12 BAB II DAKWAH DAN AJARAN TASAWUF I. Tinjauan Umum Dakwah 1. Pengertian Dakwah Ditinjau dari segi etimologi, dakwah berasal dari bahasa arab yang artinya,” panggilan, ajakan, seruan”.1 Drs. H. Aminuddin Sawar juga memberikan arti serupa terhadap arti dakwah dari segi bahasa yaitu, seruan, panggilan, ajakan”.2 Begitu pula hanya H. Mahmud Yunus memberikan arti dakwah dengan “ seruan, panggilan, ajakan, dan jamuan”.3 kecuali B. KH. Louis H. PeLLad Clan dan J. schat dalam ensiklopedia of Islam” mengartikan kata dakwah secara tegas yaitu” Dakwah, pL, Da’awaat, fromm the root da’a, to call, invite, has primary meaning call or invitation”.4 Maksudnya, dakwah berasl dari kata da’a yang berarti memanggil, mengundang, yang arti asalnya adalah penggilan atau undangan. Pengertian dakwah secara terminologi telah banyak disusun oleh para penulis Islam sebagaimana dikutip oleh Aminudin Sanwar sebagai berikut : a. Dakwah adalah mengajak (mendorong) manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan yang buruk agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. b. “Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup, sepanjang ajaran Allah SWT 1 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, al-Ikhlas, Surabaya, 1983, hlm. 11 2 Drs. H. Aminuddin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, Diktat Perkuliahan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1985, hlm. 1 3 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, YPPA, Jakarta, 1973, hlm. 127 4 B. Louis CH. Pellat and J. Schaht, Ensiclopedia of Islam, New Edition, II, E.J. Brill, Leiden, 1965, hlm. 168 13 yang benar dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik”. c. Adalah mengajak orang lain untuk menjalani dan mengamalkan akidah dan sejarah islamiyah yang terlebih dulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah itu sendiri. d. “Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. e. adalah panggilan ke jalan Allah SWT.5 Dari pengertian di atas Aminudin Sanwar menyimpulkan dakwah adalah suatu usaha dalam rangka proses islamisasi manusia agar taat dan tetap mentaati ajaran Islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.6 Lebih lanjut dikatakan dengan, mengadung pengertian amar ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Taghyirul munkar atau merubah, melenyapkan kemungkaran, dan al-islah yang berarti usaha-usaha memperbaiki dan membangun masyarakat, memperbaiki kerusakan, melenyapkan kabatilan dan kemaksiatan, sehingga tercapai kesejahteraan lahiriah dan batiniah.7 Asmuni Syukir mengemukakan bahwa dakwah memiliki nama dan istilah amar ma’ruf nahi munkar, tabligh, al-nashehat sebagai sinonim dari istilah dakwah. Selain itu juga washilah, dan khutbah yang memiliki arti yang sama dengan nasehat yaitu memberi wasiat kepada umat manusia agar menjalankan syari’at Allah SWT, kebenaran dan kebaikan. Jihadah yang berasal dari kata jahada – yujahidu – jihadatan, yang artinya berperang atau berjuang membela dan melestarikan ajaran Allah SWT, mauidhah yang berarti pelajaran atau pengajaran, dan mujahadah yang berarti berdekat atau berdiskusi. Tadzkirah atau Kidizbar yang berarti peringatan atau mengingatkan 5 Drs. H. Aminuddin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, Diktat Perkuliahan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1985, hlm. 2-3 6 Drs. Aminudin Sanwar, op.cit., hlm. 3 7 Ibid., hlm. 14 umat manusia agar selalu meyakini perbuatan yang menyesatkan dan agar selalu ingat kepada Allah SWT.8 Dari pengertian tersebut di atas, masih menimbulkan persepsi yang berbeda tentang pengertian dakwah. Oleh Amrullah Achmad, persepsi tentang pengertian dakwah dibedakan dalam dua pengertian. Pertama adalah dakwah diberi pengertian tabligh / penyiaran / penerangan agama. Kedua, dakwah diberi pengertian semua usaha untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia. Pada pengertian pertama oleh Amrullah Achmad dianggap terlalu sempit sehingga tidak mampu menghubungkan antara simbol dan realitas. Oleh karena itu dakwah lebih identik dengan kegiatan pidato di mimbar-mimbar atau budaya dakwah oral (verbal) yang mengakibatkan Islam tidak mampu memasuki lebih dalam dari sistem kepribadian dan sosial. Akibatnya dakwah sering tidak mampu menjawab secara konkrit permasalahan yang dihadapi umat manusia. Sementara itu pengertian kedua pun cenderung terlalu luas, sehingga perlu perbatasan-perbatasan agar dapat dibedakan dengan kegiatan lain. sebagai kriteria awal, kegiatan dapat disebut sebagai dakwah, jika sistem usaha bersama orang beriman dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan sosio-kultural yang dilakukan melalui lembaga-lembaga dakwah.9 2. Dasar Hukum Dakwah Islam sebagai agama risalah, di antaranya adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dalam arti yang luas yang dinamakan dakwah.10 Pada dasarnya para ulama sepakat bahwa dakwah Islam adalah wajib hukumnya, tetapi mengenai klasifikasi wajibnya, ada yang berbeda pendapat wajib ‘ain artinya kewajiban seluruh umat 8 Ibid., hlm. 9 Amrullah Achmad (Ed), Dakwah Islam dalam Perubahan Sosial, PLP2M, Yogyakarta, 1985, hlm. 6-7 10 Anwar Masyari, Studi Tentang Ilmu Dakwah, Bina Ilmu, Surabaya, 1981, hlm. 10. 15 manusia (muslim) dalam keadaan dan situasi apapun, dan ada juga yang mengkategorikan dalam wajib kifayah, artinya hanya diwajibkan atas sebagian umat Islam yang mengerti akan seluk beluk agama Islam.11 Mengenai dasar kewajiban dakwah telah disebutkan dalam nash al-Qur’an sura Ali Imran ayat 104 : Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu, segalanya umat yang menyeru kebaikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan menjauh dari yang munkar, mereka itulah orang yang beruntung”.12 Kalangan ulama berpendapat apakah wajib ‘ain sehingga semua orang Islam tidak terkecuali wajib melaksanakan dakwah atau wajib kifayah, di mana jika kewajiban tersebut sudah dilakukan oleh sebagian dari umat Islam, maka kewajiban menjadi gugur bagi semua umat Islam. perbedaan penafsiran ini terletak pada kata minkum, di mana oleh pendapat pertama “min” diberi pegnertian “littabidh” sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah, dan pendapat yang lain mengartikannya dengan “littabiyin” sehingga menunjukkan pada hukum fardhu ‘ain.13 Jadi dalam hal dakwah ulama berbeda memberikan penjelasan tentang kewajiban melaksanakannya. Di mana ada yang berpendapat wajib kifayah, dan sebagian wajib ‘ain. Akan tetapi masih dilihat dulu dai urgensinya dan kapan dakwah dilakukan. Dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada pemikiran bahwa dakwah itu hukumnya wajib ‘ain sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an : 11 M. Natsir, Fiqh Dakwah, CV. Ramadhani, Semarang, 1984, hlm. 109. 12 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, Depag RI, Jakarta, 1989, hlm. 31. 13 Drs. Aminudin Sanwar, op.cit., hlm. 35. 16 Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan saran yang baik serta berdebatlah dengan cara yang baik”. (QS. an-Nahl : 125).14 Dan dipertegas lagi dengan hadits Nabi SAW : Artinya : “Dari Ibnu Amr r.a. berkata : Rasulullah berkata sampaikanlah dariku walau satu ayat”. (HR. Bukhari).15 Dari keterangan al-Qur’an dan Hadits di atas jelas kita diperintahkan menyampaikan risalah Nabi Muhammad SAW, walaupun cuma satu satu ayat, akan tetapi dalam menyampaikan harus dipertimbangkan kemampuan yang dimiliki para personal pelaku dakwah. 3. Tujuan Dakwah Secara prinsipil tujuan dakwah Islam adalah nilai akhir atau hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh dari keseluruhan tindakan dakwah, namun tujuan dakwah selama ini dipahami sebagai upaya mengajak orang lain (lain agama) ke dalam agama Islam, sementara menengok sejarah perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Tujuan utama dakwah tidak hanya untuk menjadikan semua orang menjadi Islam, melainkan bertujuan untuk menciptakan kerahmatan bagi seluruh alam. Sebagaimana tujuan kemaslahatan Nabi Muhammad SAW dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 107 : 14 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 15 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, CV. Toha Putra, Semarang, t.th., hlm. 239 17 Artinya : “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam semesta”.16 Tujuan dakwah harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat yang menjadi obyek dakwah, sehingga tercapai efektifitas dan efisiensi dalam aktifitas dakwahnya. Tentu saja tujuan tersebut akan berbeda untuk kelompok masyarakat tertentu dengan kondisi yang tertentu pula. Oleh Asmuni Syukir, tujuan dakwah dibedakan dalam dua tujuan, Pertama, tujuan umum dakwah: tujuan yang sifatnya masih umum dan utama di mana seluruh gerak langkah proses dakwah ditujukan dan diarahkan kepadanya, tujuan umum ini adalah mengajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang musyrik) kepada jalan yang benar yang diridhai Allah SWT agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun akhirat.17 Kedua, tujuan khusus dakwah yang lebih bersifat praletis operasional yang merupakan rincian dari tujuan umum, misalnya, peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT, pembinaan mental agama Islam (akhlak), pendidikan anak-anak, mengajak umat manusia kepada agama Islam.18 Dengan penetapan tujuan dakwah yang sesuai dengan kondisi masyarkat, maka fungsi unsur-unsur dakwah akan lebih maksimal, unsur-unsur dakwah tersebut antara lain adalah da’i (subyek dakwah), mad’u (obyek dakwah), maddatud dakwah (materi dakwah), wasailu ad-dakwah (media dakwah) dan kafitaru ad-dakwah (metode dakwah).19 Unsur-unsur tersebut adalah kemapanan yang menentukan proses dalam sistem dakwah, tetapi bukan sistem dakwah itu sendiri, pemahaman yang sering muncul adalah bahwa kelima unsur tersebut 16 Departemen Agama RI, op.cit., 508. 17 Asmuni Syukir, op.cit., hlm. 51. 18 Ibid., hlm. 54-60. 18 dianggap sebagai sistem, yang sebenarnya pengertian sistem atau unsur-unsur itu lebih tepat masuk dalam kategori tabligh / penyiaran Islam dalam perspektif ilmu komunikasi.20 Jadi tujuan utama dakwah sebagaimana telah disebutkan dalam definisi dakwah maupun yang telah disebutkan dlam al-Qur’an adalah mengajak umat manusia kepada jalan yang benar yang diridhai Allah SWT, agar dapat bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. 4. Materi-materi Dakwah Materi dakwah adalah semua bahan atau sumber yang dipergunakan atau yang akan disampaikan oleh da’i kepada mad’u dalam kegiatan dakwah untuk menuju tercapainya tujuan dakwah.21 Jelasnya menurut Drs. H. M. Hafi Anshori. Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, yaitu keseluruhan ajaran Islam, yang ada dalam kitab-kitab Allah maupun sunah Rasul, yang pada pokoknya mengandung tiga prinsip ajaran Islam, yakni; aqidah (keimanan), syari’ah dan akhlak.22 Dengan demikian materi dakwah sebagai pesan dakwah merupakan isi ajakan, anjuran, seruan, nasehat dan gagasan agar manusia mau menerima dan memahami serta mengikuti ajaran tersebut sehingga ajaran Islam ini benar-benar diketahui, dipahami, dihayati dan selanjutnya diamalkan sebagai pedoman hidup dan kehidupannya. Pada hakekatnya materi dakwah adalah semua ajaran Islam yang tertuang dalam wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah yang 19 Drs. H. Aminudin Sanwar, op.cit., hlm. 40. 20 Amrullah Ahmad, op.cit., hlm. 11 21 Drs. Aminudin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, 1986, hlm 73. 22 Drs. Hafi Anshori, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, al-Iklas, Surabaya – Indonesia, 1993, hlm 146 19 terwujud atau perwujudannya terkandung di dalam al-Qur'an dan sunah Nabi. Sama halnya apa yang disampaikan oleh Asmuni Syukir bahwa secara global materi dakwah dapat di klasifikan menjadi tiga hal pokok: a. Masalah keimanan (aqidah) b. Masalah keislaman (syari’ah) c. Masalah budi pekerti (akhlakul karimah).23 II. Ajaran Tasawuf Ajaran tasawuf oleh Amin Syukur, dibedakan dalam tiga konsep besar, yaitu tentang ketuhanan, tentang manusia, dan tentang dunia. Masalah ketuhanan dalam ajaran tasawuf menjadi sentral perhatian, oleh karena esensi dari tasawuf adalah untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan, sehingga ia bisa melihat dengan mata hati, bahkan ruhnya bisa bersatu dengan ruh Tuhan.24 Sedangkan tentang manusia yang menjadi subyek dalam hal ini, tasawuf mengajarkan pemahaman tentang diri manusia, hawa nafsu dan psikologisnya25 sehingga manusia mampu membina nafsu rendahnya dengan berbagai latihan kerohanian (riyadlah, mujahadah)26 dalam mendapatkan atau mencapati sebagai insan kamil dan hubungan dengan Tuhan.27 Sementara itu ajaran tasawuf tentang dunia diwarnai dengan kewaspadaan bahwa dunia adalah hijab yang memisahkan mausia dengan Tuhan.28 Untuk itu maka dunia harus diwaspadai dan dikalahkan yaitu dengan jalan zuhud. Menurut Ruwaim Ibn Ahmad, 23 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Dalam Islam, al-Iklas, Surabaya, t.th., hlm 60 24 Prof. Dr. Amin Syukur, op.cit., hlm. 45 25 Ibid., hlm. 64-67 26 Ibid., hlm. 68-69 27 Ibid., hlm. 71-75 20 zuhud artinya menghilangkan bagian jiwa dai dunia, baik berupa pujian, sanjungan, maupun posisi dan kedudukan di sisi manusia. Dalam kondisi ini seorang zahid merasa tidak memiliki dan dimiliki oleh sesuatu.29 Sedangkan menurut Amin Syukur ada dua dimensi pengartian zuhud yaitu pertama, zuhud dalam perspektif tasawuf adalah sebagai maqam (station) yang bertujuan untuk bertemu dengan Allah dan ma’rifat kepada-Nya, sehingga dunia diangap hijab antara dirinya dengan Tuhan. Pada dimensi ini, zuhud dalam pengertian akhlak Islam, di mana zuhud hanya mengambil jarak dengan dunia dalam rangka menghiasi diri dengan sifat terpuji karena disadari dunia merupakan pangkal kejelekan. Pada dimensi akhlak ini zuhud bersifat individual-sosial sekaligus, di mana dapat digunakan sebagai protes sosial terhadap ketimpangan sosial, sehingga maknanya kontekstual dan histories.30 Selama ini sering tasawuf dimengerti secara salah oleh orang yang berada diluar tasawuf, sehingga menimbulkan pandangan bahwa tasawuf tersebut sesat dan menyesatkan, mengabaikan syari’at, mengakibatkan kejumudan dan kemunduran umat Islam. namun tidak adil dan terlalu menggeralisir permasalahan dengan menganggap ajaran tasawuf tersebut salah hanya dengan melihat beberapa kasus saja. Bahkan tentang perjalanan taswuf sendiri tentu tidak cukup satu sudut pandang saja untuk mengukurnya, demikian juga dengan penolakan mutlak terhadap dunia hanya merupakan kasus-kasus kecil, karena para sufi juga sangat memperhatikan keseimbangan aspek- aspek jasmani dan rohani, lahiriah dan batiniah.31 Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdul Qadir al- jaelani, pemuka tarekat Qadiriyah, bahwa dunia atau harta itu boleh berada ditangan atau disaku seseorang bahkan boleh disimpan dengan 28 Ibid., hlm. 8 29 Prof. Dr. Amin Syukur, Zuhud …, op.cit., hlm. 3 30 Ibid., hlm. 3 31 Nurcholis Madjid, dkk., Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat, Zaman, Bandung, 1999, hlm. 62 21 niat yang baik, akan tetapi jangan sampai harta itu dimasukkan ke dalam hati.32 Dalam segi obyek dakwah, tasawuf membuka pintu lebar memperkenalkan Islam kepada seluruh lapisan masyarakat secara merata, baik sudut jabatan, profesi, status maupun etnis. Dari segi materi, maka ajaran-ajaran tasawuf sangat sesuai dengan pemahaman religiasitas dan tradisi masyarakat, sehingga meyakinkan masyarakat untuk mudah menerima Islam. Pada perkembangan dakwah selanjutnya, peran dan posisi tasawuf mengalami dinamika, terutama dengan keseimbangan dialektika antara ajaran Islam seperti fiqh dengan tasawuf, ajaran normatif agama dengan kondisi riil masyarakat yang berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi dan peradaban.secara keagamaan tarekat menjadi semacam wahana bagi penanaman dan transmisi nilai-nilai keagamaan di tengah-tengah masyarakat. Disini tarekat memberikan sumbangan fisik dan spiritual di tengah-tengah wahana pembangunan yang diwarnai berbagai problem sosial, politik dan ekonomi. Ajaran-ajaran tasawuf seperti sabar, syukur dan tawakkal dapat ditransformasikan dalam sikap-sikap sosial yang kontekstual. Selain itu juga dimensi spiritual dalam masyarakat masih sangat relevan, mengingat perkembangan ilmu dan teknologi dalam rangka modernitas ternyata membawa dampak yang tidak menyehatkan (berupa stress, kegelisahan hidup dan hilangnya keimanan dan munculnya perasaaan berdosa) bagi perkembangan kepribadian masyarakat.33 Termasuk masyarakat Indonesia. Dan ajaran-ajaran tasawuf dapat memberikan jawaban alternatif bagi persoalan tersebut. 32 Prof. Dr. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, op.cit, hlm. 86 33 Ibid. hlm. 112-113
Description: