9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Trauma Tumpul Abdomen 2.1.1 Definisi Trauma abdomen adalah trauma yang melibatkan daerah antara diafragma pada bagian atas dan pelvis pada bagian bawah. Trauma abdomen dibagi menjadi dua tipe yaitu trauma tumpul abdomen dan trauma tembus abdomen. (Guillion, 2011) 2.1.2 Epidemiologi Trauma merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada populasi umum setelah penyakit kardiovaskular dan kanker. Pada subgrup pasien usia dibawah 40 tahun, trauma merupakan penyebab kematian utama (Guillion, 2011). Di Amerika Serikat, angka korban akibat trauma diperkirakan sekitar 57 juta setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat inap dan 150.000 kematian (Elliot dan Rodriguez, 1996). Dengan beban ekonomi yang disebabkan oleh trauma cukup signifikan, diperkirakan trauma mengakibatkan hilangnya angka kehidupan sebesar 26% dan lebih dari separuhnya kehilangan usia produtifnya (Tentillier dan Mason, 2000). Trauma abdomen, merupakan penyebab kematian yang cukup sering, ditemukan sekitar 7 – 10% dari pasien trauma (Costa, 2010). Di Eropa, trauma tumpul abdomen sering terjadi, sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Pada tigaperempat kasus trauma tumpul abdomen, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering dan sering ditemukan pada pasien politrauma. Diikuti oleh jatuh sebagai penyebab kedua tersering. Hal ini seringnya berhubungan 10 dengan tindakan percobaan bunuh diri, kecelakaan kerja, dan kecelakaan saat olahraga (Guillion, 2011). Di Indonesia, didapatkan bahwa prevalensi cedera secara nasional adalah sebesar 8,2%, dimana prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%). Penyebab cedera secara umum yang terbanyak adalah jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%) (Riskesdas 2013). Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang didapatkan umumnya merupakan organ solid, terutama lien dan hepar dimana kedua organ ini dapat menyebabkan perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk organ berongga cukup jarang terjadi, dan seringnya dihubungkan dengan seat-belt atau deselerasi kecepatan tinggi (Guillion, 2009; Demetrios, 2011). 2.1.3 Mekanisme trauma tumpul abdomen Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ intraabdomen bergantung pada mekanisme cedera dan organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya organ berhubungan dengan lokasi anatomis, organ padat atau organ berongga, terfiksir atau mobile. Berbagai macam mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul, tetapi sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh (Guillion, 2009). 11 Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera organ intraabdomen, yaitu : Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen anterior dan posterior (Demetrios, 2011). Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan ligament yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009). Terjadinya closed bowel loop pada disertai dengan peningkatan tekanan intraluminal yang dapat menyebabkan rupture organ berongga (Demetrios,2011). Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur costa) (Demetrios, 2011). Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan ruptur diafragma bahkan ruptur kardiak (Demetrios,2011). 2.1.4 Diagnosis 2.1.4.1 Anamnesis Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan akurat sangat diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera organ intraabdomen akibat trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Informasi diperoleh dari paramedis, polisi atau yang mendampingi pasien saat transportasi dan juga dari pasien sendiri jika pasien sadar baik (Richard et al, 2007). Saat melakukan anamnesis, digunakan sistem MIST, yaitu : 12 Mekanisme cedera Injury (cedera yang didapat) Signs (tanda atau gejala yang dialami) Treatment (penanganan yang telah diberikan) (Sugrue, 2000). 2.1.4.2 Pemeriksaan fisis Penilaian klinis terhadap pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen terkadang sulit dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan pada sekitar 50% pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Legome dan Geibel, 2016; Sugrue, 2000). Selain penurunan kesadaran, efek hemoperitoneum dan variasi cedera dari berbagai variasi gejala cedera organ padat atau berongga membuat interpretasi yang sulit dilakukan. Adanya cedera lainnya pada pasien multi trauma memberikan tantangan tambahan (Sugrue, 2000). Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien yang sadar baik yaitu : Nyeri perut Nyeri tekan pada abdomen Perdarahan gastrointestinal Hipovolemik Tanda-tanda peritonitis (Legome dan Geibel, 2016) Bagaimanapun, akumulasi darah dalam jumlah yang banyak di intraperitoneum dan rongga pelvis dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik yang tidak signifikan. (Legome, Geibel. 2016) Keluhan nyeri perut maupun nyeri tekan pada abdomen memiliki sensitifitas yang baik untuk mengidentifikasi cedera organ intraabdomen, tetapi sensitifitas tersebut dapat menurun bila didapatkan penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS) (Adelgais, 2014). 13 Evaluasi terhadap cedera penyerta yang berhubungan sangat diperlukan pada pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000). Pada pemeriksaan fisis, ada beberapa tanda yang dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan cedera organ intraabdomen, yaitu : Lap belt marks : berhubungan dengan ruptur usus halus Kontusio dengan steering wheel shaped Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign) atau umbilicus (Cullen sign) : mengindikasikan perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari Distensi abdomen Terdengar bising usus pada daerah thorak : mengindikasikan cedera pada diafragma Bruit pada abdomen : mengindikasikan adanya penyakit vaskuler yang mendasari atau adanya fistel arteriovenous fistula. Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas : kemungkinan cedera peritoneum Krepitasi atau thoracic cage yang tidak stabil mengindikasikan kemungkinan cedera lien atau hepar (Legome dan Geibel, 2016). 2.1.4.3 Pemeriksaan penunjang Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang berat, organ intra-abdomen harus dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif dibandingkan hanya dengan pemeriksaan fisis sendiri bila didapatkan nyeri yang signifikan dan disertai dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan untuk evaluasi abdomen adalah 1. Computed Tomography (CT) abdomen Computed Tomography abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik cedera organ intra- abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan ini menggunakan kontras intravena, sehingga 14 pemeriksaan ini sensitif terhadap darah dan dapat mengevaluasi masing-masing organ, termasuk struktur organ retroperitoneal (Boffard, 2012). Helical CT Scan sagital dan koronal rekonstruksi berguna untuk mendeteksi cedera diafragma. Selain itu, juga dapat meningkatkan diagnosis cedera gastrointestinal (Radwan dan Zidan, 2006). Computed Tomography abdomen memiliki akurasi yang tinggi, mencapai 95% dan memiliki negative predictive value yang sangat tinggi yaitu hamper 100%. Tetapi pasien dengan kecurigaan trauma tumpul abdomen harus dirawat di rumah sakit selama paling sedikit 24 jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen negatif. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menentukan derajat cedera organ padat dan menjadi penuntun untuk penatalaksanaan non- operatif dan juga keputusan untuk dilakukan tindakan pembedahan (Radwan dan Zidan, 2006). Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki batasan yaitu diperlukan petugas yang ahli untuk melakukannya dan dokter spesialis radiologi untuk membuat interpretasi hasil. Pemeriksaan CT abdomen walaupun sangat sensitif terhadap organ padat, tetapi tidak menunjukkan adanya robekan pada mesenterium, cedera pada usus terutama robekan yang kecil, cedera diafragma bila rekonstruksi sagital dan coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila dilakukan segera setelah trauma. Adanya cairan bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya cedera pada organ padat dapat menyebabkan keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana konservatif (Radwan dan Zidan, 2006). Kerugian CT abdomen yaitu perlunya mentransfer pasien ke unit CT scan, bahaya radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak koperatif atau mengambil posisi yang baik bila kesakitan atau dengan penurunan kesadaran. Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT abdomen. Pemeriksaan tanpa menggunakan kontras dapat 15 menurunkan sensitifitas CT abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat. (boutros, Nassef, Ghany, 2015) Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan CT abdomen, yaitu : Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera pada duodenum, maka pemberian kontras peroral dapat membantu diagnosis. Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon distal dengan adanya darah pada pemeriksaan rektum, pemberian kontras melalui rektum dapat membantu (Boffard, 2002). 2. Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST) Focus Assesment Sonography for Trauma awalnya dilakukan di Eropa dan Jepang pada tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh Amerika Utara pada tahun 90-an, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang pertama kali menggunakan FAST di unit gawat darurat (Radwan, Zidan, 2006). Focus Assesment Sonography for Trauma merupakan suatu pemeriksaan yang mendeteksi ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang aman dan cepat serta dapat dengan mudah untuk dipelajari. Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan tidak dapat dibawa ke ruang CT abdomen, bahkan dapat dilakukan disamping pasien selama dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan dari ruangan resusitasi (Radwan, Zidan, 2006). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 79 – 100% dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil (Boutros, Nassef, Ghany, 2015). 16 Pada pemeriksaan FAST difokuskan pada 6 area, yaitu perikardium, hepatorenal, splenorenal, parakolik gutter kanan dan kiri, dan rongga pertioneaum di daerah pelvis (Boffard, 2002). Pada evaluasi trauma tumpul abdomen, FAST menurunkan angka penggunaan CT Scan dari 56% menjadi 26% tanpa meningkatkan resiko kepada pasien. (Branney dkk., 1997). Pemeriksaan ini akurat untuk mendeteksi darah sebanyak >100 mililiter, namun hasil pemeriksaan sangat bergantung pada operator yang mengerjakan dan akan terutama pada pasien obesitas atau usus-usus terisi udara. Cedera organ berongga sangat sulit untuk didiagnosis dan memiliki sensitivitas yang rendah sekitar 29–35% pada cedera organ tanpa hemoperitoneum (Boffard, 2002) Keterbatasan ultrasound harus dipahami ketika menggunakan FAST. Ultrasound tidak akurat pada pasien obesitas akibat kurangnya kemampuan penetrasi gelombang sonografi. Selanjutnya, akan sulit juga untuk memvisualisasi struktur organ intra-abdomen pada keadaan ileus atau elfisema subkutis. USG sangat akurat untuk mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi tidak dapat membedakan antara darah, urin, cairan empedu atau ascites. Organ retroperitoneal juga sulit untuk dievaluasi (Radwan dan Zidan, 2006). Pemeriksaan FAST ini dapat dipertimbangkan sebagai modalitas awal pada evaluasi trauma tumpul abdomen, tidak invasive, tersedia dengan mudah, dan membutuhkan waktu persiapan yang singkat. Ultrasonografi berulang pada pasien trauma tumpul abdomen yang mendapat observasi ketat meningkakan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100% (Boutros, Nassef, Ghany, 2015). 3. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu pemeriksaan yang digunakan untuk menilai adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube dipasang untuk mengosongkan lambung dan 17 pemasangan kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. Sebuah kanul dimasukkan di bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah (>10ml dianggap positif) dan selanjutnya dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat sebanyak 1000 mililiter (ml) dan kemudian dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah >100.000 sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500 sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap positif. Jika terdapat keterbatasan laboratorium, dapat menggunakan urine dipstick. Jika didapatkan drainage cairan lavage melalui chest tube mengindikasikan penetrasi diafragma (Boffard, 2002). Bila hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan FAST dan CT abdomen. Apabila dengan hemodinamik tidak stabil, dilakukan pemeriksaan FAST atau DPL (Richard et al., 2007). FAST sangat berguna sebagai alat diagnostic untuk mendeteksi cairan intra-abdomen, sehingga indikasi DPL menjadi lebih terbatas. Ketiga modalitas diagnostic ini saling melengkapi dan tidak kompetitif. Kegunaan masing-masing dapat dimaksimalkan ketika digunakan secara tepat (Radwan, Zidan, 2006) 4. Laparotomi eksplorasi Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik paling akhir. Indikasi dilakukan laparotomi eksplorasi adalah : - Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya - Perdarahan tidak terkontrol - Tanda – tanda peritonitis - Luka tembak pada abdomen - Ruptur diafragma - Pneumoperitoneum - Eviserasi usus atau omentum. 18 - Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari naso-gastric tube (NGT) atau rectum, perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka tusuk dengan cedera vascular, bilier, dan usus (Richard dkk., 2007). Prioritas pembedahan pada saat laparotomi adalah : - Menemukan dan mengontrol perdarahan - Menemukan cedera usus untuk mengontrol kontaminasi feses - Identifikasi cedera ogan abdomen dan struktur lainnya - Memperbaiki kerusakan organ dan strukturnya (Richard dkk., 2007) 2.2 Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) pada Pasien Trauma Tumpul Abdomen (Shojaee dkk., 2014) Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah suatu sistem skoring yang digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai mengalami cedera organ intra-abdomen akibat trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat menghemat waktu, mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan radiasi, dan biaya yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam BATTS antara lain : Nyeri abdomen, nilai skor 2 Nyeri tekan abdomen, nilai skor 3 Jejas pada dinding dada, nilai skor 1 Fraktur pelvis, nilai skor 5 Focus Assesment Sonography for Trauma, nilai skor 8 Tekanan darah sistolik <100 mmHg, nilai skor 4 Denyut Nadi >100 kali/menit, nilai skor 1
Description: