ebook img

ARTI PENTING VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENANGANAN TINDAK ... PDF

18 Pages·2016·0.49 MB·English
Save to my drive
Quick download
Download
Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.

Preview ARTI PENTING VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENANGANAN TINDAK ...

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ ARTI PENTING VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN Hamidah Siadari*, Nur Rochaeti, Bambang Dwi Baskoro Program Studi S1 Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro E-mail: [email protected] ABSTRAK Tindak Pidana Perkosaan memerlukan alat bukti sah dalam pembuktiannya, minimal dua alat bukti yang sah dalam membentuk keyakinan hakim. Jika sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang ditemukan penyidik maka keyakinan hakim dapat terbentuk, namun jika alat bukti kurang dari dua maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah membuat Visum et Repertum. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik menyusun penelitian hukum dengan judul “Arti Penting Visum et Repertum sebagai Alat Bukti dalam Penanganan Tindak Pidana Perkosaan” Rumusan masalah pada penelitian ini adalah masalah bagaimana kebijakan formulasi dalam pembuktian tindak pidana perkosaan dan bagaimana kedudukan dan kekuatan Visum et Repertum terhadap pembuktian tindak pidana perkosaan. Metode penelitian dilakukan dengan metode pendekatan normatif empiris dan spesifikasi penelitian deskriptif analisis. Kemudian metode pengumpulan datanya dilakukan melalui studi kepustakan dan wawancara, sedangkan analisis datanya dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian yang didapat yaitu bahwa penanganan tindak pidana perkosaan sudah diatur dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan sudah dimuat beserta perluasan tindak pidana perkosaan dalam konsep Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana terutama perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana jika dilihat dari paradigma Rancangan KUHP yang tidak terlepas dari penerimaan instrumen HAM (Hak Asasi Manusia) dan pendekatan model Restorative justice sebagai model untuk mengahadapi kejahatan kejahatan yang terjadi, dan mencari sistem keadilan baru dari yang selama ini ada. Kedudukan Visum et Repertum hanya termasuk satu dari 5 alat bukti yang sah namun dengan melampirkan bukti Visum et Repertum di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik atau pada tahap pemeriksaan dalam proses penuntutan oleh penuntut umum otomatis bukti Visum et Repertum menjadi alat bukti sah. Namun Visum et Repertum harus dilakukan agar dapat diketahui apakah benar telah terjadi tindak pidana tersebut terhadap korban. Visum et Repertum mutlak harus ada dalam penyidikan kejahatan perkosaan namun tidak selalu ada dokter setempat yang terpencil. Kekuatan dalam pembuktian tindak pidana perkosaan, dengan Visum et Repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Karena tujuan Visum et Repertum adalah untuk memberikan kepada hakim suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim. Kata kunci: Visum et Repertum, Alat Bukti, Tindak Pidana Perkosaan Abstract Crime of Rape require valid evidence in his demonstration, at least two valid evidence in shaping the judge's conviction. If there are at least two items of evidence that investigators found the judge's conviction can be formed, but if the evidence is less than two, then one way to do is make a post mortem. Visum et Repertum has a meaning as a result of the examination (data) that has the function as evidence, how are viewed and obtained a doctor be used for analysis in making inferences. Based on these descriptions authors interested in preparing legal research titled "The Importance of Visum et Repertum as Evidence in Handling the Crime of Rape" Referring to the background, the authors conducted a study on the problems that arise on how 1 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ policy formulation in proving the crime of rape and how to position and strength Visum et Repertum to proving the crime of rape. Based the problems, in legal writing, the author uses empirical and normative approach method specification descriptive analysis. Then the data collection method is done through kepustakan studies and interviews, while data analysis is conducted qualitatively. Based on the research that has been done, the result that the handling of the crime of rape is already stipulated in Article 285 of the Code of Criminal Law and preloaded along with the expansion of the crime of rape in the concept design of the Code of Criminal especially the protection and recovery of victims of crime when seen of paradigm draft Penal Code can not be separated from the receipt of the instrument of human rights (Human Rights) and the model approach Restorative justice as a model for facing evil crimes were committed, and look for a new justice system than previously existed. Position Visum et Repertum only included one of five valid evidence but on receipt of a post mortem on the dossier (BAP) by the investigator or the examination stage in the prosecution by the public prosecutor automatic evidence of a post mortem into evidence valid. But a post mortem to be done in order to know whether it has occurred such offenses against the victim. Visum et Repertum absolute must have in the investigation of the crime of rape but there is always a local doctor isolated. Strength in proving the crime of rape, with Visum et Repertum be clear what has happened to someone and legal practitioners can apply legal norms in criminal cases concerning human body and spirit. Because the purpose of a post mortem is to give the judge a reality of the facts of that evidence on all circumstances as set out in the news that the judge can take decisions appropriately on the basis of fact or facts, so that it can become a supporter on conviction judge. Keywords: Visum et Repertum, Evidence, Crime of Rape I. PENDAHULUAN menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian hidup, Indonesia merupakan negara agar sesuai dengan apa yang hukum. Hal ini telah dinyatakan diamanatkan dalam Pancasila dan dengan tegas dalam penjelasan UUD UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap NRI Tahun 1945 bahwa “Negara negara berhak atas rasa aman dan Republik Indonesia berdasar atas bebas dari segala bentuk kejahatan. hukum (rechstaat)”, tidak berdasar Kejahatan atau tindak kriminal atas kekuasaan belaka (machstaaf). selalu ada dan melekat pada tiap Dalam negara hukum, hukum bentuk masyarakat. Kejahatan merupakan tiang utama dalam merupakan ancaman bagi menggerakkan sendi-sendi berlangsungnya ketertiban sosial. kehidupan masyarakat, berbangsa Indonesia telah menetapkan sanksi dan bernegara. Oleh karena itu, salah pidana dalam perundang-undangan satu ciri utama dari suatu negara sebagai sarana utnuk menanggulangi hukum terletak pada masalah kejahatan. Namun nyatanya kecenderungannya untuk menilai kejahatan masih sulit dihilangkan, tindakan-tindakan yang dilakukan meskipun dengan perangkat hukum oleh masyarakat atas dasar peraturan- dan undang-undang yang peraturan hukum. Suatu negara dirumuskan oleh legislatif1 dengan konsep negara hukum selalu mengatur setiap tindakan dan tingkah 1 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif laku masyarakatnya berdasarkan atas dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Undang-undang yang berlaku untuk Pidana Penjara, (Yogyakarta : Genta Purblishing, 2009), halaman 2 2 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ Salah satu bentuk kejahatan yang pidana, apabila menyangkut tubuh terjadi ialah Tindak Pidana manusia atau bagian dari tubuh Perkosaan yang dilakukan oleh manusia. Pendapat dokter diperlukan seseorang baik secara individu karena seorang dokter sebagai ahli maupun secara bersama-sama, yang dibekali ilmu-ilmu yang disadari dapat menimbulkan berhubungan dengan anatomi tubuh keresahan dimasyarakat karena manusia, yaitu dalam rangka sering kali perkosaan yang dilakukan menemukan kebenaran materiil atas mengakibatkan kerugian moril perkara pidana. maupun materiil pada korbannya. Berdasarkan uraian yang telah Pembuktian dalam perkara dipaparkan, maka penulis tertarik pidana menurut Pasal 184 KUHAP untuk menyusun penelitian hukum memerlukan adanya alat bukti yang dengan judul : “ARTI PENTING sah, yaitu keterangan saksi, VISUM ET REPERTUM SEBAGAI keterangan ahli, surat, petunjuk dan ALAT BUKTI DALAM keterangan terdakwa. Hakim dapat PENANGANAN TINDAK PIDANA menjatuhkan pidana berdasarkan PERKOSAAN” Pasal 183 KUHAP, sekurang- Berdasarkan uraian pada latar kurangnya dua alat bukti yang sah belakang masalah tersebut di atas yang dapat membentuk keyakinan intinya berkenaan dengan Visum et hakim tentang kesalahan terdakwa. Repertum sebagai alat bukti dalam Terbentuknya keyakinan hakim persidangan tindak pidana perkosaan, dalam menjatuhkan putusan pidana maka dirumuskan masalah sebagai didasarkan pada hasil pemeriksaan berikut : alat-alat bukti yang dikemukakan 1. Bagaimana kebijakan dalam persidangan. formulasi KUHP dalam Cara yang dapat dilakukan untuk pengaturan tindak pidana pembuktian perkara pidana perkosaan? perkosaan adalah meminta bantuan 2. Bagaimana kedudukan dan dokter sebagai ahli. Seorang dokter kekekuatan Visum et bisa bertindak sebagai ahli dan juga Repertum terhadap bisa membuat surat keterangan yang pembuktian tindak pidana disebut dengan Visum et Repertum. perkosaan? Pembuatan Visum et Repertum memberikan tugas sepenuhnya II. METODE kepada dokter sebagai pelaksana di lapangan untuk membantu jaksa Penelitian merupakan suatu hal dalam menentukan arah dakwaan pokok yang penting bagi yang akan di dakwakan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terdakwa, serta membantu hakim dan teknologi, Oleh karena itu dalam menemukan kebenaran metode yang diterapkan harus sesuai materiil dalam memutuskan perkara dengan ilmu pengetahuan induknya. pidana. Dokter dilibatkan untuk turut Namun hal ini tidak berarti bahwa dalam memberikan pendapat metodologi dari setiap ilmu berdasarkan ilmu pengetahuan yang pengetahuan itu berbeda sama sekali. dimiliki dalam pemeriksaan perkara Sebab meskipun berbeda, penelitian 3 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ tersebut mempunyai tujuan yang penelitian hukum kepustakaan dan sama yaitu untuk megungkap penilitian hukum sosiologis atau kebenaran secara sistematis, empiris.4 metodologis dan konsisten. Pada penelitian hukum normatif, Menurut Soerjono Soekanto, peneliti melakukan penelitian buku- penelitian di bidang hukum buku sebagai sumber kepustakaan, merupakan penelitian di bidang non sehingga penelitian ini disebut juga eksakta atau sosial. Penelitian penelitian doktrinal. Pada penelitian Hukum adalah sebagai berikut : hukum sosiologis, peneliti “Penelitian Hukum merupakan suatu melakukan penelitian terhadap data kejadian ilmiah, yang didasarkan primer, dengan menggunakan pada metode, sistematika, dan metode dan teknik-teknik yang lazim pemikiran tertentu, dengan jalan digunakan pada penelitian di bidang menganalisanya. Kecuali itu, maka ilmu-ilmu sosial, sebagaimana juga diadakan pemeriksaan yang tersebut : mendalam terhadap fakta hukum Penelitian hukum normatif atau tersebut, untuk kemudian penelitian hukum kepustakaan atau mengusahakan suatu pemecahan atas penelitian hukum doktrinal, permasalahan yang timbul di dalam mencakup : 5 gejala yang bersangkutan”.2 1. Penelitian terhadap asas-asas Penelitian dibedakan antara yang hukum diperoleh langsung dari masyarakat 2. Penelitian terhadap sistematik dan dari bahan-bahan pustaka. hukum Penelitian yang datanya diperoleh 3. Penelitian terhadap taraf langsung dari masyarakat disebut sinkronisasi vertikal dan data primer (data dasar), sedangkan horizontal yang datanya diperoleh dari bahan- 4. Perbandingan Hukum bahan pustaka disebut data 5. Sejarah Hukum sekunder.3 Soerjono Soekanto membedakan Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum menjadi dua Metode Penelitian Hukum Normatif jenis, dua jenis penelitian ini adalah Empiris. Normatif maksudnya jenis penelitian yang sering penelitian hukum yang bertujuan digunakan oleh para peneliti untuk memperoleh pengetahuan normatif menemukan suatu fakta tertentu. tentang hubungan antara satu Menurut jenisnya penelitian hukum peraturan dengan peraturan lain dibedakan menjadi dua jenis, yaitu dalam penerapan dan prakteknya. penelitian hukum normatif atau Empiris maksudnya penelitian penelitian hukum kepustakaan dan hukum positif tidak tertulis mengenai penelitian hukum normatif atau perilaku anggota masyarakat dalm hubungan hidup bermasyarakat. 2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta:UI Press,1981), halaman 4 Rony Hanitijo Sumitro, Metodologi 432 Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia 3 Soerjono Soekanto dan Sri Maudji, Indonesia, 1988), halaman 10 Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op Rajawali Pers, 1985), halaman 14 cit, halaman 15 4 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ Penelitian Hukum Normatif Empiris i. Pelaku : laki-laki yang merupakan penggabungan antara dapat melakukan pendekatan hukum normatif dengan persetubuhan adanya berbagai unsur empiris. ii. Perbuatan : harus ada Metode Penelitian Normatif Empiris kekerasan atau mengenai implementasi ketentuan ancaman kekerasan, hukum normatif (undang-undang) harus ada dalam aksinya pada setiap peristiwa persetubuhan hukum tertentu yang terjadi dalam iii. Korban : wanita suatu masyarakat. bukan isterinya6 Beberapa alasan atau latar III. HASIL DAN PEMBAHASAN belakang, rumusan delik dalam Pasal 285 KUHP adalah sebagai A. Kebijakan Formulasi KUHP berikut : dalam Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan 1. Dalam keadaan dipaksa a. Pengaturan Tindak Pidana laki-laki tidak mungkin dalam Kitab Undang- mengalami respon seksual undang Hukum Pidana (penis mengalami ereksi), Terdapat hukum yang sehingga tidak ada laki- mengatur tindak pidana laki yang menjadi korban perkosaan saat ini, yakni perkosaan. dalam Kitab Undang-undang 2. Perkawinan sebagai suatu Hukum Pidana (KUHP), persetujuan bagi laki-laki yakni : untuk melakukan Pasal 285 KUHP : persetubuhan dengan Barangsiapa dengan wanita yang dinikahinya kekerasan atau ancaman tidak ada perkosaan kekerasan memaksa seorang dalam ikatan pernikahan.7 wanita bertubuh dengan dia diluar pernikahan, diancam Selama ini dalam praktek karena melakukan perkosaan, pembuktian Pasal 285 KUHP, dengan pidana penjara paling alat bukti yang paling lama dua belas tahun. Unsur menentukan adalah keterangan yang dapat dilihat dari Pasal ahli dalam bentuk Visum et 285 ini adalah : perbuatannya Repertum (VeR) dari seorang “memaksa bersetubuh”, dokter ahli yang ditunjuk caranya “dengan kekerasan menurut undang-undang. Selain atau ancaman kekerasan” dan itu juga harus ada keyakinan objeknya “perempuan bukan hakim bahwa benar telah terjadi istrinya”. Pasal diatas tindak pidana perkosaan. merupakan pengaturan tindak pidana perkosaan umum. Dengan demikian dalam 6 Bambang Dwi Baskoro, Buku Ajar Ilmu tindak pidana perkosaan Kedokteran Forensik (Semarang : 2010) diisyaratkan : halaman 105 7 Ibid 5 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ b. Pengaturan Tindak Pidana dengan kehendak dalam Rancangan Kitab perempuan tersebut. Undang-undang Hukum b. Laki-laki yang Pidana (RUU KUHP) dan melakukan persetubuhan Perbandingannya dengan dengan perempuan di luar Pengaturan KUHP perkawinan, tanpa persetujuan perempuan Pengaturan tindak pidana tersebut. perkosaan dalam Rancangan c. Laki-laki yang Kitab Undang-undang Hukum melakukan persetubuhan Pidana (RUU KUHP), terdapat dengan perempuan, dengan pasal yang mengatur mengenai persetujuan perempuan tindak pidana perkosaan. Di tersebut, tetapi persetujuan dalam RUU KUHP ini ada itu dicapai melalui ancaman perluasan dari pasal yang untuk dibunuh atau dilukai. mengatur tentang tindak pidana d. Laki-laki yang perkosaan dalam KUHP. melakukan persetubuhan Hanya saja di dalam RUU dengan perempuan, dengan KUHP tersebut ditegaskan persetujuan perempuan bahwa tindak pidana perkosaan tersebut karena perempuan merupakan pelanggaran tersebut percaya bahwa terhadap hak asasi manusia laki-laki tersebut adalah khususnya hak asasi suaminya yang sah. perempuan. e. Laki-laki yang Rancangan KUHP yang melakukan persetubuhan mengatur tindak pidana dengan perempuan padahal perkosaan dalam Bab XIV diketahui bahwa perempuan tentang tindak pidana tersebut dalam keadaan kesusilaan, pada bagian kelima pingsan atau tidak berdaya. dengan sub bagian tentang (2) Dianggap juga melakukan perkosaan dan perbuatan cabul, tindak pidana perkosaan, pada paragraf 1 tentang jika dalam keadaan perkosaan, Pasal 489 yang sebagaimana dimaksud berbunyi : 8 dalam ayat (1) : (1) Dipidana karena melakukan a. Laki-laki memasukkan tindak pidana perkosaan, alat kelaminnya kedalam dengan pidana penjara anus atau mulut perempuan. paling sedikit 3 (tiga) tahun b. Laki-laki yang dan paling lama 12 (dua memasukkan suatu benda belas) tahun: yang bukan merupakan a. Laki-laki yang bagian tubuhnya kedalam melakukan persetubuhan vagina atau anus dengan perempuan diluar perempuan. perkawinan, bertentangan 8 Ibid 6 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ Unsur tindak pidana hak asasi perempuan dengan perkosaan yang terdapat dalam seluas mungkin dapat menjerat Pasal 489 RUU KUHP adalah pelaku tindak pidana perkosaan sebagai berikut : sehingga sulit untuk dapat luput 1. Unsur paksaan, dimana dari penuntutan dan paksaan ini dapat berupa pemidanaannya. paksaan fisik maupun Kelemahan pengaturan psikis. KUHP saat ini adalah terletak 2. Bentuk paksaan fisik dapat pada rumusan formil perbuatan berupa pukulan pada tubuh yakni sanksi yang diancamkan korban yang dapat dalam KUHP maupun RUU menyebabkan tidak KUHP yang belum sepadan berdaya, sedangkan dengan akibat yang paksaan psikis dapat berupa ditimbulkan oleh perbuatan ancaman dengan kata-kata perkosaan. Mengenai akibat atau senjata tajam untuk kerusakan yang ditimbulkan dibunuh atau dilukai tindak pidana perkosaan sehingga korban menyetujuinya. c. Kebijakan Formulasi dalam 3. Korban adalah seorang pembuktian Tindak Pidana perempuan, baik Perkosaan perempuan dewasa ataupun Kebijakan Formulasi adalah perempuan yang berusia kebijakan pembentuk undang- dibawah 14 tahun. undang mengenai masalah 4. Unsur persetubuhan, kriminalisasi, dekriminalisasi, persetubuhan yang depenalisasi dan merupakan dimaksud adalah penegakan hukum in abstracto persetubuhan dalam arti oleh badan pembuat undang- sesungguhnya dan juga undang. Menurut Barda hubungan seks secara oral Nawawi Arief, kebijakan dan anal. legislatif (formulatif) 5. Perkosaan itu dapat terjadi merupakan tahap paling di dalam maupun di luar strategis dari keseluruhan perkawinan. Di dalam proses operasionalitas/ perkawinan dapat fungsionalitas dan konkretisasi ditafsirkan bahwa seorang hukum pidana. Sehingga suami yang memaksa dengan demikian kebijakan istrinya melakukan legislatif atau disebut juga persetubuhan tanpa ada sebagai kebijakan perundang- kerelaan dari si isteri, maka undangan merupakan langkah dapat digolongkan awal di dalam penanggulangan termasuk perkosaan. kejahatan, yang secara Rumusan hukum mengenai fungsional dapat dilihat sebagai tindak pidana perkosaan dalan bagian dari perencanaan dan RUU KUHP memperlihatkan mekanisme penanggulangan adanya upaya untuk melindungi kejahatan, yang dituangkan 7 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ dalam perundang-undangan sanksi terhadap tindak pidana dan meliputi : perkosaan tidak berdampak a. Perencanaan atau mendatangkan efek jera kebijakan tentang terhadap pelaku kejahatan perbuatan apa yang terutama untuk para calon- dilarang calon pelaku kejahatan yakni b. Perencanaan/kebijakan masyarakat. tentang sanksi apa yang Memperhatikan model dapat dikenakan terhadap restorative justice dalam pelakunya (baik berupa pembaharuan hukum acara pidana atau tindakan) dan pidana, sangat tergantung dari sistem penerapannya.9 tujuan pembaharuan itu sendiri. Kejelasan tujuan ini sangat Suatu perbuatan tindak penting, karena penekanan dari pidana merupakan dasar untuk berbagai pengalaman dan dijatuhkan suatu sanksi pidana. implementasi model restorative Kemudian apabila perbuatan justice di berbagai negara juga tersebut memenuhi rumusan berbeda-beda. Pada satu sisi, delik yang telah diatur dalam tujuan penting dari proses Kitab Undang-undang Hukum keadilan pidana adalah Pidana (KUHP), itu berarti merekonsiliasikan para pihak perbuatan tersebut sudah dan memperbaiki “luka” akibat memenuhi unsur-unsur tindak kejahatan. Tujuan ini sangat pidana. Perbuatan yang telah relevan untuk memenuhi rumusan delik mempertimbangkan penggunaan dalam KUHP merupakan model restorative justice. Tujuan perwujudan dari adanya asas ini diharapkan sebagai proses legalitas. Unsur untuk sarana kontrol atas pertanggungjaaban pidana bagi kejahatan. Namun model pelaku tindak pidana adalah restorative justice ini sangat wujud tanggungjawab atas tidak relevan jika tujuan penderitaan yang dirasakan pembaharuan hukum pidana oleh korban. adalah semata untuk Tim perumus rancangan menghukum pelaku (penguatan KUHP melakukan perubahan retributive justice). mendasar dengan memperluas Pengaturan dalam Pasal 285 cakupan tindak pidana KUHP hanya memperhatikan perkosaan. Bahkan diperinci pemberian sanksi terhadap tindak pidana apa saja yang pelaku tindak pidana namun masuk kategori itu. Sebut tidak memperhatikan misalnya, oral seks dan sodomi bagaimana korban, padahal jika yang sudah masuk kategori diperhatikan dampak yang tindak pidana perkosaan. paling menderita adalah Selama ini yang kita perhatikan dirasakan korban. Hukum pidana terutama KUHP belum membuat pengaturan terhadap 9 Barda Nawawi Arief, Op cit halaman 257 8 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ pemulihan korban tindak KUHAP, Alat bukti yang sah pidana perkosaan. KUHP tidak adalah : mengatur secara eksplisit 1. Keterangan Ahli mengenai korban kejahatan 2. Keterangan Saksi dalam norma hukum pidana, 3. Surat baik Buku I, II dan Buku III. 4. Petunjuk Namun demikian Pasal 14 5. Keterangan Terdakwa huruf c mengenai penjatuhan pidana dapat dikembangkan Keterangan ahli sebagai dalam praktek untuk alat bukti dalam pemeriksaan memberikan perhatian terhadap di persidangan berarti apa korban kejahatan dalam bentuk yang seorang ahli nyatakan di santunan ganti kerugian. sidang pengadilan. Berdasarkan perbandingan Keterangan ahli tersebut tersebut dapat dilihat secara dapat juga sudah diberikan jelas dan nyata bahwa KUHP pada waktu pemeriksaan oleh selaku peraturan hukum saat penyidik atau penuntut umum ini masih memiliki banyak yang dituangkan dalam suatu kelemahan karena tidak ada bentuk “laporan” yang dibuat tawaran yang jelas untuk dengan mengingat sumpah pemulihan keadaan korban diwaktu ia menerima jabatan sedangkan RUU KUHP sudah atau pekerjaan. memberikan tawaran dan Selanjutnya penjelasan perlidungan yang nyata Pasal 186 KUHAP terhadap pemulihan korban. menerangkan, jika laporan itu RUU KUHP sudah selangkah tidak diberikan pada waktu lebih maju dibanding KUHP pemeriksaan oleh penyidik yang berlaku saat ini. atau penuntut umum maka Kebijakan formulatif yang pada waktu pemeriksaan di dibuat oleh para legislatif sidang, diminta untuk sudah merupakan langkah memberikan keterangan yang baik untuk terciptanya cita dicatat dalam Berita Acara hukum. Pemeriksaan. Keterangan itu diberikan setelah ia B. Kedudukan dan Kekuatan mengucapkan sumpah atau Visum et Repertum janji dihadapan hakim atau Terhadap Pembuktian dapat dilakukan setelah Tindak Pidana Perkosaan memberikan keterangan ahli. a. Kedudukan Visum et Ahli yang telah Repertum dalam tahap mengutarakan pendapatnya penyidikan Tindak Pidana tentang suatu hal atau Perkosaan keadaan/peristiwa tertentu, Berdasarkan alat bukti dapat dipakai sebagai yang sah seperti disebutkan kejelasan dan dasar-dasar dalam Pasal 184 ayat (1) bagi hakim untuk menambah keyakinannya. Akan tetapi, 9 DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ hakim tidak wajib menuruti oleh majelis hakim dapat pendapat dari ahli itu dinyatakan, semua unsur bilamana pendapat dari ahli telah terbukti berdasarkan itu bertentangan dengan fakta-fakta disertai alat bukti keyakinannya, sehingga ia yang cukup, termasuk akan mengambil keterangan ahli dalam kesimpulannya sendiri. hubungannya satu dengan Keterangan ahli dapat yang lain, saling bersesuaian diperoleh dari pendapat dan satu dengan yang lain, pikirannya tentang suatu hal sehingga menurut hukum atau keadaan dari perkara dinyatakan terdakwa itu yang bersangkutan dan dapat secara sah dan meyakinkan, pula diperoleh dari pengajuan telah terbukti bersalah atas fakta-fakta sebenarnya. melakukan tindak pidana itu Dalam hal ahli didakwakan kepadanya dalam mengemukakan pendapatnya, surat dakwaan penuntut hakim dapat menyetujui dan umum. mengambil alih pendapat itu Hakim ketua dalam suatu ataupun tidak menyetujui dan perkara yang diperiksa itu mengambil kesimpulan berpendapat, bahwa ada sendiri. Akan tetapi, bila ahli sesuatu hal atau keadaan tersebut mengemukakan dan (soal) atau peristiwa dan mengajukan hal-hal atau benda hidup, mayat atau keadaan atas dasar fakta-fakta bukti fisik yang belum jelas, apa adanya, hakim disini dalam kaitan dengan perkara tidak mudah akan mengambil itu sendiri yang belum jelas keputusan sendiri. pula, berdasarkan Pasal 180 Pemeriksaan oleh dokter ayat (1) KUHAP, maka ahli atau orang ahli lainnya, dalam hal yang diperlukan yang kemudian dituangkan untuk menjernihkan dalam pendapat dan duduknya persoalan yang pengambilan kesimpulan ahli timbul di sidang pengadilan, (expertise) itu kepada hakim, hakim ketua sidang dapat sebagai salah satu upaya meminta keterangan ahli pada untuk membantu mencari ahli kedokteran kehakiman serta mengungkapkan fakta- atau ahli (spesialis) lain. fakta selengkapnya. Bagi Dalam tahap pemeriksaan pengadilan, bantuan orang di muka pengadilan, isi ahli bersama-sama alat bukti sumpah atau janji bagi dokter lain nantinya, akan ahli kedokteran kehakiman berangkaian dan bersesuaian atau ahli lainnya sebelum satu dengan yang lain dan memberikan keterangannya bermanfaat bagi terbuktinya di persidangan sama dengan pemenuhan unsur-unsur tahap pemeriksaan di muka tindak pidana disertai penyidik, bahwa ia akan keyakinan hakim. Sehingga memberikan keterangan dan 10

Description:
the judge's conviction can be formed, but if the evidence is less than two, then one way to do is make a post examination stage in the prosecution by the public prosecutor automatic evidence of a post . melakukan persetubuhan.
See more

The list of books you might like

Most books are stored in the elastic cloud where traffic is expensive. For this reason, we have a limit on daily download.