajaran dikuasai oleh Noer Alie dengan baik. Sehingga wajar saja kalau guru Mughni sangat sayang terhadap Noer Alie. pada mata pelajaran Alfiah, Noer Alie dapat lebih awal menghafal seribu bait kaidah bahasa Arab. Noer Alie pun 12 Ibid., hal. 10-12. 13 Ibid., hal.12-13. 47 merasakan bahwa ia sudah mampu menguasai pelbagai ilmu yang diajarkan oleh guru yang sangat dihormatinya itu. Ia ingin belajar penuh dan lebih fokus lagi sehingga dalam beberapa kesempatan Noer Alie memohon kepada ayahnya agar diizinkan mondok pada guru Marzuki di Kampung Muara, Klender.14 3. Pendidikan Menengah Atas (Aliyah) Tahun 1931, Noer Alie mulai melangkahkan kakinya untuk pergi mondok ke tempat guru Marzuki. Noer Alie diantarkan oleh ayahnya, Anwar menuju ke Kampung Sumur, Cipinang Muara, Klender, Batavia, untuk bertemu dengan guru yang terkenal saat itu, H. Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad Al-Mirshad bin Khatin bin Abdul Rahman al-Betawi. Anwar, mengutarakan maksud kedatangannya yaitu hendak menitipkan anaknya di pondok guru Marzuki supaya dapat menimba ilmu lebih dalam. Guru Marzuki menyetujui keinginan Anwar tersebut, serentak Noer Alie sangat gembira karena telah diterima oleh guru Marzuki. Akan tetapi rasa gelisah dan ganjil juga dirasakan oleh Noer Alie ketika rasa rindu kepada orang tua, kakak, dan adik-adiknya menyelimuti malamnya. Di tempat guru Marzuki, Noer Alie menempuh pendidikan tahap lanjutan setingkat aliyah dengan mata pelajaran sebagaimana yang diberikan oleh guru Mughni. Tetapi materinya dikembangkan dengan aspek pemahaman yang lebih ditekankan, seperti pelajaran tauhid, tajwid, nahwu, sharaf, 14 Ibid., hal. 17. 48 fiqih, usul fiqih, balaghah (ma’ani, bayan, dan badi’), hadits, musthalah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idl, hingga ilmu falak (astronomi).15 Di pondok guru Marzuki, murid laki-laki belajar dari pukul 07.15 sampai dengan pukul 12.00 di ruang kelas yang sudah disediakan. Sedangkan murid perempuan giliran belajar di kelas pada pukul 13.15- 17.00. pada saat ruang kelas digunakan untuk belajar murid perempuan, murid laki-laki menggunakan waktu tersebut untuk shalat dzuhur, mencuci pakaian, makan siang, bermain, dan istirahat. Setelah sholat Ashar, sebagian murid laki-laki membantu untuk mengambil rumput untuk makan hewan ternak milik guru Marzuki, sebagian lagi ada yang bertugas mengisi air ke bak mandi dan tempat wudlu. Hal tersebut bukanlah hal yang baru bagi Noer Alie karena sejak kecil sudah biasa diajarkan untuk mandiri dan sering membantu kedua orangtuanya.16 Pondok guru Marzuki selain mengajarkan ilmu agama kepada murid- muridnya, juga memberikan pendidikan sosial, kemandirian, dan pengabdian. Hal tersebut menjadi sangat penting karena akan memberikan pengaruh bagi kepribadian murid hingga dewasa nanti. Belajar mengaji dan menghayati hidup terus dijalani Noer Alie dengan rajin, tekun, dan tabah. Sampai pada akhirnya, karena Noer Alie dianggap cerdas dan mampu mengikuti semua pelajaran dengan baik, pada tahun 1933 Ia diangkat sebagai badal. Noer Alie sangat senang menerima jabatan yang berharga itu. Kemudian, seiring waktu terus 15 Ibid., hal.18-20. 16 Ibid., hal.21. 49 berjalan, karena senang bergaul, Noer Alie memiliki banyak teman. Diantaranya adalah Abdullah Syafi’ie, Abdurrachman Shadri, Abu Bakar, Mukhtar Thabrani, Usman, Abdul Bakir Marzuki, Hasbullah, Zayadi, Mahmud, Junaidi, Rohiman, Abdul Madjid, dan Abdullah. Manfaat banyak teman ini, Noer Alie lebih mengenal sikap individu orang lain dan tradisi masyarakat lain. Noer Alie merasakan betapa luasnya negeri kelahirannya. Sehinnga, dari hal tersebut tumbuh sikap Noer Alie yang lebih bijak dan menghargai orang lain.17 4. Pendidikan Lanjutan (Pasca Aliyah) Pada tahun 1934, Noer Alie merasakan bahwa ilmu yang didapatkan dari belajar kepada guru Marzuki telah banyak. Sebagai murid yang mempunyai keinginan besar dalam menempuh pendidikan, ia ingin selalu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dari cerita guru Marzuki yang sering disampaikan dalam beberapa kesempatan, Noer Alie mendengar bahwa pendidikan tinggi lanjutan untuk menjadi ulama yang baik adalah di Mekkah. Dari situ Noer Alie mengutarakan keinginannya ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi kepada sahabatnya, guru Marzuki, dan ayahnya, Anwar. Pada saat itu, perekonomian orangtua Noer Alie pas-pasan, dan juga masih memiliki saudara banyak. Sehingga orangtua Noer Alie tidak dapat membiayai keinginan Noer Alie untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Mekkah. Tetapi, keinginan Noer Alie sangat besar ia tetap ingin berangkat dan 17 Ibid., hal.22-23. 50
Description: