ebook img

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian ... PDF

18 Pages·2016·0.27 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian ...

17 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan, banyak buku yang membicarakan persoalan Minangkabau, baik itu dalam perspektif budaya, maupun falsafahnya, namun penelitian maupun pengkajian tentang urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau, belumlah menjadi sorotan yang popular di tengah ilmuan, baik itu peneliti yang berasal dari Minangkabau maupun kota lainnya. Dalam hal ini terdapat beberapa buku penting, yang secara langsung bersinggungan dengan topik ini. Pertama, “Alam Takambang Jadi Guru” yang ditulis oleh A. A. Navis (1984), di dalam buku ini, Navis menggunakan pendekatan falsafah Minangkabau yang berpangkal pada alam takambang jadi guru dan menggunakan pepatah serta petitih yang merupakan produk asli kebudayaan Minangkabau. Di dalam buku ini Navis membahas tentang falsafah alam, di mana alam merupakan hal yang sangat berarti bagi masyarakat Minangkabau, tidak hanya sebagai tempat lahir, hidup, berkembang biak dan mati, namun juga mempunyai makna filosofis, seperti yang diungkap dalam falsafah alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Di mana alam diumpamakan menjadi seorang guru yang selalu mengajari dan mendidik masyarakat Minangkabau dalam proses kehidupannya. Oleh karena itu, ajaran dan 18 pandangan hidup Minangkabau yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah, mamangan, serta lainnya mengambil bentuk, sifat dan kehidupan alam. Navis juga menyinggung perihal status dan peran manusia yang berbeda- beda menurut kodrat dan harkat yang diberikan alam kepadanya, tetapi nilainya tetap sama. Di sini menjadi titik pertemuan Navis dengan penulis, namun Navis tidak menjelaskan bagaimana proses pembelajaran atau pembentukan urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau melalui fase merantau, dan bagaimana pergulatan yang dilalui oleh masyarakat Minangkabau selama berada di perantauan. Di sini penulis mencoba untuk menjelaskan secara rinci bagian-bagian yang belum dijelaskan oleh Navis tersebut, baik itu lewat pergulatannya dengan alam, maupun dengan dirinya sendiri, Penulis juga menggunakan falsafah Minang menjadi orang (manjadi urang) sebagai tolak ukur dalam memahami proses pergulatan dalam pencarian jatidiri atau identitas masyarakat Minangkabau. Pergulatan ini terjadi dalam proses merantau yaitu meninggalkan alam Minangkabau atau kampung halaman untuk belajar dengan alam-alam lainnya di luar Minangkabau, seperti Yogyakarta. Kedua, Usman Pelly (1988)”Urbanisasi dan Adaptasi-Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing”. Studi bergaya anthropology ini, membahas bagaimana dua kelompok etnis, Minangkabau dari Sumatra Barat dan Mandailing/Sipirok-Angkola dari Tapanuli Selatan, beradaptasi di kota Medan. Studi ini, meneliti perubahan dan kegigihan beradaptasi kedua kelompok tersebut dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi rantau mereka dan perubahan-perubahan dalam 19 kebudayaan penduduk asli kota perantauan. Dalam penelitian ini, dia menemukan adanya misi budaya yang dibebani bagi perantau serta pengaruh-pengaruhnya pada praktik-praktik rantau, adaptasi dan hubungan- hubungan mereka dengan kota asal. Sejalan dengan Pelly, penulis memaknai merantau sebagai point utama dalam proses pergulatan representasi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau, namun misi budaya yang ditekankan oleh Pelly, menjadi beban serta masalah yang krusial, yang harus dihadapi oleh perantau Minang. Dalam hal ini, penulis melihat adanya beban berat yang harus dipikul perantau Minangkabau dalam menjalankan misi budaya ini, mereka berusaha membangun citra “sukses di perantauan” dengan mempertontonkan simbol-simbol yang mampu mewakili citra sukses tersebut guna mempertahankan harga dirinya ketika pulang kampung. Yang pada akhirnya, masalah ini menjadi penyakit masyarakat yang menjangkiti para generasi muda Minangkabau sekarang. Mereka gagal dalam menjalankan proses menjadi urang, hingga tradisi merantau yang semestinya menjadikan mereka sebagai manusia yang “ideal”, mampu berkontribusi di masyarakat dalam membangun kampung halaman, hanya menjadi sebatas seremonial budaya yang jauh dari nilai-nilai yang ditanamankan oleh leluhur mereka dalam melakukan praktik-praktik budaya seperti merantau. Ketiga, Nusyirwan (2010) “Manusia Minangkabau Iduik Bajaso Mati Bapusako”. Buku ini merupakan metamorfosis dari penelitian disertasi Nusyirwan di program doctoral filsafat Universitas Gadjah Mada dengan judul “Makna Manjadi Urang dalam Filsafat Minangkabau Alam Takambang Jadi Guru”. Dalam bukunya 20 Nusyirwan meneliti manusia Minangkabau dari perspektif pandangan hidup tradisional Minangkabau. Ada temuan yang sangat menarik diungkap oleh Nusyirwan yaitu konsep urang sabana urang, di mana konsep ini ditafsir sebagai core value dari filsafat Minangkabau tentang manusia. Seperti yang ditulis oleh Nusyirwan” manjadi urang” merupakan suatu proses pengalaman hidup dan setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda sejak lahir. Orang yang sebenarnya orang Minangkabau adalah „orang yang baik‟, „orang yang tahu‟, dan memiliki „kearifan akal budi‟ sesuai dengan alur dan patut, tidak meninggalkan adat dan melupakan agama (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah-alam takambang jadi guru). Walaupun Nusyirwan mengurai tematik menjadi urang dalam tatanan filosofi Minangkabau, namun Nusyirwan tidak menyentuh masalah-masalah empiris yang dihadapi oleh masyarakat Minangkabau. Menurut penulis hal yang menjadi masalah bagi masyarakat Minangkabau di ranah maupun di rantau dikarenakan pemahaman masyarakat Minangkabau yang ada di ranah maupun di rantau memiliki persepsi atau makna yang berbeda dalam memahami manjadi urang dan mereka kurang memahami proses manjadi urang yang harus dilalui oleh masyarakat Minangkabau yang ada di ranah maupun di rantau. 2.2 Konsep Untuk memudahkan diskusi dan menyamakan persepsi maka pada bagian ini dijelaskan lebih dulu terminologi dari pergulatan representasi urang dan paradigma masyarakat Minangkabau. 21 2.2.1 Pergulatan Representasi Urang Makna pergulatan yang dimaksud dalam tesis ini yaitu perjuangan masyarakat Minangkabau dalam mempertahankan representasi 2 urang seperti yang telah digambarkan di dalam falsafah-falsafah, pantun, norma, dan nilai di dalam kebudayaan Minangkabau. Juga kebutuhan dan tuntutan untuk menerima maupun merubah paradigma urang sebagaimana yang digambarkan oleh kebudayaan modern mengenai kriteria urang. Keadaan seperti ini setidaknya memang terasa di dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, seperti kegelisahan mengenai kepemimpinan, penghulu, cadiak pandai dan alim-ulama, tetapi di lain sisi, ada kebutuhan yang mengarahkan masyarakat, bahwa representasi urang yang ideal itu adalah yang PNS, bisnismen, dokter, dan polisi. Namun, hal yang paling kelihatan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau akhir-akhir ini mengenai representasi urang yang dimaknai oleh masyarakat Minangkabau merupakan peralihan dari kriteria manjadi (proses) ke produk. Munculnya pergulatan ini dimulai dari kompleksitas pengalaman yang dialami oleh masyarakat Minangkabau di kota perantauan yaitu kota Yogyakarta. Akhirnya berwujud kepada perilaku aktual atau ________________ 2 Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktik penting yang memproduksi kebudayaan. Representasi merupakan proses dari „representing‟. Representasi juga bisa diartikan sebagai proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk kongkrit. Disni bahasa memegang peran penting, di mana Bahasa juga merupakan system representasi, bahasa (symbol, tanda, lisan maupun gambar) dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang realitas. Dengan mengamati kata, simbol maupun gambar yang merepresentasikan suatu realitas, maka akan terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan kepada realitas tersebut. Jadi dapat di simpulkan bahwa representasi urang di dalam tesis ini adalah suatu konsep yang digunakan untuk mewakili kriteria manusia “ideal” dalam paradigma masyarakat Minangkabau yang diwakili dengan sistem penandaan berupa bahasa (lisan) urang. 22 konkret seperti, perubahan, persaingan, dan konflik di dalam masyarakat Minangkabau. Singkatnya pergulatan merupakan fenomena psikis yang berada di dalam diri seseorang sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. 2.2.2 Paradigma Masyarakat Minangkabau Paradigma merupakan kumpulan dari nilai-nilai yang membentuk pola pikir seseorang, biasanya nilai-nilai tersebut menjadi titik tolak dalam menganalisa realitas secara subyektif yang pada akhirnya menentukan respon seseorang dalam menanggapi realitas tersebut. Paradigma dalam disiplin intelektual dapat dipahami sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang mempengaruhi pola pikir (kognitif), sikap (afektif), dan tingkah laku (konatif). Seperti yang ditekankan Capra: paradigma didefinisikan sebagai “suatu konstelasi konsep-konsep, nilai-nilai, persepsi-persepsi, dan praktik-praktik yang digunakan bersama oleh suatu komunitas, yang membentuk suatu visi tertentu atas suatu realitas yang merupakan basis bagi cara komunitas tersebut mengatur dirinya (Capra, 2002:15). Jadi paradigma di sini, juga dipahami sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktik yang digunakan dalam menganalisa realitas. Paradigma (paradigm) diperkenalkan sebagai konsep untuk pertama kalinya oleh Thomas Khun dalam “The Structure of Scientific Revolution”. Dalam buku ini paradigma dilihat sebagai terminology kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Khun, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought (gagasan) atau mode of inquiry (penyelidikan) 23 tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing (pengetahuan) yang spesifik. Akan tetapi, dalam penerapan teori Kuhn ke bidang-bidang di luar sains, istilah “model”, “pola” dan “tipe” kerap dicampurkan saja dengan “paradigma”. (Khun, 1996:50-51). Dewasa ini, dua puluh lima tahun setelah analisis Kuhn, perubahan paradigma pada kalangan saintis merupakan bagian integral dari transformasi kultural yang lebih besar, krisis intelektual yang terjadi di kalangan saitifik dari awal abad ke- 20 sampai sekarang ini dipantulkan oleh suatu krisis kultural serupa namun lebih besar. Oleh karena itu perubahan-perubahan paradigma yang terjadi tidak hanya dalam ranah ilmu, ternyata juga dalam ranah sosial. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan suatu kerangka konseptual, yang terdiri dari nilai, teknik dan metode yang disepakati dan digunakan oleh komunitas maupun masyarakat sebagai pedoman dalam berprilaku, baik itu dalam tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Dengan kata lain, paradigma dapat diartikan sebagai cara berpikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view). Begitu juga dengan masyarakat Minangkabau, paradigma dan konsepsi masyarakat Minangkabau mengenai manusia adalah suatu kosmologi yang dikembangkan dan hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Di mana kosmologi masyarakat Minangkabau merupakan hasil dari penafsiran dari realitas hidup dan lingkungannya. Sistem kosmologi ini merupakan prinsip-prinsip keseimbangan dan keteraturan yang membingkai kehidupan masyarakat Minangkabau. Pemahaman utama kosmologi masyarakat Minangkabau mengenai manusia dimulai dari premis, 24 bahwa: setiap manusia memiliki kemampuan dan potensi-potensi yang unik dan khas yang berada di dalam dirinya, hal ini tertuang dalam ungkapan “walau sagadang bijo bayam, langik jo bumi ado di dalamnya” (walau sebesar biji sayur bayam, langit dan bumi ada di dalamnya) 2.3 Landasan Teori 2.3.1 Psikoanalisis Erich Fromm Erich Fromm (1900-1980) merupakan salah satu dari pemikir mahzab Frankfrut, dilahirkan di Frankfurt, German pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di Universitas Heidelberg, Frankfurt dan Munich. Setelah mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas tersebut pada tahun1922, Fromm lalu belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut Psikoanalisis Berlin. Tahun 1933, ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut Psikoanalisis Chicago serta melakukan praktik sendiri di kota New York. Fromm pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di Amerika Serikat hingga Meksiko. Terakhir, Fromm menetap dan meninggal di Swiss, tepatnya di Muralto, pada tanggal 18 Maret 1980. Fromm sangat terpengaruh oleh karya Karl Marx, terutama oleh tulisan Marx yang pertama, The Economic Philosophical Manuscripts. Psikoanalisis yang dijelaskan oleh Fromm ialah usaha dari Fromm sendiri dalam mengintegrasikan gagasan Karl Marx dengan psikoanalisisnya Sigmund Freud. Walaupun harus disadari bahwa Fromm sendiri sebenarnya bukan seorang freudian namun orang banyak menyebut seorang neo-freudian. Analisis yang dikembangkan oleh Fromm banyak mengupas 25 situasi masyarakat kapitalisme yang menekankan kepada hubungan perilaku masyarakat dengan keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Penerapan psikoanalisis pemikiran Fromm untuk kebutuhan ini lebih menekankan kepada gagasannya di dalam buku to have or to be. Tema dasar ulasan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena dirinya dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Sebagai seorang psikoanalisis, From dikenal sebagai seorang revisionis pemikiran-pemikiran Freud. Melalui karya-karyanya Fromm meninggalkan teori libido dan oedipus complex Freud. Tipologi libidal Freud antara lain: tipe oral, tipe anal dan genital diganti oleh Fromm dengan tipologi yang didasari oleh dasar relasi interpersonal, relasi yang spesifik antara manusia dengan dunia (tipe karakter non produktif, tipe karakter produktif. Oedipus complex ditinggalkan oleh Fromm karena bentuk tipologi yang dibangun di atas kebudayaan partiarkal yang akhirnya melahirkan kompleks oedipus, mengakibatkan manusia merasa tertekan dan tidak aman oleh kewajiban secara otoriter oleh ayah maupun suara hati. Berangkat dari premis yang demikian akhirnya Fromm sendiri mengusulkan sebagai kebudayaan yang berangkat dari kebudayaan matriarkal sebagai alternatif, karena yang lebih dominan disini adalah cinta kasih. Di lain sisi Fromm juga mengkritik gagasan Freud dikarenakan terlalu mereduksi relasi antar manusia menjadi sarana untuk memperoleh gravitasi individual. 26 Sekitar tahun 1940an sejalan dengan kritiknya atas Freud, hubungan Fromm sendiri dengan teman-teman dari mahzab Frankfrut merenggang yang akhirnya semakin retak. Maka sejak saat itu minat Fromm berkembang ke hal-hal yang lebih luas yaitu analisis atas kondisi eksistensi manusia. Pada fase inilah karya-karya Fromm sangat dipengaruhi oleh konsep alinansi Karl Marx muda. Pemikiran Fromm diwarnai dengan topik-topik disekitar keterasingan, neurotic, sadisme, masokhisme dan sebagainya yang tidak lagi merumuskan kerangka seksualitas seperti apa yang dilakukan oleh kaum Freudian ortodoks, melainkan analisis yang dilakukan Fromm lebih menekankan kepada kerangka hubungan antar pribadi. Akhirnya, minat Fromm yang lebih kepada aspek eksistensial manusia mendorongnya untuk mengembangkan pemikirannya tentang transformasi kemasyarakatan dan bahkan di bidang moral, yang diwarnai oleh pernyataan-pernyataan yang optimis, bahkan cenderung utopis. Pokok pemikiran Fromm sendiri dalam konteks penelitian ini berdekatan dengan gagasan utamanya di dalam buku “to have or to be”, di dalam bukunya ini Fromm mencoba membandingkan kebudayaan modern yang lebih memiliki kecenderungan untuk memiliki dari pada menjadi atau keberadaanya. Fromm menjelaskan bahwa ada dua cara eksistensi yang sedang bertarung dalam periode krisis dewasa ini : 1. Cara “memiliki” (to have), yang sangat dominan berada di dalam masyarakat industry modern dan industry dewasa ini, baik itu kapitalisme maupun komunisme. Cara yang pertama ini lebih mengutamakan kepemilikan harta benda, citra diri, narsistik, kompetisi, ego dan kekuasaan yang akhirnya berimplikasi kepada keserakahan, kedengkian, dan agresivitas. 2. Cara “mengada” (to be), cara

Description:
BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL. PENELITIAN. 2.1 Kajian Pustaka. Berdasarkan studi Page 3 . oleh Thomas Khun dalam “The Structure of Scientific Revolution”. Dalam buku ini paradigma
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.