ebook img

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi ACL Ligamen crutiatum memiliki peran krusial terhadap ... PDF

19 Pages·2017·0.63 MB·Indonesian
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi ACL Ligamen crutiatum memiliki peran krusial terhadap ...

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Anatomi ACL Ligamen crutiatum memiliki peran krusial terhadap stabilitas anteroposterior sedangkan ligamen kolateral berperan terhadap stabilitas valgus/varus. Setiap ligamen crutiate memiliki dua buah bundel. Ligamen crutiate anterior (ACL) memiliki bundle anteromedial dan posterolateral, sedangkan ligamen crutiate posterior (PCL) memiliki bundel anterolateral dan posteromedial. PCL berada di antara ligamen Humprey (anterior) dan ligamen Wrisberg (posterior). Ligamen cruciatum menghubungkan femur dan tibia, meyilang di dalam kapsul sendi tapi berada diluar celah artikular. Ligamen cruciate melintang satu sama lain secara oblique seperti huruf X. Selama rotasi medial dari tibia pada femur, ligamen cruciatum berputar satu sama lain sehingga jumlah rotasi medial terbatas sekitar 10°. Karena mereka terlepas satu sama lain selama rotasi lateral, hampir 60° rotasi lateral yang mungkin ketika lutut fleksi > 90°. Titik persimpangan dari ligamen cruciatum berfungsi sebagai poros gerakan berputar di sendi lutut. (Moore,K et al. 2007) Ligamen cruciatum anterior berada di dalam kapsular tapi di luar synovial. Suplai pembuluh darah dari ACL berasal dari middle genicular artery, yang berasal dari arteri popliteal. Arteri genikulata lateral dan medial inferior juga memvaskularisasi ACL via fat pad.(Larson, RI et all, 1994) Ligamen cruciatum anterior (ACL), yang lebih lemah muncul dari daerah interkondilaris anterior tibia, di posterior perlekatan meniskus medial. Ligamen ini meluas ke superior, posterior, dan lateral untuk melekat ke bagian posterior dari sisi medial kondilus lateral femur. ACL memiliki suplai darah yang relatif sedikit dan membatasi rotasi posterior kondilus 6 femoral di tibial plateau selama fleksi, mengubahnya menjadi berputar. Hal ini juga mencegah 5 perpindahan posterior dari femur pada tibia dan hiperekstensi dari sendi lutut. Ketika sendi lutut fleksi pada sudut yang benar, tibia tidak dapat ditarik ke anterior karena dipegang oleh ACL. Gambar 1. Anatomi ACL Ligamen cruciatum anterior merupakan stabilisator utama dari struktur sendi lutut. Origo dari ACL berada pada aspek posterior dari femur yang berjalan secara medial dan akan berinsersi pada aspek anterior dari tibia. Ligamen ini termasuk intrakapsular tapi masih berada di luar cairan synovial. ACL berguna untuk penahan utama translasi anterior dari tibia dan juga rotasi tibia internal. 6 2.2 Cedera pada ACL Stabilitas dinamis sendi lutut dipengaruhi oleh tahanan pasif (ligament) dan aktif (neuromuscular). ACL berkontribusi sebagai tahanan primer terhadap translasi anterior dari tibia terhadap femur, selain itu berfungsi sebagai tahanan rotasional pada bidang frontal dan transversal. Cedera ACL memiliki kemampuan yang buruk untuk sembuh dengan kegagalan sekitar 40-100% bahkan bila sudah dilakukan repair. ACL repair merupakan suatu gold standar yang dipakai untuk cedera ACL terutama pada usia muda dan atlet yang bertujuan segera kembali ke aktivitas. (Kiapour and Murray, 2014). Studi di Selandia Baru menyebutkan insiden cedera ACL sekitar 36,9 persen per 100.000 orang pertahun. Cedera ACL terjadi melalui kontak pada ekstremitas bawah yang terfiksir dengan torsi yang cukup meinimbulkan cedera. (Cimino, Volk and Setter, 2010). Sedangkan di Amerika Serikat, insiden cedera ACL meningkat antara 40%-60% per 100.000 pada tahun 2014. Cedera pada ACL terjadi melalui mekanisme nonkontak yaitu fleksi- valgus-eksternal rotasi, fleksi-varus internal rotasi, dan external rotasi atau hiperekstensi berlebihan. (Deehan, 2005) Cedera ACL merupakan cedera yang sering terjadi di negara berkembang. Cedera ACL biasanya terjadi pada individu muda, dan aktif beraktivitas. Cedera ACL biasanya terjadi pada trauma olahraga. Cedera ACL dapat berkembang menjadi osteoarthritis pada dekade pertama dan kedua setelah cedera. Osteoarthritis post-traumatik didiagnosis berdasarkan adanya keluhan klinis dan pemeriksaan radiologis yang menunjukkan adanya osteofit dan penyempitan celah sendi. Banyak macam biomarker yang dievaluasi untuk mendeteksi osteoarthritis secara dini dan menghambat progresifitasnya. Tetapi tidak ada biomarker yang valid untuk mendeteksi perubahan awal dari jaringan setelah cedera ACL. Berdasarkan penelitian pada minggu pertama setelah cedera ACL, terdapat peningkatan konsentrasi IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-α. Pada kelompok dengan 7 ACL deficit terdapat tanda kerusakan dari cartilage yang ditandai dengan adanya enzim yang bertanggung jawab dalam degradasi proteoglikan dan kolagen (MMP-1 dan MMP-3). (Harkey et al., 2015) 2.3 Proses Inflamasi Paska Cedera ACL Secara umum pada pasien dengan cedera ACL akut dan kronis menunjukkan konsentrasi IL-1α, bFGF, TGF-β, GM-CSF, IL-6 dan IL-8 yang konsisten dengan reaksi inflamasi. Level sitokin ini sama pada pasien 4 minggu paska cedera dan pada pasien kronik yang menunjukkan bahwa reaksi inflamasi persisten paska efusi akut. TNF-α merupakan suatu sitokin dari makrofag yang juga menyebabkan degradasi cartilage dan mensupresi sistensi dari matriks. TNF- α juga menyebabkan sekresi IL-6 dari kondrosit serta IL-1 dan metalloprotease dari sel synovial. Hasil penelitian menunjukkan level yang tinggi dari IL-6 dan IL-8 sebelum 3 minggu awal dan tendensi semakin menurun setelahnya. IL-1 beta dan TNF-α bervariasi dan terdapat penurunan selama 3 minggu paska cedera. (Cameron et al., 1994) Penelitian oleh Batta, ditemukan peningkatan kadar IL-6, MMP-3, dan TIMP-1 pada lutut dengan cedera ACL. TNF-α tidak terdeteksi pada lutut yang normal, namun terdeteksi 10.4 pg/ml pada lutut dengan cedera ACL. IL-6 merupakan sitokin yang merangsang diferensiasi dan proliferasi sel-B serta menginduksi produksi antibodi. IL-6 merupakan sitokin pre-inflamasi yang konsentrasinya tinggi sampai 50 minggu paska cedera ACL kemudian mulai menurun setelahnya. (Batta, 2016) Penelitian oleh Higuchi dan kolega juga menyebutkan bahwa konsentrasi IL-6, MMP-3 dan TIMP-1 akan lebih tinggi pada individu dengan cedera ACL dibandingkan dengan sendi lutut yang normal. TNF-α dan IL-1β juga terdeteksi pada individu dengan cedera ACL. Pada cedera 8 ACL konsentrasi MMP-3 pada cairan synovial berkorelasi postif dengan IL-6 dan TIMP-1. Konsentrasi TIMP akan cenderung menurun walaupun kadarnya meningkat saat trauma. Konsentrasi IL-6 akan tetap tinggi selama 50 minggu paska cedera ACL kemudian akan cenderung menurun setelahnya. Konsentrasi rata-rata 27,617.5±23,336.6 ng/ml untuk MMP-3, 1,232.2±955.2 ng/ml untuk TIMP-1, and 1,057.5±1,435.0 ng/ml pada IL-6. Untuk mencegah perkembangan kerusakan cartilage setelah cedera ACL, penting untuk memulai terapi cedera ACL karena IL-6 dan MMP-3 menginduksi destruksi cartilage. (Higuchi et al., 2006) Pada cedera ACL, synoviosit kondrosit, dan jaringan intra-artikular lain akan teraktivasi untuk memproduksi beberapa mediator inflamasi seperti IL-1β, IL-6, IL-8, IL-10 and tumor necrosis factor-α (TNF-α). IL-1 akan memodulasi keseimbangan metabolik cartilage yaitu dengan cara menurunkan produksi dari komponen matriks cartilage dan merangsang ekspresi MMPs meliputi MMP-1, MMP-3, MMP-9, MMP-10 and MMP-13. Aktivasi dari faktor transkripsi seperti NF-κB dan aktivasi dari activator protein-1 akan menginduksi MMPs. MMPs akan berinteraksi dengan protein secara katabolik. Lin dkk menemukan bahwa ekspresi dari MMP-3 meningkat secara konsisten pada zona cartilage permukaan. MMP-3 dapat mengaktivasi prokolagenase yang akan menginduksi degradasi cartilage dan mempengaruhi perbaikannya. (Li, Chen and Chen, 2014) Cedera yang dilakukan pada sendi lutut kelinci meningkatkan ekspresi synovial dari IL-1 β, IL-6, dan IL-8 2 sampai 3 kali dalam 72 jam pasca cedera, tapi akan berkurang dalam 3 minggu. Sedangkan studi oleh Cuellar dan kolega yang memeriksa profil sitokin paska cedera ACL akut hanya menunjukkan 4 spesifik sitokin yang meningkat secara konsisten yaitu IL-6, IFN-γ, MCP- 1, dan MIP-1β (Cuellar et al., 2010) 9 Cedera akut ACL menimbulkan reaksi inflamasi yang berlangsung kronis setelah resolusi efusi akut. Sitokin inflamasi sendi-lutut dapat mendorong katabolisme tulang rawan melalui sintesis radikal bebas dan metaloprotease dan membentuk OA. Sitokin IL-6, IL-8, dan IL-1β meningkatkan aktivitas osteoklastik dan dapat berkontribusi pada resorpsi tulang. IL-6 dan IL-8 adalah sitokin proinflamasi yang memiliki peran penting dalam kerusakan tulang rawan dan tulang. IL-6 di lingkungan sendi mengurangi produksi kolagen tipe II, meningkatkan produksi MMPs, dan dianggap sebagai sitokin kunci dalam degradasi tulang subchondral. IL-6 memiliki kemampuan untuk meningkatkan produksi kemokin inflamasi, seperti IL-8 pada sinoviosit dan monosit. Tingkat TNF-α dan IL-1β dalam cairan sinovial mengikuti pola temporal yang berbeda, karena tidak meningkat setelah cedera ACL akut dan tetap tidak berubah dalam waktu meskipun operasi rekonstruksi ACL. (Bigoni et al., 2013) Witkowski dan kolega melakukan studi dengan mengukur migrasi sel dan penyembuhan ligamen, TNF-α menurunkan recovery pada cedera ACL dan MCL yang dibuat secara artificial.(Witkowski et al., 1997) 2.4 Manajemen Pada Cedera ACL Manajemen dari cedera ACL meliputi banyak faktor. Keputusan untuk melakukan tindakan konservatif atau operatif bergantung pada individu penderita meliputi usia, aktivitas pasien, derajat instabilitas, dan derajat cedera ACL. Terapi konservatif pada jaman dahulu dianggap sebagai suatu alternatif dari gold standar, namun dengan outcome fungsional yang buruk. Kandidat primer untuk tindakan operatif pada cedera ACL yaitu pasien cedera ACL akut dengan lifestyle yang aktif dan pasien cedera ACL kronik dengan instabilitas fungsional. (Larson and Tailon, 1994) 10 Dalam teknik rekonstruksi ACL masih terdapat perdebatan mengenai waktu untuk repair dan rehabilitasi, serta tipe graft yang akan dipakai. Berdasarkan timing atau waktu untuk intervensi operasi, terdapat tiga macam faktor yang harus dipertimbangkan. Peningkatan insiden cedera meniscus dan chondral akan meningkat apabila dilakukan delayed rekonstruksi ACL, risiko terjadinya arthrofibrosis yang berhubungan dengan rekonstruksi ACL dini, serta hubungan hilangnya kekuatan otot karena inaktivitas jika operasi terlambat. Jumlah pasien yang mengalami robekan meniscus paska cedera ACL berkisar antara 10%-50%, sedangkan untuk lesi chondral berkisar 20%. (Paschos, N.K., 2016) Salah satu komplikasi dari tindakan operatif pada cedera ACL adalah kekakuan sendi. Istilah Arthrofibrosis telah digunakan untuk mendeskripsikan kekakuan sendi yang terjadi setelah rekonstruksi ACL. Patofisiologi yang dianggap memegang peranan yaitu proses inflamasi yang terjadi pada fat pad dan synovium, diikuti dengan penebalan kapsul yang menghilangkan suprapatellar pouches serta medial dan lateral gutters. Tendon patella akan menjadi memendek sehingga terjadi patella baja dan kerusakan cartilage lebih lanjut. (Larson and Tailon, 1994) 2.5 Hubungan Cedera ACL dengan Timing Rekonstruksi Predisposisi cedera ACL pada wanita meningkat 2 – 8 kali lipat dibandingkan dengan pria. Hal ini berhubungan dengan laxity dari sendi, pengaruh hormonal, dimensi intercondylar notch, dan ukuran ligament. Keputusan untuk manajemen terapi pada ACL ruptur dibuat berdasarkan status pasien, level aktivitas, instabilitas sendi, dan cedera lain yang berhubungan. Studi dari Fu dan kolega menyebutkan indikasi untuk ACL rekonstruksi yaitu 1) Pasien yang aktif secara atletis yang ingin kembali beraktivitas segera, 2) Pasien dengan cedera meniscus yang dapat direpair, 3) Pasien dengan robekan Grade III (PCL, MCL, LCL), 4) Pasien dengan instability yang menggangu 11 kehidupan sehari-hari. Studi dari Harner menyebutkan operasi rekonstruksi yang terlalu dini dapat meningkatkan insiden arthrofibrosis dan penurunan range of motion. Direkomendasi untuk menunggu 3 sampai 4 minggu setelah cedera (O’Connor et al., 2004) Waktu optimum untuk ACL rekonstruksi (ACLR) merupakan keputusan klinis penting yang dapat mempengaruhi hasil akhir dan sampai saat ini masih dalam perdebatan. Pemilihan waktu untuk tindakan ACLR multifaktorial mencakup faktor-faktor seperti status pre-operatif dari lutut, maupun faktor sosioekonomik seperti keluarga, sekolah dan kewajiban kerja serta persiapan mental. Berikut adalah tinjauan bukti yang ada mengenai definisi operasional dari early vs delayed ACL Tabel 2.1. Definisi early dan delayed ACLR dari beberapa studi Penelitian oleh Shelbourne dan kolega menunjukkan pasien yang menjalani rekonstruksi pada minggu awal cedera memiliki peningkatan kejadian artrofibrosis dibandingkan yang dilakukan pembedahan setelah 21 hari. Studi dari Almekinders dan kolega juga menunjukkan 12 bahwa pasien yang menjalani rekonstruksi kurang dari 1 bulan paska cedera memiliki keterbatasan dalam gerakan sendi lutut baik setelah operasi atau satu tahun setelahnya. Studi dari Passler juga menunjukkan terjadinya arthrofibrosis pada 18% pasien yang menjalani operasi dalam 7 hari pertama pasca cedera dibandingkan dengan 6% pasien bila dilakukan 4 minggu pasca cedera. Sedangkan studi dari Bottoni dan kolega menunjukkan tidak ada perbedaan range of motion pada pasien yang menjalani rekonstruksi pada tahap awal cedera dibandingkan dengan 6 minggu pasca cedera. Studi dari Church dan Keating menunjukkan 183 pasien terjadinya peningkatan yang signifikan kejadian robekan meniscus pada pasien yang menjalani operasi delayed sampai 1 tahun pasca cedera menggunakan French Society of Arthroscopy (SFA) system. Studi ini juga didukung oleh studi oleh Kennedy dan kolega yang menunjukkan hubungan timing ACLR dengan prevalensi cedera meniscus dan defek kondral. Walaupun tidak ada konsensus dalam literatur yang menunjukkan waktu yang tepat untuk timing ACL rekonstruksi , beberapa penulis menyarankan agar ACLR dilakukan sebelum 3 minggu setelah cedera untuk menghindari arthrofibrosis. Selain dari waktu, kriteria objektif seperti bengkak saat operasi, edema, hyperthermia dan ROM merupakan indikator penting untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan operasi. Opsi untuk intervensi bedah beberapa hari setelah injury mungkin bermanfaat untuk atlit professional atau individual yang menginginkan untuk dapat kembali ke level fungsional secepatnya. Sedangkan, opsi untuk delayed intervensi akan lebih menarik untuk mereka yang tidak mempunyai batas waktu atau meinginkan waktu yang lebih banyak untuk persiapan operasi (Evans, Shaginaw and Bartolozzi, 2014) 13 Rekonstruksi akut memiliki tingkat kekakuan lutut pasca operasi yang lebih tinggi sehingga kebutuhan untuk operasi ulangan. Namun banyak pasien ini tidak menjalani program rehabilitasi yang menekankan pemulihan awal untuk hiperekstensi penuh, dan dalam banyak kasus pasien tidak bergerak untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, beberapa penulis juga telah menunjukkan bahwa rekonstruksi akut dapat dilakukan tanpa peningkatan risiko kekakuan pascaoperasi. Hunter dan kolega mengevaluasi pasien yang dioperasi pada jam ke-48, antara 3 dan 7 hari pasca-cedera, antara 1 dan 3 minggu pasca cedera, dan lebih dari 3 minggu pasca-cedera. Meskipun hasil setara untuk pengujian KT-1000 dan fleksi pasif dan ekstensi pada follow-up 1 tahun di antara keempat kelompok, pasien yang dioperasi lebih dari 3 minggu pasca-cedera menghasilkan lebih banyak range of motion dan lebih cepat daripada tiga kelompok lainnya. Selanjutnya, tidak ada pasien 3 minggu pasca cedera yang memerlukan operasi berulang untuk permasalahan gerak atau operasi revisi, sedangkan 11 pasien pada tiga kelompok lainnya memerlukan prosedur tambahan. Manfaat teoritis untuk rekonstruksi akut adalah untuk mencegah adanya trauma tambahan pada lutut yang bisa terjadi. Tidak ada penelitian yang dapat menunjukkan manfaat untuk rekonstruksi akut sebelum pasien mendapatkan kembali pergerakan penuh, risiko masalah gerak, dan kemungkinan kebutuhan untuk operasi berulang untuk mengatasi keterbatasan gerak tetap lebih tinggi. Protokol saat ini adalah waktu operasi ketika pasien telah kembali mendapatkan range of motion yang penuh, memiliki efusi minimal, dan telah mendapatkan gerakan control quadriceps. Tidak ada batas waktu untuk pasien. Beberapa pasien akan mendapatkan kembali gerakan dalam beberapa minggu, dan yang lainnya mungkin memerlukan waktu lebih lama. (Chapman et al., 2007) Meighan dan kolega meneliti 1 tahun setelah pembedahan, tidak ditemukan adanya perbedaan antara rekonstruksi cepat dan lambat pada fungsi otot, luas gerak sendi, dan fungsional 14

Description:
berlebihan. (Deehan, 2005). Cedera ACL merupakan cedera yang sering terjadi di negara berkembang. Struktur pyrogallol pada cincin B menginduksi apoptosis dan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Galloyl moiety pada
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.