BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tesis ini akan meneliti mengenai perjuangan masyarakat adat untuk otonomi, yang berfokus pada kasus gerakan Zapatista di Meksiko. Dengan menggunakan konsep otonomi masyarakat adat dan teori proses politik, tesis ini akan menganalisis mengapa dan bagaimana gerakan tersebut mampu dan relatif berhasil memperjuangkan agenda otonomi lokal-nya. Panorama politik global kontemporer sesungguhnya dapat dirangkum dalam apa yang disebut Karl Polanyi sebagai gerakan ganda (double movement). 1 Kekuatan pasar yang kian mengglobal dengan primasi atas pergerakan modal tanpa batas justru mengaktifkan perlawanan dari berbagai kekuatan sosial yang menolak jatuh kedalam logika kapitalisme-neoliberal. Apa yang menarik disini adalah globalisasi tidak dapat lagi dipahami semata-mata dalam kerangka efek spasial-temporer tentang bertambah besarnya, bertambah intensnya dan bertambah cepatnya kesalingterhubungan global, namun juga merupakan serangkaian proses penuh tikai dan kontestasi.2 Dalam pengertian tersebut, kita menyaksikan menyeruaknya berbagai kelompok gerakan sosial yang turut mempengaruhi dinamika politik global. Penekanannya terhadap isu keadilan global, kontrol demokratik yang lebih luas atas kehidupan politik, serta pengorganisasian tata dunia alternatif yang emansipatoris merupakan cerminan umum berbagai gerakan tersebut. Menariknya, meskipun memiliki ‘musuh’ bersama (kapitalisme-neoliberal) gerakan ini tidaklah bersifat tunggal, terdapat keragaman antara satu dan lainnya, 1Christine B.N Chin dan James H. Mittleman, 2006, ‘Conceptulizing Resistance to Globalization’, dalam Richard Little dan Michael Smith (Eds),Perspective on World Politics, New York: Routledge, hal. 312. 2 Ronaldo Munck, 2007, Globalization and contestation: the new great counter-movement, London: Routledge, hal. 21-39. 1 baik secara ideologi, isu, strategi maupun agensi; gerakan buruh, petani, hak asasi manusia, lingkungan, feminisme, dan sebagainya. Salah satu kelompok sosial yang turut terlibat dalam proses tersebut adalah masyarakat adat (indigenous people). Menurut Mander, masyarakat adat – sekitar 370 juta jiwa diseluruh dunia –merupakan salah satu komunitas masyarakat yang mendapatkan pengaruh paling negatif dari tata politik-ekonomi global tersebut, terutama di Amerika Latin. Seiring dengan pembangunan negara-negara di kawasan ini, kebutuhan akan sumber daya alam untuk memacu pertumbuhan ekonomi berjalin-kelindan dengan pengambilalihan ruang hidup dan wilayah komunal masyarakat adat.3 Puncaknya adalah resistensi terhadap implikasi resktrukturisasi ekonomi neoliberal yang mulai mengemuka di kawasan tersebut pada dekade 1980-an, yakni primasi atas logika pasar melalui liberalisasi dan privatisasi, yang dengan satu dan lain cara memungkinkan hilangnya tanggung jawab sosial negara serta komodifikasi seluruh ruang hidup. Di sepanjang hutan Amazon, masyarakat adat menentang konsensi eksplorasi minyak oleh perusahan asing. Begitu juga di Chile, suku Indian Mapuche mengorganisir diri menentang operasi penambangan tembaga dan bendungan hidroelektrik yang mengancam wilayah dan kehidupan mereka. Di Kolombia, suku Uwa berjuang untuk melawan kerusakan lingkungan dan ancaman bunuh diri masal akibat aktivitas ekonomi ekstraktif, dengan bantuan aliansi masyakat sipil ditingkat nasional dan transnasional. Hal serupa juga terjadi di Ekuador, organisasi masyarakat adat nasional mendorong terbentuknya aliansi multisektoral dalam protes terhadap merosotnya tunjangan sosial, tingginya harga bahan pokok dan kebijakan dolarisasi; perjuangan ini berhasil memenangkan tuntutan-tuntutan masyarakat adat.4 Penentangan yang serupa juga mengemuka di Meksiko oleh gerakan Zapatista. Muncul pertama kali dihadapan publik pada tanggal 1 Januari 1994 – bersamaan dengan berlaku efektifnya Kesepakatan Zona Perdagangan Bebas 3Jerry Mander, 2005, “Introduction: Globalization and the Assault on Indigenous Resources.” dalam Terry Mander dan Victoria Tauli-Corpuz (Eds) Paradigm Wars: Indigenous Peoples’ Resistanceto Globalization, San Francisco: Sierra Club Books, hal. 3. 4 Nancy Grey Postero dan Leon Zamosc, 2004, The Struggle for Indigenous Rights in Latin America, Brighton: Sussex Academic Press, hal. 23-24. 2 Amerika Utara (NAFTA) antara Kanada, Amerika Serikat dan Meksiko – gerakan ini melancarkan aksi pendudukan bersenjata terhadap sejumlah kantor pemerintah dan militer di Negara Bagian Chiapas, Meksiko Tenggara. Terdiri dari 3000 gerilyawan dari berbagai sub-etnis Indian (Tzotzil, Tzeltal, Tojolabal, Zoque, Chol dan Ma’am), dengan persenjataan seadanya, dan sebagian besar komandan pelaksananya adalah perempuan, kelompok ini menyebut diri mereka sebagai Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional, EZLN). Melalui juru bicaranya, Subcomandante Marcos, gerakan ini berbicara tentang lima ratus tahun penjajahan dan eksploitasi terhadap masyarakat indian, menyatakan perang terbuka atas nama konstitusi terhadap pemerintahan yang korup, menuntut kebebasan, demokrasi dan keadilan bagi seluruh rakyat Meksiko. Dipandang dari pemilihan waktu pemberontakan, gerakan ini sesungguhnya sedang menyerang sesuatu yang lebih luas, yakni: kapitalisme neoliberal. Mereka menyebutnya sebagai ’kalimat kematian’; kematian bagi petani adat Chiapas, rakyat Meksiko dan Dunia. NAFTA adalah materialisasi dari semua itu, yang memaksa petani-petani adat ini kehilangan tanahnya, sekaligus sumber eksistensial peradabannya.5 Sekilas, gerakan ini nampak serupa dengan gerakan pembebasan nasional bersenjata pada umumnya dalam trejaktori politik perlawanan rakyat di Amerika Latin (semenjak Castroism sampai Sandinista). Akan tetapi, jauh dari gambaran tersebut, mereka tidak sama sekali berbicara tentang pengambilalihan kekuasaan pemerintah sebagaimana teminologi Marxist klasik, atau memisahkan diri dari negara Meksiko. Sebaliknya, jantung dari perjuangan politiknya adalah untuk membuka ruang demokratis dan otonom bagi persinggungan berbagai macam bentuk dan pandangan politik yang mensyaratkan adanya dialog diantaranya – sesuatu yang sulit diwujudkan dibawah hegemoni PRI. Maka tak heran jika 5Mihalis Mentinis, 2006, Zapatistas the Chiapas Revolt and What It Means for Radical Politics. London: Pluto Press, hal. i. Lihat juga Deklarasi Pertama Zapatista dalam EZLN, First Declaration of the Lacandona Jungle: Today we say 'enough is enough!’ (Ya Basta!) diakses dari http://schoolsforchiapas.org/wp-content/uploads/2014/03/1st-Declaration-of-the-Lacandona- Jungle.pdfpada 21 Desember 2015. 3 gerakan ini, pada perkembangannya, perlahan-lahan meninggalkan strategi bersenjata dan menjalankan strategi demokratik, yakni penggunaan cara-cara damai untuk memajukan agenda politik mereka. Dalam konteks sedemikian, Zapatista aktif mengorganisir sejumlah pertemuan dan dialog diantara berbagai kekuatan sosial masyarakat (partai politik dan masyarakat sipil) untuk mendorong demokrasi dan demokratisasi di Meksiko. Bahkan, gerakan ini dipandang sebagai katalisator bagi kebangkitan masyarakat sipil dalam peta politik nasional, serta secara signifikan mendestabilisasi hegemoni PRI, yang puncaknya adalah kekalahan partai ini untuk pertama kalinya (setelah sekitar 71 tahun berkuasa) pada pemilu tahun 2000.6 Tak hanya itu, sadar bahwa problem lokal Chiapas dan Meksiko secara umum adalah bagian dari problem tatanan dunia neoliberal di tingkat global, masyarakat adat ini bergerak melampaui batas-batas lokalitasnya. Serangkaian pertemuan dengan berbagai kekuatan sosial internasional diselenggarakan oleh Zapatista, yang paling monumental adalah pertemuan Intercontinental Encounter For Humanity and against Neoliberalism di Chiapas pada musim panas 1996. Sejak awal salah satu tuntutan penting dari gerakan ini adalah adanya hak- hak masyarakat adat (politik, ekonomi, sosial dan budaya), khususnya hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). Wujudnya adalah otonomi politik berupa pengelolaan pemerintahan mandiri yang berbasis pada partisipasi dan pengambilan keputusan langsung pada sejumlah teritorial yang menjadi basis komunitas gerakan ini. Bagi gerakan ini, otonomi tidak berarti separatisme atau upaya untuk memerdekakan diri dari Meksiko, sebaliknya, tuntutan otonomi merupakan cara untuk memulihkan martabat masyarakat adat yang selama ini termarjinalisasi, dan sejalan dengan cita-cita revolusi Meksiko. Otonomi juga tidaklah dipandang semata-mata dalam kerangka identitas, yakni restorasi tradisi dan kultural masyarakat Indian, melainkan jauh lebih luas yakni upaya mengatasi problem distribusi sumberdaya dimana hilangnya akses kolektif masyarakat atas 6Chist Gilberto dan Girardo Otero,“Democratization in Mexico: The Zapatista Uprising dan Civil Society”, Latin American Perspectives, Vol. 28, No. 4, Mexico in the 1990s: Economic Crisis, Social Polarization, and Class Struggle, 2001, hal. 7-29. 4 tanah akibat praktek korporatisme negara dan akumulasi kapital dibawah rezim neoliberalisme.7 Manifestasi dari tuntutan otonomi ini mengemuka pertama kali ketika gerakan ini mendeklarasikan terbentuknya 38 kotapraja otonom yang menjadi basis teritorial meraka pada akhir tahun 1994.8 Tentu saja, respon negara justru bertolak belakang dengan tuntutan tersebut. Dengan alasan kedaulatan dan keutuhan tubuh politik negara, sejumlah tindakan represif baik secara terbuka maupun dengan menerapkan low-intensity war dilancarkan kepada komunitas gerakan ini. Meski demikian, perlahan-lahan gerakan ini mampu memajukan agenda otonomi lokalnya, bahkan menjadi katalisator bagi kebangkitan kembali isu-isu masyarakat adat dalam diskursus politik Meksiko. Terbukti, dalam perkembangannya, gerakan ini berhasil memaksa pemerintah untuk terlibat dalam negosiasi Perjanjian Damai San Andres pada awal tahun 1996, dimana pemerintah mengakui hak-hak budaya masyarakat adat dan memberikan hak otonomi bagi komunitas Zapatista untuk mengorganisir dan mengelola teritorialnya secara mandiri. Perjanjian ini memiliki makna penting bagi perjuangan masyarakat adat secara umum sebab menyediakan kerangka bagi perdebatan tentang kewarganegaraan etnik, hak-hak kolektif dan otonomi lokal. Kendati pada perkembangannya nampak jelas terdapat ketidakseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan perjanjian tersebut, dalam derajat tertentu perjanjian ini justru menciptakan kesempatan politik bagi gerakan Zapatista untuk meradikalisasi agenda otonomi lokal-nya. Pada tahun 2003, gerakan ini mengubah strategi politiknya dengan menjalankan secara sepihak kesepakatan San Andres dan membentuk Junta Pemerintahan Baik (Good Government Juntas) dan Caracoles. JBG adalah representasi komunitas masyarakat ditingkat regional (caracoles) yang berfungsi untuk mengkordinir Rebel Zapatista Autonomous Municipalities (dalam bahasa Spanyol disingkat MAREZ) atau Kotapraja-kotapraja Otonom Pemberontak Zapatista. Pada tahun 7Mariana Mora, “Zapatista Anticapitalist Politics and the ‘Other Campaign’: Learning from the Struggle for Indigenous Rights and Autonomy”, Latin American Perspectives, Vol. 34, No. 2, 2007, hal. 67-69. 8Mihalis Mentinis,Op Cit, hal. 15 5 2007, wilayah-wilayah otonom dibawah pengaruh gerakan ini mencakup sekitar 40 persen dari total luas wilayah negara bagian Chiapas, yang terdiri dari 1.100 komunitas dengan 300/400 penduduk pada masing-masing komunitas tersebut.9 Gambar 1: Daerah Gerakan Zapatista 10 9Ana Dinerstein, “The Speed of the Snail: The Zapatistas'Autonomy defacto and the Mexican State”,Bath Papers in International Development and Wellbeing, No. 20, 2013, hal. 4 10George A. Collier dan Elzabeth Lowery Quaratiello, 2005,Basta!: Land and The Zapatista Rebellion in Chiapas, California: Food First Books. Hal. 3 6 1.2. Pertanyaan Penelitian Dari gambaran diatas terdapat suatu hal yang penting, dan tentu saja merupakan fokus analisis dalam tesis ini, yakni bahwa gerakan ini mampu memajukan agenda otonomi lokal-nya, meskipun terdapat tantangan yang begitu kuat dari pemerintah Meksiko, relatif terbatas secara organisasi dan terpencil secara geografis. Olehnya itu, penulis berfokus pada pertanyaan penelitian sebagai berikut: Mengapa dan bagaimana Zapatista mampu dan relatif berhasil memperjuangkan agenda otonomi lokal-nya di Meksiko? 1.3. Tinjauan Pustaka Gerakan ini mendapatkan perhatian yang cukup besar oleh berbagai kalangan, studinya pun sangat beragam. Untuk kepentingan tesis ini, penulis akan menampilkan sejumlah studi tentang gerakan Zapatista yang relevan, sekaligus menunjukan posisi tesis ini diantara studi-studi tersebut. Secara umum terbagi kedalam dua sub-bagian, yakni; a) studi tentang Zapatista dan Otonomi, dan; b) Studi tentang Zapatista dan Gerakan Sosial. 1.3.1.Studi Tentang Zapatista dan Otonomi Penelitian Courtney Jung, menunjukan bahwa kemunculan identitas (gerakan) masyarakat adat (terutama Zapatista) tidak dapat dipandang dalam kerangka esensialis tentang perbedaan identitas, melainkan berkaitan erat dengan kondisi-kondisi struktural, yakni restrukturisasi neoliberalisme di Meksiko. Menurutnya, neoliberalisme telah menghilangkan peran dan tanggungjawab negara terhadap kesejahteraan ekonomi dan sosial, sekaligus memudarkan pengaruh politik identitas kelas (petani dan buruh) secara nasional. Sementara itu, disaat yang sama rezim hak asasi manusia internasional juga memperluas defenisi hak, yang tidak terbatas sema-mata pada hak-hak individu secara politik tetapi juga hak-hak kolektif dalam perlindungan budaya. Perluasan hak ini mengemuka dalam organisasi internasional seperti PBB dan ILO. Implikasinya, kelompok pergerakan menjadi sulit untuk memajukan klaim politik berdasarkan identitas petani dan mengadopsi identitas politik masyarakat adat. Menurut Jung, melalui 7 perjuangan hak-hak adat Zapatista mengisi kekosongan subjek politik yang ditinggalkan oleh politik kelas (petani) dan menjadi katalisator untuk menghubungannya dengan isu-isu yang lebih luas.11 Penelitian Mariana Mora, menjelaskan bahwa otonomi Zapatista merupakan kritik sekaligus alternatif terhadap model otonomi neoliberal. Restrukturisasi neoliberal mengubah kebijakan dan wacana pemerintah dari hubungan-hubungan populis dan klientelis menjadi penekanan pada inisiatif kemitraan yang mendorong pelaku sosial untuk memastikan kesejahteraan mereka sendiri. Ketimbang menciptakan subjek masyarakat yang tergantung pada negara untuk menyediakan kebutuhan mereka, warga negara didorong untuk membuat pilihan atas realisasi diri mereka sendiri dengan tujuan agar mereka lebih mampu beraptisipasi secara efektif di pasar. Konsep otonomi neoliberal ini mengemuka dalam program Oportunididas, yang menekankan pada penguatan kapasitas individu untuk menyelesaikan problem kemiskinan secara mandiri dan aktif namun menjauhkan masyarakat dari isu-isu redistribusi sumberdaya dan ketimpangan struktural.12 Menurut Mora, otonomi gerakan Zapatista merepresentasikan kritik terhadap kondisi tersebut, terutama dalam kaitan antara perjuangan untuk pengakuan kultural dan akses terhadap sumberdaya material. Atau dengan kata lain, mereka menolak separasi antara self-government (otonomi) dengan distribusi sumberdaya. Hal ini adalah dasar dari otonomi lokal Zapatista sejak pertama kali mendeklarasikan terbentuknya 38 kotapraja otonom komunitas Zapatista pada akhir tahun 1994 sampai pembentukan Junta Pemeritahan Baik (JBG) pada Agustus 2003.13 Sejalan dengan Mora, Chris Hesketh menggambarkan bahwa otonomi Zapatista merupakan politisasi ruang sebagai resistensi dan alternatif atas apropriasi ruang (tanah) oleh negara yang bersandar pada logika privatisasi dan 11Courtney Jung, “The Politics of Indigenous Identity: Neoliberalism, Cultural Rights, and the Mexican Zapatistas”, Social Research, Vol. 70, No. 2, 2003, hal. 433-462. 12Mariana Mora,Op Cit. hal. 67-69. 13Ibid 8 komodifikasi. Melalui otonomi, Zapatista menjalankan filosofi politiknya, yakni memerintah dengan patuh (mandar obdeciendo), yang menekankan pada demokrasi dan partisipasi langsung setiap anggota komunitas dalam pengambilan keputusan. Hal ini tergambar dalam struktur politik JBG yang terbagi kedalam tiga level; level komunitas, kotapraja, dan caracoles, yang beroperasi dalam skala regional. Berbasiskan tradisi indian, setiap dewan komunitas dipilih untuk mengorganisir kotapraja, dimana mereka akan bekerja selama dua sampai tiga tahun. Setiap anggota pemerintahan kotapraja bekerja selama satu atau dua hari untuk kemudian kembali ke komunitasnya. Terdapat rotasi pembagian kerja setiap sepuluh hari sehingga setiap anggota memiliki pengalaman yang merata. Selain itu terdapat juga sekolah dan rumah sakit yang dijalankan berdasarkan prinsip komunitas.14 1.3.2. Studi Tentang Zapatista sebagai Gerakan Sosial Richard Stahler-Sholk menempatkan gerakan Zapatista dipahami tidak sebagai gerilyawan yang merebut kekuasaan negara, tetapi lebih luas dari itu sebagai gerakan sosial yang menentang bentuk dominan dari globalisasi yang dipaksakan dari atas. Dalam pengertian tersebut, perjuangan gerakan Zapatista dapat dipandang dalam tiga dimensi, yakni; (a) dimensi politik, dengan ‘memanfaatkan’ globalisasi gerakan ini secara menarik mampu mengangkat wacana hak (hak asasi dan hak komunitas adat) ke aras yang lebih tinggi, dan karenanya mengubah medan pertarungan yang menjangkau kekuatan-kekuatan sosial di tingkat global (jaringan advokasi transnasional); (b) dimensi ekonomi, gerakan Zapatista merefleksikan bagaimana pengorganisasian tata ekonomi global dibawah panji neoliberal mendapatkan tantangan serius dari kelompok sosial yang marjinal, dan; (c) dimensi budaya, gerakan Zapatista meredefenisi isu identitas dan kebudayaan yang berakar dalam pengalaman historis dan struktur sosial yang konkrit petani adat, dan sebagai resistensi terhadap imajinasi identitas yang ‘dipaksakan’ dari atas (negara Meksiko). Ketiganya, menurut Stahler-Sholk, 14Chrish Hasketh, 2013, “Defending Place, Remaking Space: Social Movement in Oxaca and Chiapas” dalamMarxism and Social Movements, Leiden: Brill, hal. 225-230. 9 menjadikan gerakan ini memiliki signifikansi penting bagi ‘globalisasi dari bawah’ yang didasarkan pada tuntutan demokrasi radikal.15 Sejalan dengan Stahler, Alex Khasnabish menjelaskan bahwa signifikansi utama gerakan ini adalah kemampuannya untuk, tidak hanya mendorong terbentuknya solidaritas ditingkat global, tetapi juga menginspirasi lahirnya gerakan alter-globalisasi yang mengkontestasi globalisasi neoliberal. Muncul ditengah-tengah deklarasi ‘akhir sejarah’ dan ‘kemenangan kapitalisme-liberal’ pasca Perang Dingin, gerakan ini menjadi semacam harapan bagi dunia yang bermartabat (dignity – suatu konsep penting dalam ideology Zapatista). Momennya adalah pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat sipil internasional yang diselenggarakan oleh Zapatista pada musim panas 1996, yakni Intercontinental Encounter For Humanity and against Neoliberalism. Pertemuan ini setidaknya berhasil mendorong terbentuknya koalisi-koalisi tingkat global untuk menentang neoliberalisme. Kelompok seperti ‘Gerakan dari Gerakan’ yakni suatu aliansi longgar dari berbagai kekuatan sosial, yang menjadi penentang serius dalam pertemuan WTO Seattle tahun 1999, merupakan keberlanjutan dari pertemuan tersebut diatas. Kelompok lain seperti People Global Action (PGA) juga mengambil inspirasi dari ideologi dan strategi gerakan Zapatista.16 Dalam konteks nasional, Chist Gilberto dan Girardo Otero menunjukan bahwa gerakan Zapatista berhasil menjadi kekuatan pendorong dalam demokratisasi di Meksiko, mengilhami muncul dan berkembangnya keterlibatan masyarakat sipil nasional, dan menjadi trigger bagi terbukanya perdebatan- perdebatan berbagai pihak tentang masa depan Meksiko. Pada gilirannya, gerakan ini mampu mendorong jatuhnya hegemoni PRI (Partai Revolusiner Institusional) yang berkuasa selama 70 tahun. Ideologi dan strategi gerakan ini yang secara bertahap mengambil jalan demokratik dengan melibatkan berbagai kelompok 15Richard Stahler-Sholk, “Globalization and Social Movement Resistance: The Zapatista Rebellionin Chiapas, Mexico”,New Political Science, Vol 23, No 4, 2001, hal. 494-516 16Alex Khasnabish, 2010,Zapatistas: Rebellion from the Grassroots to the Global, London: Zed Books, hal. 154-198 10
Description: