ebook img

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Manthous dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh musik ... PDF

80 Pages·2014·0.28 MB·Indonesian
by  
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Manthous dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh musik ...

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Manthous dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh musik Campursari. Manthous lahir di Gunung Kidul pada tanggal 10 April 1950 dan meninggal 9 Maret 2012. Ia memiliki latar belakang kehidupan sosial budaya Jawa yang tidak lepas dengan berkeseniannya menggunakan seni Jawa utamanya karawitan. Masa kecil Manthous dalam hari-harinya sangat menyukai karawitan hingga harus datang kemanapun setiap ada pertunjukan di lingkungan tempat tinggalnya untuk melampiaskan keinginannya sekedar membunyikan gamelan. Belajar gamelan secara serius masuk dalam kelompok atau grup musik gamelan memang tidak pernah tetapi ia sangat senang mencoba membunyikan setiap instrumen gamelan.1 Selain karawitan, ketika masa kecilnya Manthous juga sangat senang dengan musik band dan keroncong hingga walaupun ia masih muda usia atau masih duduk di Sekolah Dasar, ia telah bergabung dalam kelompok musik band dan keroncong di lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi untuk mempunyai masa 1Wawancara dengan Tulus kawan masa kecil Manthous di Rumahnya, Playen Gunung Kidul, tanggal 11 Juli 2010. 2 depan yang lebih baiklah, maka ia meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan orang tuanya, dan meninggalkan sanak saudara, merantau mengadu nasib ke kota dengan tetap melanjutkan kesenangannya berkesenian.2 Kesenangan Manthous dalam dunia seni ditekuninya hingga ia jadi seniman musik yang perkembangannya ia menjadi sangat terkenal ketika ia memunculkan Campursari. Fenomena Campursari sebagai musik Jawa bernuansa baru akhirnya dikenal oleh masyarakat, terlebih lagi masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.3 Fenomena yang demikian menambah bertambahnya ragam seni pertunjukan yang ada di Indonesia. Musisi yang dianggap sebagai tokoh seni pertunjukan bidang musik Jawa Campursari adalah Manthous ini, yang ia juga sebagai pendiri dan ketua kelompok Campursari Gunung Kidul (CSGK).4 Tokoh Campursari lain selain Manthous juga ada, yakni Didi Kempot. Ia muncul setelah Manthous dikenal oleh masyarakat. Namun demikian Campursari Didi Kempot berbeda dengan Campursari Manthous sekalipun sama-sama menggunakan label 2Wawancara dengan Harjono adik kandung Manthous, pada tanggal 9 Juni 2011 di Playen, Gunung Kidul. 3Joko Wiyoso, “Jejak Campursari” dalam Harmonia (Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VIII. No. 2. Mei-Agustus, 2007), 108. 4Periksa Rahayu Supanggah, “Campursari: A Reflection” dalam Asian Music (Texas: University of Texas Press, 2003), 4. 3 Campursari. Karya Campursari Didi Kempot tidak menggunakan musik gamelan Jawa sebagai pijakan sebagaimana yang dilakukan oleh Manthous.5 Campursari karya Manthous sebenarnya bukanlah musik Jawa murni gamelan, melainkan jenis musik campuran antara musik gamelan dan musik Barat yang terjelma dalam musik populer Indonesia.6 Laras musik yang digunakan oleh Manthous itu pun menggunakan laras musik Barat.7 Musik keroncong dan dangdut juga dimasukkan di dalamnya dileburkan atau dipadukan dengan musik Gamelan Jawa yang nadanya telah diubah ke dalam laras musik Barat.8 Namun demikian, berhubung Campursari Manthous ini oleh sebagian masyarakat dilihatnya sebagai musik Jawa karawitan, maka saat itu banyak kritikan yang bernada mengecam atau menghujat dari para seniman karawitan tentang bentuk garapan musik tersebut. Musik Campursari karya Manthous itu oleh sebagian seniman karawitan dilihatnya sebagai bentuk garapan musik Jawa yang tidak 5Wadiyo, “Campursari Musik Etnis Jawa Populer antara Karya Manthous dan Didi Kempot” hasil penelitian dimuat dalam Lingua Artistika (Jurnal Bahasa dan Seni FBS Universitas Negeri Semarang. No.3. Th. XXV September, 2002), 137. 6Manthous, “Managemen Tradisi dalam Seni Tradisional”, Makalah disajikan pada Serial Seminar Seri 4 Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2000, Surakarta: STSI, 1999, 2. 7Budi Raharja, “Campursari: Sebuah Bentuk Akulturasi Budaya Musik” Laporan Penelitian (Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta), 1999, 35-36. 8Rahayu Supanggah, 2003, 6. 4 memenuhi kaidah-kaidah penggarapan musik Jawa utamanya karawitan yang baik. Campursari Manthous dianggapnya lahir karena bermotifkan ekonomi atau mengejar uang semata-mata, merusak, tanpa memperhatikan kualitas musikalnya, dan rendahan.9 Sementara di lain pihak, Campursari karya Manthous ini jalan terus, bahkan kasetnya terjual sampai jutaan keping.10 Ketika lagu Campursari dinyanyikan oleh Manthous sendiri, banyak sekali orang yang senang. Katanya, suara Manthous serak-serak basah dan mempunyai ekspresi atau pembawaan yang khusus.11 Bermula dari kemunculan Campursari Manthous yang begitu dikenal oleh masyarakat, akhirnya menjadikan inspirasi masyarakat pendukung untuk membuat grup-grup atau kelompok-kelompok musik Campursari hingga jumlah grup atau kelompok Campursari di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta apalagi yang juga sampai tersebar di seluruh Indonesia, jumlahnya sampai ribuan.12 9Joko Wiyoso, “Campursari Suatu Bentuk Akulturasi Budaya dalam Musik Indonesia” (Tesis Diajukan dalam Rangka Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002), 15. 10Periksa hasil penelitian Joko Wiyoso, “Campursari Manthous” yang menjelaskan kepopuleran lagu Manthous yang kasetnya terjual sampai jutaan keping. Dimuat dalam Harmonia (Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Edisi Khusus, Maret 2007), 30-37. 11Wadiyo, “Campusari dan Pembawaannya” Laporan Penelitian (Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2001), 39-40. 12Data penelitian Balitbang Propinsi Jateng berupa catatan arsip dan informasi lesan dari Pemda Bidang Seni dan Pariwisata Pemda Karanganyar, Boyolali, Tegal, Purwareja, Blora, dan Magelang dalam penelitian mengenai Faktor yang Mempengaruhi Minat Pemuda Terhadap Kesenian Lokal di Jawa Tengah (Semarang: Balitbang Propinsi Jawa Tengah, 2006). Lihat juga penelitian Budi 5 Acara-acara hiburan seperti dalam rangka upacara pernikahan, khitanan, syukuran, pertemuan-pertemuan formal dan tidak formal, serta peringatan-peringatan hari besar nasional misalnya, banyak sekali yang menggunakan musik Campursari ini. Perkembangan sekarang, bentuk penyajian musik Campursari lebih banyak dikemas dalam bentuk permainan Campursari ringkas yang menggunakan beberapa instrumen saja dan bahkan kadang hanya cukup satu instrumen keyboard saja dengan penyanyi. Secara substansial, Campursari sangat berbeda dengan musik Jawa. Musik Jawa sebagai seni tradisional daerah, awalnya merupakan wadah dari proses reproduksi sosial dan budaya masyarakat pemiliknya, yakni masyarakat Jawa yang selalu terjadi dalam dimensi ruang dan waktu. Saat ini, kedudukan musik Jawa telah berubah. Musik Jawa yang semula dalam masyarakat tradisional Jawa menduduki tempat sentral, karena masyarakat telah melangkah menjadi masyarakat industri maka kedudukan itu menjadi bergeser. Pergeseran itu adalah dari sesuatu yang mewadahi terjadinya proses reproduksi sosial dan budaya, menjadi sekedar Raharja 1999, 2-3., yang menyatakan munculnya Campursari Manthous menginspirasikan masyarakat pendukung untuk membuat grup-grup Campursari. Lihat pula catatan Rahayu Supanggah, 2003, 1., yang mengemukakan akibat ketenaran Campursari, akhirnya di Kecamatan Kartasura saja di tahun 2000 sudah terbentuk 50 grup Campursari. 6 bentuk hiburan atau pengisi waktu senggang.13 Perubahan yang demikian, saat ini membawa perubahan fisik dan garapan menjadi bentuk musik Campuran yang salah satunya dikenal dengan sebutan Campursari. Campursari bukan suatu fenomena yang baru sama sekali dalam dunia musik Jawa. Menurut Supanggah permainan musik Campursari pernah ada pada tahun 1960-an namun keberadaannya belum seperti sekarang ini. Kelahirannya bermula dari pergelaran dan siaran musik keroncong. Ketika mereka menampilkan lagu-lagu langgam Jawa yang berlaras pelog, pada saat itu lah beberapa instrumen gamelan seperti kendhang, gender, dan siter mulai dilibatkan di dalamnya.14 Istilah Campursari sendiri secara etimologi dalam bahasa Jawa Kuna-Indonesia dan Bausastra Jawi-Indonesia, yang ini juga telah ditulis oleh Joko Tri Laksono dalam tesisnya yang digunakan untuk menyelesaikan studi S-2 pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada tahun 2010, dikatakan sebagai gabungan dari dua kata, yakni campur dan sari. Campur dimengerti sebagai pencampuran dan sari dimengerti 13Franki Raden, “Musik, Industrialisasi dan Kapitalisme di Indonesia” dalam Laporan Pelaksanaan Temu Ilmiah dan Festival MSPI 1994 tanggal 1-3 Desember 1994 di Maumere, Flores. (Surakarta: MSPI, 1994), 170-183. 14Rahayu Supanggah, 2003, 1. 7 sebagai inti. Dalam konteks musik lalu dapat dimengerti sebagai perpaduan dari jenis musik yang berbeda dengan masing-masing diambil intinya yang dapat dipadukan untuk mendapatkan bentuk atau wujud baru.15 Istilah Campursari untuk jenis seni yang lain, di antaranya juga pernah digunakan oleh stasiun TV Surabaya di era akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an dalam sebuah acara pemanggunngan kreasi seni tradisional setiap hari jam 17.00. Ketika itu ditampilkan semacam opera yang menggunakan gendhing- gending karawitan dan menggunakan berbagai jenis seni pertunjukan tradisional Jawa yang dikreasi dalam bentuk campuran.16 Dalam sebuah pertunjukan seni Lodrok di Jawa Timur, mulai tahun 1980-an juga telah banyak menggabungkan musik gamelan dengan dangdut untuk menyemarakkan suasana pemanggungan Lodrok. Namun demikian istilah Campursari tidak 15Periksa Joko Tri Laksono, “Karya dan Karsa Manthous sebagai Seniman dan Pencipta Campursari” (Tesis Diajukan dalam Rangka Mencapai Derajad Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2010), 80-81. 16 Wawancara dengan Aris Wahyudi, tanggal 7 April 2014. Beliau adalah salah seorang yang mengaku sangat aktif menyaksikan seni tradisional Jawa Campursari yang ditayangkan TVRI Surabaya. Beliau dilahirkan dan dibesarkan di Tulung Agung Jawa Timur, sekarang tinggal di Bantul. Berprofesi sebagai dosen pedalangan ISI Yogyakarta. 8 digunakan untuk memberi nama atau sebutan dari bagian atau keseluruhan pertunjukan Lodrok tersebut.17 Tahun 1993 muncul Campursari Manthous dengan label Campursari Gunung Kidul produksi Dasa Studio Semarang yang didukung oleh media massa secara besar-besaran. Pada masa itu lagu-lagu pop Jawa ciptaan Manthous telah banyak muncul untuk hiburan masyarakat termasuk digunakan untuk hiburan pada acara pemanggungan wayang kulit di masyarakat maupun di televisi yang ditayangkan TVRI dan Indosiar yang dimainkan dengan musik gamelan. Kondisi politik pemerintahan yang stabil di masa itu dengan didukung oleh majunya teknologi yang memungkinkan warga masyarakat bebas melakukan eksperimentasi untuk menghasilkan karya seni atau warna musik baru untuk diapresiasi oleh masyarakat luas, menjadikan Manthous memunculkan Campursari dengan beberapa lagu yang pernah ia ciptakan dalam bentuk pop Jawa yang iringannya diubah dalam bentuk Campursari. Karya Campursari Manthous memiliki style tersendiri yang berbeda dengan Campursari lain yang pernah ada. Di tahun-tahun berikutnya musik Campursari 17Wawancara dengan Yoyok melalui telpon, tanggal 10 April 2014. Beliau adalah salah seorang yang masa kecilnya tinggal di Kediri, masa remajanya tinggal di Malang, dan sekarang menjadi tenaga pengajar seni musik pada Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Surabaya. 9 Manthous itu mencapai puncak kepopulerannya yang oleh banyak pihak dikatakan sebagai budaya massa musik Jawa.18 Pengertian budaya massa di sini disamaartikan dengan budaya populer. Perbedaan antara budaya massa dan budaya populer menurut Robert Burnett dalam bukunya yang berjudul The Global Jukebox The International Music Industri yang diterbitkan tahun 1996, hanyalah dari proses pembentukannya. Budaya massa adalah budaya yang pembentukannya dari media massa sedangkan budaya populer pembentukannya lebih dari hasil interaksi antara masyarakat dengan produk hasil budaya industri.19 Budaya massa atau budaya populer menurut W.A. Kadir dalam bukunya yang berjudul Budaya Populer dalam Masyarakat Melayu Bandaran terbitan tahun 1988, dimaksudkan sebagai sesuatu yang simbolis yang diminati oleh masyarakat luas atau biasa disebut dengan khalayak ramai.20 Menurut Ashadi Siregar dalam 18Wadiyo, “Campursari Budaya Massa Musik Jawa di Semarang” (Tesis Diajukan Guna Memperoleh Gelar Magister Sains Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi Universitas Padjadjaran Program Pascasarjana Bandung, 2002), 5. 19Periksa Robert Burnett, The Global Jukebox The International Music Industri (London: Routledge, 1996), 30-34. 20W.A. Kadir, Budaya Populer dalam Masyarakat Melayu Bandaran (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988), 4. 10 perbincangan sehari-hari, budaya massa berkait erat dengan pola hiburan masyarakat.21 Seperti telah dikemukakan di depan bahwa, ada pertentangan atas kemunculan Campursari antara kaum pelaku dan pecinta musik Jawa asli yang biasanya disebut dengan karawitan dengan kaum pelaku dan atau pencipta musik Campursari. Pertentangan itu dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar dan perlu disikapi dengan bijak. Di antara banyak seni yang hidup di masyarakat, seni yang demikian itu tampaknya selalu ada dan tetap dapat dilihat sebagai seni warisan yang keberadaannya karena buah pengembangan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Sebagai seni warisan menurut Timbul Haryono, wajar bila terjadi proses transmisi secara vertikal dan horisontal. Sudah barang tentu pula, selama proses transmisi tersebut dapat terjadi perubahan karena pada hakikatnya seni sebagai unsur kebudayaan bersifat dinamis sesuai dengan jiwa jaman.22 21Ashadi Siregar, “Budaya Massa: Sebuah Catatan Konseptual tentang Produk Budaya dan Hiburan Massa” dalam Seni (Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. V/03-04. Juli, 1997), 137. 22Timbul Haryono, Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelamatan dan Pelestarian Warisan Budaya Lokal (Orasi Ilmiah disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009), 5.

Description:
dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas . Kajian Utama Sosiologi Antropologi Universitas Padjadjaran Program .. lain itu misalnya jumlah biramanya 32 birama, Sukatnya 4/4, intro .. J. Gans, Popular Culture & Hight Culture: An Analysis and Evaluation.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.