BAB II LANDASAN TEORI Landasan teori merupakan bagian yang membahas tentang uraian pemecahan masalah, yang akan ditemukan melalui pembahasan-pembahasan secara teoretis. Teori-teori yang akan dikemukakan merupakan dasar-dasar penulis untuk meneliti masalah-masalah yang akan dihadapi penulis. Di dalam landasan teori, membahas tentang teori yang akan digunakan peneliti dalam sebuah penelitian. Teori yang dipakai harus sesuai dengan apa yang telah disampaikan dalam rumusan masalah. 2.1 Unsur Pembangun Novel 2.1.1 Tema Sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat, sehingga tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, adat istiadat atau tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Dapat dikatakan bahwa tema merupakan pemikiran pengarang dalam menggarap sebuah cerita. Pada hakikatnya, tema merupakan suatu ide pokok atau pokok pikiran. Dalam tema tersirat suatu tujuan cerita. Seperti apa tujuan cerita yang akan disampaikan maka tergantung pada tema yang diangkat oleh pengarang. Perlu diketahui bahwa tema semata-mata bukan sekedar apa yang ditentukan oleh pengarang dalam menceritakan sebuah persoalan semata, penentuan tema juga dapat ditafsirkan oleh pembaca sebagai penelaah cerita. Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses 9 10 kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media untuk mendeskripsikan tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarang (Aminuddin dalam Siswanto, 2008 : 161). Menurut Aminuddin (2011: 92), dalam upaya memahami tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut. 1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca. 2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca. 3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca. 4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca. 5) Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya. 7) Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannnya. 8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkan dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya. 11 Berdasarkan pembahasan mengenai tema di atas, bahwa memahami tema dalam prosa fiksi tidaklah mudah. Akan tetapi, dengan memahami unsur-unsur di atas dapat membantu pembaca dalam memahami tema. Dengan demikian pembaca akan dapat lebih mudah dalam menyimpulkan sebuah tema pada cerita yang dibaca. 2.1.2 Tokoh dan Penokohan Salah satu unsur intrinsik yang mendukung karya sastra adalah tokoh dan penokohan. Tokoh merupakan komponen yang penting dalam cerita. Apabila tokoh tidak ada, sulit menggolongkan sebuah karya sastra ke dalam karya sastra naratif, karena tindakan para tokoh menyebabkan terjadinya rangkaian cerita. beberapa peristiwa akan hadir melalui tokoh yang menyimpan segala rasa. Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan yang sangat penting, namun tak lepas dari itu, tokoh dalam novel memegang peranan yang berbeda- beda. Ada tokoh yang penting ada pula tokoh tambahan. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh utama, sedangkan tokoh munculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu, (Aminuddin, 2011:79). Tokoh merupakan manusia yang dihadirkan dalam suatu cerita. Tokoh ditafsirkan memiliki kecenderungan tertentu yang digambarkan melalui ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Melalui tindakan atau ucapan yang dilakukan tokoh akan tergambar watak atau karakter dari seorang tokoh. Watak atau karakter pada tokoh sering disebut dengan penokohan. Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan. Watak, perwatakan, dan karakter menuju pada sifat 12 dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjukan pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan menunjuk pada penempatan tokoh- tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 165). Penokohan dalam sebuah cerita harus digambarkan dengan jelas. Dengan demikian, maka apa yang diucapkan, apa yang diperbuat, apa yang dipikirkan, dan apa yang dirasakan harus dapat betul-betul menggambarkan watak dari tokoh- tokohnya. Jika watak yang tergambar pada tokoh sudah benar-benar tergambar dengan jelas, maka tokoh akan dirasa benar-benar hidup oleh pembaca. 2.1.3 Setting atau Latar Membicarakan tentang sebuah karya sastra khususnya karya fiksi, pada dasarnya membicarakan sebuah kehidupan yang dilengkapi dengan tokoh sebagai penghuni, permasalahan, dan ruang dimana hal tersebut dijadikan latar kehidupan bagi tokoh. Ruang tersebut dalam bahasa karya fiksi disebut dengan setting. Dalam karya fiksi, setting dibagi atas tiga bagian yang meliputi setting tempat, waktu, dan suasana. Latar disebut juga setting. Latar adalah segala keterangan, pengacuan, atau petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Latar berfungsi sebagai pemberi kesan realistis kepada pembaca. Selain itu, latar digunakan untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Hal ini didukung oleh pendapat Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 216), Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. 13 Setting harus diuraikan dengan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan nyata kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi, dengan demikian pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah- olah menemukan sesuatu yang benar-benar terjadi dan menjadi bagian dari dirinya. Hal ini akan terjadi jika setting memiliki suasana setempat dan warna lokal yang sama dengan pembaca. Penggambaran setting dalam sebuah cerita ada yang terperinci, ada pula yang tidak. Ada setting yang dijelaskan seperti kenyataannya, ada juga yang merupakan gabungan antara keyataan dengan khayalan. Setting yang dijelaskan sesuai dengan kenyataan merupakan setting yang benar-benar ada dan nyata, sedangkan setting yang dijelaskan tidak sesuai dengan kenyataannya disebut dengan khayalan. Setting khayalan ini sering berkaitan dengan setting tempat, dimana pengarang menggambarkan sebuah tempat yang tidak benar keberadaanya atau hasil khayalan dari pengarang. 2.1.4 Alur Cerita Memahami suatu karya fiksi menjadi sulit apabila pengarang tidak menceritakan secara jelas karena rentetan peristiwa yang dihadirkan rumit. Sebuah karya fiksi akan jelas isi ceritanya apabila rangkaian cerita dituliskan secara jelas oleh pengarang. Bila hal tersebut dilakukan maka perhatian pembaca dalam membaca karya fiksi akan lebih bersemangat dengan peristiwa-peristiwa yang menarik dan runtut, berbeda apabila alur cerita tidak jelas. Pembaca akan merasa bosan dalam membacar karya fiksi tersebut. 14 Alur cerita merupakan penataan atau jalinan peristiwa-peristiwa yang dilakukan atau dialami tokoh dalam suatu urutan waktu. Peristiwa apa saja dan bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut dijalin menjadi sebuah cerita, tampak bersumber pada pengalaman hidup manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, masyarakat, lingkungan, bahkan dengan Tuhannya dalam rentang waktu masa hidupnya. Alur cerita merupakan unsur intrinsik novel yang harus dipahami oleh pembaca, sebab keutuhan cerita dapat dijelaskan melalui rangkaian peristiwa yang dihadirkan oleh para tokoh melalui masalah-masalah yang ditimbulkan dalam cerita. Menurut Aminudin (2011:83), pengertian alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita. 2.2 Antropologi Sastra Antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari manusia yang ada dalam karya sastra. Manusia yang memiliki sikap dan perilaku yang berbudaya. Antropologi sastra merupakan cabang ilmu selain sosiologi sastra dan psikologi sastra yang mengkaji karya sastra sebagai objek penelitian dan teori-teori interdisipliner sebagai rujukan dalam menganalisis karya sastra. Antropologi Sastra terdiri dari dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Antropologi merupakan ilmu yang memperlajari manusia, sedangkan sastra sering dimaknai sebagai alat untuk mengajarkan perilaku budaya. Endraswara (2013:3) juga berpendapat bahwa, sastra dan antropologi adalah cabang keilmuan yang humanistis, keduanya dipandang humanistis karena banyak terkait dengan kehidupan manusia. 15 Objek antropologi menitik beratkan pada kehidupan manusia yang sebenarnya, lebih nyata. Sebaliknya objek karya sastra lebih imajinatif. Perbedaan antara antropologi dengan karya sastra terletak dalam peran dan kedudukan manusia itu sendiri (Ratna, 2011:71). Di dalam antropologi jelas yang dimaksud manusia yaitu manusia itu sendiri secara fisik, sedangkan dalam karya sastra peran pengarang digantikan oleh manusia yang ada di dalam karyanya. Perbedaan seperti ini tidak mengurangi nilai dan makna antropologi sastra sebagai disiplin yang baru (Ratna, 2011:71). Karya sastra dalam antropologi sastra merupakan objek kajian yang harus ditempatkan pada posisi yang utama dalam analisis ini, sebab isi dari karya sastra merupakam serangkaian kalimat-kalimat yang mengevokasi emosi melalui susunan bahasa dan susunan cerita yang akan digunakan sebagai kajian antropologi sastra. Menurut Ratna (2011:71), antropologi sastra jelas memberikan dominasi terhadap hakikat karya sastra, sedangkan ciri-ciri antropologis menduduki posisi sekunder. Di dalam karya sastra memang tidak mencantumkan secara eksplisit kata- kata antropologi, sehingga pembaca harus peka dengan sikapnya agar diketahui dominan cerita-cerita yang mengandung unsur antropologis melalui bahasa, sinonim, dan penafsiran bahasa itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Ratna (2011:73), antropologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan tradisi, adat- istiadat, mitos, dan peristiwa-peristiwa pada umumnya. Baik dalam peristiwa sekarang atau masa lampau yang terdapat dalam aktivitas manusia. Dengan demikian, antropologi sastra dapat memberikan penafsiran terhadap cerita dalam karya sastra melalui ilmu antropologi. Sebagai ilmu 16 interdisipliner, pantaslah bila ilmu antropologi sastra digunakan untuk mengupas secara detail sebuah karya sastra untuk diketahui kebudayaan, nilai kebudayaan, dan ciri-ciri kebudayaan. 2.2.1 Kearifan Lokal Kearifan lokal (local wisdom) dalam disiplin antropologi dikenal juga dengan istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Wales (Ratna, 2011:91). Ada tiga istilah yang tumpang tindih mengenai kearifan lokal menurut Sudikan (2013:41), yaitu pengetahuan lokal, kearifan lokal, dan kecerdasan setempat (local genius). Pengetahuan lokal adalah segala sesuatu yang terkait dengan bentuk-bentuk tradisional. Menurut Wales local genius adalah keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka pada masa lampau (Sudikan, 2013:43). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola limgkingan rohani dan jasmaninya (sudikan, 2013:43). Pada hakikatnya ketiga pengertian mengenai kearifan lokal tersebut sama. Banyak sekali kearifan lokal yang terdapat dalam kebudayaan nusantara, sebagai warisan budaya kearifan lokal perlu dipelihara dan dilestarikan. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Proses perubahan yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Melalui pengertian ini, kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu 17 mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap luas untuk diterima masyarakat luas. Menurut Ratna (2011:92), kearifan lokal memiliki ciri-ciri yang universal dalam arti bahwa gejala tersebut hadir di berbagai komunitas, meskipun dikemukakan dengan bahasa yang berbeda-beda. Ciri-ciri kearifan lokal setiap daerah berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan pengetahuan lokal masyarakat maupun soaial masyarakat daerah yang berbeda-beda. Sehingga kemampuan masyarakat lokal untuk mengola tatanan kehidupan pun berbeda. Melalui hal tersebut diharapkan aturan-aturan yang ada di masyarakat lokal dapat dilaksanakan sesuai kondisi sosial masyarakat tersebut, agar anggota masyarakat lokal tersebut dapat bertindak ke arah positif Menurut John haba (Sudikan, 2013:7) kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohesi sosial antarwarga masyarakat. Ciri dan fungsi kearifan lokal tersebut adalah: (1) Penanda identitas, (2) Elemen perekat sosial, (3) Tumbuh dari bawah serta eksis dalam masyarakat, bukan yang dipaksakan dari atas, (4) Memberi warna kebersamaan komunitas, (5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, (6) mampu mendorong terbangunnya kebersamaan. Melalui kearifan lokal, masyarakat seharusnya lebih bersikap baik. Sebab telah disebutkan di atas untuk tercipta masyarakat yang harmonis, masyarakat sebaiknya tetap berpedoman dengan kearifan lokal di daerahnya karena di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman masyarakat untuk bertindak ke arah positif. Kearifan lokal juga dapat diartikan 18 sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan hal yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para leluhurnya atau nenek moyang dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya. Dalam masyarakat, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, petuah, semboyan, sastra kuno, dan beberapa kehidupan sosial masyarakatnya yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya berupa tradisi, pepatah-petitih, dan semboyan hidup (Sudikan, 2013:44). Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai- nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alamnya (Sudikan, 2013:47). Nilai-nilai itu dapat menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Description: