BAB II RITUS DAN INTEGRASI SOSIAL Ritus dan integrasi sosial dalam perspektif antropologi merupakan bagian esensial dari agama dan kebudayaan. Oleh karena itu pada bagian awal bab ini akan dipaparkan secara singkat konsepsi tentang agama dan kebudayaan. Hal ini dipandang penting untuk memahami esensi ritus dan integrasi sosial dalam jalilan kebudayaan dan agama. Bagian keduanya akan memaparkan konsep pengertian dan makna ritus. Bagian ketiga dari bab ini adalah pemaparan konsep integrasi sosial. Guna membatasi referensi yang sangat banyak dan luas, pemikiran Clifford Geertz dan Viktor Turner akan dijadikan rujukan utama terkait dengan makna dan simbol religius dalam kehidupan keagamaan dan budaya. 2.1. Berawal Dari Interpretasi Kebudayaan dan Agama Tradisi antropologi masa lalu dipandang sebagai disiplin ilmu yang memiliki kemampuan untuk generalisasi dan menjelaskan apa saja yang dilakukan oleh manusia dalam masyarakatnya. Tradisi itu dibangun atas dasar keinginan untuk menjadikan antropologi sebagai bagian yang sah dari seluruh bangunan ilmu pengetahuan dengan memahami budaya dengan model pendekatan explanation of behavior (penjelasan perilaku). Namun Clifford Geertz berpendapat bahwa paradigma tersebut tidak dapat menjelaskan manusia secara utuh. Gagasan tentang kebudayaan tidak bisa diperlakukan seperti hukum gravitasi untuk bidang humaniora dengan daya penjelas tentang apa saja yang hendak diusahakan manusia untuk dilakukan, 17 dibayangkan, dikatakan atau dipercayainya. Apabila menggunakan teori seperti yang digunakan oleh para ilmuwan sains, maka tidak akan bisa mendapatkan sesuatu dari manusia, karena manusia hidup dalam suatu sistem yang kompleks yang disebut budaya. Model pendekatan tersebut menurut Geertz lebih sesuai diterapkan untuk penelitian saintis semisal meneliti sekelompok ikan atau lebah.1 Pendekatan fungsional struktural yang menekankan segi-segi fungsional adat atau kebiasaan suatu masyarakat sebatas untuk menyelaraskan dan menciptakan harmonisasi, dapat mereduksi banyak aspek fungsinal yang secara nyata terjadi dalam konteks kebudayaan dan keagamaan manusia: Tekanan pada keseimbangan sistem-sistem, pada homeostasis sosial, dan pada gambaran-gambaran struktural yang abadi, menghasilkan prasangka demi kepentingan masyarakat-masyarakat yang “terintegrasi baik” di dalam sebuah equilibrium yang stabil dan menghasilkan sebuah kecenderungan untuk lebih menekankan segi-segi fungsional dari adat dan kebiasaan suatu masyarakat daripada menekankan implikasi-implikasi disfungsional adat dan kebiasaan itu.2 Dalam analisis terhadap agama, pendekatan fungsional struktural diatas cenderung statis dan ahistoris serta menghasilkan pandangan-pandangan yang konservatif mengenai peranan ritus serta kepercayaan dalam kehidupan sosial. Kecenderungannya selalu menekankan keselarasan, mengintegrasikan, dan secara psikologis bersifat mendukung pola-pola religius daripada segi-segi yang memecah-belah, disintegratif, dan yang secara psikologis mengacaukan. Agama cenderung dilihat sebagai yang memelihara struktur sosial dan psikologis daripada sebagai sebuah kekuatan untuk mengubah. 1 Daniels L.Pals, Seven Theories of Religion, (Oxford: Oxford University Press, 1996), 234. 2 Geertz, Kebudayaan dan Agama, 72. 18 Geertz mengembangkan analisa-analisa sebagai bentuk revisi terhadap teori-teori fungsional dan menekankan perlunya suatu usaha untuk membedakan secara analitis antara segi-segi kultural dan sosial kehidupan manusia dan membahas hal-hal tersebut sebagai faktor-faktor yang berubah secara independen namun saling tergantung satu sama lain. Dalam konteks inilah pendekatan ”interpretasi budaya” diperlukan sebagai upaya memahami kebudayaan manusia. Dengan percaya pada Max Webber, bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya mengganggap bahwa kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna.3 Dapat dikatakan bahwa Geertz memahami analisis budaya bukanlah sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tapi sebuah sains interpretative yang mencari makna. Sekalipun budaya cenderung memiliki berbagai arti dari para antropolog, namun kata kunci yang sebenarnya adalah “makna”. Ringkasan konsep Cliford Geertz dapat digambarkan sebagai berikut: Skema 1: Skema Berpikir Cliford Gertz Dalam Interpretasi Budaya dan Agama. 3 Geertz, The Interpretation of Cultures, 5. 19 Geertz menggambarkan kebudayaan sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu.4 Kebudayaan adalah seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol, yaitu rencana-rencana, resep- resep, aturan-aturan, instruksi-instruksi dalam hal mana manusia tergantung pada mekanisme-mekanisme kontrol atau program-program kultural tersebut untuk mengatur tingkah lakunya.5 Berkaitan dengan agama, Geertz mendefinisikan kedalam lima kalimat, yang masing-masing saling mempunyai keterkaitan: Agama sebagai sebuah sistem budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan sebagai: 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5) Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.6 Definisi diatas cukup menjelaskan secara runtut keseluruhan keterlibatan antara agama dan budaya. Pertama, sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang. Ide dan simbol tersebut bersifat publik, dalam arti bahwa pikiran pribadi individu yang memikirkan simbol tersebut, mengikuti kesepakatan dan kehendak kolektif. Kedua, dengan adanya simbol, agama dapat menyebabkan seseorang merasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan- tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk maupun benar dan salah bagi dirinya. Ketiga, agama bisa membentuk konsep-konsep tentang tatanan 4 Clifford Geertz, Religion as a Cultural system, 89; Geertz, Kebudayaan & Agama, 89. 5 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 55. 6 Geertz, The Interpretation of Cultures, 87-125. 20 seluruh eksistensi. Dalam hal ini agama terpusat pada makna akhir (ultimate meaning), atau suatu tujuan pasti bagi dunia. Keempat, konsepsi–konsepsi dan motivasi tersebut membentuk pancaran faktual yang oleh Geertz diringkas menjadi dua, yaitu agama sebagai “etos” dan agam a seba gai “pandangan hidu p ” . Kelima, pancaran faktual tersebut akan memunculkan ritual unik yang memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut, yang oleh manusia dianggap lebih penting dari apapun.7 Geertz memberi contoh upacara ritual di Bali sebagai pencampuran antara etos dan pandangan dunia. Pertempuran besar antara dukun sihir Rangda dan Monster Barong aneh. Penonton terhipnotis masuk dalam tontonan tersebut dan mengambil posisi mendukung salah satu karakter, yang pada akhirnya ada beberapa yang jatuh tidak sadarkan diri. Drama tersebut bukan sekedar tontonan, melainkan kegiatan ritual yang harus diperankan. Agama di Bali sangat khas dan spesifik hingga tatanan tersebut tidak bisa diubah menjadi suatu kaidah umum bagi semua agama. Dengan demikian Geertz menyimpulkan bahwa pertama, orang harus menganalisa serangkaian makna yang terdapat dalam simbol-simbol agama itu sendiri, dan ini adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Tahap kedua adalah, karena simbol berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya, maka jika dibuat tranfigurasi segitiga, yang satu memiliki arti simbol, yang satunya masyarakat dan satu lagi psikologi individual, 7 Pals, Seven Theories of Religion, 343-346. 21 merupakan arus pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan diantara ketiganya di dalam sistem budaya agama.8 2.2. Memahami Ritus 2.2.1. Pengertian, Fungsi dan Makna Pada umumnya para penganut teori rasionalis menganggap ritus hanya sebagai suatu terjemahan lahiriah dari inti agama yaitu konsepsi dan keyakinan. Konsepsi dan keyakinan itulah yang terpenting dari suatu kehidupan keagamaan dalam masyarakat tradisional. Namun dalam banyak pandangan antropologi sosial, pendapat rasionalis diatas tidak dapat dibenarkan. Mengutip pendapat Durkheim, Evans Pritchard mengatakan bahwa untuk memahami agama primitif kita harus mencarinya dalam ritus.9 Dengan kata lain untuk memahami keberadaan dan kehidupan suatu masyarakat beragama, maka harus memahami ritus yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Secara global ritus-ritus yang terdapat dalam masyarakat dapat dikategorikan berdasarkan musim yang terdiri atas: Pertama, ritual musiman yaitu jenis-jenis ritual peralihan musim atau fase, yang dilaksanakan secara bulanan, masa tanam, buah pertama, panen maupun pasca panen. Kedua, ritual bukan musiman seperti ritus-ritus kelahiran, ritus inisiasi, ritus perkawinan, dan ritus kematian10. Bagi Clifford Geertz sejalan dengan pemahamannya tentang kebudayaan dan agama, ritus merupakan pancaran faktual dari agama itu sendiri sebagai bagian dari sistim kebudayaan. Ritus merupakan perwujudan suasana hati dan 8 Geertz, Religion as a Cultural Sistem, 114-117 9 Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, 69. 10 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 178. 22 motivasi, konsepsi kehidupan yang umum, dan menjadi suatu realitas yang unik serta penting. Ritus mengekspresikan etos dan pandangan hidup suatu masyarakat.11 Dapat dikatakan bahwa ritus merupakan pertunjukan makna (Etos, pandangan hidup, suasana hati, motivasi, nilai estetika) serta simbol religi yang merupakan perwujudan pengetahuan, pengakuan dan kesadarannya tentang kehidupan. Dengan demikian ritual disini bukan sekedar acara seremonial tanpa makna, namun menjadi sebuah jalinan dan tenunan makna yang terekspresikan melalui simbol-simbol religius dan perilaku sosial religiusnya. Hal ini juga menjadi penekanan bagi Victor Turner yang memberikan pengertian ritual sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis.12 Lebih jauh Turner menegaskan ritus merupakan penampakan dari keyakinan religius dan praktek- prakteknya. Ritus mendorong orang-orang untuk melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam. Dalam ritus, manusia mengungkapkan nilai-nilai yang dianutnya.13 Penekanan Turner menggambarkan bahwa ritus merupakan tindakan atau perilaku religius yang terus dilakukan berulang-ulang untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat secara kolektif. Ritus memiliki peranan dalam masyarakat antara lain menghilangkan konflik, mengatasi perpecahan, serta 11 Geertz, Kebudayaan & Agama, 5. 12 Victor Turner, The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual (Ithaca and London: Cornel University Press, 1966), 19 13 Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, 67. 23 membangun solidaritas. Oleh karena itu ritus haruslah dipandang sebagai bagian dari masyarakat dan merupakan suatu proses yang terus terjadi karena ritus mengiringi setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat baik secara sosial yang nampak, maupun aspek moral dan bathiniahnya. 14 2.2.2. Simbol Dalam Ritual Pentingnya simbol dalam ritual bahkan kebudayaan manusia, telah menjadi perhatian para antropolog sosial. Emile Durkheim misalnya menekankan bahwa keyakinan religius suatu masyarakat diwujudkan dalam bentuk totem yang menjadi benda-benda suci yang disembah dan ritus merupakan aturan-aturan tingkah-laku yang menentukan bagaimana seorang hendaknya bersikap terhadap kehadiran benda-benda suci.15 Demikian pula bagi Clifford Geertz dan Victor Turner. Keduanya sama memiliki pandangan tentang simbol (benda maupun perilaku) sebagai bagian yang esensial dan substansial dalam kehidupan suatu masyarakat budaya dan agama. Secara umum berpandangan bahwa sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang. Bagi Geertz , agama merupakan sistim simbol yang menyampaikan ide atau pengetahuan pada seseorang dan menyebabkan seseorang merasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan- tujuan tertentu. ide dan simbol bersifat publik, dalam arti meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Simbol dalam agama memiliki makna yang harus dikaji dan dinalisa untuk memahami 14 Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, (Yogyakarta :Kanisius, 1990), 68; Dalam Penelitiannya terhadap masyarakat Ndembu, ritus krisis hidup menggambarkan bahwa proses ritus melewati tiga tahap yaitu pemihasan, transisi (liminalitas), dan pengintegrasian kembali. 15 Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, 72-73. 24 kehidupan suatu masyarakat beragama. Simbol berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi individu para anggotanya. Dalam transfigurasi hubungan antara makna simbol, masyarakat dan individu anggota masyarakat, terjadi arus pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan diantara ketiganya di dalam sistem budaya agama.16 Sedangkan Victor Turner melihat simbol sebagai kesatuan terkecil dari ritus yang masih mempertahankan sifat-sifat spesifik tingkah lakunya dalam ritual. Simbol merupakan kesatuan paling fundamental dari ritus. Simbol merupakan manifestasi yang tampak dari ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami sesuatu yang transenden. Simbol ritual bagi Turner adalah sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup sosial, kultural dan religius.17 Hakekat bentuk simbol yang mendasar dan kuat serta tersebar luas dalam kehidupan manusia adalah karena simbol-simbol tersebut bersumber pada hakekat awal mula manusia itu sendiri yang dinamakan sebagai dan berasal dari dalam “pengalaman biologi yang primordial”.18 Ciri khas simbol menurut Turner terbagi atas tiga yaitu multivokal (banyak arti), polarisasi simbol dalam dua kutub yaitu fisik dan ideologis atau normatif, serta unifikasi atau penyatuan dari arti-arti yang terpisah. Turner juga menekankan tiga dimensi arti simbol: Pertama, dimensi eksegetik yaitu mencakup penafsiran yang diberikan oleh informan asli kepada peneliti. Penafsiran ini mencakup apa yang dikatakan tentang simbol- simbol ritual mereka. Kedua, Dimensi operasional yang mencakup tidak hanya penafsiran yang diucapkan secara verbal, tetapi juga apa yang ditunjukkan kepada 16 Geertz, Religion as a Cultural Sistem, 114-117. 17 Turner, The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual, 68. 18 Turner, The Forest of Symbol, Aspects of Ndembu Ritual, 90 25 peneliti terkait penggunaan simbol-simbol tersebut. Ketiga, dimensi posisional yang mencakup relasi dengan simbol-simbol lain. Dalam hal ini simbol-simbol bersifat multivokal, maka terdapat relasi antara simbol-simbol yang ada.19 Prinsip mendasar dari pemahaman ini adalah bahwa simbol, ritual, perilaku keagamaan, juga masyarakat harus dilihat sebagai suatu proses yang terus berulang. 2.2.3. Beberapa catatan kritis Berdasarkan pandangan Geertz dan Turner diatas, terdapat beberapa catatan penting terkait pengertian dan makna ritus itu sendiri. Pertama, Ritus dalam suatu masyarakat religius, merupakan jalinan makna yang termanifestasi dalam bentuk simbol dan perilaku. Sebagai makna, ritus merupakan artikulasi dari konsepsi–konsepsi tentang tatanan umum semua eksistensi dan motivasi yang disebut “etos” serta “pandangan hidu p ” . Sebagai simbol, ritus merupakan sumber pengetahuan karena membawa dan menyampaikan ide kepada seseorang, dan ide-simbol tersebut bersifat kolektif, dalam arti bahwa meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Pada tahap inilah simbol ritual dapat menyebabkan seseorang merasakan, melakukan atau termotivasi untuk tujuan- tujuan tertentu. Orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan buruk maupun benar dan salah bagi dirinya (makna). Sebagai perilaku atau tindakan, ritus merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dalam alokasi waktu yang sudah ditetapkan, dilakukan 19 Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner, 69. 26
Description: