BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Ada sebuah ungkapan bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Kebenaran sejarah ditentukan oleh siapa yang berkuasa seperti yang dikatakan oleh novelis Inggris George Orwell: “History is written by those who are in power”. Sejarah adalah His story, bukan Our story. Sejarawan revisonis Amerika Howard Zinn (1998: x) dalam bukunya yang berjudul The Twentieth Century, A People’s History menyatakan “the past is told from the point of view of government, conqueror, diplomat, and leaders. “History is the memory of the state” wrote Henry Kissinger in his book A World Restored”. Menurut Zinn (1998: xi), bagi kelompok orang-orang tertindas dan kurang beruntung seperti buruh, petani, kelompok kulit berwarna di Asia dan Afrika, wanita, dan anak-anak di manapun berada, kecuali pada kelompok menengah atas, sejarah adalah sebuah dunia penaklukan, kekerasan, kelaparan, dan eksploitasi – sebuah dunia yang bukan dibangun tetapi dunia yang dihancurkan. Sejalan dengan pandangan Orwell dan Zinn, Foucault (1980: 119) mengaitkan adanya pola hubungan produksi pengetahuan – termasuk di dalamnya adalah diskursus sejarah – dengan jaringan kekuasaan sebagaimana Ia jelaskan: What makes power hold good, what makes it accepted, is simply the fact that it doesn’t weigh on us as a force that says no, but it traverses and produces things, it induces pleasure, forms knowledge, produces discourse. It needs to be considered as a productive network which runs 2 through the whole social body, much more than as a negative instance whose function is repression. Kebenaran pengetahuan – termasuk juga kebenaran sejarah – oleh karena itu menurut Foucault (1980: 133) terkait dengan jaringan kekuasaan yang menghasilkan dan menopang kebenaran tersebut: “Truth” is to be understood as a system of ordered procedures for production, regulation, distribution, circulation, and operation of ststements. “Truth” is linked in circular relation with systems of power which produce and sustain it, and to effects of power which it induces and which extend it. A “regime” of truth. Selepas tumbangnya rejim Orde Baru pada tahun 1998, beberapa kalangan sejarawan Indonesia menyuarakan perlunya pelurusan kembali historiografi Indonesia (Purwanto, 2005: 12). Bagi mereka, penulisan sejarah selama pemerintahan Soeharto dianggap sarat dengan kepentingan politik untuk melegitimasi kekuasaan rejimnya. Ada beberapa peristiwa sejarah yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi seperti peristiwa G 30 S PKI, keterlibatan Soeharto dalam Serangan Umum Yogyakarta pada 1 Maret 1949, serta Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Selama berkuasanya rejim Orde Baru, hanya ada satu interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. Versi lain penulisan sejarah di luar versi rejim yang berkuasa dianggap subversif. Munculnya mahzab Historiografi Kiri Baru dan historiografi revisionis di Amerika pada tahun 1960-an menandai banyaknya gugatan terhadap peristiwa- peristiwa sejarah yang sebelumnya telah dianggap sebagai cerita resmi pemerintah dan diterima sebagai suatu kebenaran tunggal. Beberapa narasi sejarah yang dipertanyakan kembali diantaranya adalah narasi yang berkaitan 3 dengan Civil War, Perang Dunia Kesatu, Perang Dunia Kedua, Perang Dingin, represi pada era McCarthy, kekacauan selama Civil Right Movement, perang Vietnam, pembunuhan John F. Kennedy dan Martin Luther King dan yang lainnya. Bradbury (1983: 238-239) melukiskan Amerika di era 1960-an sebagai era postmodernisme – sebuah era yang mengekspresikan kecemasan masa paska Perang Dunia Kedua setelah Holocaust, munculnya Perang Dingin, perkembangan teknologi militer dengan sistem persenjataan “pintar”-nya, teori konspirasi, masalah citra nasional, rusaknya mitos-mitos Amerika. Postmodernisme juga mengekpresikan kelimpahan stilistika pada sastra, keragaman kehidupan masyarakat kontemporer Amerika. Masa itu adalah periode di mana sulit dicapai konsensus tentang realitas dan era yang kaya akan pastiche, parodi, keragaman budaya dan keragaman narasi. Menurut Malpas (2005: 97) teori sejarah postmoderen memfokuskan kajiannya pada tindakan penulisan sejarah dan pertanyaan-pertanyaan sosial dan politik seperti: apa hubungan dan perbedaan antara bentuk-bentuk sastra dan sejarah?, siapa yang dapat menuliskan sejarah?, dari suara siapa sejarah ditulis?, bagaimana sejarah dapat dituliskan kembali? Apakah implikasi filosofis dan politis dari bentuk-bentuk struktur sejarah tertentu?. Alih-alih menuliskan sejarah universal, postmodernisme menyajikan sejarah yang majemuk dan saling bertentangan. Sejarah ditulis menjadi versi yang majemuk dengan jenis narasi yang beraneka ragam. 4 Sejarawan dan teoretikus Amerika Hayden White (1978: 83) memberikan landasan pemahaman tentang historiografi postmoderen. White menjelaskan bahwa semua penulisan sejarah menggunakan “emplotment”: pengkodean fakta yang terkandung dalam sejarah sebagai komponen jenis struktur plot yang spesifik. Bagi White sebagaimana dikutip oleh Bradbury (1993: 236-237) “history writing is subject to the same narrative laws and practices as the writing of fiction”. Sejarah menurut White (1978: 91) adalah narasi, dan cara di mana peristiwa-peristiwa yang digambarkan dipotret, dihubungkan, dan dijelaskan rentan terhadap interogasi kritis: sejarah seharusnya jangan dibaca sebagai tanda peristiwa yang pasti, tetapi sebagai struktur simbolik, metafor yang diperluas. Malpas (2005: 98) menyimpulkan bahwa peristiwa-peristiwa sejarah tidak seperti apa yang ditulis, namun maknanya dihasilkan dengan cara bagaimana mereka digambarkan dengan dihubungkan satu sama lain untuk membentuk narasi sejarah, dan gaung yang yang dihasilkan oleh narasi itu tergantung pada pengenalan pembaca akan alat penceritaan yang digunakan. Satu pandangan dengan White dan Malpas, sejarawan Indonesia, Asvi Warman Adam, (2005: 125-126) menyatakan dengan pendekatan dekonstruktif yang dilakukan kelompok postmodernis, maka sastra itu semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi. Sejarah seperti halnya sastra disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot misalnya awal, pertengahan, dan akhir yang merupakan plot sastra juga. 5 Postmodernisme memfokuskan kepada politik konstruksi narasi dalam penulisan sejarah dan juga membuka sejarah bagi kemungkinan berbagai narasi tanding, salah satu diantaranya adalah melalui karya sastra. Dalam konteks sastra Indonesia – sebagai contoh – karya-karya yang ditulis oleh penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, dan Seno Gumira Ajidarma adalah karya-karya yang menawarkan narasi tanding atas narasi sejarah resmi yang dituliskan oleh rejim Orde Baru. Allen (2004: 180, 243) menyebut karya-karya Pramoedya dan Mangunwijaya sebagai “subversi atau dekonstruksi dari Narasi Besar Revolusi” dan Faruk dalam pengantar buku tulisan Andy Fuller (2011: 11) mengistilahkan karya-karya Seno sebagai “desentralisasi dan pluralisasi konstruksi dunia, penciptaan bangunan dunia alternatif sebagai tandingan dari konstruksi dunia Orba yang dominan”. Dalam konteks sastra Amerika, karya- karya penulis seperti E.L. Doctorow, Kurt Vonnegut, Thomas Pyncon, Robert Coover, John Barth, Toni Morrison, Ismael Reed dan yang lainnya tampil untuk menawarkan narasi tanding atas konstruksi narasi sejarah resmi yang dibangun oleh pemerintah Amerika. Penulisan kembali sejarah dalam fiksi postmoderen disebut oleh Linda Hutcheon dalam Malpas (2005: 101) sebagai “Historiographic Metafiction”: karya dari berbagai penulis kontemporer yang menggunakan serangkaian perangkat sastra yang berbeda untuk mempertanyakan metode tradisionil representasi sejarah. Dengan menggunakan perangkat seperti narator yang tidak reliabel, berbagai bentuk kerangka narasi, transformasi stilistika, penggabungan peristiwa magis dan realistik, dan parodi atas karya-karya sastra dan sejarah 6 sebelumnya, fiksi postmodern menantang gagasan tradisional konstruksi narasi dan kebenaran sejarah. Raymond Federman dalam Bradbury (1993: 209) menggambarkan karakteristik sastra postmodern sebagai hilangnya perbedaan antara yang nyata dan rekaan, antara sadar dan bawah sadar, antara kebenaran dan ketidakbenaran. Postmodernisme merepresentasikan usaha untuk membongkar konvensi yang telah mapan mengenai genre, narasi, representasi, dan karakterisasi. Postmodernisme mencoba mengembalikan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang narasi, representasi, fiksionalitas, kesasteraan, dan pemaknaan. Potmodernisme membuka diri bagi konvensi sastra baru tidak hanya bagi fiksi Amerika, namun juga novel secara internasional. Persoalan representasi – dalam hal ini representasi historiografi – yang disoroti oleh fiksi posmoderen menyiratkan kembali kepada persoalan-persoalan bagaimana peristiwa-peristiwa (events) diberi makna untuk kemudian menjadi fakta dan selanjutnya fakta dipilih sebagai representasi. Proses menjadikan peristiwa menjadi fakta dan representasi dicurigai penuh dengan kepentingan ideologi dan politik yang selanjutnya dipersoalkan oleh sastra posmoderen. Hutcheon menyebut fakta sebagai “discourse-defined” sementara event atau peristiwa tidak (1996: 119). Dengan kata lain, event tidak memiliki makna pada dirinya sendiri sebelum menjadi sebuah fakta. Historiografi metafiksi merespon persoalan representasi historiografi itu – menurut Linda Hutcheon dalam bukunya The Politics of Postmodernism – dengan mendenaturalisasi dan mendetotalisasi representasi moderen yang selama ini 7 dianggap alamiah atau terberi atau given. Mendenaturalisasi berarti menggugat transparansi representasi dan membongkar rujukan realis dan otonomi representasi modern dan membuka kemungkinan rujukan lain representasi. Denaturalisasi juga berarti penjungkirbalikan konvensi representasi. Dengan denaturalisasi, fiksi postmoderen menawarkan narasi sejarah menurut versinya sendiri ((Hutcheon 1989: 75). Menurut Hutcheon (1989: 104) mendetotalisasi berarti mendobrak praktek-praktek “pemaksaan” penciptaan makna melalui representasi, bahwa representasi yang ada sebagai totalitas kebenaran yang tidak terbantahkan dan melacak kepentingan-kepentingan ideologis dan politis yang melatar-belakangi penciptaan representasi tersebut dan selanjutnya menawarkan interpretasi baru dengan mengajukan rujukan representasi yang berbeda. Denaturalisasi dan detotalisasi representasi historiografi dalam fiksi postmoderen menurut Hutcheon (1988: 105-140) dalam bukunya A Poetics of Postmodernism dilakukan diantaranya dengan strategi penggabungan fakta dan fantasi – memfiksionalisasikan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang nyata dalam sejarah dengan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa imajiner atau rekaan – intertekstualitas dan parodi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, banyak penulis Amerika paska Perang Dunia Kedua mencoba mendefinisikan kembali sejarah Amerika dalam karya-karya mereka, salah satu diantaranya adalah E.L. Doctorow. Namun E.L. Doctorow memiliki berbagai hal yang spesifik yang membedakannya dengan pengarang lain seperti teknik yang dipakai dalam menuliskan novel-novelnya, 8 gaya dan temanya yang kaya, wawasan filosofisnya yang dalam, serta isu-isu yang diangkat dalam karya-karyanya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Bradbury memberkanpenjelasan: Breaking down the borders of the fictional, merging the genres of fact and fantasy, became a dominant theme of much Sixties writing. E.L. Doctorow’s novels Welcome to Hard Times (1960), The Book of Daniel (1971), and Ragtime (1975) constantly cross and recross the borders of fact and fiction. Beberapa teknik yang khas digunakan oleh Doctorow dalam menuliskan karya-karyanya adalah penggabungan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata dengan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan, intertekstualitas, dan parodi sebagai strategi untuk mendefinisikan kembali historiografi Amerika. Melalui karya-karyannya Doctorow banyak mengangkat persoalan- persoalan ketidakadilan yang disebut sebagai “trinity of oppressions” atau “trinitas penindasan” – khususnya masalah ras dalam Ragtime, masalah kelas dalam Welcome to Hard Times, The Book of Daniel, Loon Lake, Billy Bathgate, dan Waterworks, dan masalah jender dalam Ragtime dan World’s Fair (Tokarczyk, 2000: 4). Penelitian ini mencoba mengkaji karya sastra Amerika paska Perang Dunia Kedua dengan memfokuskan pada karya-karya E.L Doctorow yaitu The Book of Daniel (1971), Ragtime (1975), dan Loon Lake (1980). Ketiga karya ini mewakili tiga periode penting dalam sejarah Amerika yaitu The Progressive Era, periode sejarah Amerika yang berlangsung sekitar akhir abad 19 sampai dengan awal abad dua puluh, tepatnya dari tahun 1897 sampai 1920 (Ragtime), TheGreat 9 Depression yang berkisar pada tahun 1930-an (Loon Lake), dan McCarthy Era yang berlangsung sekitar tahun 1960-an (The Book of Daniel). Novel The Book of Daniel mengangkat kasus nyata pasangan suami istri Julius Rosenberg dan Ethel Rosenberg yang dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Amerika atas tuduhan tindakan mata-mata yang mereka lakukan untuk kepentingan Uni Soviet selama era Perang Dingin. Kasus Rosenberg dalam novel diceritakan dari sudut pandang anak koban yang bernama Daniel dalam upayanya mencari kebenaran atas kasus yang menimpa kedua orang tuannya. The Book of Daniel mengambil latar belakang era McCarthy – sebuah era pembersihan Amerika dari anasir-anasir komunisme atau ideologi kiri yang pada akhirnya memakan banyak korban orang-orang yang tidak bersalah. Pengambilan sudut pandang kasus Rosenberg (tokoh Rosenberg dalam novel bernama Isaacson) dari kaca mata anak korban, Daniel, dilakukan oleh E.L. Doctorow untuk membongkar “mitos-mitos” resmi tentang Perang Dingin. Dengan cara itu Doctorow menawarkan interpretasi sejarah yang berbeda dengan yang dituliskan dalam historiografi resmi pemerintah atas sejarah Amerika di era 1960-an. Novel Ragtime menceritakan perjuangan seorang musisi jazz kulit hitam yang bernama Coalhouse Walker, Jr. dalam mencari keadilan atas perusakan mobil Model T barunya oleh sekelompok orang kulit putih. Mereka cemburu melihat seorang berkulit hitam dapat memiliki sebuah mobil yang menjadi sebuah simbol status sosial pada waktu itu. Kagagalannya dalam mencari keadilan dan kematian kekasihnya mengubah dirinya dari seorang musisi profesional menjadi seorang revolusioner radikal yang mencari keadilan melalui kekerasan dan teror. 10 Dengan persoalan rasialisme yang masih sangat kental pada awal abad dua puluh, hukum tidak berpihak kepada orang kulit hitam seperti Coalhouse Walker, Jr. Ia bergabung dalam arus utama gerakan buruh sayap kiri revolusioner yang mewarnai hiruk pikuk sejarah awal abad dua puluh yang disebut sebagai The Progressive Era. Novel ditulis dengan setting Amerika antara tahun 1902 sampai 1917. Doctorow menggabungkan tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah Amerika seperti J.P. Morgan, Henry Ford, Harry Houdini, Sigmund Freud, Admiral Peary, Booker T. Washington, Emma Goldman, dan yang lainnya dengan tokoh fiktif dari tiga kelompok etnis yang berbeda yaitu pasangan kulit hitam Coalhouse Walker Jr dan Sarah berserta bayinya, keluarga kulit putih WASP (White Anglo-Saxon Protestan) yang terdiri dari Father, Mother, Little Boy, dan Younger Brother, dan keluarga keturunan imigran Yahudi kelas bawah yaitu Tateh, Mameh, dan Little Girl. Teknik penggabungan tokoh nyata dan fiktif dilakukan oleh Doctorow untuk menginterpretasikan kembali sejarah Amerika selama era Progressive dengan pemaknaan yang berbeda dari historiografi pemerintah Amerika. Bagi Doctorow, seperti dalam Ragtime, sejarah penuh dengan mitos-mitos, dan Ragtime ditulis untuk membongkar mitos-mitos tersebut. Loon Lake ditulis dengan latar belakang Amerika pada tahun 1930-an, sebuah periode dalam sejarah Amerika yang disebut sebagai The Great Depression. Karya Doctorow ini bercerita tentang Joe Korzeniowsky yang lari dari tempat tinggal keluarganya – keluarga kelas pekerja – di Peterson, New Jersey dengan kereta api pada tahun 1936. Perjalanannya berakhir di Loon Lake,
Description: