ebook img

BAB II ANALISIS STRUKTUR 2.1 Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa ... PDF

29 Pages·2011·0.1 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview BAB II ANALISIS STRUKTUR 2.1 Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa ...

BAB II ANALISIS STRUKTUR 2.1 Alur Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan panangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton, 2012:26). Menurut Wiyatmi, (2006:36) alur adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Alur dibagi dalam tiga bagian, yaitu: awal, tengah, dan akhir. Oemarjati (dalam Mido, 1994:41) mengatakan bahwa alur adalah struktur penyusunan kejadian-kejadian cerita secara logis. Perlu ditekankan bahwa rangkaian kejadian itu saling terjalin dalam kausalitas. Tanpa hubungan kausalitas, rangkaian kejadian peristiwa tidak dapat disebut alur. Konflik dapat berupa konflik internal (konfllik pada diri sendiri), konflik eksternal (konflik antartokoh cerita). Pada tahap tengah inilah klimaks ditampilkam, 12 13 yaitu konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi. Selanjutnya, tahap akhir disebut juga tahap peleraian (antiklimaks) yang menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian antiklimaks ini berisi bagaimana kesudahan cerita, bagaimana akhir sebuah cerita. Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (end) (Abrams, 1981:138). 2.1.1 Tahap Awal Tahap awal alur disebut sebagai perkenalan. Pada tahapan ini sedikit demi sedikit konflik mulai dimunculkan pada tokoh Anta. Pada tahap ini peristiwa berjalan datar. Pada tahap awal novel GLJ, digunakan alur mundur atau flashback. Hal ini dapat dilihat pada saat Anta menceritakan dirinya ingin digugurkan oleh Ibunya. Ibunya tidak ingin menambah beban keluarga, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Ayahku hanyalah seorang Guru, dan di tahun 1970-an gajinya tak seberapa. Ibuku tidak menginginkan kelahiran anaknya yang ke-5,karena hal itu akan semakin memperberat beban keluarga. Oleh karena itu, ketika ia tahu bahwa ia hamil anaknya yang ke-5, segera ia bertanya kepada tetangga: “Apakah yang harus saya lakukan untuk menggugurkan kandungan saya?” dan seorang tetangga menyarankan agar ibuku meminum anggur botolan. Ibuku menurutinya, ia membeli satu botol anggur, sedikit demi sedikit ia meminumnya. Akhirnya ia menghabiskan satu botol. Ia merasa lega, usia kandungannya yang masih satu bulan akan segera keluar fetusnya. Ia menanti dan menanti, Namun alangkah kagetnya ia, karena kandungannya terus tumbuh (Samsara, 2012: 4). Pada tahap awal ini diceritakan, bahwa keluarga Anta mengalami masalah ekonomi. Ibu Anta terkejut saat mengetahui dirinya hamil anak ke-5, Kemudian ibu 14 Anta yang tidak menginginkan kelahiran Anta dan mencoba menggugurkannya. Segala cara sudah dilakukan untuk menggugurkan kandungannya tetapi tidak berhasil, hal ini jelas berbahaya bagi keselamatan dan juga dilarang oleh agama. Pada tahap ini juga diceritakan, Anta memiliki teman bernama Rahmat dan Ading. Ketika sedang asyik bermain korek api datanglah ibu Anta yang melarang Anta bermain korek api, dan menyuruhnya untuk pulang. Anta menuruti saja perintah ibunya. Sejak kejadian itu Anta tidak diijinkan lagi bermain dengan teman- temannya, seperti terlihat dalam kutipan bawah ini. Hei Anta, jangan bermain korek api! Kemarikan koreknya!” Ia merebut korek api itu dari tanganku, lalu berkata lagi, “Ayo sekarang pulang ke rumah!” aku percaya ibuku adalah seorang yang baik, dan aku menurutinya. Namun sesampainya di rumah, ayah dan ibuku memarahiku habis-habisan karena ternyata sebagai seorang anak sekolah, aku tak tahu akan bahaya kebakaran. “Sudah mulai besok, tidak perlu lagi bermain dengan anak tetangga! Semuanya nakal-nakal!”, begitu kata ayahku (Samsara, 2012:11). Anta adalah anak penurut, karena itu orang tuanya menyayangi dan melarang Anta bermain korek api bersama teman-temannya. Mereka masih kecil dan tidak tahu bahayanya bermain korek api . Sejak saat itu Anta dilarang keluar rumah, dan ia mulai terbiasa bermain di rumah dengan imajinasinya, menganggap semua benda mati seperti hidup. Sebaiknya orang tua tidak keras melarang anaknya bermain bersama teman-temannya, bicarakan semua masalah dengan baik kepada anak, tidak selalu dengan cara memarahinya. Biarkan ia bermain, beri penjelasan bahaya yang ditimbulkan korek api. 15 Selanjutnya, diceritakan Anta mulai berimajinasi dengan benda-benda permainannya. Perlahan-lahan Anta mulai melupakan kehidupan sosialnya dan lebih memilih untuk mengurung diri di rumah bersama permainan imajinasinya, sebagaimana tertera dalam kutipan berikut. Dengan kekuatan imajinasiku, aku pun mengubah segala bentuk benda permainanku. Sapu lidi kubuat menjadi kuda-kudaan, kasur yang sedang tak dipakai kubuat menjadi bergelung dan aku tinggal menjadi manusia gua di dalamnya. Wadah permen dari kaleng kuberi busa di dalamnya, dan kubuat menjadi koper tempat penimpan benda-benda, aku membayangkan diriku adalah agen rahasia yang membawa senjata dalam koper ke mana pun aku pergi. Perlahan-lahan aku mulai melupakan tetangga-tetanggaku, mereka pudar bersama waktu. Tahun demi tahun berlalu, aku menjadi terbiasa berkurung di rumah (Samsara, 2012:12). Ketika duduk di SMU Sumedang, Anta mempunyai sahabat karib bernama Wahyudin. Anta senang bersahabat dengan Wahyudin, karena dia mau menerima Anta apa adanya, terutama penyakit gangguan jiwa yang dideritanya. seperti terlihat dalam kutipan di bawah ini. Wahyudin adalah sahabat akrab pertama yang kukenal ketika aku memasuki SMU. Ia orang yang pertama kali tahu kalau aku menderita gangguan kejiwaan. Ia tak pernah mengejekku atau menolak aku. Sebaliknya ia malah memberi aku semangat agar aku terus maju dan pantang mundur, jangan putus asa (Samsara, 2012:19). Setelah lulus SMU, Anta pergi ke rumah kakak ketiganya di Bekasi, untuk mencari pekerjaan, namun gagal. Akhirnya, Anta memutuskan berangkat ke Tangerang untuk menjaga anak-anak kakak pertamanya. 16 Kakak ipar Anta mulai menunjukkan sikap antipatinya. Anta tersinggung dan memutuskan untuk kembali ke Bekasi. Dari Bekasi Anta memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Sumedang. Anta mulai tersisih dari pergaulan sosial. Tetangganya mulai mencemooh dirinya, bahkan memukul-mukul tembok untuk melampiaskan perasaan tidak sukanya pada Anta. Hari demi hari orang yang mendahak, meludah, dan memukul tembok semakin banyak saja. Bahkan sembarang orang yang lewat pun mulai melakukannya. Mereka semua benci padaku. Dan aku benar-benar tidak terima, aku mulai meneriaki mereka, namun bukannya mereda, mereka malah semakin meningkatkan intensitas perbuatan mereka. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Pada suatu siang, aku mendengar tetanggaku yang sedang berkerumun mengataiku. Aku terkejut, betapa kasar kata-katanya. “Gila kamu!” “Sinting!” “Manusia tolol! (Samsara 2012:30—31). Sebagai masyarakat tidak seharusnya bersikap kasar terhadap seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan. Ia juga butuh motivasi untuk bisa sembuh, diterima dalam pergaulan sosial. Walaupun ia memiliki perbedaan dengan manusia normal lainnya, tetapi ia juga layak berada dalam pergaulan sosial. 2.1.2 Tahap Tengah Tahap tengah alur disebut pertikaian, menampilkan konflik demi konflik yang semakin tajam dan menegangkan. Oleh karena itu, wajar apa yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro (2010:145) bahwa bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang 17 dari karya fiksi yang bersangkutan. Pada tahapan ini Anta mulai dirawat di Poli Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangoenkusumo. Ia merasa bahwa semua yang dialaminya bukanlah halusinasi, karena begitu nyata baginya. Trauma yang dialami oleh Anta kemudian berubah menjadi ketakutan terhadap manusia lain. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. Sementara itu traumaku lama-kelamaan menjelma menjadi ketakutan terhadap manusia. Aku jarang keluar rumah bukan lagi karena ingin berkurung diri tapi karena aku takut bertemu dengan orang lain. Bahkan jika aku naik bus, aku harus duduk di pinggir jendela hanya untuk menghindari tatapan mata orang yang duduk di sebelahku (Samsara, 2012:35). Konflik selanjutnya terjadi pada saat Anta dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Sumedang. Antapun menolak karena dia malu dengan teman-teman SMU- nya. Anta tidak mau sampai mereka tahu bahwa Anta memiliki gangguan jiwa. Ibunya dan Yayan mulai mempertimbangkan daerah Sumedang, karena keluarganya banyak yang tinggal di sana. Semula Anta menolak, namun karena dibujuk terus- menerus, akhirnya Antapun setuju. Tetangga dekat rumah Anta yang baru adalah seorangpelukis. Suatu hari anak kedua tetangga Anta, yang bernama Ajat datang dari Jakarta. Dari Jakarta ia ke Bandung dan di sana ia tertangkap basah sedang mabuk-mabukan. Namun, Anta tetap ingin berkenalan dengannya. Ajat memperlihatkan sikap tidak sukanya kepada Anta. 18 Melihat keadaan ini, Ibu Anta menjadi khawatir tentang perkembangan kejiwaan Anta. Kekhawatiran ibu semakin besar menyebabkan matanya mulai rabun karena rasa cemas yang berlebihan. Badannya semakin lemah, hingga pada suatu hari kondisi ibunya begitu lemah dan parah. Kondisi Anta yang pada saat itu juga sedang parah-parahnya, hanya bisa miris melihat kondisi Ibunya. Ibunya diajak memeriksakan diri ke RSCM, Hasil CT scan menunjukkan ibu menderita tumor otak, yang diderita sejak masih remaja. Ibu Anta terus-menerus koma dan keadaannya yang semakin memburuk, hingga suatu hari Ibu Anta meninggal dunia. Anta benar- benar dalam kondisi sedih karena kehilangan ibunya yang begitu melindungi menyayanginya, sebagaimana tertera dalam kutipan berikut. Aku dapat merasakan kehilangan yang medalam dalam diriku. Aku berusaha untuk tidak menangis, akan tetapi aku tak dapat membohongi perasaanku bahwa aku amat berduka. Air mataku memang tidak mengalir, namun hatiku remuk-redam. Aku telah kehilangan seseorang yang selama ini melindungi dan menyayangi diriku, dan aku yakin ia tak tergantikan oleh orang lain. Malam itu adalah malam yang paling kelabu dalam hidupku walaupun tak diiringi oleh air mata yang mengalir. Malam itu diriku dipenuhi dengan tangisan tanpa air mata(Samsara, 2012: 47). Setelah Ibu Anta meninggal, kakak Anta yang di Tanggerang bersedia menggantikan posisi Ibu. Ia mengantar Anta berobat ke rumah sakit Sanatorium Darmawangsa. Anta menolak masuk ke Sanatorium Darmawangsa, namun kakak Anta terus membujuknya. Penyakit Anta semakin parah sehingga kakak Anta 19 menginginkan psikiater terbaik. Anta terus menolak hingga akhirnya Anta menyetujui saran kakaknya. Selanjutnya, Anta hanya 10 hari dirawat di Sanatorium Darmawangsa. Setelah itu Anta masuk pengajian dan dirawat di sana. Ia merasa tidak tenang berada di tempat pengajian tersebut. Ia memutuskan untuk dirawat di RS Marzoeki Mahdi, Bogor. Pada saat Anta dirawat di RS Marzoeki Mahdi dan Yayan pada waktu itu berada di rumah kakak ketiganya. Terjadilah pertengkaran antara Yayan dengan kakak ketiganya. Pada bulan puasa, Yayan mengeluh dadanya sesak. Ia sudah minum obat sesuai resep dokter, namun keadaan Yayan semakin parah. Beberapa hari setelah lebaran Yayan meninggal. Kepergian Yayan membuat Anta merasa terpukul dan tidak percaya Yayan meninggal. Yayan yang begitu keras, kasar, telah meninggal dengan tenang. Anta sendiri lagi, karena ibu dan kakak lelaki yang paling dekat dengannyasudah lebih dahulu meninggal. Setelah Yayan meninggal, Anta mencoba mencari pekerjaan. Ketika ada tetangga menawarkan Anta untuk bekerja sebagai office boy di sebuah kantor, Anta setuju, melamar dan langsung diterima. Anta mulai mengenal banyak orang dan rajin bekerja. Suatu hari Anta tidak bisa lagi melawan penyakit jiwanya, Anta menghindari kerumunan orang dan ingin menyendiri. Akhirnya, Anta memutuskan berhenti bekerja. Ke luar dari pekerjaannya Anta semakin merasa tersiksa, karena 20 halusinasinya semakin parah. Ia juga merasa tetangganya mulai sering membicarakannya. Suara tetangganya semakin keras meledeknya jika Anta melakukan aktivitas yang mengeluarkan suara, sebagaimana tertera dalam kutipan berikut. Setelah keluar dari pekerjaan, aku habiskan sisa tahun 2005 dengan ketersiksaan. Karena aku menyendiri lagi, halusinasiku parah lagi. Aku sering mendengar para tetangga membicarakan keburukanku di jalanan di muka rumah tempat kami tinggal. Aku sering mendengarnya saat di kamarku, di lantai atas. Ketika aku melakukan aktivitas yang mengeluarkan bunyi, suara-suara tetanggaku itu semakin keras meledekku: “Dasar gila!” “Sakit!” “Sinting, luh! (Samsara, 2012: 95) Keputusan Anta untuk keluar dari pekerjaannya, karena ia merasakan penyakitnya kambuh lagi. Anta berusaha memperbaiki kehidupannya dengan mulai bekerja, memberanikan diri untuk bertemu orang banyak. Awalnya Anta sudah mulai terbiasa dengan kehidupan sosialnya yang baru, tetapi penyakit gangguan jiwanya kambuh lagi, ia memutuskan untuk berhenti bekerja. Setidaknya Anta sudah mencoba untuk memperbaiki kehidupannya, walaupun penyakit gangguan jiwa terus kambuh. Karena penyakit Anta semakin menjadi-jadi, kakak Anta menegurnya, saat mengetahui ia keluar dari pekerjaan, karena penyakit gangguan jiwanya kambuh. Kakaknya tak tahu harus melakukan apa untuk menyembuhkan Anta. Suatu ketika bibi Anta yang tinggal di Ciamis menghubungi kakak pertama Anta dan 21 memberitahu bahwa ia mengenal seorang ulama yang mampu membantu Anta. Anta tidak bisa menolak keputusan kakaknya untuk berangkat ke pesantren yang dimaksud oleh bibinya, walaupun bertentangan dengan hatinya, sebagaimana tertera dalam kutipan di bawah ini. “Aku tiba dengan rasa ngeri. Aku melihat bagaimana pasien-pasien bergeletakan begitu saja di lantai masjid. Kulihat atap masjid itu: Pesantren R. kami diterima oleh asisten Pak Kyai, karena Pak Kyai sedang ke Semarang, maka kami dipersilahkan untuk menginap di ruang samping rumahnya hingga ada keputusan dari Pak Kyai. Pak Kyai pulang tengah malam. Ia tak langsung berbicara dengan kami. Aku tak tahu mengapa. Padahal kami telah jauh-jauh untuk datang ke sini. Kami baru diajak bicara keesokan harinya. Nama ulama itu Kyai H. Ia menjelaskan bahwa aku harus menginap di dalam masjid karena ia telah menempatkan ribuan jin di sana untuk mengusir jin yang ada dalam tubuh orang yang menderita gangguan jiwa yang dirawat di sana” (Samsara 2012: 98). Anta menjalani hari-harinya di pesantren dengan jenuh, karena pasien di sana tidak diberikan kegiatan apapun. Pada malam hari halusiansi Anta memuncak sehinga ia merasa gelisah dan tidak bisa tertidur lagi. Keesokan harinya Anta mencoba untuk berdoa dan menenangkan pikirannya, hal ini tampak pada kutipan di bawah ini. Aku diserang rasa cemas, jangan-jangan halusinasiku kumat lagi. Aku gelisah lagi, hingga pagi, siang, sore, dan malam kembali pikiranku tak dapat tenang juga. Aku mulai salat tasbih pada malam hari. Keesokan harinya aku memohon kapada Allah agar jika aku berdosa, dosaku diampuni. Aku berdoa dalam khalwatku agar Ia jangan mengembalikkan penyakitku seperti semula. Aku ingin bebas selama-lamanya dari penyakitku dan janganlah membuatku dikuasai oleh halisinasiku lagi (Samsara, 2012:108—109).

Description:
kejadian peristiwa tidak dapat disebut alur. Konflik dapat Pada tahap awal ini diceritakan, bahwa keluarga Anta mengalami masalah ekonomi.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.